Setelah menginap selama satu malam di vila pinggir pantai tersebut, mereka kembali bertolak ke rumah. Davin mengemudi sendiri. Sementara Vincent, Amarylis dan Arum sudah lebih dulu pulang tadi pagi.“Sayang,” panggil Davin seraya menggenggam tangan Jingga menggunakan tangan yang terbebas.Jingga mengalihkan tatapannya dari jalanan sepi yang mereka lewati, ke arah Davin dengan tatapan penuh tanya.“Ada yang ingin kamu bicarakan?”Davin mengangguk. Ia menelan saliva dengan berat. “Selama seminggu ke depan, jangan pergi sendirian, jangan menumpangi taksi atau bis, jangan dekat-dekat dengan benda tajam, dan segera beritahu aku kalau kamu merasakan tubuhmu sakit atau kurang nyaman.”Meski pandangan Davin lurus ke depan, tapi Jingga bisa melihat keseriusan yang tergambar di wajah Davin saat mengatakan kalimat barusan.Dengan kernyitan di dahi, Jingga bertanya, “Boleh aku tahu apa alasannya?”Davin diam sejenak, menghela napas berat, ia melirik Jingga sesaat dengan tatapan sendu. “Alasannya
Mendengar teriakan Davin, Jingga buru-buru menarik dirinya dan duduk di samping Vincent. Ia berusaha meredam debaran jantungnya yang berpacu cepat akibat panik karena ia nyaris jatuh ke kolam.“Maaf, Vincent. Aku benar-benar nggak sengaja,” ucap Jingga merasa bersalah. “Tapi terima kasih sudah menolongku.”Vincent bangkit duduk dan mengangguk. “Tidak apa-apa. Saya bersyukur Bu Jingga tidak kenapa-napa.” Lalu ia berdiri dan sedikit menundukkan kepalanya di depan Davin yang sudah mendekat. “Pak Davin, saya mohon Anda jangan salah paham. Saya hanya membantu Bu Jingga yang hampir jatuh dari sepeda.”“Iya, itu benar.” Jingga menatap wajah Davin yang mengeras dan dingin, dan menatap Vincent bergantian. “Aku lagi mencoba sepeda baru, aku pikir aku bisa mengayuhnya sendiri, tapi aku kehilangan keseimbangan dan—Ya Tuhan, tangan kamu berdarah, Vincent!”Mata Jingga terbelalak saat tanpa sengaja tatapannya tertuju pada tangan Vincent yang berdarah.“Tidak apa-apa. Ini hanya—““Tunggu sebentar,”
Vincent melirik Davin melalui kaca spion. Raut wajah bosnya itu terlihat suram. Suasana di dalam mobil terasa mencekam. Untuk bernapas saja, Vincent menghelanya sepelan mungkin. Seolah helaan napasnya takut terdengar Davin dan membuat amarah lelaki itu semakin menjadi-jadi.“Berhenti!” titah Davin tiba-tiba dengan suara dingin.Sontak, Vincent membanting stir ke kiri dan menginjak rem dalam-dalam, membuat tubuh Davin nyaris terhuyung ke kursi depan.“Damn! Kamu bisa menyetir atau tidak?! Kamu mau membuatku celaka?!" berang Davin dengan tatapannya yang jauh lebih tajam dari pedang.“Anda menyuruh saya untuk berhenti, Pak. Jadi saya langsung berhenti.”“Jadi kalau aku menyuruhmu berhenti di tengah jalan, kamu akan langsung berhenti tanpa mempertimbangkan keselematanku?!” berang Davin lagi dengan sinis.Sabar. Vincent mengelus dada. Ia pikir, mungkin masalah kemarin masih mengganggu pikiran Davin, sehingga bosnya itu berubah menjadi serigala mengamuk pagi ini.“Maaf, Pak. Saya salah,” uc
“Kenapa kamu terlihat kesal begitu? Apa jangan-jangan dari tadi kamu marah-marah?”Davin mengerjap. Ia seakan tak mempercayai penglihatannya sendiri saat istrinya itu berjalan ke arahnya.Jingga mengangkat bingkisan di tangannya sambil berkata, “Aku bawa makan siang buat kamu. Maaf tadi pagi nggak sempat bikin,” ucapnya, masih dengan senyumannya yang membuat Davin tak bisa berkutik. "Tapi sepertinya kamu sudah membeli makan siang ya.”“Makanan itu rasanya aneh," ujar Davin setelah ia mendapatkan kembali kesadarannya seraya melirik makanan di atas meja. Lalu menatap Jingga lagi. "Aku ingin memakan makanan yang kamu bawa,”Davin menelan saliva ketika Jingga tiba-tiba melingkarkan kedua tangan di pinggangnya. Punggung Davin seketika menegang.“Baiklah, kalau begitu ayo makan siang bersama.” Jingga berjinjit dan mendaratkan bibirnya di bibir Davin sesaat.Dunia di sekitar Davin yang semula gelap gulita, seketika terang benderang dan penuh warna. Davin mematung. Ia merasa wanita di hadapan
“Siapa mereka? Kenapa banyak sekali orang di luar?”“Mereka bodyguard yang akan menjaga rumah ini dan Bu Jingga mulai hari ini, selama dua puluh empat jam.”“Apa?” Seketika, Jingga menoleh pada Arum dengan tatapan tak percaya. “Maksud Bibik, mereka akan berdiri di sana dua puluh empat jam penuh?”Arum tersenyum hangat seraya menggeleng. “Pak Vincent bilang, mereka bekerja di shift siang dan malam.”“Tapi untuk apa Davin mempekerjakan orang sebanyak itu?” gumam Jingga, masih tak percaya dengan ulah suaminya yang terkadang ada di luar nalar. “Menurutku selama ini di rumah aman-aman saja.”Dari balkon lantai dua ini, Jingga kembali melihat ke bawah sambil menghitung para pria berjas hitam. Dua orang berdiri di gerbang. Satu di samping kiri rumah, satu di bagian belakang. Dan tadi Jingga sempat melihat ada satu orang lagi di samping kanan rumah. mereka berdiri seperti patung.“Mungkin Pak Davin ingin melindungi Bu Jingga dan Den Oliver, supaya semakin aman ketika Pak Davin tidak ada di si
“Aku rasa Davin terlalu berlebihan,” gumam Jingga pada diri sendiri begitu melihat mobil sedan hitam yang melaju di depan dan di belakang mobil yang Jingga tumpangi.Kedua mobil itu berisi masing-masing dua orang bodyguard yang berbeda dari yang berjaga di rumah.Jingga turun ketika mobil berhenti di depan sebuah toko perlengkapan melukis. Dodi membantu menurunkan stroller dan Jingga menaruh Oliver di sana.Dua bodyguard berjas hitam menghampiri dan akan mengekori Jingga, tapi Jingga segera berkata, “Kalian nggak usah ikut ke dalam. Tunggu saja di sini. Aku rasa di dalam aman.”Kedua pria itu saling bertukar pandangan sesaat, lalu akhirnya mengangguk.“Baik. Jika ada sesuatu yang mengganggu Anda, segera panggil kami.”“Iya.” Jingga masuk ke dalam toko tersebut sambil berpikir keras. Ia sendiri tidak tahu apa yang akan membahayakannya. Toh, selama ini ia aman-aman saja meski tidak diekori bodyguard. Namun, ia memilih menuruti saja ucapan Davin. Sebab, jika lelaki itu sudah berkehendak,
“Sayang, coba panggil Mama. Ma... ma... ayo, ma... ma.” Jingga menatap Oliver dengan mata berbinar-binar, berharap anak itu mau mengikutinya mengucapkan kata ‘mama’.Namun, alih-alih mengikuti, Oliver justru malah tertawa dan berteriak gemas. Tawanya menular, membuat Jingga ikut tertawa.“Baiklah kalau kamu masih belum mau manggil Mama. Tapi Mama berharap kosakata yang kamu ucapkan pertama kali adalah Mama. Oke?” Jingga tersenyum lembut seraya mengusap rambut Oliver yang lurus dan terasa halus di bawah sentuhannya. “Kamu tunggu di sini, ya? Mama mau buat kopi buat Papa di sana,” kata Jingga seraya menunjuk dapur yang menyatu dengan meja makan.Hari ini, selain meminta dibuatkan bekal makan siang, Davin juga meminta dibuatkan kopi. Jingga tidak tahu apa perbedaan rasa kopi yang ia giling sendiri, dengan kopi buatan orang lain. Karena menurutnya sama saja. Namun, ternyata berbeda menurut Davin.Jingga tersenyum sendiri seraya memasukkan biji kopi ke dalam penggilingan.“Selamat pagi, an
Jingga bergegas keluar dari rumah begitu mendengar keributan di halaman. Di dekat gerbang, ia melihat beberapa bodyguard meringkus seseorang yang berperawakan kurus.“Ada apa ini?” tanya Jingga pada salah satu pria berjas hitam yang berdiri di dekatnya.Pria itu menghadap Jingga dan memberinya sapaan dengan anggukkan kepala. “Kami menangkap seseorang yang mencurigakan. Dia beberapa kali datang kemari dan terus memantau rumah Anda.”Jingga terkejut. Ia jadi teringat dengan keanehan yang terjadi beberapa hari belakangan ini, ia merasa seperti ada orang yang terus mengawasinya.Lantas, dialihkannya pandangan Jingga ke arah orang itu yang sedang memunggunginya dan diapit oleh dua bodyguard. Dilihat dari penampilan dan perawakannya, dia adalah seorang perempuan.Dengan perasaan sedikit takut, Jingga menghampiri wanita itu dan bertanya, “Kamu... siapa? Apa kamu yang selalu mengawasiku akhir-akhir ini?”Wanita itu tampak menghela napas berat. “Benar,” jawabnya, lalu ia memutar badannya, yang