Davin melangkah lebar-lebar memasuki ruangan kerjanya. Pengacaranya sudah menunggu dan pria itu seketika berdiri sambil menjabat tangan Davin.“Pak Maruli, apa kabar? Saya harap Pak Maruli sudah menemukan jalan keluar untuk masalah ini.” Davin duduk berhadapan dengan pria paruh baya itu.“Kabar saya baik.” Maruli kembali duduk, lalu menghela napas pelan. “Pak Davin, saya memahami betul situasinya, tapi kita harus realistis. Bukti yang kita miliki masih belum kuat untuk meyakinkan pada polisi bahwa istri Anda tidak bersalah. Selain itu, bukti-bukti yang mereka miliki sangat kuat.”Tangan Davin mengepal. “Istri saya tidak melakukan itu,” tegasnya, meski pada awalnya ia sempat mempercayai bukti yang ada. “Saya tidak bisa membiarkan istri saya dihukum atas sesuatu yang tidak dia lakukan.”“Saya tahu, dan saya juga percaya pada kebenaran. Tapi di pengadilan kebenaran bukanlah segalanya, kita perlu bukti yang kuat untuk mengubah pandangan polisi dan jaksa.”Rahang Davin mengetat seraya memb
Johny mengamati pintu lobi Madhava Studio, lalu melirik arloji. Sudah hampir pukul lima sore, tapi ia belum melihat istri majikannya keluar dari sana. Pandangannya beralih ke arah SUV hitam di parkiran. Dodi masih di sana, itu artinya sang nyonya memang belum pulang.Penasaran, Johny lantas keluar dari mobil sedannya. Penampilannya casual, tak terlihat seperti seorang bodyguard yang selalu menguntit Jingga. Orang-orang akan mengira bahwa ia salah satu karyawan Madhava Studio.Tak ada siapapun di lobi saat ia masuk ke sana. Sang satpam di pos terlihat penasaran dan menghampiri Johny.“Mau ketemu siapa, Mas?”“Oh, saya sedang menunggu seseorang. Dia masih belum pulang.” Johny beralasan saat menjawab pertanyaan satpam bertubuh kurus itu.“Siapa memangnya? Barangkali bisa saya bantu.”“Bu Jingga.”“Oh, Mbak Jingga! Iya sih, Mas, dari tadi saya belum lihat Mbak Jingga keluar. Tapi di sana sudah ada sopirnya yang nunggu." Satpam itu menunjuk ke arah parkiran. "Mas ini siapanya Mbak Jingga k
“Aku mencintaimu, Jingga. Tolong… jangan meninggalkanku.”Jingga terpaku.Pengakuan Davin yang terdengar tulus dan serius itu membuat air matanya menetes.Tidak sedetikpun Davin mengalihkan pandangannya ke arah lain, selain pada Jingga yang terlihat menyedihkan di hadapannya. Seolah-olah menoleh sedikit saja, Davin takut Jingga akan meninggalkannya.Kondisi Jingga yang kacau membuat hati Davin terasa sakit.“Kamu mengatakannya karena terpaksa supaya aku mau turun. Apa aku benar?” Bibir Jingga bergetar dan matanya memerah.Davin menggeleng. “Aku benar-benar mencintaimu,” ucap Davin sekali lagi dengan tatapan lembut. “Jika semua orang di dunia ini meninggalkanmu, setidaknya kamu masih memiliki aku dan Oliver yang akan tetap berada di sampingmu.”Tangisan Jingga pecah, rasanya sulit sekali untuk percaya bahwa ada pria yang mencintainya. Itu sangat mustahil. Dirinya sama sekali tidak layak untuk dicintai.Jingga menggeleng, tersenyum kecut. “Tapi malam itu kamu meninggalkan aku," lirihnya
Davin menunggu dengan tegang. Jika biasanya ia pandai menyembunyikan emosi dengan ekspresi datar, kali ini ia gagal melakukannya.Setelah mendengar saran dari dokter bahwa Jingga harus dirujuk ke poli jiwa, Davin merasa terpukul. Meski begitu, pagi tadi Davin langsung membawa Jingga bertemu dengan psikiater.“Selamat sore, Pak Davin. Saya Richard, maaf sudah membuat Anda menunggu.”Ucapan seorang dokter kejiwaan yang baru saja duduk di hadapannya, berhasil mengeluarkan Davin dari lamunan. Davin menatap pria berkacamata yang baru saja duduk di hadapannya itu.“Selamat sore, Dokter Richard.” Davin menegakkan punggung. “Bagaimana kondisi istri saya? Apa dia baik-baik saja?” tanyanya tak sabaran.Richard tersenyum hangat. “Saya sudah meninjau kasus Bu Jingga dan ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan.” Ia membuka catatan medis dalam genggamannya. Lalu menatap Davin dengan serius. “Jadi, begini Pak Davin. Dari apa yang saya lihat dari sesi konsultasi dengan Bu Jingga hari ini, dia mend
Davin mengabaikan pandangan orang-orang yang ia lewati, yang menatapnya dengan tatapan penuh rasa penasaran dan mata berseri-seri. Mungkin karena seikat bunga tulip dalam genggamannya, membuat mereka penasaran siapa wanita yang akan jadi pemilik bunga tersebut.Davin masuk ke sebuah ruangan khusus. Berbeda dengan ruang perawatan biasa, atmosfer di ruangan ini terasa lebih ceria dan hangat dengan cat dinding yang berwarna campuran antara ungu pastel dan biru pastel.“Permisi, maaf, saya mau bertemu Jingga,” ucap Davin pada perawat yang berjaga.Wanita berambut hitam legam itu menatap Davin dengan ramah. “Baik, Pak. Mohon Bapak menunggu sebentar, ya.”“Baik.”Davin menghampiri ruang tunggu dan duduk di sofa yang melingkar, lalu menaruh bunga tulip warna putih itu di atas meja. Jantungnya berdegup kencang.Kalau ia tidak salah ingat, jantungnya berpacu sekencang ini hanya saat ia berhadapan dengan Jingga. Ia sudah pernah jatuh cinta pada wanita lain sebelumnya, tapi debarannya tak sampai
Nancy mengeluarkan ponsel dari dalam tas dengan tangan yang terbebas, ia mengotak-atik benda tipis itu sejenak, lalu menyerahkannya pada Davin yang tampak penasaran.“Tonton ini,” ucap Nancy, “malam itu aku lagi mau bikin video buat konten, tapi nggak sengaja lihat Jingga sama Chelsea lagi ngobrol. Karena tertarik sama apa yang mereka bahas, makanya aku merekam mereka secara diam-diam.”Davin mendengarkan ucapan Nancy sejenak, sebelum kemudian ia mengarahkan pandangannya pada sebuah rekaman video di ponsel Nancy.Punggung Davin seketika menegang kala melihat bahwa itu adalah rekaman percakapan Jingga dan Chelsea di tangga malam itu, video ini diambil dari arah samping dengan resolusi tinggi.“Aku nggak melihat bagian ini di video yang mereka jadikan bukti,” gumam Davin pada diri sendiri, rekaman video yang dimiliki teman Chelsea hanya dimulai dari beberapa detik sebelum Chelsea terjatuh, itupun dari arah bawah.Davin memutar video tersebut dengan jantung berdebar-debar, dan membesarka
“Bu Jingga, ada titipan dari Pak Davin untukmu.”Ucapan perawat yang terdengar ramah itu membuat Jingga keluar dari lamunannya. Jingga mengalihkan pandangan dari pohon di luar jendela, ke arah Kiki yang sedang tersenyum lembut seraya memeluk seikat bunga tulip.“Dia menitipkan apa?” tanya Jingga, tak ingin berspekulasi bahwa bunga dipelukan Kiki-lah titipan itu.“Ini.” Kiki tersenyum dan menyerahkan bunga itu kepada Jingga. “Beliau memberikan ini untuk Bu Jingga. Bunganya cantik sekali!”Jingga tertegun memandangi bunga itu. Perlahan tangannya terulur untuk menerimanya. Hari ini ia belum siap menemui Davin, jadi ia menolak pertemuan tadi.Perasaan Jingga campur aduk, tapi ia tak tahu pasti apa yang benar-benar ia rasakan sekarang.Ia menatap Kiki dan bertanya dengan ragu, “Apa dia... baik-baik saja?”“Kalau dilihat dari fisiknya Pak Davin sepertinya baik-baik saja, tapi saya melihat dari sorot matanya dia seperti merindukan Bu Jingga,” ucap Kiki tanpa ragu, membuat Jingga kembali tert
Davin berdiri di bagian luar pintu masuk ruangan pertemuan, memperhatikan Jingga dan Oliver di dalam sana melalui kaca kecil di pintu. Hari ini Davin menyuruh Arum agar membawa Oliver bertemu ibunya lagi, setelah kemarin datang bersama Amarylis.Davin menghela napas panjang. Jingga bagai bulan purnama yang menggantung di langit, Davin bisa melihat keindahannya dari kejauhan tapi ia tidak mampu menggapainya. Hari ini pun Jingga masih menolak bertemu dengannya.Tangan Davin mengepal. Persetan dengan penolakan Jingga! Davin sudah tak bisa lagi menahan rindunya. Dadanya nyaris meledak.Tanpa berpikir dua kali, Davin menjulurkan tangan untuk membuka pintu. Namun, tangan Vincent tiba-tiba mencegahnya.“Apa-apaan ini?” desis Davin seraya menatap asistennya itu dengan tajam.Vincent tersenyum simpul. “Pak Davin, tolong jangan lupa ucapan dokter. Anda tidak boleh memaksakan kehendak Anda sendiri. Selama Bu Jingga dirawat, sebisa mungkin Anda harus menuruti kemauan istri Anda. Itu akan membuat B