Davin sedang menatap berkas di hadapannya dengan pandangan dingin saat pintu ruangannya diketuk. Lalu disusul suara Vincent setelahnya.“Pak Davin, Reynaldi Wijaya sudah datang.”“Bawa dia masuk!”Suara Davin terdengar membahana, membuat wajah Rey di luar sana semakin pucat dan jantungnya berdebar-debar ngeri.Rey masuk. Itu pertama kalinya ia menginjakkan kaki di ruangan sang CEO. Ekspresi Davin yang datar dengan tatapannya yang menusuk, adalah pemandangan pertama yang Rey dapati saat ia berdiri di depan meja Davin dengan kaki sedikit gemetaran.Davin menunduk, membuka lembaran berkas di hadapannya. Tanpa menatap Rey lagi, Davin bertanya dengan suara beratnya, “Kamu tahu kenapa saya menyuruhmu datang ke sini?”Rey menelan saliva. Ada dua kemungkinan yang ia pikirkan tentang apa alasan ia dipanggil kemari.Pertama, Davin akan membahas apa yang terjadi di restoran, kemarin, lalu meminta penjelasan atas sikap Pelangi dan Rey yang keterlaluan kepada Jingga.Dan yang kedua, karena Davin t
Jingga meremas clutch dalam genggamannya, ia merasa gugup dan salah tingkah. Lalu, ia memalingkan wajahnya ke arah lain, selain kepada Davin yang sejak tadi tak berhenti memandanginya.“Jangan terus-terusan menatapku seperti itu,” gumam Jingga, berdehem. “Aku jadi merasa aku aneh dan jelek berpenampilan seperti ini.”Tangan Davin terulur, menyentuh pipi Jingga dengan lembut. “Kamu cantik,” bisiknya, yang membuat pipi Jingga seketika merona. “Aku jadi berpikir, lebih baik kita pulang lagi sekarang. Kita nggak perlu menghadiri pesta malam ini.”Mata Jingga sedikit terbelalak mendengarnya. Ia menatap pintu ballroom yang terbuka dan banyak orang hilir mudik di sana, lalu menatap wajah Davin kembali. “Kenapa kita pulang lagi? Sekarang kita tinggal selangkah lagi untuk sampai di lokasi pesta, Dave.”Rahang Davin mengeras. Ia merangkul pinggang Jingga dan berbisik di dekat telinganya, “Dalam urusan uang, aku memang dermawan,” akunya dengan jumawa. “Tapi jika itu kamu, aku sangat pelit dan ng
Jingga merasa tidak nyaman, tatapan orang-orang terasa aneh untuknya. Walaupun hanya sekali melihat, tapi Jingga tahu tatapan mereka bukan memandang rendah atau mencemooh dirinya—seperti yang selalu ia dapatkan di masa lalu.Jingga menarik napas sepelan mungkin, ia merasa sedikit lebih nyaman saat genggaman tangan Davin mengerat. Jingga lantas mendongak, menatap suaminya yang sedang asyik mengobrol dengan seorang pria paruh baya.Jingga mengagumi bagaimana cara Davin bicara yang penuh karisma. Sesekali pria itu tertawa, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian memberikan argumen dengan bahasa tubuh yang berwibawa.Ternyata seperti ini saat Davin berhadapan dengan orang-orang dari kalangan para pengusaha, pikir Jingga.Sambil mengobrol, Davin sama sekali tidak melepaskan tangan Jingga dari genggamannya.“Aku tahu kamu mengagumiku,” bisik Davin di dekat telinga Jingga, sesaat setelah pria paruh baya itu pergi dari hadapan mereka. Keduanya masih berdiri sambil memandang ke arah MC y
Jingga keluar dari toilet. Pada saat yang sama, ia berpapasan dengan Chelsea, yang juga baru keluar dari salah satu bilik toilet tersebut.Jingga sama sekali tidak memiliki ide untuk memulai pembicaraan, jadi ia hanya diam seraya mencuci tangannya di wastafel. Chelsea juga melakukan hal yang sama di sampingnya.Selesai mencuci tangan, Jingga menganggukkan sedikit kepalanya kepada Chelsea sebagai isyarat ia akan pergi lebih dulu. Chelsea hanya tersenyum dan mengangguk.Kini Jingga berjalan di selasar, tapi langkahnya seketika terhenti saat Chelsea menyusul dan berbicara kepadanya.“Bisa kita bicara sebentar, Jingga?”Jingga memutar tubuh, berhadapan dengan wanita bergaun merah itu. “Kamu ingin berbicara denganku?”“Iya.” Chelsea melihat ke sekeliling. “Tapi di sini terlalu bising. Gimana kalau kita menjauh sebentar dari keramaian?”Sejujurnya Jingga merasa tidak nyaman jika harus berbicara hanya berdua dengan Chelsea. Namun, ia juga penasaran tentang apa yang akan Chelsea bicarakan den
Jingga terdiam saat tatapan tajam Nita tertuju padanya. Emran hanya duduk diam di salah satu kursi tunggu di depan ruangan UGD.“Padahal kami sudah berbaik hati mengizinkanmu menginjakkan kaki di acara kami, tapi kamu….” Napas Nita memburu emosi. “Kamu malah mengacaukannya dan membuat anak saya celaka!” desis Nita dengan tajam.Jingga mengepalkan tangannya. Ia sendirian di sini, di antara orang tua dan kedua teman Chelsea. Tak ada yang bisa ia andalkan selain keberanian dirinya sendiri. Davin masih belum keluar dari ruang UGD. Mungkin saat ini, pria itu sedang menunggu Chelsea dengan khawatir.“Saya nggak mendorong Chelsea,” ucap Jingga membela diri, dengan bibir sedikit gemetar. Ia yang dikelilingi empat orang itu, merasa tidak nyaman. “Kami memang sedang mengobrol, lalu Chelsea jatuh, tapi saya nggak sempat menolong dia. Saya nggak mendorongnya.”“Kamu pikir, saya percaya dengan ucapanmu?” Nita menunjuk kedua teman Chelsea. “Mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri kalau kam
Jingga keluar dari kamar sambil menggendong Oliver. Keduanya telah siap untuk pergi ke daycare dan berangkat bekerja.Tepat setelah Jingga menutup pintu di belakangnya, Davin keluar dari kamar utama. Mereka bersitatap selama beberapa saat. Sebelum akhirnya Jingga membuang muka dan pergi lebih dulu ke meja makan.Ya, setelah kejadian Sabtu malam itu, Jingga tidak menempati kamar utama. Ia bersama Oliver menginap di kamar yang dulu mereka tempati. Suasana hati Jingga sedang buruk dan ia enggan berkomunikasi dengan Davin. Dan selama dua malam terakhir, Jingga tidak bisa tidur. Kejadian itu benar-benar mengusik pikirannya.Davin mendekati Jingga dan menatap matanya yang terlihat seperti kurang tidur. “Selamat pagi,” sapanya, kaku. “Tidurmu nyenyak tanpaku?”“Tentu saja,” jawab Jingga singkat. Ia sama sekali tidak menatap Davin. Ia mendudukkan Oliver di baby chair lalu mengambil sarapan untuk putranya itu.Davin mengembuskan napas panjang. Ditariknya salah satu kursi di dekat Jingga dan me
Mobil Davin berhenti di depan sebuah rumah megah bergaya rumah khas Eropa. Ia turun dan disambut seorang pelayan berseragam. Kemudian pelayan rumah tangga itu membawa Davin masuk. Semua penghuni rumah ini sudah tahu siapa Davin dan apa hubungannya dengan sang majikan.Davin menunggu di ruang tamu beberapa saat selagi sang pelayan mengonfirmasi kehadirannya pada tuan rumah.“Pak Davin, mari ikut saya,” ucap wanita itu dan membawa Davin menuju sebuah ruangan keluarga.Davin mengedarkan pandangan ke sekeliling dan ia melihat Chelsea sedang tidur setengah duduk di sofabed. Wanita itu seketika tersenyum cerah saat melihat kehadiran Davin.“Dave?” Chelsea segera menutup buku saat Davin menghampirinya. “Kok tumben pagi-pagi ke sini? Ada apa? Oh, maaf aku nggak bisa menemuimu di ruang tamu.”“Aku mengerti.” Davin mengangguk samar. Ia duduk di single sofa dan menatap pergelangan tangan kiri dan kaki kiri Chelsea yang sama-sama dibebat, akibat insiden yang terjadi malam itu. “Bagaimana tangan d
Pukul 15.55 Davin tiba di Madhava Studio. Ia mengamati pintu lobi dari balik kemudi mobilnya yang tetap menyala. Masih sepi. Tandanya karyawan belum pulang.Davin lantas mengirim pesan pada Jingga, memberitahu wanita itu bahwa ia sudah menunggu di tempat biasa.Pesannya ceklis satu. Davin mengembuskan napas berat karena sejak pagi nomor telepon Jingga tidak aktif.Tak lama kemudian, satu persatu karyawan keluar dari lobi. Mata Davin meneliti setiap orang yang keluar, tapi ia tidak menemukan Jingga. Davin menunggu dengan sabar sampai pukul 16.10, akan tetapi sosok Jingga tak kunjung terlihat.Pada saat yang sama, ponsel Davin berbunyi. Itu telepon dari orang suruhannya.“Ada apa?” tanya Davin seraya menempelkan ponsel di telinga, matanya tetap awas ke arah lobi.“Pak Davin, saya ingin memberitahu Anda kalau Bu Jingga sudah pulang dari studio. Sekarang saya sedang mengikuti istri Anda.”“Apa?” Seketika, Davin menegakkan punggung. “Kapan dia keluar? Lalu di mana dia sekarang?” tanyanya d
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah