Davin menunggu dengan tegang. Jika biasanya ia pandai menyembunyikan emosi dengan ekspresi datar, kali ini ia gagal melakukannya.Setelah mendengar saran dari dokter bahwa Jingga harus dirujuk ke poli jiwa, Davin merasa terpukul. Meski begitu, pagi tadi Davin langsung membawa Jingga bertemu dengan psikiater.“Selamat sore, Pak Davin. Saya Richard, maaf sudah membuat Anda menunggu.”Ucapan seorang dokter kejiwaan yang baru saja duduk di hadapannya, berhasil mengeluarkan Davin dari lamunan. Davin menatap pria berkacamata yang baru saja duduk di hadapannya itu.“Selamat sore, Dokter Richard.” Davin menegakkan punggung. “Bagaimana kondisi istri saya? Apa dia baik-baik saja?” tanyanya tak sabaran.Richard tersenyum hangat. “Saya sudah meninjau kasus Bu Jingga dan ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan.” Ia membuka catatan medis dalam genggamannya. Lalu menatap Davin dengan serius. “Jadi, begini Pak Davin. Dari apa yang saya lihat dari sesi konsultasi dengan Bu Jingga hari ini, dia mend
Davin mengabaikan pandangan orang-orang yang ia lewati, yang menatapnya dengan tatapan penuh rasa penasaran dan mata berseri-seri. Mungkin karena seikat bunga tulip dalam genggamannya, membuat mereka penasaran siapa wanita yang akan jadi pemilik bunga tersebut.Davin masuk ke sebuah ruangan khusus. Berbeda dengan ruang perawatan biasa, atmosfer di ruangan ini terasa lebih ceria dan hangat dengan cat dinding yang berwarna campuran antara ungu pastel dan biru pastel.“Permisi, maaf, saya mau bertemu Jingga,” ucap Davin pada perawat yang berjaga.Wanita berambut hitam legam itu menatap Davin dengan ramah. “Baik, Pak. Mohon Bapak menunggu sebentar, ya.”“Baik.”Davin menghampiri ruang tunggu dan duduk di sofa yang melingkar, lalu menaruh bunga tulip warna putih itu di atas meja. Jantungnya berdegup kencang.Kalau ia tidak salah ingat, jantungnya berpacu sekencang ini hanya saat ia berhadapan dengan Jingga. Ia sudah pernah jatuh cinta pada wanita lain sebelumnya, tapi debarannya tak sampai
Nancy mengeluarkan ponsel dari dalam tas dengan tangan yang terbebas, ia mengotak-atik benda tipis itu sejenak, lalu menyerahkannya pada Davin yang tampak penasaran.“Tonton ini,” ucap Nancy, “malam itu aku lagi mau bikin video buat konten, tapi nggak sengaja lihat Jingga sama Chelsea lagi ngobrol. Karena tertarik sama apa yang mereka bahas, makanya aku merekam mereka secara diam-diam.”Davin mendengarkan ucapan Nancy sejenak, sebelum kemudian ia mengarahkan pandangannya pada sebuah rekaman video di ponsel Nancy.Punggung Davin seketika menegang kala melihat bahwa itu adalah rekaman percakapan Jingga dan Chelsea di tangga malam itu, video ini diambil dari arah samping dengan resolusi tinggi.“Aku nggak melihat bagian ini di video yang mereka jadikan bukti,” gumam Davin pada diri sendiri, rekaman video yang dimiliki teman Chelsea hanya dimulai dari beberapa detik sebelum Chelsea terjatuh, itupun dari arah bawah.Davin memutar video tersebut dengan jantung berdebar-debar, dan membesarka
“Bu Jingga, ada titipan dari Pak Davin untukmu.”Ucapan perawat yang terdengar ramah itu membuat Jingga keluar dari lamunannya. Jingga mengalihkan pandangan dari pohon di luar jendela, ke arah Kiki yang sedang tersenyum lembut seraya memeluk seikat bunga tulip.“Dia menitipkan apa?” tanya Jingga, tak ingin berspekulasi bahwa bunga dipelukan Kiki-lah titipan itu.“Ini.” Kiki tersenyum dan menyerahkan bunga itu kepada Jingga. “Beliau memberikan ini untuk Bu Jingga. Bunganya cantik sekali!”Jingga tertegun memandangi bunga itu. Perlahan tangannya terulur untuk menerimanya. Hari ini ia belum siap menemui Davin, jadi ia menolak pertemuan tadi.Perasaan Jingga campur aduk, tapi ia tak tahu pasti apa yang benar-benar ia rasakan sekarang.Ia menatap Kiki dan bertanya dengan ragu, “Apa dia... baik-baik saja?”“Kalau dilihat dari fisiknya Pak Davin sepertinya baik-baik saja, tapi saya melihat dari sorot matanya dia seperti merindukan Bu Jingga,” ucap Kiki tanpa ragu, membuat Jingga kembali tert
Davin berdiri di bagian luar pintu masuk ruangan pertemuan, memperhatikan Jingga dan Oliver di dalam sana melalui kaca kecil di pintu. Hari ini Davin menyuruh Arum agar membawa Oliver bertemu ibunya lagi, setelah kemarin datang bersama Amarylis.Davin menghela napas panjang. Jingga bagai bulan purnama yang menggantung di langit, Davin bisa melihat keindahannya dari kejauhan tapi ia tidak mampu menggapainya. Hari ini pun Jingga masih menolak bertemu dengannya.Tangan Davin mengepal. Persetan dengan penolakan Jingga! Davin sudah tak bisa lagi menahan rindunya. Dadanya nyaris meledak.Tanpa berpikir dua kali, Davin menjulurkan tangan untuk membuka pintu. Namun, tangan Vincent tiba-tiba mencegahnya.“Apa-apaan ini?” desis Davin seraya menatap asistennya itu dengan tajam.Vincent tersenyum simpul. “Pak Davin, tolong jangan lupa ucapan dokter. Anda tidak boleh memaksakan kehendak Anda sendiri. Selama Bu Jingga dirawat, sebisa mungkin Anda harus menuruti kemauan istri Anda. Itu akan membuat B
Chelsea mengepalkan tangan. Napasnya memburu penuh emosi. Matanya menatap marah pada layar ponsel yang terus menampilkan notifikasi yang tiada henti. Setiap notifikasi itu berisi hujatan netizen untuknya di salah satu aplikasi media sosial.“Chelsea, kamu adalah contoh nyata dari kebusukan manusia!”“Nggak ada tempat bagi pembohong seperti kamu di dunia ini!”“Ayo guys, kita boikot produk-produk perusahaan keluarganya Chelsea! Kita jangan mau mendukung manusia yang punya moral rendahan seperti dia!”“Aku benar-benar muak sama orang satu ini haha.”“Cantik sih, tapi kalo nggak punya moral mah buat apa?”Itu hanya segelintir hujatan yang terbaca oleh Chelsea. Merasa emosinya semakin tak terbendung, Chelsea lantas mengambil vas bunga dari atas buffet. Dan seketika itu juga, sambil berteriak frustrasi ia merusak ponselnya menggunakan vas bunga tersebut. Hingga mati dan layarnya hancur.“Kurang ajar! Sialan kalian semua!” teriaknya frustrasi sambil melemparkan vas bunga ke lantai, membuat
Akhirnya, setelah empat belas hari lamanya Jingga dirawat, hari ini ia diperbolehkan pulang ke rumah.Kondisi Jingga berangsur membaik dari hari ke hari. Perasaannya jauh lebih baik daripada yang ia rasakan sebelum ia masuk ke rumah sakit.Jingga merasa hatinya lebih ringan, ia seperti masuk ke dalam dunia baru yang tidak pernah ia jejaki sebelumnya.Ia juga merasa bahagia oleh hal-hal kecil yang dulu tak pernah terpikir olehnya bisa membuatnya bahagia.Seperti saat ia bernapas misalnya, Jingga merasa bahagia dan bersyukur karena ia tak perlu membayar oksigen untuk bisa bernapas.Atau saat ia menatap birunya langit siang ini, saat merasakan hangatnya sinar matahari menerpa kulit. Hal-hal kecil seperti itu mampu membuat hatinya bahagia.Jingga ingat perkataan Dokter Richard beberapa hari lalu. Kurang lebih dokter itu berbicara seperti ini, “Saya pernah mengalami masa-masa sulit seperti yang Anda rasakan. Saya bukan orang religius, tapi saat saya sedang terpuruk, saya selalu meyakinkan
Pagi hari Davin selalu terasa suram selama beberapa hari yang lalu. Terbangun tanpa Jingga, membuat ia kehilangan semangat dan menjalani aktifitas bak robot.Namun, pagi ini berbeda. Wajah Jingga—yang polos dan masih terlelap dengan napas teratur, adalah pemandangan pertama yang Davin lihat saat ia membuka mata.Davin tak bisa menahan bibirnya untuk tidak tersenyum. Jantungnya mendadak berdebar kencang. Ia tak pernah menyangka bahwa kehadiran Jingga di sisinya mampu memberikan efek luar biasa.Tangan Davin terulur melewati Oliver—yang berbaring miring menghadap Jingga. Dengan lembut ibu jari Davin menyentuh pipi Jingga yang terasa halus itu.Saat Davin memajukan wajahnya untuk menghadiahi ciuman di kening istrinya, tiba-tiba sepasang tangan mungil Oliver mendorong wajahnya jauh-jauh.Davin mengerjap. Ia menunduk dan mendapati Oliver tengah menatapnya dengan penuh protes.“Hey! Kapan kamu bangun?” bisik Davin sembari menarik mundur wajahnya.Oliver masih menatap Davin. Sebelum akhirnya