“Aku baru tahu kalau seorang pria seperti kamu bisa beli lipstik,” gumam Jingga setelah ia mengaplikasikan lipstik warna nude itu di bibirnya. Dan Jingga menyukai varian warna itu.Davin menoleh, menatap bibir Jingga sejenak, lalu menarik napas panjang dan melonggarkan ikatan dasinya.“Aku minta bantuan Amarylis,” jawab Davin, “ngomong-ngomong, kenapa tiba-tiba jadi panas? Kurasa AC-nya bermasalah. Aku harus membawa mobil ini ke tempat service,” gerutu Davin sambil mengurangi suhu AC.“Aku nggak panas, kok.” Jingga menggeleng polos seraya memasukkan lipstik itu ke dalam tas. “Dari tadi suhunya tetap dingin, malah sekarang sepertinya aku mulai kedinginan.” Ia memeluk dirinya sendiri karena udara tiba-tiba semakin dingin.Seketika Davin menegakkan punggung. Lalu menambah lagi suhu AC-nya. “Sepertinya tubuhku saja yang bermasalah. Gimana? Segini masih dingin?”“Kurasa cukup.”Jingga menoleh ke kiri dan mengamati gedung yang berdiri kokoh dan tampak paling tinggi di daerah tersebut. Gedun
“Damn!”Davin mengumpat lirih saat bunyi deringan ponsel dari saku celananya terdengar nyaring di ruangan yang sunyi itu.“Dave, a-ada telepon. Kurasa itu telepon penting.” Jingga menyentuh dada Davin dan mendorongnya perlahan.Davin mengembuskan napas kasar. Terpaksa ia menarik wajahnya dari ceruk leher Jingga. Napas pria itu terasa memburu. Dan dengan wajah memberengut kesal, ia mengeluarkan ponsel dari saku.Vincent memanggil.Sekali lagi, Davin mengembuskan napas kasar sebelum akhirnya mengangkat panggilan tersebut.“Aku akan memecatmu kalau nggak ada hal penting yang kamu bicarakan!” desis Davin pada Vincent di seberang telepon, wajahnya mengeras, dan tatapannya siap membunuh apapun yang ia tatap andai saja matanya adalah pedang.Pipi Jingga memerah menahan malu, karena barusan ia sempat terbuai oleh Davin.Lalu, Jingga menggunakan kesempatan itu untuk merapikan pakaiannya kembali.Jingga benar-benar tak menyangka bahwa mereka nyaris bercinta di ruangan ini. Sungguh. Dan jujur sa
Alarm yang berbunyi nyaring membuat Jingga seketika terbangun dari tidurnya. Ia terkejut karena matahari sudah terlihat terang melalui jendela yang ia lihat di sisi kiri kamar.Lalu, saat ia mematikan alarm di ponselnya dan melihat jam, rasanya semakin kaget karena pagi ini Jingga bangun kesiangan. Davin dan Oliver pun sudah tidak terlihat sosoknya di tempat tidur.Jingga bergegas turun dari ranjang. Dan seketika itu juga ia panik, karena mendapati tubuhnya tak berbalut pakaian sehelai benang pun yang terbungkus selimut putih itu.“Apa yang terjadi?” gumam Jingga pada dirinya sendiri, panik.Saat tatapannya tertuju pada sofa, pipi Jingga terasa memanas. Sekarang ia ingat apa alasan bangunnya kesiangan pagi ini. Semalam, di sofa itu, ia dan Davin….“Akhirnya kamu bangun. Sudah puas tidurnya?”Tulang punggung Jingga menegang ketika ia mendengar suara husky Davin menggema di pintu. Jingga menoleh dan mendapati Davin masuk menghampiri. Jingga merapatkan selimut tebal yang masih membungkus
“Sebenarnya… kamu sudah menjadi wanita simpanan siapa?”Pertanyaan bernada meremehkan itu membuat Jingga terhenyak. Sudut-sudut hati Jingga mendadak terasa nyeri. Bagaimana tidak? Adik kandung yang sering menghabiskan waktu bersamanya saat mereka kecil itu, kini memandang murah kakaknya sendiri.Tangan Jingga terkepal. “Kenapa kamu bertanya seperti itu, Pelangi?”Pelangi tersenyum kecut. “Terakhir aku lihat, kamu masih pincang. Tapi sekarang kakimu sepertinya sudah sembuh. Pasti butuh uang yang nggak sedikit buat mengobatinya, ‘kan?”Pincang?Ah, Jingga merasa sakit mendengarnya. Meski selama ini ia sudah kebal dengan satu kata itu, tapi ternyata rasanya sangat menyakitkan saat ia mendengar kata "pincang" dari saudari kandungnya sendiri.“Dan semua yang kamu pakai…,” lanjut Pelangi seraya meneliti tubuh Jingga sekali lagi. “Semuanya pakaian mahal, yang mustahil kamu bisa membelinya kalau bukan pemberian dari om-om berduit.” Pelangi mendengus kasar. “Ternyata kakakku yang dulu lugu dan
“Aku pernah menamparmu?!”“Hm. Pernah.” Davin tersenyum samar, ia duduk di kursi dan menatap Jingga yang sudah duduk di hadapannya. “Kamu menamparku sangat keras, dan rasa sakitnya masih terasa sampai sekarang.”Jingga ternganga mendengarnya. Keningnya berkerut, berusaha menggali memori tentang kapan tepatnya ia menampar Davin. Namun Jingga yakin sekali, ia tidak pernah melakukannya.“Dave, apa kamu yakin aku pernah menamparmu? Sungguh?” tanya Jingga, memastikan.“Ya. Aku nggak berbohong.” Davin mengangguk penuh keyakinan.“Nggak mungkin. Aku sama sekali nggak ingat aku pernah melakukannya.” Lalu Jingga menatap Davin dengan tatapan serius, menatap bola matanya dalam-dalam, yang membuat pipi Davin memerah.“Kenapa menatapku seperti itu?”“Kapan dan di mana aku menamparmu? Tolong ingatkan aku.”Helaan napas Davin terdengar panjang, lalu pria itu terkekeh dan memajukan wajahnya ke depan Jingga. Diraihnya satu tangan wanita itu dan ia menghadiahkan kecupan pada punggung tangan. Davin meli
Davin menghentikan laju kendaraannya di bawah sebuah pohon yang berdiri kokoh dan rindang. Ia membiarkan mesin tetap menyala, lalu melepas sabuk pengaman dan menolehkan kepalanya ke kiri.Wanita itu sedang tidur, sangat nyenyak. Entah sejak kapan dia tertidur, tahu-tahu saat Davin menoleh sepuluh menit yang lalu kelopak matanya yang berbulu lentik itu sudah terpejam.Davin tidak mau mengganggu tidurnya. Ia menurunkan kaca mobil dan seketika aroma laut tercium. Deburan ombak terdengar mengalun lembut, menenangkan.Sambil melipat tangan kiri di belakang kepala, tangan kanan Davin sibuk dengan ponsel, lalu teleponnya terhubung dengan Arum di seberang sana.“Sore ini saya dan Jingga akan pulang terlambat, Bibik jemput Oliver di daycare,” ujar Davin seraya menempelkan ponsel di telinga, sikunya bertumpu pada pintu yang kacanya terbuka. “Ya, pastikan dia makan dengan benar dan jaga dia baik-baik. Segera kabari saya kalau ada apa-apa.”Setelah Davin memutus sambungan telepon, ia menoleh dan
Jingga dan Davin saling bertukar pandangan saat keduanya baru menyadari baju mereka basah kuyup.Dua pasang mata itu sama-sama mengerjap, seolah-olah mereka memiliki pikiran yang sama saat ini.“Dave, kamu bawa baju ganti?”“Kamu nggak bawa baju ganti, ‘kan?”Dua pertanyaan itu dilontarkan dalam waktu bersamaan. Lantas, keduanya sama-sama tertawa.“Aku nggak bawa baju ganti,” jawab Jingga lebih dulu. “Lagi pula, gimana ceritanya aku bawa baju, kamu tahu sendiri aku berangkat dari studio dan cuma bawa tas kecil doang.” Jingga menunjuk ke arah mobil yang teronggok membisu di samping mereka.Davin menghela napas panjang seraya memperhatikan tubuh Jingga yang mulai menggigil. Angin yang berembus kencang terasa menembus tulang.Davin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Mustahil ia bisa menemukan penjual pakaian di sekitar mereka. Yang ada hanyalah warung-warung penjual makanan dan minuman.“Kalau begitu, kamu pakai bajuku saja. Aku bawa baju ganti di mobil. Tunggu sebentar,” uca
Davin sedang menatap berkas di hadapannya dengan pandangan dingin saat pintu ruangannya diketuk. Lalu disusul suara Vincent setelahnya.“Pak Davin, Reynaldi Wijaya sudah datang.”“Bawa dia masuk!”Suara Davin terdengar membahana, membuat wajah Rey di luar sana semakin pucat dan jantungnya berdebar-debar ngeri.Rey masuk. Itu pertama kalinya ia menginjakkan kaki di ruangan sang CEO. Ekspresi Davin yang datar dengan tatapannya yang menusuk, adalah pemandangan pertama yang Rey dapati saat ia berdiri di depan meja Davin dengan kaki sedikit gemetaran.Davin menunduk, membuka lembaran berkas di hadapannya. Tanpa menatap Rey lagi, Davin bertanya dengan suara beratnya, “Kamu tahu kenapa saya menyuruhmu datang ke sini?”Rey menelan saliva. Ada dua kemungkinan yang ia pikirkan tentang apa alasan ia dipanggil kemari.Pertama, Davin akan membahas apa yang terjadi di restoran, kemarin, lalu meminta penjelasan atas sikap Pelangi dan Rey yang keterlaluan kepada Jingga.Dan yang kedua, karena Davin t
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah