Mobil Davin berhenti di depan sebuah rumah megah bergaya rumah khas Eropa. Ia turun dan disambut seorang pelayan berseragam. Kemudian pelayan rumah tangga itu membawa Davin masuk. Semua penghuni rumah ini sudah tahu siapa Davin dan apa hubungannya dengan sang majikan.Davin menunggu di ruang tamu beberapa saat selagi sang pelayan mengonfirmasi kehadirannya pada tuan rumah.“Pak Davin, mari ikut saya,” ucap wanita itu dan membawa Davin menuju sebuah ruangan keluarga.Davin mengedarkan pandangan ke sekeliling dan ia melihat Chelsea sedang tidur setengah duduk di sofabed. Wanita itu seketika tersenyum cerah saat melihat kehadiran Davin.“Dave?” Chelsea segera menutup buku saat Davin menghampirinya. “Kok tumben pagi-pagi ke sini? Ada apa? Oh, maaf aku nggak bisa menemuimu di ruang tamu.”“Aku mengerti.” Davin mengangguk samar. Ia duduk di single sofa dan menatap pergelangan tangan kiri dan kaki kiri Chelsea yang sama-sama dibebat, akibat insiden yang terjadi malam itu. “Bagaimana tangan d
Pukul 15.55 Davin tiba di Madhava Studio. Ia mengamati pintu lobi dari balik kemudi mobilnya yang tetap menyala. Masih sepi. Tandanya karyawan belum pulang.Davin lantas mengirim pesan pada Jingga, memberitahu wanita itu bahwa ia sudah menunggu di tempat biasa.Pesannya ceklis satu. Davin mengembuskan napas berat karena sejak pagi nomor telepon Jingga tidak aktif.Tak lama kemudian, satu persatu karyawan keluar dari lobi. Mata Davin meneliti setiap orang yang keluar, tapi ia tidak menemukan Jingga. Davin menunggu dengan sabar sampai pukul 16.10, akan tetapi sosok Jingga tak kunjung terlihat.Pada saat yang sama, ponsel Davin berbunyi. Itu telepon dari orang suruhannya.“Ada apa?” tanya Davin seraya menempelkan ponsel di telinga, matanya tetap awas ke arah lobi.“Pak Davin, saya ingin memberitahu Anda kalau Bu Jingga sudah pulang dari studio. Sekarang saya sedang mengikuti istri Anda.”“Apa?” Seketika, Davin menegakkan punggung. “Kapan dia keluar? Lalu di mana dia sekarang?” tanyanya d
‘Bahkan malam itu, kamu langsung menuduhku tanpa meminta penjelasan dari aku lebih dulu, Dave. Aku kira... kamu sudah benar-benar menganggapku istrimu, tapi ternyata aku salah.’Kata-kata Jingga sore tadi membuat Davin merasa tertampar. Sungguh, Davin merasa menyesal karena ia tidak berada di pihak Jingga setelah insiden itu terjadi.Karena saking panik dan khawatir dengan kondisi Chelsea, Davin sampai mengabaikan Jingga di luar ruangan UGD. Padahal yang paling tertekan saat itu di antara mereka semua adalah Jingga. Davin meninggalkannya sendirian.Bodoh!Davin mengumpat dalam hati seraya mencengkeram gelas dalam genggamannya. Ia baru menyadari hal itu sekarang dan Davin menyesalinya.Lantas, ditaruhnya gelas yang sudah kosong itu di atas meja dengan gerakan kasar. Ia bergegas masuk ke kamar utama, menghampiri Jingga yang sedang terlelap di atas kasur. Davin duduk di tepian ranjang. Ia mengambil kain kompresan dari dahi Jingga dan menyentuh pipi serta lehernya. Ia menghela napas lega
“Jadi di matamu, semua yang aku lakukan padamu akhir-akhir ini nggak ada artinya sama sekali?” Suara Davin terdengar serak, tatapan pria itu seketika berubah penuh kekecewaan. “Kamu sama sekali nggak merasakan ketulusanku sedikit pun, Jingga?”Jingga mengepalkan tangan. Ia segera membalikan badan untuk menghindari tatapan Davin, lalu berpura-pura sibuk mengambil sling bag dan mengaduk-aduk isinya, seolah ia sedang mencari sesuatu.“Sama seperti aku yang nggak memahamimu, kamu juga sama sekali nggak memahamiku,” ujar Jingga dengan bibir bergetar. Lalu, ia berbalik kembali dan menatap Davin. “Dan untuk pembangunan studio itu… kumohon batalkan saja. Aku nggak membutuhkannya. Lebih baik gunakan saja uangnya untuk hal lain yang lebih penting. Aku… dengan uang yang aku hasilkan sendiri dari pekerjaanku, sudah cukup untuk menghidupiku dan Oliver. Mulai sekarang berhentilah mempedulikan kami.”Tangan Davin terkepal hingga kepalannya bergetar. Kata-kata Jingga berhasil melukai harga dirinya. R
Dengan gugup, Jingga menatap ibunya yang tengah duduk di hadapannya. Perasaan Jingga campur aduk. Ia merasa rindu tapi takut untuk berhadapan dengannya. Di satu sisi Jingga senang bisa bertemu lagi dengan ibunya setelah tujuh tahun, tapi di sisi lain ia merasa kecewa dan sedih atas apa yang telah dilakukan wanita itu terhadapnya.Saat ini, setelah pertemuan tak sengaja di depan minimarket beberapa menit yang lalu, Jingga dan Melati duduk berhadapan di sebuah café, yang terletak di samping minimarket tersebut. Dua gelas minuman menemani mereka di atas meja.“Bagaimana kabarmu?” tanya Melati setelah cukup lama mereka terdiam. Matanya mengamati Jingga.“Aku… baik-baik saja.” Jingga mengusapkan telapak tangannya yang berkeringat dingin pada roknya. “Mama juga apa kabar?”Melati menghela napas panjang. “Nggak ada orang yang baik-baik saja di dunia ini. Kebahagiaan sepertinya malas bertemu dengan kita.”Kening Jingga berkerut bingung. Kata-kata Melati terdengar ambigu. Mungkinkah selama ini
“You stupid bastard!” Danish mengumpat dengan gemas.Setelah mendengar cerita dari Davin—yang duduk termangu seperti beruang bodoh di hadapannya, Danish merasa gemas dan di matanya Davin seperti kerupuk yang dicelupkan ke dalam air.“Dave, sejak kapan lo jadi bego?” tanya Danish, yang tak mendapat respons apapun dari Davin.Di dekat pintu keluar ruangan CEO itu, diam-diam Vincent menyetujui makian Danish. Bosnya itu memang cerdas dalam urusan akademik dan bisnis, tapi soal wanita dan cinta dia kalah dari anak SMA yang sedang jadi budak cinta.“Jadi gini….” Danish menumpukan kedua siku di lutut, mencondongkan badan ke depan seraya menatap Davin serius. “Sekarang, lo posisikan diri lo jadi Jingga. Kira-kira lo bakal marah nggak kalau Jingga langsung percaya pada video rekaman itu tanpa meminta dulu penjelasan dari lo?”Davin terdiam. Ia membuang muka ke arah dinding kaca. Menghela napas berat. Lalu memejamkan mata saat bayangan ekspresi Jingga yang terlihat panik dan takut malam itu ter
Jingga terhenyak saat Davin tiba-tiba memeluknya. Di saat sedang runtuh seperti saat ini, pelukan Davin mampu memberikan sedikit rasa aman bagi Jingga yang merasa dunianya sedang tidak baik-baik saja.“Bisakah kita berbaikan? Aku nggak suka bertengkar denganmu, Jingga.”Jingga terdiam. Entah mengapa hari ini ia tidak bisa mempercayai ucapan siapapun, termasuk ucapan Davin. Ia juga tidak mempercayai perasaannya sendiri. Kata-kata ibunya beberapa saat yang lalu, mampu menyapu habis sisa-sisa kepercayaan diri Jingga yang memang sudah berantakan sedari awal.“Aku ingin sendiri dulu,” ucap Jingga seraya menarik diri dari pelukan Davin.Pria itu tertegun. Ia segera menggenggam pergelangan tangan Jingga yang akan meninggalkannya. Mata Davin mencari-cari mata Jingga yang masih enggan membalas tatapannya itu.“Baik, aku akan memberimu waktu untuk sendiri.” Davin merapikan rambut Jingga yang tampak sedikit berantakan. “Kalau kamu sudah merasa sedikit lebih baik, temui aku. Aku ingin berbicara d
Davin melangkah lebar-lebar memasuki ruangan kerjanya. Pengacaranya sudah menunggu dan pria itu seketika berdiri sambil menjabat tangan Davin.“Pak Maruli, apa kabar? Saya harap Pak Maruli sudah menemukan jalan keluar untuk masalah ini.” Davin duduk berhadapan dengan pria paruh baya itu.“Kabar saya baik.” Maruli kembali duduk, lalu menghela napas pelan. “Pak Davin, saya memahami betul situasinya, tapi kita harus realistis. Bukti yang kita miliki masih belum kuat untuk meyakinkan pada polisi bahwa istri Anda tidak bersalah. Selain itu, bukti-bukti yang mereka miliki sangat kuat.”Tangan Davin mengepal. “Istri saya tidak melakukan itu,” tegasnya, meski pada awalnya ia sempat mempercayai bukti yang ada. “Saya tidak bisa membiarkan istri saya dihukum atas sesuatu yang tidak dia lakukan.”“Saya tahu, dan saya juga percaya pada kebenaran. Tapi di pengadilan kebenaran bukanlah segalanya, kita perlu bukti yang kuat untuk mengubah pandangan polisi dan jaksa.”Rahang Davin mengetat seraya memb
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah