Jingga menelan pil bersamaan dengan air putih. Ia harus rutin mengonsumsi obat tersebut selama enam bulan atau sampai depresinya benar-benar sembuh.Setelah menaruh gelas kosong ke atas meja, pandangan Jingga lantas tertuju pada Davin yang sedang menelepon di balkon. Pria itu mondar-mandir. Sejak pagi Davin tampak sibuk menerima telepon dari sana-sini.Jingga menghela napas panjang. “Katanya dia lagi cuti, tapi kenyataannya dia sibuk sekali dan masih banyak kerjaan,” gumam Jingga pada diri sendiri.Kemudian Jingga mengambil Oliver yang lagi sibuk dengan mainannya. Ia membawanya ke kamar mandi dan memandikan anak itu. Tadi pagi, Davin sempat berkata kepada Jingga bahwa sore ini mereka akan pergi ke sebuah acara.Jingga tidak tahu pasti acara apa yang akan mereka hadiri itu. Namun, Davin telah meyakinkannya bahwa di sana Jingga akan aman dan tidak akan ada wartawan yang hadir.Sejujurnya, perasaan Jingga sudah merasa lebih baik menghadapi skandal itu. Apalagi setelah Jingga tahu bahwa k
“Selamat ulang tahun, Jingga. Pesta ini... adalah milikmu.”“A-apa?” Jingga menatap Davin dengan penuh kebingungan. “Apa yang... kamu katakan?”Davin tersenyum lembut, ia menggenggam kedua tangan Jingga dengan hangat. “Aku ingin membuat hari ulang tahunmu menjadi spesial, karena kamu layak mendapatkannya."“Ulang tahunku?” gumam Jingga, heran. Untuk meyakinkan diri, Jingga lantas melihat tanggal yang tertera di layar ponsel.Dan seketika itu juga, mata wanita bergaun biru langit itu mulai berkaca-kaca, terharu dengan kejutan yang diberikan Davin.Benar. Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Jingga hampir melupakannya dan ia tak pernah berharap hari ulang tahunnya dirayakan."Davin..." Jingga terisak pelan, tak mampu menahan rasa haru.Jika wanita lain akan merasa spesial di ulang tahunnya yang ke 17, maka bagi Jingga ulang tahun yang spesial adalah saat di usianya ke 27, hari ini. Sebab, ini adalah kali pertama ulang tahunnya dirayakan.“Hey, kenapa menangis?” Davin segera menarik Jing
"Jadi malam ini, di depan semua yang hadir di sini, aku ingin mengatakan bahwa... aku mencintaimu, Jingga. Aku benar-benar mencintaimu.”Jingga terpaku. Ia merasakan detak jantungnya berhenti sesaat. Dan napasnya baru kembali saat ia melihat Davin berjalan menghampirinya. Suara riuh di dalam ballroom seketika lenyap dari telinga Jingga. Orang-orang di sekitarnya perlahan memudar. Hingga ia merasakan hanya ada dirinya dan Davin di dalam ruangan luas itu.Debaran jantung Jingga semakin keras ketika Davin berhenti di hadapannya seraya tersenyum hangat.“Sekarang, apa kamu sudah percaya pada perasaanku, hem?” tanya Davin dengan lembut. “Satu hal yang harus kamu tahu, aku nggak pernah bermain-main dengan yang namanya ‘cinta’. Ketika aku mengatakan cinta, itu berarti aku benar-benar tulus dan serius.”Jingga menatap Davin dengan mata berkaca-kaca. Selama ini, ia selalu menolak percaya pada perhatian yang diberikan orang-orang. Itu karena ia takut mereka tidak benar-benar tulus dan punya mak
Mata Jingga berbinar-binar kala melihat isi kotak hadiah dari Davin, di hadapannya.Pria itu seakan tidak cukup memberinya kejutan dengan pesta yang megah, dia juga memberikan hadiah lain yang merupakan barang impian Jingga sejak masih remaja.“Dave...,” bisik Jingga seraya menatap Davin dengan mata berlinang. Entah mengapa, sekarang ia lebih mudah menunjukkan berbagai macam ekspresi di depan Davin. “Terima kasih. Aku sangat menyukai hadiah dari kamu. Aku benar-benar menyukainya.”“Aku tahu. Kamu pasti suka.” Davin terkekeh seraya mengeluarkan sepasang sepatu roda dari kotak tersebut. “Lebih baik kamu coba dulu. Kalau nggak sesuai, aku akan membeli ukuran yang lain.”“Jangan menghambur-hamburkan uang. Aku tahu ini pasti pas di kaki aku.”Davin berjongkok di depan Jingga, ia membantu memasang kaos kaki dan sepatu itu di kaki sang istri.“Coba berdiri.”“Hm.” dengan hati yang berbunga-bunga, Jingga perlahan berdiri sambil berpegangan pada tangan Davin, tapi ia belum mendapat keseimbanga
Davin memandangi Jingga dengan penuh cinta. Jingga membalas tatapan itu dengan senyuman lembut yang menghiasi wajahnya yang berpeluh. Keduanya saling merangkul dengan erat, sebagai bentuk kerinduan yang telah terpendam begitu lama.“Aku lupa apakah aku pernah mengatakan ini sebelumnya atau nggak,” bisik Davin tanpa menghentikan gerakan tubuhnya.“Mengatakan apa?”Davin mendekatkan bibirnya ke telinga Jingga dan kembali berbisik, “Kecantikanmu bertambah tiga kali lipat saat berada di bawahku. Seperti sekarang.”Jingga menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk tidak melampiaskan gelenyar asing melalui desah di mulutnya. Namun, ia gagal. Kata-kata penuh godaan dan pujian, serta kelembutan yang seketika berganti dengan pergerakan liar dari Davin, membuat Jingga tak lagi bisa menahan dirinya.Rasa malu dan canggung yang semula menyelimuti Jingga, kini hilang entah ke mana. Jingga merasa tidak ingin Davin berhenti. Ruangan kamar yang luas itu kini terasa sempit dan panas.“Aku sangat mer
Jingga sedang memeriksa kue di dalam oven saat Davin tiba-tiba memeluknya dari belakang. Kini, Jingga sudah tidak merasa terkejut lagi dengan pelukan spontan dari pria iti.“Apa yang sedang kamu buat?” tanya Davin seraya mengecup pelipis Jingga.“Cheese cake.” Jingga menoleh, tersenyum. Dan ia sempat menahan napas saat Davin mempertemukan bibir mereka sesaat. Mata Jingga mengerjap.Davin tersenyum lembut. “Bukan hanya makanan menu utama, tapi kue buatanmu juga sudah menjadi favoritku sejak lama.”Pengakuan Davin membuat pipi Jingga memanas. “Kamu selalu memujiku dan membuatku malu,” gerutunya dengan bibir sedikit merengut.Davin melepas pelukannya dan memutar tubuh Jingga saling berhadapan. “Dan tentu kamu tahu, aku bukan laki-laki yang pandai memuji seseorang. Jadi....” Ia mencubit hidung Jingga dengan gemas. “Bersyukurlah karena kamu wanita yang selalu ingin aku puji.”Jingga memutar matanya lalu terkekeh-kekeh. Ia sedikit mendorong dada Davin dan baru menyadari bahwa pria itu sudah
Davin mengabaikan panggilan dari Chelsea dan memilih fokus pada jalanan di hadapannya. Namun, beberapa detik kemudian ponselnya kembali berdering. Davin mengabaikannya lagi.Setelah tiga kali Chelsea menelepon tanpa henti, Davin akhirnya membuang napas kasar dan memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.“Halo,” sapa Davin dengan suara dingin.Kening Davin berkerut kala mendengar isak tangis di seberang sana.“Dave...,” lirih Chelsea, “ada yang ingin aku tanyakan ke kamu. Apa... kamu yakin nggak mau mencabut tuntutan kamu padaku?” Suara Chelsea terdengar lesu dan tangisannya memilukan.Davin mengusap wajah kasar menggunakan tangan yang lain, sebelum kembali memegangi kemudi. “Keputusanku sudah final. Usahamu meyakinkanku sia-sia, Chelsea.”“Tega kamu ya, Dave.” Isak tangis Chelsea sedikit mengencang. “Ternyata kebersamaan kita yang sudah terjalin bertahun-tahun nggak cukup membuatmu mentolerir kesalahanku. Aku tahu, aku salah, Dave. Tapi kumohon... maafkan aku. Masalah ini membuat
Davin berdiri, bersedekap dada. Sepasang matanya yang menjorok ke dalam itu memandangi sosok wanita yang sedang bermain roller sport. Dia sedikit lebih lincah daripada kemarin. Kadang-kadang wanita itu tertawa, kadang-kadang berpekik saat nyaris terjatuh. Meski baru beberapa hari berlatih, tapi kemampuannya meningkat dengan cepat.Kedua sudut bibir Davin terangkat menyaksikannya. Ia merasa senang karena Jingga yang dulu murung, kaku dan pendiam itu perlahan-lahan berubah menjadi lebih berani dan percaya diri.Namun, senyuman Davin perlahan sirna saat ia mengingat percakapan mereka di studio tiga hari yang lalu. Saat itu Jingga mengatakan tentang mimpi buruknya yang terus berulang dengan mimpi yang sama.“Jangan terlalu dipikirkan, Sayang. Itu cuma mimpi. Bisa saja mimpinya berulang-ulang karena kamu terus memikirkannya,” ucap Davin saat itu dengan berpura-pura tenang.Beruntung Jingga setuju dengan ucapannya. Sehingga wanita itu tidak membahas mimpinya lagi.Davin kemudian mendongak, m