Davin mengabaikan panggilan dari Chelsea dan memilih fokus pada jalanan di hadapannya. Namun, beberapa detik kemudian ponselnya kembali berdering. Davin mengabaikannya lagi.Setelah tiga kali Chelsea menelepon tanpa henti, Davin akhirnya membuang napas kasar dan memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.“Halo,” sapa Davin dengan suara dingin.Kening Davin berkerut kala mendengar isak tangis di seberang sana.“Dave...,” lirih Chelsea, “ada yang ingin aku tanyakan ke kamu. Apa... kamu yakin nggak mau mencabut tuntutan kamu padaku?” Suara Chelsea terdengar lesu dan tangisannya memilukan.Davin mengusap wajah kasar menggunakan tangan yang lain, sebelum kembali memegangi kemudi. “Keputusanku sudah final. Usahamu meyakinkanku sia-sia, Chelsea.”“Tega kamu ya, Dave.” Isak tangis Chelsea sedikit mengencang. “Ternyata kebersamaan kita yang sudah terjalin bertahun-tahun nggak cukup membuatmu mentolerir kesalahanku. Aku tahu, aku salah, Dave. Tapi kumohon... maafkan aku. Masalah ini membuat
Davin berdiri, bersedekap dada. Sepasang matanya yang menjorok ke dalam itu memandangi sosok wanita yang sedang bermain roller sport. Dia sedikit lebih lincah daripada kemarin. Kadang-kadang wanita itu tertawa, kadang-kadang berpekik saat nyaris terjatuh. Meski baru beberapa hari berlatih, tapi kemampuannya meningkat dengan cepat.Kedua sudut bibir Davin terangkat menyaksikannya. Ia merasa senang karena Jingga yang dulu murung, kaku dan pendiam itu perlahan-lahan berubah menjadi lebih berani dan percaya diri.Namun, senyuman Davin perlahan sirna saat ia mengingat percakapan mereka di studio tiga hari yang lalu. Saat itu Jingga mengatakan tentang mimpi buruknya yang terus berulang dengan mimpi yang sama.“Jangan terlalu dipikirkan, Sayang. Itu cuma mimpi. Bisa saja mimpinya berulang-ulang karena kamu terus memikirkannya,” ucap Davin saat itu dengan berpura-pura tenang.Beruntung Jingga setuju dengan ucapannya. Sehingga wanita itu tidak membahas mimpinya lagi.Davin kemudian mendongak, m
Hari persidangan Chelsea pun akhirnya tiba. Meski pada awalnya Davin tidak mengizinkan Jingga untuk hadir sebagai saksi, tapi pada akhirnya Jingga berhasil meyakinkan Davin bahwa dirinya sanggup duduk di depan hakim. Karena sebagai saksi korban, Jingga harus hadir untuk memberikan keterangannya.Jingga dan Davin duduk berdampingan. Bersamaan dengan Lucy dan Anthoni yang juga turut hadir dalam persidangan hari ini. Di deretan kursi yang lain, keluarga inti Chelsea juga tampak hadir. Nita berkali-kali kedapatan sedang menatap tajam ke arah Jingga. Namun, Jingga berusaha menghiraukannya meski hatinya terusik.Saat Chelsea dihadirkan ke dalam ruangan dan duduk di kursi terdakwa bersama pengacaranya, Chelsea sempat menatap pada Jingga dengan tatapan penuh amarah.Jingga menghela napas berat. Jika boleh jujur, ia pun marah pada Chelsea. Untuk itulah ia memberanikan diri datang meski tak pernah benar-benar siap.“Jangan hiraukan,” bisik Davin seraya menggenggam tangan Jingga dengan erat. “Ab
Otot-otot yang terpahat sempurna di punggung Davin, dan rambut bagian belakang kepalanya yang terpotong rapi, adalah pemandangan pertama yang Jingga lihat saat membuka mata. Pria itu tidur menelungkup dengan wajah menghadap ke arah berlawanan dengan Jingga.Jingga tersenyum kecil, pipinya merona ketika teringat apa yang telah mereka selesaikan tiga puluh menit yang lalu, di ranjang ini.Ia bangkit duduk. Matanya mengedar ke sekeliling kamar bergaya rustik dengan lantai terbuat dari kayu mengkilap, mencari-cari pakaiannya. Jingga menghela napas, ia lupa bahwa tadi Davin melepas pakaiannya di kamar mandi. Dan Jingga yakin, kain-kain itu masih berserakan di lantai sekarang.Karena malu jika harus berjalan tanpa busana ke kamar mandi, Jingga akhirnya menarik selimut putih yang menutupi mereka berdua. Lalu melilitkan selmut tebal itu ke tubuh polosnya, membiarkan Davin yang bertelanjang dada tanpa selimut.Jingga akan masuk ke kamar mandi, tapi pemandangan langit berwarna jingga di luar sa
Setelah menginap selama satu malam di vila pinggir pantai tersebut, mereka kembali bertolak ke rumah. Davin mengemudi sendiri. Sementara Vincent, Amarylis dan Arum sudah lebih dulu pulang tadi pagi.“Sayang,” panggil Davin seraya menggenggam tangan Jingga menggunakan tangan yang terbebas.Jingga mengalihkan tatapannya dari jalanan sepi yang mereka lewati, ke arah Davin dengan tatapan penuh tanya.“Ada yang ingin kamu bicarakan?”Davin mengangguk. Ia menelan saliva dengan berat. “Selama seminggu ke depan, jangan pergi sendirian, jangan menumpangi taksi atau bis, jangan dekat-dekat dengan benda tajam, dan segera beritahu aku kalau kamu merasakan tubuhmu sakit atau kurang nyaman.”Meski pandangan Davin lurus ke depan, tapi Jingga bisa melihat keseriusan yang tergambar di wajah Davin saat mengatakan kalimat barusan.Dengan kernyitan di dahi, Jingga bertanya, “Boleh aku tahu apa alasannya?”Davin diam sejenak, menghela napas berat, ia melirik Jingga sesaat dengan tatapan sendu. “Alasannya
Mendengar teriakan Davin, Jingga buru-buru menarik dirinya dan duduk di samping Vincent. Ia berusaha meredam debaran jantungnya yang berpacu cepat akibat panik karena ia nyaris jatuh ke kolam.“Maaf, Vincent. Aku benar-benar nggak sengaja,” ucap Jingga merasa bersalah. “Tapi terima kasih sudah menolongku.”Vincent bangkit duduk dan mengangguk. “Tidak apa-apa. Saya bersyukur Bu Jingga tidak kenapa-napa.” Lalu ia berdiri dan sedikit menundukkan kepalanya di depan Davin yang sudah mendekat. “Pak Davin, saya mohon Anda jangan salah paham. Saya hanya membantu Bu Jingga yang hampir jatuh dari sepeda.”“Iya, itu benar.” Jingga menatap wajah Davin yang mengeras dan dingin, dan menatap Vincent bergantian. “Aku lagi mencoba sepeda baru, aku pikir aku bisa mengayuhnya sendiri, tapi aku kehilangan keseimbangan dan—Ya Tuhan, tangan kamu berdarah, Vincent!”Mata Jingga terbelalak saat tanpa sengaja tatapannya tertuju pada tangan Vincent yang berdarah.“Tidak apa-apa. Ini hanya—““Tunggu sebentar,”
Vincent melirik Davin melalui kaca spion. Raut wajah bosnya itu terlihat suram. Suasana di dalam mobil terasa mencekam. Untuk bernapas saja, Vincent menghelanya sepelan mungkin. Seolah helaan napasnya takut terdengar Davin dan membuat amarah lelaki itu semakin menjadi-jadi.“Berhenti!” titah Davin tiba-tiba dengan suara dingin.Sontak, Vincent membanting stir ke kiri dan menginjak rem dalam-dalam, membuat tubuh Davin nyaris terhuyung ke kursi depan.“Damn! Kamu bisa menyetir atau tidak?! Kamu mau membuatku celaka?!" berang Davin dengan tatapannya yang jauh lebih tajam dari pedang.“Anda menyuruh saya untuk berhenti, Pak. Jadi saya langsung berhenti.”“Jadi kalau aku menyuruhmu berhenti di tengah jalan, kamu akan langsung berhenti tanpa mempertimbangkan keselematanku?!” berang Davin lagi dengan sinis.Sabar. Vincent mengelus dada. Ia pikir, mungkin masalah kemarin masih mengganggu pikiran Davin, sehingga bosnya itu berubah menjadi serigala mengamuk pagi ini.“Maaf, Pak. Saya salah,” uc
“Kenapa kamu terlihat kesal begitu? Apa jangan-jangan dari tadi kamu marah-marah?”Davin mengerjap. Ia seakan tak mempercayai penglihatannya sendiri saat istrinya itu berjalan ke arahnya.Jingga mengangkat bingkisan di tangannya sambil berkata, “Aku bawa makan siang buat kamu. Maaf tadi pagi nggak sempat bikin,” ucapnya, masih dengan senyumannya yang membuat Davin tak bisa berkutik. "Tapi sepertinya kamu sudah membeli makan siang ya.”“Makanan itu rasanya aneh," ujar Davin setelah ia mendapatkan kembali kesadarannya seraya melirik makanan di atas meja. Lalu menatap Jingga lagi. "Aku ingin memakan makanan yang kamu bawa,”Davin menelan saliva ketika Jingga tiba-tiba melingkarkan kedua tangan di pinggangnya. Punggung Davin seketika menegang.“Baiklah, kalau begitu ayo makan siang bersama.” Jingga berjinjit dan mendaratkan bibirnya di bibir Davin sesaat.Dunia di sekitar Davin yang semula gelap gulita, seketika terang benderang dan penuh warna. Davin mematung. Ia merasa wanita di hadapan