Share

lima

Author: Puspita852
last update Last Updated: 2022-12-26 16:17:35

"Enak saja! Kamu juga sakit hati kan kalau dikatakan sebagai wanita mandul! Pasti nangis-nangis ngadu sama Anam. Mangkanya Anam sekarang berani sama aku!" ujarnya tetap dengan nada tinggi.

Mas Anam melongo mendengar penuturan kakaknya, lelaki itu memandangku sekilas, lalu berdiri tegap kemudian menyeret koper yang berisi pakaian saudaranya dan membawanya keluar.

"Loh? Nam! Apa yang kamu lakukan?! Kamu lebih memilih Widya yang tinggal di sini?!" teriaknya sambil melangkah menyusul mas Anam keluar.

"Iya, Mbak." Mas Anam nampak emosi, rahangnya mengeras menahan amarah. "Karena ini rumahnya Widya. Bukan rumahku," lanjutnya dengan tegas. Saking kagetnya, Mbak Sri sampai mundur beberapa langkah.

Akhirnya, apa yang selama ini tak pernah terucap, terungkap sudah. Sungguh sesuatu yang sangat mengejutkan bagi Mbak Sri tentunya.

**

"Kenapa kamu gak bilang kalau Mbak Sri sering berkata seperti itu?" tanya Mas Anam sambil merangkul tubuh ini dari belakang saat kami berbaring di tempat tidur.

"Berkata apa?" tanyaku pura-pura gak mengerti.

Sungguh, sekuat apapun aku mencoba untuk bersikap biasa saja, hatiku tetap merasakan nyeri. Apalagi di saat mendapat perhatian dari orang tersayang.

"Itu ... em ... yang sering mengatai kamu mandul," sahutnya lirih. Setelah berucap lelakiku itu semakin mempererat rangkulannya, sesekali kurasakan dia tengah mencium rambutku.

"Kenapa harus bilang ke kamu? Bukankah yang dikatakannya itu benar, kalau aku belum punya anak, bisa saja kan?" Sengaja aku melontarkan tanya padanya.

"Maafkan aku, Wid. Jangan pernah berfikir untuk meninggalkanku, ya," ucapnya lagi dan semakin membuang jarak diantara kami.

"Hem." Hanya itu sahutku seraya menggeser tubuhku ke depan.

"Kok hanya, hem?" tanya sambil menarik lagi tubuhku.

"Ya kita lihat saja, aku atau kamu yang akan menyerah. Kalau aku sih tergantung kamu, Mas. Karena aku adalah cerminan dirimu. Udah ah, aku mau tidur. Ngantuk."

"Wid, boleh ya?" tanyanya dengan suara yang membuatku merinding.

"Libur, mangkanya jangan sok sibuk. Kemana saja kemarin?" Setelah berucap aku pun berusaha melepaskan diri darinya. Namun, usahaku sia-sia, nyatanya Mas Anam semakin mendekap dirimu dengan erat.

"Masak sih?" tanyanya tak percaya.

"Mau lihat?" tanyaku menantang.

Lelakiku itu berdecak dan itu sudah bisa menciptakan senyuman di bibirku. Kembali aku hendak bergeser. Namun, lagi-lagi dia menahannya.

"Udah, diem jangan bergerak," ucapnya dengan suara parau.

**

"Anam!" Lagi dan lagi terdengar teriakan diantara gedoran pintu.

Aku menghentikan kegiatanku yang sedang memasak nasi goreng. Kemudian bergegas ke luar. Ada rasa yang sulit untuk dijabarkan di hati ini. Rasanya senang campur gugup karena ini pertama kali aku akan bertemu lagi dengannya setelah kejadian beberapa waktu lalu.

"Waalaikumussalam," ucapku sambil membuka pintu.

Setelah beberapa bulan tidak bertemu, ada yang berubah dari penampilannya. Wanita itu kelihatan nampak berisi, seperti orang yang sedang hamil.

"Anam mana?" tanyanya dengan tatapan yang masih sama. Datar dan penuh dengan kebencian.

"Masuk dulu, Mbak. Mbak Sri, apa kabar? Lilis kok gak ikut?" Aku mencoba untuk bersikap ramah, walaupun tak digubris olehnya.

Perempuan itu enggan menjawab, sepertinya sangat berat untuk sekedar membuka mulut.

"Anam mana?" tanyanya lagi, bahkan dia sama sekali tak menatapku saat berbicara.

"Ada di dalam. Ayo, masuk dulu, Mbak."

Aku berusaha menjadi ipar yang baik untuknya, tapi baik itu gak harus mengalah dan diam kan?

"Gak perlu. Aku hanya ingin bertemu dengan Adikku!" sahutnya tetap dengan gayanya yang khas, judes, ketus dengan suara cempreng.

"Ok." Aku pun beranjak meninggalkannya untuk memberitahu Mas Anam. Takut mulut ini khilaf kalau lama-lama berhadapan dengannya.

"Ada Mbak Sri di depan, Mas. Dia gak mau masuk," kataku langsung, ketika melihatnya keluar dari kamar mandi.

Mas Anam nampak kaget, terlihat dari dahinya yang berkerut. Namun, itu tidak lama, dia segera bersikap biasa lagi.

"Iya." Hanya itu jawaban Mas Anam, setelah meletakkan handuk di belakang rumah, suamiku itu langsung ke depan untuk menemui kakaknya.

Gegas aku menyalakan kompor untuk membuat minuman. Setelah secangkir teh siap, aku segera membawanya ke depan.

"Aku kan sudah sering bilang, Mbak. Jangan terlalu dekat dengannya." Mas Anam berbicara pelan pada kakak perempuannya itu. Aku pun menghentikan langkah yang hampir sampai di ambang pintu, sepertinya mereka sedang berbicara serius.

"Kamu juga menyalakan aku?" tanyanya sambil terisak. Terlihat dari jendela kaca bahunya sampai bergetar. Aku yang semakin penasaran dengan apa yang terjadi, memilih diam di tempat sambil mempertajam pendengaran.

"Bukan mau menyalahkan, Mbak. Gini saja, sekarang Mbak Sri maunya gimana?" bujuk suamiku dengan suara lembut.

"Ya gimana lagi, Nam. Ya seperti yang sudah kukatakan tadi," ucapnya tersendat-sendat karena sesenggukan.

Mas Anam nampak menghela nafas. Lelakiku itu nampak gelisah.

"Aku akan mengusahakannya ya, Mbak," ucapnya lagi.

"Ya iyalah, kalau bukan kamu siapa lagi?" Sepertinya Mbak Sri sudah berhenti menangis, suaranya sudah terdengar normal, judes-judes cempreng.

Setelah sepersekian detik mereka saling diam, aku pun segera keluar dari persembunyian untuk menyuguhkan minuman.

Mbak Sri buru-buru berdiri setelah melihatku datang. "Ya udah. Aku pergi dulu. Oh iya, Lilis lagi kurang sehat, kamu datanglah ke rumah. Hari ini aku ada urusan," ujarnya tanpa melihat padaku.

"Diminum dulu, Mbak." Aku menawarkan teh untuknya sebelum dia benar-benar pergi.

"Aku pulang ya, Nam. Ingat pesanku." Bukannya menyahut tawaranku, perempuan itu malah berpesan pada Mas Anam.

"Ini diminum dulu, Mbak." Mas Anam ikut menawarinya.

"Gak usah!" Setelah berucap dia pun beranjak meninggalkan teras rumahku dengan langkah tergesa-gesa.

"Ada apa, Mas?" tanyaku. Jelas saja aku penasaran dengan obrolan mereka tadi. Sebenarnya apa yang terjadi kenapa Mbak Sri sampai menangis.

"Gak ada apa-apa, Wid. Kamu udah selesai masaknya?" Bukannya memberiku jawaban, dia malah bertanya hal lain. Aku semakin penasaran, kira-kira apa yang disembunyikan oleh Mas Anam.

"Belum, Mas. Kamu udah lapar?" Sebal juga karena Mas Anam tak jujur padaku.

"Belum juga sih, maksudku kalau sudah selesai kita ke tempat Lilis," ujarnya.

"Kalau nunggu selesai lama, Mas. Aku belum nyuci soalnya."

Aku berkata sambil melangkah masuk dengan membawa nampan.

"Ya udah, kamu lekas masak, aku yang mencuci," sahutnya setelah langkah kami beriringan.

"Baiklah ...."

**

Kami sampai di kontrakan Mbak Sri menjelang siang. Ternyata rumah ini cukup ramai, ada tiga wanita yang sedang duduk-duduk di ruang tamu ketika kami sampai. Mereka semua tersenyum melihat kedatangan kami. Jujur ini adalah pertama kalinya aku datang ke sini.

"Mereka ini temannya Mbak Sri sama Lilis?" tanyaku berbisik pada Mas Anam.

"Iya, mereka juga ngontrak di sini, Wid," sahutnya sambil terus membawaku masuk lebih dalam.

"Mas Anam?" sapa seorang wanita yang baru keluar dari sebuah kamar. Wanita itu cukup cantik, dia memiliki lesung pipi saat tersenyum.

"Baru datang? Sri-nya lagi gak di rumah, Mas," ucapnya lagi, terdengar sangat akrab dengan suamiku.

"Iya, kami sudah tahu kok. Oh iya, Er. Kenalkan ini istriku, Widya."

Wanita itu mengulurkan tangannya, dengan senang aku menerima uluran tangannya.

"Erna."

Related chapters

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   enam

    Ada sesuatu yang mengganjal ketika wanita itu menyebutkan namanya. Sepertinya cukup familiar di telingaku."Widya," sahutku yang masih diliputi rasa penasaran."Kami mau menjenguk Lilis, katanya lagi kurang sehat ya?" tanya Mas Anam memecah keheningan yang tercipta untuk sesaat."Oh, dia sedang istirahat, barusan aku menyuapinya, Mas. Masuk saja, paling juga belum tidur," sahutnya."Terima kasih ya, Er. Sudah merepotkanmu," ucap Mas Anam tulus."Nyantai aja lah, Mas. Kayak sama siapa saja," sahutnya sambil mengedipkan satu matanya. Oh Tuhan, drama apalagi ini?Lilis sedang berbaring sambil memainkan ponselnya, ketika kami masuk ke kamarnya. Saking seriusnya sampai-sampai dia tak menyadari kedatangan kami."Lis ....""Eh, Mas?" Gadis itu nampak terkejut. "Baru datang?" imbuhnya bertanya."Iya, gimana? Apanya yang sakit?" tanya Mas Anam penuh perhatian."Badanku meriang, Mas. Kepalaku pusing," sahut gadis itu manja. Aku tersenyum melihatnya. Beruntung sekali yang mempunyai seorang kakak

    Last Updated : 2023-01-26
  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   tujuh

    Mendengar penuturan Lilis, membuat napas ini tersengal. Seketika emosi menguasai hati dan pikiran. Ingin rasanya berteriak namun lidahku terasa keluh, benar-benar tak mengira akan mendengar hal yang sangat menyakitkan dari gadis manis itu.Aku mengambil napas dalam, sebelum memutuskan untuk mengetuk pintu. Aku sudah muak dengan semua ini.Perlahan aku melangkah mendekat, melihat kedatanganku semuanya terdiam, termasuk Mas Anam. Aku meneruskan langkahku sampai ke ranjang tempat Lilis berbaring."Cepat sembuh ya, Lis. Ini buat periksa ke dokter," ucapku sambil menyelipkan beberapa lembar uang berwarna merah di tangannya."Ayo, Mas. Kita balik, biar Lilis bisa istirahat," ajakku pada Mas Anam yang masih terpaku melihat sikapku."Aku masih kangen dengan Mas Anam! Jadi dia tak boleh kemana-mana!" cegah Lilis setengah berteriak."Ya udah, kalau gitu aku pulang sendiri ya, Mas. Kasihan Lilis masih kangen dengan kakaknya yang ganteng dan baik hati ini," ujarku."Gini aja. Lis, mas mau nganter

    Last Updated : 2023-01-26
  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   delapan

    Tanpa menyahut lagi, Mas Anam melangkah ke kamar mandi. Sementara aku yang masih kesal hanya bisa memukul bantal sebagai pelampiasan.Setelah menumpahkan emosi pada benda empuk itu, perasaan ini sedikit merasa puas, walaupun napasku masih ngos-ngosan. Tak hanya merasa lega, aku juga merasa capek sekali, keringat juga sudah membasahi kening ini. Ah, lumayan olahraga.Sebelum emosi datang lagi, aku memilih untuk beranjak dari kamar menuju dapur untuk menyeduh kopi, menghirup aromanya yang menurutku bisa memenangkan pikiran yang sedang kalut."Aku mau balik ke rumah Lilis. Mungkin pulangnya malam, jadi kamu gak usah nungguin," ucap Mas Anam tiba-tiba. Aku menoleh sekilas, lelakiku itu memang terlihat tampan, apalagi sehabis mandi seperti saat ini. Alis yang tebal, hidung yang mancung serta mempunyai rahang yang kokoh ditambah tatapan matanya yang tajam. Sungguh pesona bagi wanita.Aku tak menjawab, kembali asyik menikmati aroma kopi yang dibawa oleh kepulan asapnya."Wid?" Terdengar lan

    Last Updated : 2023-01-27
  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   sembilan

    Pintu sedang dibuka dari luar ketika aku hendak meraih ganggangnya. Mas Anam menelan ludah saat mata kami beradu. Rupanya dia tidak pulang sendiri, ada Mbak Sri, Lilis juga Erna, ikut bersamanya."Ada apa ini?" tanyaku terkejut bercampur heran. Jujur aku kaget dengan kedatangan mereka. Bahkan berbagai pikiran buruk sudah berseliweran di kepala."Mau mampir saja, Wid. Ada yang kangen soalnya, biasalah CLBK. Hahaha," sahut Mbak Sri. Entah apanya yang lucu sehingga dia bisa tertawa bahagia seperti itu.Aku langsung bisa menangkap ke arah mana Mbak Sri berbicara. Kini dia semakin berani bahkan terang-terangan berkata demikian di depanku dan Mas Anam.Aku melirik kepada lelakiku, berharap dia menyangkal. Namun, dia hanya tersenyum kikuk, sambil mengusap tengkuk. Aku berdecak melihatnya yang tak bisa berkutik dihadapan kakaknya. Apa benar cinta mereka belum kelar?"Oh gitu? Ya udah silahkan ngobrol-ngobrol. Aku mau berangkat kerja dulu," sahutku sambil menutup pintu lalu menguncinya. Tak su

    Last Updated : 2023-01-28
  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   sepuluh

    "Kamu—""Lekas pergi, Mbak. Sebelum aku semakin hilang kendali," tegasnya.Kini tinggal kami berdua. Aku memilih acuh, rasanya malas untuk mulai berkata."Maafkan aku, Wid," ucapnya sambil membuka pintu. Sementara tangan yang satunya tetap menggenggam tanganku, pelan dia menarik diri ini masuk.Setelah pintu kembali tertutup lelaki itu segera menarik tubuhku, mengurungnya dalam dekapan."Untuk apa minta maaf? Yang penting kan saudaramu bahagia," sahutku sambil berusaha mengurai pelukannya.Mendengar ucapanku Mas Anam berdecak lalu menghela napas kemudian semakin mempererat dekapannya."Udah ah! Aku udah telat, nanti Baba Ong marah lagi. Awas!" seruku sambil berusaha mendorong dadanya."Hari ini bolos aja," titahnya sambil terus saja mendekap diri ini."Enak aja, ogah!" sahutku yang terus berusaha melepaskan diri."Ini perintah suamimu, Wid." Suaranya terdengar lembut, tetapi tetap saja kalimat itu menjengkelkan."Enak ya jadi suami, tinggal perintah ini, perintah itu. Kalau gak nurut,

    Last Updated : 2023-01-29
  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   sebelas

    "Widya!" bentak Mas Anam. Sepertinya lelaki itu tidak suka aku bicara seperti itu."Apa?" sahutku yang sudah tersulut emosi karena teriakannya tadi."Kamu jangan bilang seperti itu, aku gak suka," sahutnya. Tatapan matanya tajam menghujam manik mataku."Lah terus kenapa tadi bisa bareng-bareng gitu sama mantanmu? Kamu pikir aku suka?" bantahku tak kala sengit."Tadi itu kita gak bareng, Widya! Mereka datang setelah aku baru sampai. Mereka juga gak tahu kalau semalam aku gak pulang. Dan soal perkataan Mbak Sri tadi, gak usah kamu masukkan dalam hati," pesannya. Kali ini nada bicaranya sudah mulai turun."Widya!" bentak Mas Anam, mungkin dia tidak suka aku bicara seperti itu."Apa?" sahutku yang sudah tersulut emosi karena teriakannya tadi."Kamu jangan bilang seperti itu, aku gak suka," sahutnya."Lah terus kenapa tadi bisa bareng-bareng gitu sama mantanmu? Kamu pikir aku suka?""Tadi itu kita gak bareng, Widya! Mereka datang setelah aku baru sampai. Mereka juga gak tahu kalau semalam

    Last Updated : 2023-02-01
  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Dua belas

    Suasana kontrakan itu nampak ramai. Jeritan dan teriakan saling bersahutan, ditambah juga dengan riuh suara orang yang sesekali bersorak."Dasar pelakor!""Auh! Lepas!""Wanita sundal! Murahan!""Aaa!""Kurang ajar!""Auh!"Aku dan Mas Anam mencoba masuk dalam kerumunan, akhirnya dengan susah payah kami bisa sampai di depan kerumunan. Terlihat Mbak Sri dan seorang wanita saling jambak dan saling tindih."Astaghfirullah!" pekik kami berdua secara bersamaan."Hentikan!" Seorang lelaki berteriak sambil menerobos kerumunan dari arah berlawanan dengan kami. Lelaki itu segera memeluk wanita yang berduel dengan Mbak Sri. Sedangkan aku dan Mas Anam segera membantu Mbak Sri yang masih terkapar.Tanpa banyak bicara, lelaki itu langsung membopong wanita tadi pergi."Darah, Mas!" pekik Lilis sambil menunjuk kaki kakaknya.Kami serentak menengok arah yang ditunjuk oleh Lilis, dan itu membuat kami semua tersentak. Cairan merah itu mengalir deras dari sela-sela kedua kaki Mbak Sri."Mas, kita bawa M

    Last Updated : 2023-02-02
  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   tiga belas

    Seorang wanita datang ke rumah, saat aku baru saja selesai menyapu setelah pulang kerja."Permisi, Mbak. Maaf mengganggu. Apa benar ini rumahnya Mas Anam?" tanyanya ramah padaku."Iya, Bu. Ada perlu apa ya kok mencari suamiku?" Aku menyahut. Namun, ada sesuatu yang membuatku terus memandanginya. Rasanya pernah melihatnya, tapi di mana ya?"Begini, Mbak, aku kesini mau minta tolong. Aku mau minta alamat rumahnya Mbak Sri," ucapnya sopan.Aku tak langsung menjawab, sekali lagi mengamati wajah wanita yang sedang berdiri di hadapanku ini. Setelah cukup keras berpikir akhirnya aku bisa ingat kalau dia adalah wanita yang dulu bertengkar dengan Mbak Sri waktu itu."Gini aja, Bu. Berhubung aku juga akan ke sana, jadi nanti bareng aja. Aku tak mandi dulu. Mari silahkan masuk."Memang tadi rencananya aku akan ke sana, menghampiri Mas Anam, sekaligus menengok Mbak Sri. Bahkan aku juga sudah membeli beberapa buah untuk dibawa ke sana."Wah kebetulan sekali, tapi saya nunggu di sini saja ya, Mbak.

    Last Updated : 2023-02-04

Latest chapter

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh enam

    Hal seperti ini takkan membuat rasa percayaku pada Mas Adnan luntur. Pengalaman dulu membuat diri ini semakin sadar, bahwa semua itu hanya sebuah jebakan, menganggap iseng orang yang sudah melakukannya.Namun, aku tak langsung menghapusnya, menyimpan agar nanti bisa kutunjukan pada suamiku. Bagaimana nanti reaksinya? Sama kah dengan sikap Mas Anam dulu?Heran, masih saja ada orang jahil dengan menggunakan cara seperti itu. Apa yang mereka harapkan, kehancuran rumah tanggaku? Sungguh pekerjaan yang sia-sia.**"Dek, jalan-jalan yuk," ajak Mas Adnan setelah pulang dari masjid selepas salat subuh."Emang mau ke mana sih, Mas?" tanyaku malas-malasan. Tadi aku kembali berbaring setelah melaksanan kewajiban subuh."Ke pasar, mau?" tanyanya lagi, saat ini Mas Adnan sudah berada di sisiku. Lelaki itu memijit kakiku dengan lembut. Sesekali tangannya mengelus perutku yang sudah membuncit."Mas," panggilku sambil memberikan ponselk

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh lima

    "Bidan? Tunggu!" Aku bergegas ke arah kalender yang tergantung di dinding. Melihat tanggal dan hari yang tertera di bulan ini."Mas ...." panggilku dengan suara bergetar. Lelaki itu gegas mendekati diriku yang sedang terpaku di depan deretan angka dalam kalender tersebut."Ada apa, Dek?" Mas Adnan nampak bingung, lelaki itu memandang diriku dan kalender secara bergantian."Mas, sudah dua bulan ini aku gak bulanan. Apa mungkin—?" Aku menggantungkan kalimat yang tadi kuucap. Dadaku berdetak lebih kencang, pandangan mata kami bertemu. Seolah bisa mengerti apa yang ingin ku ucapkan. Tiba-tiba Mas Adnan meraih tubuhku dalam pelukannya, bisa kurasakan detak jantungnya yang memompa dengan cepat."Ya Allah ... Alhamdulillah," ucap Mas Adnan dengan suara parau. Lelakiku itu nampak meneteskan air matanya."Bismillah, kita ke rumah bidan sekarang. Semoga saja apa yang kita pikirkan benar terjadi atas izin Allah." Doanya yang segera kuamini.

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh empat

    "Mas, aku mau tinggal di sini. Di rumah Ayah dan Ibu." Memang benar apa yang dikatakan suamiku ini, tapi aku sangat berat meninggalkan kota, di mana aku lahir dan dibesarkan. Mas Adnan terlihat terkejut, namun sekejap kemudian dia tersenyum bahagia."Insyaallah, di sini juga menyenangkan kok, Dek. Kamu juga bisa bantu Mas ngajar ngaji. Bayangkan setiap satu huruf yang kita ajarkan akan menjadi amal jariyah untuk kita selamanya."Aku tersenyum mendengarkan bujukan Mas Adnan, aku berasa jadi anak kecil. Dibujuk dan dirayu."Dan untuk Anam dan istrinya biarkan mereka bahagia menurut mereka. Tahu gak, kalau kita membuat orang lain bahagia, maka atas izin Allah kita juga akan dibahagiakan orang lain." Kembali aku dibuat tersenyum oleh lelaki dengan mata setajam elang ini."Bagaimana dengan rumahnya, Mas? Apa harus dijual?""Gak usah dijual, Dek. Sebulan atau dua bulan sekali kita ke sana untuk liburan. N

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh tiga

    "Difa itu apanya kamu, Mas?" tanyaku, ketika tangannya mulai mengelus rambut hitamku."Sepupu, Dek. Kenapa?" Lelaki itu balik bertanya. Saat ini di tengah menoleh memperhatikan diri ini.Mas Adnan bertanya mengapa? Benar-benar laki-laki gak peka. Padahal tadi Hanin, sepupunya yang lain sedikit cerita tentang sepupunya yang bernama Difa itu."Menyebalkan," ucapku yang lebih mirip dengan gumaman."Siapa yang sudah membuatmu sebal, Dek? Sini bilang." Mas Adnan mencoba menggodaku dengan candaannya. Namun, hati ini sudah telanjur kesal, akhirnya aku pun berbaring memunggunginya.Mas Adnan tak lagi membujuk, lelakiku itu ikut berbaring, lalu memeluk tubuh ini dari belakang, posisi yang sangat kusukai karena aku merasa nyaman, aman dan yang pasti merasa dilindungi."Mas, tahu gak? Tekanan mental seberat apapun dari pihak ketiga untuk istri, tidak akan berpengaruh banyak jika suami menjadi tameng terdepan ba

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh dua

    Lagi, kata Mbak Sasa, Erna terlihat sangat bahagia semenjak aku pulang ke kampung. Namun, akhir-akhir ini wanita itu nampak murung kembali setelah mengetahui aku telah menikah. Hah?! Apa hubungannya?Setelah berhaha-hihi dengan mereka, aku pun berpamitan untuk undur diri. Saatnya meneruskan nulis untuk menambah bab cerita yang sedang on-going. Sampai entah kapan diri ini terlelap.Aku merasa terusik, saat merasakan seseorang tengah membetulkan letak tidurku. Tubuhku menggeliat setelah itu mata ini mengerjap, setelah mengamati sekejap akhirnya netra ini terbuka sempurna."Mas Adnan, kapan datang? Kok gak dibangunin sih?" tanyaku bercampur kaget."Baru saja datang, Dek. Maaf ya gara-gara mas tidur jadi terganggu. Habisnya melihatnya saja dadaku ikut ampek," ujarnya sambil meninggalkanku, kemudian dia melangkah ke kamar mandi.Kutengok jam di meja menunjukkan pukul setengah tiga, aku pun bangkit, beranjak dari kasur yang empuk dan nyaman ini

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh satu

    "Nanti sore saja kita ke rumah ibu. Sekalian nginap di sana. Setelah sampai di sana, baru kita berangkat ke kota. Aku berangkat dulu ya." Dia pun melajukan sepeda motornya setelah mengucapkan salam.Karena merasa sepi, sendirian di rumah, aku pun memutuskan untuk pergi ke pasar. Untuk membantu Ayah dan Ibu."Loh, nganten baru kok ke pasar sendirian?" tanya seorang ibu yang aku tahu orangnya, tapi gak tahu namanya."Iya, Bu," sahutku sambil tersenyum, berusaha bersikap ramah walaupun tak begitu mengenalnya."Gak, pa-pa, Nak. Memang suamimu itu orang sibuk, pekerja keras dia. Rajin, banyak yang menyukainya, eh dia malah jadi jodohmu." Ibu itu pun berlalu setelah berucap.Sebenarnya aku ingin padanya tentang apa sebenarnya pekerjaan Mas Adnan. Namun, aku mengurungkannya, khawatir wanita itu nanti malah berpikir yang tidak-tidak, masak seorang istri gak tahu pekerjaan suaminya. Aneh, kan?"Loh, Widya. Kamu kok kesini?" tanya Ayah sa

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh

    Aku terjaga ketika sayup-sayup mendengar sholawat tarhim dari masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah, bibir ini tak henti-hentinya tersenyum, jika mengingat kejadian semalam.Tunggu! Aku menoleh ke belakang. Namun tak kutemui Mas Adnan di belakangku. Kemana suamiku? Apa dia sudah bangun? Ah, malunya diriku jika memang seperti itu.Mas Adnan keluar dari kamar mandi, lelaki itu hanya memakai handuk yang dililitkan di pinggangnya. Dia melihatku sekilas, lalu dengan santai memakai pakaian di hadapanku. Mungkin dia mengira aku masih tidur, atau dia sengaja mau menggodaku? Ah, sialnya aku yang malu sendiri dibuatnya.Aku masih pura-pura tertidur, mata ini masih terpejam, ketika dia mulai mendekat lalu duduk di sisi ranjang.Telapak tangannya yang besar mengelus rambutku, membenarkan beberapa rambut yang menutupi wajahku, menyelipkan beberapa helai anak rambut ke telinga lalu mengecup kening turun, terus turun ke bawah hingga sampai di bib*rk

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   tiga puluh sembilan

    "Alhamdulillah, dilanjut nggih?""Nggih ....""Dari episode indah Umar bin Khathab dalam bermuamalah dengan pasangannya, ada faidah penting yang bisa dijadikan acuan bagi keharmonisan pasutri.""Pertama, suami hendaklah mampu menahan diri. Sikap diamnya Umar bukan berarti ia tak membela diri, justru sebaliknya. Inilah sikap mulia seorang suami sekaligus sebagai pemimpin rumah tangga ia telah memberikan teladan dalam kebaikan akhlak.""Bukan pula ia membiarkan kesalahan istri, tapi saat situasi memanas, sama sekali tak kondusif untuk menasehati istri. Terlebih lagi ketika ia segera membalas kemarahan istri, maka yang terjadi adalah perang mulut dimana ledakan emosi-emosi negatif akan menjadikan keduanya terjebak dalam pertengkaran, karena masing-masing mengemukakan alasan.""Disinilah, sosok suami shalih harus mampu mengendalikan diri, menjaga keadaan tetap stabil sehingga tak membuka kesempatan sekecil apapun bagi setan untuk ma

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Tiga puluh delapan

    "Ada apa, Yah, Bu?" Kenapa kalian senyam-senyum?""Senang aja, akhirnya akan ada lagi yang menjaga putri ibu, dan yang lebih membuat kami bahagia, kami sudah kenal dan tahu orangnya.""Doakan agar semua berkah ya, Bu, Yah." Seperti anak kecil aku pun menghambur ke pelukan ibu.**Semua sudah siap, tak ada pesta meriah, hanya ijab qobul yang akan kami lakukan di KUA.Setelah itu ibu akan mengadakan syukuran dan meminta doa dari kerabat serta tetangga dekat untuk keberkahan keluarga baruku.Doa dipanjatkan dengan khusus yang dipimpin oleh Mbah Moden. Tak lupa beberapa wejangan juga beliau berikan kepada kami."Menikah adalah sebuah proses menerima kekurangan pasangan yang tidak engkau temui ketika baru berkenalan dengannya.""Sesungguhnya menikah memerlukan perjuangan panjang dan lama, akan tetapi terasa indah."Setelah itu Mbah Moden yang merangkap seorang ustadz itu menceritakan tentang rumah tangga Say

DMCA.com Protection Status