"Nam, yakin Widya kamu suruh tinggal," sahut Mbak Sri dengan senyum misterius. Seolah menyadari sesuatu, perlahan Mas Anam melepaskan pegangannya."Widya, yakin kamu mau pulang? Gak ingin lihat ijab kabul sekali lagi, Nih?" imbuh Mbak Sri."Emang siapa yang mau menikah?" tanyaku pada Mas Anam. Lelaki itu tak menjawab, malah membuang muka.Seperti sekian detik kemudian Erna keluar dengan menggunakan pakaian pengantin adat jawa dengan senyum merekah di bibirnya. Wanita itu nampak cantik dengan balutan kebaya warna putih."Aku sudah siap, Mas," ucapnya tersenyum bahagia, wanita itu berjalan menghampiri Mas Anam, setelah itu tanpa canggung dia menggandeng tangan suamiku ini.Untuk sesaat aku hanya bisa terdiam karena masih bingung, otakku berusaha mencerna keadaan yang terjadi saat ini. Wanita itu bilang sudah siap pada Mas Anam, itu berarti suamiku akan menikah lagi, gitu? Dan yang lebih menyakitkan lelaki itu hanya diam tanpa membantah.Aku tak menyangka akan bernasib sama dengan Bu San
Kulalui hari-hari seperti biasa, membersihkan rumah dan pergi bekerja. Hingga tak terasa sudah hampir setengah tahun aku hidup sendiri tanpa suami, dan selama itu pula Mas Anam juga tidak memberi kabar. Bohong, kalau aku bilang semua baik-baik saja. Setegar apapun diri ini, tetap saja pernah merasa sedih dan kesepian.Hari Minggu ini aku menyibukkan diri dengan mengemasi barang-barang milik Mas Anam, semua pakaian dan semua barang yang berhubungan dengannya kumasukkan ke dalam kardus dan tas kresek. Aku tidak mau terus berada dalam dilema, segera mungkin akan menyudahi semua ini.Setelah semuanya sudah beres, segera kubawa ke kamar belakang, menaruhnya bersama dengan barang-barang yang sudah tak terpakai lainnya."Akhirnya selesai sudah," ucapku pada diri sendiri setelah meletakan kardus dan kresek dalam kamar tersebut.Lanjut melangkah lagi ke kamar, kali ini sambil membawa sapu dan pengki. Selain bersih-bersih aku juga hendak menata ulang letak beberapa perabot dalam kamar, hal yang
"Mbak Widya!" Gadis itu mendekatiku sambil menahan tangis dengan langkah tergesa."Eh! Ada apa ini?!" Jujur aku kaget dengan sikapnya yang tiba-tiba. Langsung terbesit rasa curiga melihat kedatangan kali ini.Lilis semakin mendekat padaku, sementara kekasihnya memilih berhenti di tempatnya berdiri. Sejenak kemudian dia berbalik menuju mobil lalu berlalu pergi.Melihat kekasihnya pergi, Lilis semakin menangis. Gadis itu memejamkan matanya seolah ingin meredam rasa sakit karena ditinggalkan."Mbak ... aku mau minta tolong," ujarnya sambil mendaratkan pantatnya di sebelahku, sesekali dia masih sesenggukan. Tumben, sepertinya dia benar-benar sedang terluka.Aku hanya mengernyitkan dahi mendengar ucapannya. Aneh saja dia yang biasanya menghina dan selalu mengibarkan bendera peperangan, kini minta tolong padaku. Sungguh mencurigakan.Melihat aku yang tak begitu meresponnya, gadis itu pun kembali melanjutkan ucapannya."Mbak, tolong izinkan aku tinggal di sini, barang dua sampai tiga minggu,
Selama dalam perjalanan pikiran ini banyak melamun. Memikirkan rumah tangga yang hanya seumur jagung. Semua kenangan bersama Mas Anam berkelebat dalam ingatan. Namun, tekat ini sudah bulat, tinggal menunggu restu dari ayah dan ibu, setelah itu aku akan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan.Hari sudah hampir gelap, ketika aku sampai dihalaman rumah orang tuaku. Berkali-kali diri ini menghela napas membuang sesak yang memenuhi dada.Rasanya aku ingin segera mengadu pada ayah tentang perlakuan Mas Anam, agar lelaki itu kena marah karena sudah membuat aku terluka.Belum juga aku sampai di depannya, pintu itu sudah terbuka. Seorang wanita sebayaku keluar dari rumah."Widya!" serunya membahana, membuat gaduh suasana yang tadi sangat tenang."Elok!"Kami saling menghampiri lalu saling berpelukan."Kok gak bilang kalau mau pulang?" tanya yang masih memeluk diri ini."Surprise!" sahutku sambil tersenyum bahagia.Setelah beberapa saat, kami pun mengurai pelukan yang sangat hangat tadi. Namun,
"Mau apa kamu di sini, Mas?!" tanyaku geram. Aku sadar sedang berada di rumah sakit, jadi sebisa mungkin menahan emosi yang tiba-tiba hadir di hatiku saat melihatnya.Ayah dan Mas Anam serentak menoleh mendengar suaraku."Widya!" Kedua lelaki itu bersamaan menyebut namaku.Ayah tersenyum dan langsung berdiri, aku pun melangkah menghampirinya, meraih tangan keriput itu lalu menciumnya dengan takzim.Mas Anam sudah berdiri setelah aku salim dengan Ayah. Nampak kerinduan di sorot matanya ketika aku memandangnya. Namun, siapa peduli? Aku sudah menganggapnya tidak ada."Katakan tujuanmu kesini untuk apa?" tanyaku lagi, karena dia tidak kunjung menjawab. Sengaja aku menatapnya tajam, rasa cinta yang dulu bersemayam di hati, kini sudah sirna berganti rasa benci yang teramat sangat. Benar adanya jika jarak antara cinta dan benci itu hanya sehelai rambut."Aku hanya ingin menengok Ayah dan Ibu, Wid," sahutnya dengan suara pelan sambil menoleh memutus pandanganku."Untuk apa? Mereka bukan lagi
"Ayah, aku besok mau balik, gak enak sama Baba Ong. Ini saja sudah molor dari perjanjian yang hanya seminggu," ucapku pada Ayah saat kami duduk santai di teras saat pagi hari."Bagaimana kalau kamu tinggal di sini saja, Wid?" tanya Ayah sambil menatap diri ini lembut."Terus rumah yang di kota bagaimana, Yah? Dan ... apa aku akan betah tinggal di sini? Mau kerja apa aku, Yah?" sahutku sambil melempar tanya pada beliau.Pikiran ini melayang jauh ke tempat yang sangat kusukai, rumah yang dulu tempatku tumbuh kembang dengan berlimpah kasih sayang, walaupun hidup serba pas-pasan."Bagaimana kalau rumahnya dikontrakkan saja?" usul Ayah tiba-tiba, dan itu cukup membuatku menoleh sejenak padanya."Jangan, Yah. Bagaimana kalau Ayah dan Ibu yang kembali ikut ke sana?" sahutku sambil tersenyum, berharap Ayah dan Ibu mau ikut."Ayah dan Ibu juga sudah betah di sini, Wid, dan bagaimana dengan Nenekmu?" ujarnya dengan suara lirih."Ya udah, kita jalani saja kehidupan seperti biasanya, Yah. Nanti a
Seseorang memanggil namaku setelah kami bersiap masuk ke rumah. Kami pun serempak menoleh ke asal suara."Mau apa lagi kamu kesini, Nam?" tanya ibu ketus. "Belum puas kemarin saudaramu itu membuat aku masuk ke rumah sakit?" imbuhnya."Sudah, Bu. Ayo masuk, biar Widya menyelesaikan urusan mereka," ajak Ayah pada Ibu. "Widya bicarakan semuanya dengan Anam. Apapun keputusanmu Ayah dan Ibu pasti mendukungmu." Setelah berucap lelaki yang telah mengukir jiwa ragaku itu pun membawa ibu masuk.Kali ini urusannya harus selesai, aku gak akan menghindar dan terus berhubungan dengannya."Apa yang ingin kamu bicarakan, Mas?" tanyaku sambil melangkah ke samping rumah."Kita bicara di belakang rumah," ucapku setelah itu melanjutkan langkah ke belakang tempat tinggal Ayah dan Ibu ini. Bisa kudengar kalau dia menyusul dari suara langkah kakinya.Aku menghentikan langkah karena ada yang memelukku dari belakang. Napasn
"Setuju gak setuju, ya harus setuju, Bu. Tekadku sudah bulat gak bisa diganggu gugat," jawabku mantap."Emang kamu ada biayanya?" tanya ibu lagi."InsyaAllah ada, Bu," ucapkan meyakinkan wanita yang sangat menyayangi diriku."Syukurlah, ibu dan Ayah lagi gak ada uang, Wid. Sudah dipakai biaya rumah sakit kemarin. Ada sedikit, tapi nanti buat kulakan kelapa. Kalau kamu mau, tunggulah barang sebulan atau dua bulan, insyaAllah sudah ada rejekinya." Terdengar helaan napas setelah ibu mengatakan itu."Oh iya, kamu jadi berangkat kapan?""Besok, Bu," sahutku sambil memasukkan nasi ke mulut."Kamu—""Bu, sarapan dulu ya, ngobrolnya nanti," ucap Ayah memotong Kalimat yang akan diucapkan ibu. Tanpa menjawab ibu langsung mulai memakan nasi yang sudah ada di dalam piringnya, begitu juga aku dan Ayah.***"Bu, aku mau ke rumah Elok ya!" Aku mau berpamitan pada sepupuku i
Hal seperti ini takkan membuat rasa percayaku pada Mas Adnan luntur. Pengalaman dulu membuat diri ini semakin sadar, bahwa semua itu hanya sebuah jebakan, menganggap iseng orang yang sudah melakukannya.Namun, aku tak langsung menghapusnya, menyimpan agar nanti bisa kutunjukan pada suamiku. Bagaimana nanti reaksinya? Sama kah dengan sikap Mas Anam dulu?Heran, masih saja ada orang jahil dengan menggunakan cara seperti itu. Apa yang mereka harapkan, kehancuran rumah tanggaku? Sungguh pekerjaan yang sia-sia.**"Dek, jalan-jalan yuk," ajak Mas Adnan setelah pulang dari masjid selepas salat subuh."Emang mau ke mana sih, Mas?" tanyaku malas-malasan. Tadi aku kembali berbaring setelah melaksanan kewajiban subuh."Ke pasar, mau?" tanyanya lagi, saat ini Mas Adnan sudah berada di sisiku. Lelaki itu memijit kakiku dengan lembut. Sesekali tangannya mengelus perutku yang sudah membuncit."Mas," panggilku sambil memberikan ponselk
"Bidan? Tunggu!" Aku bergegas ke arah kalender yang tergantung di dinding. Melihat tanggal dan hari yang tertera di bulan ini."Mas ...." panggilku dengan suara bergetar. Lelaki itu gegas mendekati diriku yang sedang terpaku di depan deretan angka dalam kalender tersebut."Ada apa, Dek?" Mas Adnan nampak bingung, lelaki itu memandang diriku dan kalender secara bergantian."Mas, sudah dua bulan ini aku gak bulanan. Apa mungkin—?" Aku menggantungkan kalimat yang tadi kuucap. Dadaku berdetak lebih kencang, pandangan mata kami bertemu. Seolah bisa mengerti apa yang ingin ku ucapkan. Tiba-tiba Mas Adnan meraih tubuhku dalam pelukannya, bisa kurasakan detak jantungnya yang memompa dengan cepat."Ya Allah ... Alhamdulillah," ucap Mas Adnan dengan suara parau. Lelakiku itu nampak meneteskan air matanya."Bismillah, kita ke rumah bidan sekarang. Semoga saja apa yang kita pikirkan benar terjadi atas izin Allah." Doanya yang segera kuamini.
"Mas, aku mau tinggal di sini. Di rumah Ayah dan Ibu." Memang benar apa yang dikatakan suamiku ini, tapi aku sangat berat meninggalkan kota, di mana aku lahir dan dibesarkan. Mas Adnan terlihat terkejut, namun sekejap kemudian dia tersenyum bahagia."Insyaallah, di sini juga menyenangkan kok, Dek. Kamu juga bisa bantu Mas ngajar ngaji. Bayangkan setiap satu huruf yang kita ajarkan akan menjadi amal jariyah untuk kita selamanya."Aku tersenyum mendengarkan bujukan Mas Adnan, aku berasa jadi anak kecil. Dibujuk dan dirayu."Dan untuk Anam dan istrinya biarkan mereka bahagia menurut mereka. Tahu gak, kalau kita membuat orang lain bahagia, maka atas izin Allah kita juga akan dibahagiakan orang lain." Kembali aku dibuat tersenyum oleh lelaki dengan mata setajam elang ini."Bagaimana dengan rumahnya, Mas? Apa harus dijual?""Gak usah dijual, Dek. Sebulan atau dua bulan sekali kita ke sana untuk liburan. N
"Difa itu apanya kamu, Mas?" tanyaku, ketika tangannya mulai mengelus rambut hitamku."Sepupu, Dek. Kenapa?" Lelaki itu balik bertanya. Saat ini di tengah menoleh memperhatikan diri ini.Mas Adnan bertanya mengapa? Benar-benar laki-laki gak peka. Padahal tadi Hanin, sepupunya yang lain sedikit cerita tentang sepupunya yang bernama Difa itu."Menyebalkan," ucapku yang lebih mirip dengan gumaman."Siapa yang sudah membuatmu sebal, Dek? Sini bilang." Mas Adnan mencoba menggodaku dengan candaannya. Namun, hati ini sudah telanjur kesal, akhirnya aku pun berbaring memunggunginya.Mas Adnan tak lagi membujuk, lelakiku itu ikut berbaring, lalu memeluk tubuh ini dari belakang, posisi yang sangat kusukai karena aku merasa nyaman, aman dan yang pasti merasa dilindungi."Mas, tahu gak? Tekanan mental seberat apapun dari pihak ketiga untuk istri, tidak akan berpengaruh banyak jika suami menjadi tameng terdepan ba
Lagi, kata Mbak Sasa, Erna terlihat sangat bahagia semenjak aku pulang ke kampung. Namun, akhir-akhir ini wanita itu nampak murung kembali setelah mengetahui aku telah menikah. Hah?! Apa hubungannya?Setelah berhaha-hihi dengan mereka, aku pun berpamitan untuk undur diri. Saatnya meneruskan nulis untuk menambah bab cerita yang sedang on-going. Sampai entah kapan diri ini terlelap.Aku merasa terusik, saat merasakan seseorang tengah membetulkan letak tidurku. Tubuhku menggeliat setelah itu mata ini mengerjap, setelah mengamati sekejap akhirnya netra ini terbuka sempurna."Mas Adnan, kapan datang? Kok gak dibangunin sih?" tanyaku bercampur kaget."Baru saja datang, Dek. Maaf ya gara-gara mas tidur jadi terganggu. Habisnya melihatnya saja dadaku ikut ampek," ujarnya sambil meninggalkanku, kemudian dia melangkah ke kamar mandi.Kutengok jam di meja menunjukkan pukul setengah tiga, aku pun bangkit, beranjak dari kasur yang empuk dan nyaman ini
"Nanti sore saja kita ke rumah ibu. Sekalian nginap di sana. Setelah sampai di sana, baru kita berangkat ke kota. Aku berangkat dulu ya." Dia pun melajukan sepeda motornya setelah mengucapkan salam.Karena merasa sepi, sendirian di rumah, aku pun memutuskan untuk pergi ke pasar. Untuk membantu Ayah dan Ibu."Loh, nganten baru kok ke pasar sendirian?" tanya seorang ibu yang aku tahu orangnya, tapi gak tahu namanya."Iya, Bu," sahutku sambil tersenyum, berusaha bersikap ramah walaupun tak begitu mengenalnya."Gak, pa-pa, Nak. Memang suamimu itu orang sibuk, pekerja keras dia. Rajin, banyak yang menyukainya, eh dia malah jadi jodohmu." Ibu itu pun berlalu setelah berucap.Sebenarnya aku ingin padanya tentang apa sebenarnya pekerjaan Mas Adnan. Namun, aku mengurungkannya, khawatir wanita itu nanti malah berpikir yang tidak-tidak, masak seorang istri gak tahu pekerjaan suaminya. Aneh, kan?"Loh, Widya. Kamu kok kesini?" tanya Ayah sa
Aku terjaga ketika sayup-sayup mendengar sholawat tarhim dari masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah, bibir ini tak henti-hentinya tersenyum, jika mengingat kejadian semalam.Tunggu! Aku menoleh ke belakang. Namun tak kutemui Mas Adnan di belakangku. Kemana suamiku? Apa dia sudah bangun? Ah, malunya diriku jika memang seperti itu.Mas Adnan keluar dari kamar mandi, lelaki itu hanya memakai handuk yang dililitkan di pinggangnya. Dia melihatku sekilas, lalu dengan santai memakai pakaian di hadapanku. Mungkin dia mengira aku masih tidur, atau dia sengaja mau menggodaku? Ah, sialnya aku yang malu sendiri dibuatnya.Aku masih pura-pura tertidur, mata ini masih terpejam, ketika dia mulai mendekat lalu duduk di sisi ranjang.Telapak tangannya yang besar mengelus rambutku, membenarkan beberapa rambut yang menutupi wajahku, menyelipkan beberapa helai anak rambut ke telinga lalu mengecup kening turun, terus turun ke bawah hingga sampai di bib*rk
"Alhamdulillah, dilanjut nggih?""Nggih ....""Dari episode indah Umar bin Khathab dalam bermuamalah dengan pasangannya, ada faidah penting yang bisa dijadikan acuan bagi keharmonisan pasutri.""Pertama, suami hendaklah mampu menahan diri. Sikap diamnya Umar bukan berarti ia tak membela diri, justru sebaliknya. Inilah sikap mulia seorang suami sekaligus sebagai pemimpin rumah tangga ia telah memberikan teladan dalam kebaikan akhlak.""Bukan pula ia membiarkan kesalahan istri, tapi saat situasi memanas, sama sekali tak kondusif untuk menasehati istri. Terlebih lagi ketika ia segera membalas kemarahan istri, maka yang terjadi adalah perang mulut dimana ledakan emosi-emosi negatif akan menjadikan keduanya terjebak dalam pertengkaran, karena masing-masing mengemukakan alasan.""Disinilah, sosok suami shalih harus mampu mengendalikan diri, menjaga keadaan tetap stabil sehingga tak membuka kesempatan sekecil apapun bagi setan untuk ma
"Ada apa, Yah, Bu?" Kenapa kalian senyam-senyum?""Senang aja, akhirnya akan ada lagi yang menjaga putri ibu, dan yang lebih membuat kami bahagia, kami sudah kenal dan tahu orangnya.""Doakan agar semua berkah ya, Bu, Yah." Seperti anak kecil aku pun menghambur ke pelukan ibu.**Semua sudah siap, tak ada pesta meriah, hanya ijab qobul yang akan kami lakukan di KUA.Setelah itu ibu akan mengadakan syukuran dan meminta doa dari kerabat serta tetangga dekat untuk keberkahan keluarga baruku.Doa dipanjatkan dengan khusus yang dipimpin oleh Mbah Moden. Tak lupa beberapa wejangan juga beliau berikan kepada kami."Menikah adalah sebuah proses menerima kekurangan pasangan yang tidak engkau temui ketika baru berkenalan dengannya.""Sesungguhnya menikah memerlukan perjuangan panjang dan lama, akan tetapi terasa indah."Setelah itu Mbah Moden yang merangkap seorang ustadz itu menceritakan tentang rumah tangga Say