“Sayang, apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja? Aku dengar tadi ada yang berbuat kekacauan di depan dan ternyata dia—“Cerocosan Davin yang tanpa jeda itu seketika terhenti saat Jingga tiba-tiba berjinjit dan memeluk lehernya. Davin terdiam, ia menelan saliva dengan berat, sebelum akhirnya balas memeluk punggung Jingga dengan erat.“Aku baik-baik saja,” ucap Jingga, “serius.”“Apa dia menyakitimu?” Davin membenamkan wajah di tulang selangka Jingga dan menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam.“Nggak. Mama nggak menyakiti aku.”“Kamu nggak berbohong, bukan?”Jingga terkekeh pelan dan merasakan dadanya agak sesak karena pelukan Davin begitu erat. “Kami mengobrol sebentar tapi nggak banyak yang kami obrolin. Mama juga mau menemui dan menggendong Oliver.”Davin menghela napas lega.“Ngomong-ngomong, kenapa kamu sudah pulang? Bukannya rencana kamu akan pulang sore?” tanya Jingga.“Aku langsung pulang setelah mendengar ada orang yang membuat keributan tadi.”Diam-diam Jingga tersenyum di pundak
Jingga menatap Arum yang sedang mengelap meja, lalu menatap Davin di sofa yang sedang ‘mengobrol’ dengan Oliver.Jingga menggigit bibir. Menimbang-nimbang siapa di antara Davin dan Arum yang harus pergi ke supermarket. Sebenarnya itu tugas Arum, akan tetapi entah mengapa, hari ini Jingga ingin sekali Davin yang pergi.Karena tak bisa membendung keinginannya lagi, Jingga memutuskan menghampiri Davin.“Dave....” Jingga duduk di samping Davin dan menatapnya dengan penuh harap.Davin menoleh, menatap wajah Jingga lekat. “Kenapa, Sayang? Kamu menginginkan sesuatu?” tanyanya, seolah mengerti apa yang sedang mengganggu pikiran istrinya.“Iya. Aku lagi ingin makan spaghetti bolognese.”“Lalu?” Davin memiringkan kepala tanpa melepas tatapannya dari wanita itu.“Rencananya aku mau bikin sendiri, Dave. Tapi kita kehabisan daging sapi. Maksud aku, ada tapi sedikit. Saus tomat, bawang bombay, jamur kancingnya nggak ada, dan spagethinya juga kurang,” jelas Jingga seraya menggenggam tangan Davin dan
“Dave, bagaimana? Oliver nggak rewel, ‘kan? Apa dia menyulitkanmu selama di supermarket?”Jingga mencecar Davin dengan berbagai pertanyaan saat Davin baru saja tiba di rumah dan langsung menaruh Oliver—yang tertidur, di kasur. Jingga bertanya demikian karena ia melihat ekspresi wajah Davin yang muram.“Dia sama sekali nggak membuatku kesulitan, Sayang,” kata Davin sambil menyelimuti Oliver. “Selama bersamaku dia baik-baik saja dan anteng, banyak wanita yang menggoda dia karena sepertinya dia sangat menggemaskan dan tampan.”Gurauan Davin yang diucapkan dengan ekspresi datar itu membuat mata Jingga menyipit.“Mungkin maksud mereka sebenarnya ingin menggoda kamu, tapi mereka pura-pura menggoda Oliver,” tuding Jingga tanpa tedeng aling-aling. Semakin hari, ia semakin berani mengutarakan apa yang ada di dalam kepalanya terhadap Davin. Dan Jingga yang pendiam serta selalu memendam perasaan sendiri, perlahan-lahan tertinggal jauh di belakang.“Menurutmu begitu?” Davin tertawa kecil dan mera
Tangan Jingga meraba-raba kasur di sebelahnya dengan mata terpejam. Saat telapak tangannya merasakan tak ada sosok yang ia cari di sana, mata Jingga pun terbuka dan mengerjap berkali-kali. Ia mengedarkan pandangannya ke seisi kamar yang hanya diterangi lampu tidur yang temaram.Tak ada Davin di setiap sudut ruangan itu. Jingga pun menajamkan pendengarannya, tapi ia tidak mendengar gemericik air di dalam kamar mandi, yang menandakan Davin tidak ada di dalam sana.Karena penasaran, Jingga lantas bangkit dan turun dari ranjang. Ia keluar dari kamar. Dan matanya langsung tertuju pada sosok suaminya yang sedang mondar-mandir di ruangan tengah. Satu tangan pria itu mengusap tengkuk. Davin terlihat gelisah, seperti tidak mendapatkan kenyamanan dalam posisi apapun.“Dave, kamu nggak tidur?” tanya Jingga dengan suara seraknya sambil menghampiri Davin.Pria berkaos putih itu seketika memutar badan, menatap Jingga dengan tatapan terkejut. “Sayang, kenapa kamu bangun?”“Aku kebangun karena kamu n
Davin melangkahkan kaki berpantofelnya dengan perlahan. Kedua tangannya bersembunyi di dalam saku celana hitam. Jas hitamnya melekat di tubuhnya dengan pas, seolah-olah jas itu hanya diciptakan untuk Davin. Sementara sepasang mata hitamnya mengamati deretan truk-truk besar yang terparkir di sebuah area terbuka yang cukup luas.“Pak Davin, kalau saya boleh tahu, truk mana yang sedang Anda cari?” tanya Vincent di belakang Davin, ia belum paham apa alasan Davin jauh-jauh datang ke pabrik manufaktur ini—yang memproduksi sparepart motor dan mobil.Davin tak menjawab. Rahangnya mengeras, menahan mual akibat hidungnya yang mencium aroma tidak sedap dari solar dan mesin-mesin puluhan truk di hadapannya. Ditambah lagi parfum Vincent—yang sampai saat ini masih belum bersahabat di hidung Davin.“Pak, kita sudah melewati bagian ini dua kali. Anda masih belum menemukan truk yang Anda cari?” tanya Vincent lagi dengan bingung. “Kalau Anda memberitahu saya, saya bisa membantu mencarinya.”Davin menge
“Sepertinya aku harus membuka toko bunga di rumah. Lihat itu, bunga-bunga yang kamu kasih kemarin, dan kemarin-kemarinnya lagi, masih ada di sana. Tapi walau begitu aku sangat suka semua bunga dari kamu.”Davin bersandar di jendela yang terbuka, bersedekap dada. Bibirnya menyunggingkan senyum samar seraya memandangi Jingga, yang terus berbicara sambil menata bunga mawar merah pemberiannya ke dalam vas keramik.“Kamu tahu, Dave, bunga-bunga ini benar-benar membuat hari-hariku menjadi lebih cerah,” ujar Jingga sambil tersenyum melihat ke arah Davin. “Aku selalu merasa terharu setiap kali melihat mereka, karena setiap bunga mengingatkanku akan kebaikan dan kasih sayang kamu.”“Aku senang karena ternyata kamu punya sisi seperti ini.” Davin berkata tanpa melepaskan tatapan matanya dari Jingga.Kening Jingga berkerut bingung. “Sisi seperti apa?”“Banyak bicara.”Jingga mengerucutkan bibirnya. “Aku sudah bilang kalau aku akan banyak bicara di depan orang yang membuatku nyaman, bukan?”“Mm-hm
Davin tersenyum melihat tingkah lucu Oliver yang tengah bermain-main di pangkuannya."Hey, sudah Papa bilang jangan ke sana. Panas, nanti kamu terbakar," ucap Davin dengan lembut sambil menarik Oliver yang hampir merangkak mendekati api unggun. Ia segera mendudukkan Oliver di pangkuannya dan mengunci dengan pelukan di sekitar tubuh kecil anak itu."Papa!" teriak Oliver dengan riang, mencoba untuk meronta agar bisa keluar dari pelukan Davin."Tidak. Bahaya. Di sini saja," Davin menjelaskan dengan tegas, tetapi tetap lembut, sambil mempertahankan pelukannya.“Papa…!” seru Oliver lagi, masih berusaha membebaskan diri."Aku cemburu," gerutu Jingga dengan bibir cemberut, membuat Davin seketika menoleh pada wanita yang sedang duduk di sampingnya sambil menyandarkan kepala di bahunya.“Siapa yang kamu cemburui, hem?” tanya Davin sambil mengecup puncak kepala Jingga dan menghirup aroma floral yang khas dari rambutnya.Jingga menjawil pipi Oliver sambil tersenyum. “Semakin hari kamu semakin pi
Jingga tersenyum cerah, menatap sebuah buku berbahan kanvas di hadapannya. Setiap lembaran buku itu merupakan lukisan gambar Davin dalam berbagai ekspresi, yang sengaja Jingga buat beberapa hari terakhir.Jingga lantas memasukkan buku itu ke dalam sebuah box yang berukuran tidak terlalu besar. Ia menghias box tersebut dengan tali pita berwarna merah. Rencananya, ia akan memberikan hadiah ini kepada Davin nanti, saat pria itu pulang dari kantor.Ya, tadi pagi Davin pamit kepadanya untuk pergi ke kantor karena ada masalah baru di perusahaan. Davin sempat berjanji bahwa ia akan pulang secepatnya. Dan sebelum pergi, Davin mengingatkan agar Jingga tidak pergi ke mana-mana hari ini.Setelah menaruh box tersebut di dalam lemari, Jingga bergegas menghampiri ranjang saat ia mendengar ponselnya berdering.Diraihnya benda tipis itu yang menelungkup di dekat bantal, dan keningnya berkerut bingung begitu mendapati nomor tidak dikenal di layar ponselnya.Awalnya Jingga menghiraukan panggilan terseb