Vincent melirik Davin melalui kaca spion. Raut wajah bosnya itu terlihat suram. Suasana di dalam mobil terasa mencekam. Untuk bernapas saja, Vincent menghelanya sepelan mungkin. Seolah helaan napasnya takut terdengar Davin dan membuat amarah lelaki itu semakin menjadi-jadi.“Berhenti!” titah Davin tiba-tiba dengan suara dingin.Sontak, Vincent membanting stir ke kiri dan menginjak rem dalam-dalam, membuat tubuh Davin nyaris terhuyung ke kursi depan.“Damn! Kamu bisa menyetir atau tidak?! Kamu mau membuatku celaka?!" berang Davin dengan tatapannya yang jauh lebih tajam dari pedang.“Anda menyuruh saya untuk berhenti, Pak. Jadi saya langsung berhenti.”“Jadi kalau aku menyuruhmu berhenti di tengah jalan, kamu akan langsung berhenti tanpa mempertimbangkan keselematanku?!” berang Davin lagi dengan sinis.Sabar. Vincent mengelus dada. Ia pikir, mungkin masalah kemarin masih mengganggu pikiran Davin, sehingga bosnya itu berubah menjadi serigala mengamuk pagi ini.“Maaf, Pak. Saya salah,” uc
“Kenapa kamu terlihat kesal begitu? Apa jangan-jangan dari tadi kamu marah-marah?”Davin mengerjap. Ia seakan tak mempercayai penglihatannya sendiri saat istrinya itu berjalan ke arahnya.Jingga mengangkat bingkisan di tangannya sambil berkata, “Aku bawa makan siang buat kamu. Maaf tadi pagi nggak sempat bikin,” ucapnya, masih dengan senyumannya yang membuat Davin tak bisa berkutik. "Tapi sepertinya kamu sudah membeli makan siang ya.”“Makanan itu rasanya aneh," ujar Davin setelah ia mendapatkan kembali kesadarannya seraya melirik makanan di atas meja. Lalu menatap Jingga lagi. "Aku ingin memakan makanan yang kamu bawa,”Davin menelan saliva ketika Jingga tiba-tiba melingkarkan kedua tangan di pinggangnya. Punggung Davin seketika menegang.“Baiklah, kalau begitu ayo makan siang bersama.” Jingga berjinjit dan mendaratkan bibirnya di bibir Davin sesaat.Dunia di sekitar Davin yang semula gelap gulita, seketika terang benderang dan penuh warna. Davin mematung. Ia merasa wanita di hadapan
“Siapa mereka? Kenapa banyak sekali orang di luar?”“Mereka bodyguard yang akan menjaga rumah ini dan Bu Jingga mulai hari ini, selama dua puluh empat jam.”“Apa?” Seketika, Jingga menoleh pada Arum dengan tatapan tak percaya. “Maksud Bibik, mereka akan berdiri di sana dua puluh empat jam penuh?”Arum tersenyum hangat seraya menggeleng. “Pak Vincent bilang, mereka bekerja di shift siang dan malam.”“Tapi untuk apa Davin mempekerjakan orang sebanyak itu?” gumam Jingga, masih tak percaya dengan ulah suaminya yang terkadang ada di luar nalar. “Menurutku selama ini di rumah aman-aman saja.”Dari balkon lantai dua ini, Jingga kembali melihat ke bawah sambil menghitung para pria berjas hitam. Dua orang berdiri di gerbang. Satu di samping kiri rumah, satu di bagian belakang. Dan tadi Jingga sempat melihat ada satu orang lagi di samping kanan rumah. mereka berdiri seperti patung.“Mungkin Pak Davin ingin melindungi Bu Jingga dan Den Oliver, supaya semakin aman ketika Pak Davin tidak ada di si
“Aku rasa Davin terlalu berlebihan,” gumam Jingga pada diri sendiri begitu melihat mobil sedan hitam yang melaju di depan dan di belakang mobil yang Jingga tumpangi.Kedua mobil itu berisi masing-masing dua orang bodyguard yang berbeda dari yang berjaga di rumah.Jingga turun ketika mobil berhenti di depan sebuah toko perlengkapan melukis. Dodi membantu menurunkan stroller dan Jingga menaruh Oliver di sana.Dua bodyguard berjas hitam menghampiri dan akan mengekori Jingga, tapi Jingga segera berkata, “Kalian nggak usah ikut ke dalam. Tunggu saja di sini. Aku rasa di dalam aman.”Kedua pria itu saling bertukar pandangan sesaat, lalu akhirnya mengangguk.“Baik. Jika ada sesuatu yang mengganggu Anda, segera panggil kami.”“Iya.” Jingga masuk ke dalam toko tersebut sambil berpikir keras. Ia sendiri tidak tahu apa yang akan membahayakannya. Toh, selama ini ia aman-aman saja meski tidak diekori bodyguard. Namun, ia memilih menuruti saja ucapan Davin. Sebab, jika lelaki itu sudah berkehendak,
“Sayang, coba panggil Mama. Ma... ma... ayo, ma... ma.” Jingga menatap Oliver dengan mata berbinar-binar, berharap anak itu mau mengikutinya mengucapkan kata ‘mama’.Namun, alih-alih mengikuti, Oliver justru malah tertawa dan berteriak gemas. Tawanya menular, membuat Jingga ikut tertawa.“Baiklah kalau kamu masih belum mau manggil Mama. Tapi Mama berharap kosakata yang kamu ucapkan pertama kali adalah Mama. Oke?” Jingga tersenyum lembut seraya mengusap rambut Oliver yang lurus dan terasa halus di bawah sentuhannya. “Kamu tunggu di sini, ya? Mama mau buat kopi buat Papa di sana,” kata Jingga seraya menunjuk dapur yang menyatu dengan meja makan.Hari ini, selain meminta dibuatkan bekal makan siang, Davin juga meminta dibuatkan kopi. Jingga tidak tahu apa perbedaan rasa kopi yang ia giling sendiri, dengan kopi buatan orang lain. Karena menurutnya sama saja. Namun, ternyata berbeda menurut Davin.Jingga tersenyum sendiri seraya memasukkan biji kopi ke dalam penggilingan.“Selamat pagi, an
Jingga bergegas keluar dari rumah begitu mendengar keributan di halaman. Di dekat gerbang, ia melihat beberapa bodyguard meringkus seseorang yang berperawakan kurus.“Ada apa ini?” tanya Jingga pada salah satu pria berjas hitam yang berdiri di dekatnya.Pria itu menghadap Jingga dan memberinya sapaan dengan anggukkan kepala. “Kami menangkap seseorang yang mencurigakan. Dia beberapa kali datang kemari dan terus memantau rumah Anda.”Jingga terkejut. Ia jadi teringat dengan keanehan yang terjadi beberapa hari belakangan ini, ia merasa seperti ada orang yang terus mengawasinya.Lantas, dialihkannya pandangan Jingga ke arah orang itu yang sedang memunggunginya dan diapit oleh dua bodyguard. Dilihat dari penampilan dan perawakannya, dia adalah seorang perempuan.Dengan perasaan sedikit takut, Jingga menghampiri wanita itu dan bertanya, “Kamu... siapa? Apa kamu yang selalu mengawasiku akhir-akhir ini?”Wanita itu tampak menghela napas berat. “Benar,” jawabnya, lalu ia memutar badannya, yang
“Sayang, apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja? Aku dengar tadi ada yang berbuat kekacauan di depan dan ternyata dia—“Cerocosan Davin yang tanpa jeda itu seketika terhenti saat Jingga tiba-tiba berjinjit dan memeluk lehernya. Davin terdiam, ia menelan saliva dengan berat, sebelum akhirnya balas memeluk punggung Jingga dengan erat.“Aku baik-baik saja,” ucap Jingga, “serius.”“Apa dia menyakitimu?” Davin membenamkan wajah di tulang selangka Jingga dan menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam.“Nggak. Mama nggak menyakiti aku.”“Kamu nggak berbohong, bukan?”Jingga terkekeh pelan dan merasakan dadanya agak sesak karena pelukan Davin begitu erat. “Kami mengobrol sebentar tapi nggak banyak yang kami obrolin. Mama juga mau menemui dan menggendong Oliver.”Davin menghela napas lega.“Ngomong-ngomong, kenapa kamu sudah pulang? Bukannya rencana kamu akan pulang sore?” tanya Jingga.“Aku langsung pulang setelah mendengar ada orang yang membuat keributan tadi.”Diam-diam Jingga tersenyum di pundak
Jingga menatap Arum yang sedang mengelap meja, lalu menatap Davin di sofa yang sedang ‘mengobrol’ dengan Oliver.Jingga menggigit bibir. Menimbang-nimbang siapa di antara Davin dan Arum yang harus pergi ke supermarket. Sebenarnya itu tugas Arum, akan tetapi entah mengapa, hari ini Jingga ingin sekali Davin yang pergi.Karena tak bisa membendung keinginannya lagi, Jingga memutuskan menghampiri Davin.“Dave....” Jingga duduk di samping Davin dan menatapnya dengan penuh harap.Davin menoleh, menatap wajah Jingga lekat. “Kenapa, Sayang? Kamu menginginkan sesuatu?” tanyanya, seolah mengerti apa yang sedang mengganggu pikiran istrinya.“Iya. Aku lagi ingin makan spaghetti bolognese.”“Lalu?” Davin memiringkan kepala tanpa melepas tatapannya dari wanita itu.“Rencananya aku mau bikin sendiri, Dave. Tapi kita kehabisan daging sapi. Maksud aku, ada tapi sedikit. Saus tomat, bawang bombay, jamur kancingnya nggak ada, dan spagethinya juga kurang,” jelas Jingga seraya menggenggam tangan Davin dan
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah