Akhirnya, setelah empat belas hari lamanya Jingga dirawat, hari ini ia diperbolehkan pulang ke rumah.Kondisi Jingga berangsur membaik dari hari ke hari. Perasaannya jauh lebih baik daripada yang ia rasakan sebelum ia masuk ke rumah sakit.Jingga merasa hatinya lebih ringan, ia seperti masuk ke dalam dunia baru yang tidak pernah ia jejaki sebelumnya.Ia juga merasa bahagia oleh hal-hal kecil yang dulu tak pernah terpikir olehnya bisa membuatnya bahagia.Seperti saat ia bernapas misalnya, Jingga merasa bahagia dan bersyukur karena ia tak perlu membayar oksigen untuk bisa bernapas.Atau saat ia menatap birunya langit siang ini, saat merasakan hangatnya sinar matahari menerpa kulit. Hal-hal kecil seperti itu mampu membuat hatinya bahagia.Jingga ingat perkataan Dokter Richard beberapa hari lalu. Kurang lebih dokter itu berbicara seperti ini, “Saya pernah mengalami masa-masa sulit seperti yang Anda rasakan. Saya bukan orang religius, tapi saat saya sedang terpuruk, saya selalu meyakinkan
Pagi hari Davin selalu terasa suram selama beberapa hari yang lalu. Terbangun tanpa Jingga, membuat ia kehilangan semangat dan menjalani aktifitas bak robot.Namun, pagi ini berbeda. Wajah Jingga—yang polos dan masih terlelap dengan napas teratur, adalah pemandangan pertama yang Davin lihat saat ia membuka mata.Davin tak bisa menahan bibirnya untuk tidak tersenyum. Jantungnya mendadak berdebar kencang. Ia tak pernah menyangka bahwa kehadiran Jingga di sisinya mampu memberikan efek luar biasa.Tangan Davin terulur melewati Oliver—yang berbaring miring menghadap Jingga. Dengan lembut ibu jari Davin menyentuh pipi Jingga yang terasa halus itu.Saat Davin memajukan wajahnya untuk menghadiahi ciuman di kening istrinya, tiba-tiba sepasang tangan mungil Oliver mendorong wajahnya jauh-jauh.Davin mengerjap. Ia menunduk dan mendapati Oliver tengah menatapnya dengan penuh protes.“Hey! Kapan kamu bangun?” bisik Davin sembari menarik mundur wajahnya.Oliver masih menatap Davin. Sebelum akhirnya
Jingga menelan pil bersamaan dengan air putih. Ia harus rutin mengonsumsi obat tersebut selama enam bulan atau sampai depresinya benar-benar sembuh.Setelah menaruh gelas kosong ke atas meja, pandangan Jingga lantas tertuju pada Davin yang sedang menelepon di balkon. Pria itu mondar-mandir. Sejak pagi Davin tampak sibuk menerima telepon dari sana-sini.Jingga menghela napas panjang. “Katanya dia lagi cuti, tapi kenyataannya dia sibuk sekali dan masih banyak kerjaan,” gumam Jingga pada diri sendiri.Kemudian Jingga mengambil Oliver yang lagi sibuk dengan mainannya. Ia membawanya ke kamar mandi dan memandikan anak itu. Tadi pagi, Davin sempat berkata kepada Jingga bahwa sore ini mereka akan pergi ke sebuah acara.Jingga tidak tahu pasti acara apa yang akan mereka hadiri itu. Namun, Davin telah meyakinkannya bahwa di sana Jingga akan aman dan tidak akan ada wartawan yang hadir.Sejujurnya, perasaan Jingga sudah merasa lebih baik menghadapi skandal itu. Apalagi setelah Jingga tahu bahwa k
“Selamat ulang tahun, Jingga. Pesta ini... adalah milikmu.”“A-apa?” Jingga menatap Davin dengan penuh kebingungan. “Apa yang... kamu katakan?”Davin tersenyum lembut, ia menggenggam kedua tangan Jingga dengan hangat. “Aku ingin membuat hari ulang tahunmu menjadi spesial, karena kamu layak mendapatkannya."“Ulang tahunku?” gumam Jingga, heran. Untuk meyakinkan diri, Jingga lantas melihat tanggal yang tertera di layar ponsel.Dan seketika itu juga, mata wanita bergaun biru langit itu mulai berkaca-kaca, terharu dengan kejutan yang diberikan Davin.Benar. Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Jingga hampir melupakannya dan ia tak pernah berharap hari ulang tahunnya dirayakan."Davin..." Jingga terisak pelan, tak mampu menahan rasa haru.Jika wanita lain akan merasa spesial di ulang tahunnya yang ke 17, maka bagi Jingga ulang tahun yang spesial adalah saat di usianya ke 27, hari ini. Sebab, ini adalah kali pertama ulang tahunnya dirayakan.“Hey, kenapa menangis?” Davin segera menarik Jing
"Jadi malam ini, di depan semua yang hadir di sini, aku ingin mengatakan bahwa... aku mencintaimu, Jingga. Aku benar-benar mencintaimu.”Jingga terpaku. Ia merasakan detak jantungnya berhenti sesaat. Dan napasnya baru kembali saat ia melihat Davin berjalan menghampirinya. Suara riuh di dalam ballroom seketika lenyap dari telinga Jingga. Orang-orang di sekitarnya perlahan memudar. Hingga ia merasakan hanya ada dirinya dan Davin di dalam ruangan luas itu.Debaran jantung Jingga semakin keras ketika Davin berhenti di hadapannya seraya tersenyum hangat.“Sekarang, apa kamu sudah percaya pada perasaanku, hem?” tanya Davin dengan lembut. “Satu hal yang harus kamu tahu, aku nggak pernah bermain-main dengan yang namanya ‘cinta’. Ketika aku mengatakan cinta, itu berarti aku benar-benar tulus dan serius.”Jingga menatap Davin dengan mata berkaca-kaca. Selama ini, ia selalu menolak percaya pada perhatian yang diberikan orang-orang. Itu karena ia takut mereka tidak benar-benar tulus dan punya mak
Mata Jingga berbinar-binar kala melihat isi kotak hadiah dari Davin, di hadapannya.Pria itu seakan tidak cukup memberinya kejutan dengan pesta yang megah, dia juga memberikan hadiah lain yang merupakan barang impian Jingga sejak masih remaja.“Dave...,” bisik Jingga seraya menatap Davin dengan mata berlinang. Entah mengapa, sekarang ia lebih mudah menunjukkan berbagai macam ekspresi di depan Davin. “Terima kasih. Aku sangat menyukai hadiah dari kamu. Aku benar-benar menyukainya.”“Aku tahu. Kamu pasti suka.” Davin terkekeh seraya mengeluarkan sepasang sepatu roda dari kotak tersebut. “Lebih baik kamu coba dulu. Kalau nggak sesuai, aku akan membeli ukuran yang lain.”“Jangan menghambur-hamburkan uang. Aku tahu ini pasti pas di kaki aku.”Davin berjongkok di depan Jingga, ia membantu memasang kaos kaki dan sepatu itu di kaki sang istri.“Coba berdiri.”“Hm.” dengan hati yang berbunga-bunga, Jingga perlahan berdiri sambil berpegangan pada tangan Davin, tapi ia belum mendapat keseimbanga
Davin memandangi Jingga dengan penuh cinta. Jingga membalas tatapan itu dengan senyuman lembut yang menghiasi wajahnya yang berpeluh. Keduanya saling merangkul dengan erat, sebagai bentuk kerinduan yang telah terpendam begitu lama.“Aku lupa apakah aku pernah mengatakan ini sebelumnya atau nggak,” bisik Davin tanpa menghentikan gerakan tubuhnya.“Mengatakan apa?”Davin mendekatkan bibirnya ke telinga Jingga dan kembali berbisik, “Kecantikanmu bertambah tiga kali lipat saat berada di bawahku. Seperti sekarang.”Jingga menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk tidak melampiaskan gelenyar asing melalui desah di mulutnya. Namun, ia gagal. Kata-kata penuh godaan dan pujian, serta kelembutan yang seketika berganti dengan pergerakan liar dari Davin, membuat Jingga tak lagi bisa menahan dirinya.Rasa malu dan canggung yang semula menyelimuti Jingga, kini hilang entah ke mana. Jingga merasa tidak ingin Davin berhenti. Ruangan kamar yang luas itu kini terasa sempit dan panas.“Aku sangat mer
Jingga sedang memeriksa kue di dalam oven saat Davin tiba-tiba memeluknya dari belakang. Kini, Jingga sudah tidak merasa terkejut lagi dengan pelukan spontan dari pria iti.“Apa yang sedang kamu buat?” tanya Davin seraya mengecup pelipis Jingga.“Cheese cake.” Jingga menoleh, tersenyum. Dan ia sempat menahan napas saat Davin mempertemukan bibir mereka sesaat. Mata Jingga mengerjap.Davin tersenyum lembut. “Bukan hanya makanan menu utama, tapi kue buatanmu juga sudah menjadi favoritku sejak lama.”Pengakuan Davin membuat pipi Jingga memanas. “Kamu selalu memujiku dan membuatku malu,” gerutunya dengan bibir sedikit merengut.Davin melepas pelukannya dan memutar tubuh Jingga saling berhadapan. “Dan tentu kamu tahu, aku bukan laki-laki yang pandai memuji seseorang. Jadi....” Ia mencubit hidung Jingga dengan gemas. “Bersyukurlah karena kamu wanita yang selalu ingin aku puji.”Jingga memutar matanya lalu terkekeh-kekeh. Ia sedikit mendorong dada Davin dan baru menyadari bahwa pria itu sudah
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah