Widya masih bisa bertahan, walaupun rumah tangganya sering direcoki para iparnya. Namun, dia tak bisa lagi bertahan ketika sang suami mulai dekat dengan wanita yang datang dari masa lalunya. Widya menyerah, setelah mengetahui sang suami menikah lagi. Tak mudah menjalani kehidupan setelah menjadi janda. Namun, kebahagiaan selalu datang setelah bisa melewati cobaan hidup.
View MoreBaju yang sudah terlipat rapi itu kini kembali berserakan setelah Mas Anam menendangnya.
"Apa-apaan sih, Mas!" seruku tak terima. Entah apa lagi yang diadukan Mbak Sri pada suamiku, hingga membuatnya murka."Apa yang kamu lakukan pada Mbak Sri? Hah?" tanyanya sambil membentak. Hal yang akhir-akhir ini sering dia lakukan. Mas Anam akan marah-marah tak jelas setelah mendapat aduan dari kakaknya. "Seperti yang dia adukan padamu, apalagi? Buat apa bertanya lagi? Emang kamu pernah mendengar penjelasan dariku?" sahutku sambil melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda."Oh, sudah berani membantah sekarang, ya!" Mas Anam berbicara dengan satu tangan mencengkeram rahang ini. Sakit, tetapi ada yang lebih sakit lagi, sebongkah daging yang ada di dalam dada. Hati.Dengan jarak dekat seperti ini, aku menatap lekat ke dalam manik matanya, berusaha menyelami dan mencari apa yang ada di dalam sana. Masihkah ada cinta untukku. Namun, yang terlihat hanya amarah yang semakin membara. Perlahan aku memegang tangan kekarnya. Seperti tahu maksudku, Mas Anam pun melepaskan cengkeramannya. Namun, tidak dengan kelembutan, tubuhku sedikit terhuyung ketika dengan kasar lelaki itu melepaskan tangannya sambil sedikit mendorong."Jadi benar apa yang dikatakan Mbak Sri, kamu sudah berani membentaknya?" tanyanya memastikan. Tatapannya masih setajam elang."Kalau iya, kenapa?"Mas Anam nampak terkejut mendengar jawabanku. Mungkin dia tak menyangka sekarang aku berani membalas setiap perkataannya. Aku yang dulu pendiam dan penurut kini mulai muak dengan segala keinginannya yang berhubungan dengan kakak dan adiknya itu."Ingat, Widya. Dia itu kakakku sampai kapanpun, kamu tak bisa menggantikan posisinya di hatiku!" hardiknya.Entah sudah berapa kali Mas Anam mengingatkanku tentang hal itu, agar aku menghormati Mbak Sri, kakaknya dan menyayangi Lilis, adiknya. Aku bisa melakukannya kalau mereka juga bisa memperlakukan aku dengan sama.Dering ponsel menghentikan amarahnya. Gegas lelaki yang sudah menghalalkan diriku itu merogoh saku sambil berjalan menjauhiku. Setelah berbicara di telepon, Mas Anam pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa.Aku hanya bisa menghela napas agar rasa sesak di dada segera hilang. Ingin rasanya menangis dan mengadu, tapi pada siapa? Tak ada keluarga di kota ini, karena orang tuaku adalah pendatang. Setelah merenung cukup lama akhirnya aku kembali merapikan baju yang berserakan. Tak lama berselang terdengar bunyi notifikasi dari ponsel yang tergeletak di lantai. Aku pun segera meraih benda pipi yang tergeletak di antara baju yang hendak kumasukkan ke dalam lemari.[Rasain! Enak gak dimarahi suami?] Bunyi pesan dari Mbak Sri. Aku hanya membacanya tanpa berniat untuk membalas. Rupanya dia sangat bahagia mengetahui jika aku dan Mas Anam baru saja bersitegang.[Pasti lagi mewek di pojokan, kasihan. Hahaha] Lagi dia mengirim chat.[Mangkanya jangan berani macam-macam kamu. Ingat siapa dirimu! Dulu kamu itu hanya anak seorang buruh cuci, sudah untung adikku mau menikahimu. Bukannya bersyukur, malah sok-sokan berani sama aku. Rasain kena damprat Anam. Hahahaha]Semua hanya kubaca, sama sekali tak ada niat untuk membalasnya karena itu hanya akan menghabiskan waktu saja.**Keadaan rumah semakin sunyi, karena aku hanya sendiri. Setelah bosan menonton serial televisi, aku pun beranjak ke dapur untuk memanasi sayur. Setelah selesai, bergegas ke kamar dan mulai berselancar di dunia maya. Di sanalah kucurahkan isi hati, merangkai kata demi kata sehingga menjadi sebuah cerita, sebuah hobi baru yang dapat menghasilkan rupiah, walaupun belum seberapa."Widya!" Panggilan itu terdengar diantara gedoran pintu. Aku pun segera bangkit, karena hapal betul siapa pemilik suara tersebut."Widya!"Lagi, terdengar teriakan Mas Anam. Langkahku semakin cepat, agar tak menimbulkan kegaduhan."Widya!" Teriak dan gedoran itu semakin keras, membuat menekan dada karena terkejut ketika hendak membuka pintu. "Waalaikumsalam," ucapku sambil membuka pintu."Lama amat sih!" bentak Mbak Sri dengan suara cemprengnya."Biasakan mengucap salam sebelum masuk ke rumah, Mas," ucapku mencoba bersikap biasa saja, walaupun sebenarnya ingin berteriak juga."Minggir!" Lagi wanita yang sangat disayang suamiku itu membentak, dia berusaha menggeser posisiku yang berdiri di tengah pintu."Mau apa kamu bawa Mbak Sri sama Lilis ke sini, Mas?" tanyaku pada Mas Anam. Sengaja tak menggubris kedua wanita beda usia tersebut.Mas Anam menghela nafasnya sebelum menjawab pertanyaanku. Lelaki itu nampak gusar, tak seperti tadi sore yang terlihat garang. Sebenarnya apa yang direncanakan suami dan dua iparku ini? "Untuk sementara Mbak Sri sama Lilis akan tinggal di sini, Wid." Kali ini suamiku itu bicara cukup pelan, hampir saja aku tak mendengarnya.Aku menautkan kedua alis mendengar penuturan Mas Anam. "Tidak!" jawabku tegas.Mas Anam menatapku penuh permohonan, sedangkan kedua saudaranya itu masih nampak angkuh walau sudah mendengar penolakan dariku."Tolonglah, Wid. Kasian Mbak Sri sama Lilis," pinta Mas Anam memelas, tatapannya seperti anak kecil yang menginginkan sesuatu. Menyebalkan.Saat kami sedang berbicara berdua di dalam rumah. Setelah aku bersikeras menolak kedatangan Mbak Sri dan Lilis."Aku gak mau, Mas," balasku masih kekeh dengan kata hati."Gak selamanya, Wid. Aku janji setelah mendapatkan kontrakan mereka akan pergi dari sini," bujuknya.Aku masih bergeming, ada sedikit keraguan di hati ini. Bagaimana jika aku mengalami kisah seperti dalam cerita yang sering kubaca. Kebanyakan jarang ada yang bahagia jika berkumpul dengan saudara ipar. Walaupun tidak semua seperti itu.Apalagi perangai kedua iparku ini sangat cocok seperti tokoh-tokoh antagonis di beberapa cerita yang pernah boming, jadi aku harus mengantisipasi agar semua itu terjadi pada diri ini."Lebih baik sekarang juga kamu antar mereka cari kontrakan, Mas. Aku gak mau menerima mereka tinggal di sini," jawabku tegas."Aku gak nyangka kamu jadi seperti ini, Wid. Dulu aku jatuh cinta padamu itu karena kebaikanmu. Kini kamu sudah berubah, tak ada lagi Widya-ku yang dulu."Mas Anam mulai mengutarakan isi hatinya. Seperti dia sangat kecewa dengan keputusan yang kuambil, dan mengapa di saat seperti ini dia mempertanyakan kebaikanku."Apa kamu tahu, mengapa aku bisa seperti itu, Mas? Tanyakan pada hatimu? Karena di sanalah jawabannya. Karena aku juga kehilangan suami yang dulu sangat mencintaiku." Sebenarnya aku sudah bosan berdebat dengannya soal Mbak Sri dan Lilis, karena takkan pernah ketemu jalan keluarnya."Aku masih mencintaimu, kalau tidak aku pasti sudah meninggalkanmu, Wid, yang aku sesalkan kenapa kamu bisa setega itu kepada keluargaku," sungutnya tak terima.Apa? Dia masih mencintaiku? Apa kabar dengan yang dilakukannya tadi sore?"Kalau kamu mencintaiku harusnya bisa mengerti maksudku dong, Mas. Aku hanya tak ingin hubungan ini semakin runyam, jadi mending sekarang kamu bantu mereka mencari kontrakan."Hal seperti ini takkan membuat rasa percayaku pada Mas Adnan luntur. Pengalaman dulu membuat diri ini semakin sadar, bahwa semua itu hanya sebuah jebakan, menganggap iseng orang yang sudah melakukannya.Namun, aku tak langsung menghapusnya, menyimpan agar nanti bisa kutunjukan pada suamiku. Bagaimana nanti reaksinya? Sama kah dengan sikap Mas Anam dulu?Heran, masih saja ada orang jahil dengan menggunakan cara seperti itu. Apa yang mereka harapkan, kehancuran rumah tanggaku? Sungguh pekerjaan yang sia-sia.**"Dek, jalan-jalan yuk," ajak Mas Adnan setelah pulang dari masjid selepas salat subuh."Emang mau ke mana sih, Mas?" tanyaku malas-malasan. Tadi aku kembali berbaring setelah melaksanan kewajiban subuh."Ke pasar, mau?" tanyanya lagi, saat ini Mas Adnan sudah berada di sisiku. Lelaki itu memijit kakiku dengan lembut. Sesekali tangannya mengelus perutku yang sudah membuncit."Mas," panggilku sambil memberikan ponselk
"Bidan? Tunggu!" Aku bergegas ke arah kalender yang tergantung di dinding. Melihat tanggal dan hari yang tertera di bulan ini."Mas ...." panggilku dengan suara bergetar. Lelaki itu gegas mendekati diriku yang sedang terpaku di depan deretan angka dalam kalender tersebut."Ada apa, Dek?" Mas Adnan nampak bingung, lelaki itu memandang diriku dan kalender secara bergantian."Mas, sudah dua bulan ini aku gak bulanan. Apa mungkin—?" Aku menggantungkan kalimat yang tadi kuucap. Dadaku berdetak lebih kencang, pandangan mata kami bertemu. Seolah bisa mengerti apa yang ingin ku ucapkan. Tiba-tiba Mas Adnan meraih tubuhku dalam pelukannya, bisa kurasakan detak jantungnya yang memompa dengan cepat."Ya Allah ... Alhamdulillah," ucap Mas Adnan dengan suara parau. Lelakiku itu nampak meneteskan air matanya."Bismillah, kita ke rumah bidan sekarang. Semoga saja apa yang kita pikirkan benar terjadi atas izin Allah." Doanya yang segera kuamini.
"Mas, aku mau tinggal di sini. Di rumah Ayah dan Ibu." Memang benar apa yang dikatakan suamiku ini, tapi aku sangat berat meninggalkan kota, di mana aku lahir dan dibesarkan. Mas Adnan terlihat terkejut, namun sekejap kemudian dia tersenyum bahagia."Insyaallah, di sini juga menyenangkan kok, Dek. Kamu juga bisa bantu Mas ngajar ngaji. Bayangkan setiap satu huruf yang kita ajarkan akan menjadi amal jariyah untuk kita selamanya."Aku tersenyum mendengarkan bujukan Mas Adnan, aku berasa jadi anak kecil. Dibujuk dan dirayu."Dan untuk Anam dan istrinya biarkan mereka bahagia menurut mereka. Tahu gak, kalau kita membuat orang lain bahagia, maka atas izin Allah kita juga akan dibahagiakan orang lain." Kembali aku dibuat tersenyum oleh lelaki dengan mata setajam elang ini."Bagaimana dengan rumahnya, Mas? Apa harus dijual?""Gak usah dijual, Dek. Sebulan atau dua bulan sekali kita ke sana untuk liburan. N
"Difa itu apanya kamu, Mas?" tanyaku, ketika tangannya mulai mengelus rambut hitamku."Sepupu, Dek. Kenapa?" Lelaki itu balik bertanya. Saat ini di tengah menoleh memperhatikan diri ini.Mas Adnan bertanya mengapa? Benar-benar laki-laki gak peka. Padahal tadi Hanin, sepupunya yang lain sedikit cerita tentang sepupunya yang bernama Difa itu."Menyebalkan," ucapku yang lebih mirip dengan gumaman."Siapa yang sudah membuatmu sebal, Dek? Sini bilang." Mas Adnan mencoba menggodaku dengan candaannya. Namun, hati ini sudah telanjur kesal, akhirnya aku pun berbaring memunggunginya.Mas Adnan tak lagi membujuk, lelakiku itu ikut berbaring, lalu memeluk tubuh ini dari belakang, posisi yang sangat kusukai karena aku merasa nyaman, aman dan yang pasti merasa dilindungi."Mas, tahu gak? Tekanan mental seberat apapun dari pihak ketiga untuk istri, tidak akan berpengaruh banyak jika suami menjadi tameng terdepan ba
Lagi, kata Mbak Sasa, Erna terlihat sangat bahagia semenjak aku pulang ke kampung. Namun, akhir-akhir ini wanita itu nampak murung kembali setelah mengetahui aku telah menikah. Hah?! Apa hubungannya?Setelah berhaha-hihi dengan mereka, aku pun berpamitan untuk undur diri. Saatnya meneruskan nulis untuk menambah bab cerita yang sedang on-going. Sampai entah kapan diri ini terlelap.Aku merasa terusik, saat merasakan seseorang tengah membetulkan letak tidurku. Tubuhku menggeliat setelah itu mata ini mengerjap, setelah mengamati sekejap akhirnya netra ini terbuka sempurna."Mas Adnan, kapan datang? Kok gak dibangunin sih?" tanyaku bercampur kaget."Baru saja datang, Dek. Maaf ya gara-gara mas tidur jadi terganggu. Habisnya melihatnya saja dadaku ikut ampek," ujarnya sambil meninggalkanku, kemudian dia melangkah ke kamar mandi.Kutengok jam di meja menunjukkan pukul setengah tiga, aku pun bangkit, beranjak dari kasur yang empuk dan nyaman ini
"Nanti sore saja kita ke rumah ibu. Sekalian nginap di sana. Setelah sampai di sana, baru kita berangkat ke kota. Aku berangkat dulu ya." Dia pun melajukan sepeda motornya setelah mengucapkan salam.Karena merasa sepi, sendirian di rumah, aku pun memutuskan untuk pergi ke pasar. Untuk membantu Ayah dan Ibu."Loh, nganten baru kok ke pasar sendirian?" tanya seorang ibu yang aku tahu orangnya, tapi gak tahu namanya."Iya, Bu," sahutku sambil tersenyum, berusaha bersikap ramah walaupun tak begitu mengenalnya."Gak, pa-pa, Nak. Memang suamimu itu orang sibuk, pekerja keras dia. Rajin, banyak yang menyukainya, eh dia malah jadi jodohmu." Ibu itu pun berlalu setelah berucap.Sebenarnya aku ingin padanya tentang apa sebenarnya pekerjaan Mas Adnan. Namun, aku mengurungkannya, khawatir wanita itu nanti malah berpikir yang tidak-tidak, masak seorang istri gak tahu pekerjaan suaminya. Aneh, kan?"Loh, Widya. Kamu kok kesini?" tanya Ayah sa
Aku terjaga ketika sayup-sayup mendengar sholawat tarhim dari masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah, bibir ini tak henti-hentinya tersenyum, jika mengingat kejadian semalam.Tunggu! Aku menoleh ke belakang. Namun tak kutemui Mas Adnan di belakangku. Kemana suamiku? Apa dia sudah bangun? Ah, malunya diriku jika memang seperti itu.Mas Adnan keluar dari kamar mandi, lelaki itu hanya memakai handuk yang dililitkan di pinggangnya. Dia melihatku sekilas, lalu dengan santai memakai pakaian di hadapanku. Mungkin dia mengira aku masih tidur, atau dia sengaja mau menggodaku? Ah, sialnya aku yang malu sendiri dibuatnya.Aku masih pura-pura tertidur, mata ini masih terpejam, ketika dia mulai mendekat lalu duduk di sisi ranjang.Telapak tangannya yang besar mengelus rambutku, membenarkan beberapa rambut yang menutupi wajahku, menyelipkan beberapa helai anak rambut ke telinga lalu mengecup kening turun, terus turun ke bawah hingga sampai di bib*rk
"Alhamdulillah, dilanjut nggih?""Nggih ....""Dari episode indah Umar bin Khathab dalam bermuamalah dengan pasangannya, ada faidah penting yang bisa dijadikan acuan bagi keharmonisan pasutri.""Pertama, suami hendaklah mampu menahan diri. Sikap diamnya Umar bukan berarti ia tak membela diri, justru sebaliknya. Inilah sikap mulia seorang suami sekaligus sebagai pemimpin rumah tangga ia telah memberikan teladan dalam kebaikan akhlak.""Bukan pula ia membiarkan kesalahan istri, tapi saat situasi memanas, sama sekali tak kondusif untuk menasehati istri. Terlebih lagi ketika ia segera membalas kemarahan istri, maka yang terjadi adalah perang mulut dimana ledakan emosi-emosi negatif akan menjadikan keduanya terjebak dalam pertengkaran, karena masing-masing mengemukakan alasan.""Disinilah, sosok suami shalih harus mampu mengendalikan diri, menjaga keadaan tetap stabil sehingga tak membuka kesempatan sekecil apapun bagi setan untuk ma
"Ada apa, Yah, Bu?" Kenapa kalian senyam-senyum?""Senang aja, akhirnya akan ada lagi yang menjaga putri ibu, dan yang lebih membuat kami bahagia, kami sudah kenal dan tahu orangnya.""Doakan agar semua berkah ya, Bu, Yah." Seperti anak kecil aku pun menghambur ke pelukan ibu.**Semua sudah siap, tak ada pesta meriah, hanya ijab qobul yang akan kami lakukan di KUA.Setelah itu ibu akan mengadakan syukuran dan meminta doa dari kerabat serta tetangga dekat untuk keberkahan keluarga baruku.Doa dipanjatkan dengan khusus yang dipimpin oleh Mbah Moden. Tak lupa beberapa wejangan juga beliau berikan kepada kami."Menikah adalah sebuah proses menerima kekurangan pasangan yang tidak engkau temui ketika baru berkenalan dengannya.""Sesungguhnya menikah memerlukan perjuangan panjang dan lama, akan tetapi terasa indah."Setelah itu Mbah Moden yang merangkap seorang ustadz itu menceritakan tentang rumah tangga Say
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments