“Dia benar-benar Jingga, ‘kan?”“Wanita aneh dan pincang itu?”“Iya.”“Terus kenapa sekarang… berubah?”“Aku rasa dia punya kembaran. Dan yang ada di hadapan kita sekarang adalah kembarannya dia.”“Aku rasa juga begitu. Mustahil Jingga bisa berubah dalam waktu sebulan.”“Astaga… kenapa aku baru sadar sekarang? Dia cantik. Aku seperti melihat boneka hidup!” Di antara orang-orang yang berdesas-desus di lobi dan sepanjang selasar studio, kata-kata terakhir barusan diucapkan oleh seorang pria.Jingga berjalan sambil tersenyum samar menyapa orang-orang yang ia lewati, ia berusaha menulikan telinga. Sesuai dugaan Jingga, orang-orang akan memperhatikan dan mengomentari cara berjalannya.Hampir dua tahun bekerja di studio ini tapi tidak ada yang menjadi teman dekatnya. Selama ini Jingga menutup diri dan tidak ada orang yang mau mendekatinya.Sebelum masuk ke ruangannya, Jingga terlebih dulu mampir ke ruangan Kalil. Ia mengetuk pintu atasannya itu, tapi tidak mendapatkan jawaban dari dalam.“M
“Aku baru tahu kalau seorang pria seperti kamu bisa beli lipstik,” gumam Jingga setelah ia mengaplikasikan lipstik warna nude itu di bibirnya. Dan Jingga menyukai varian warna itu.Davin menoleh, menatap bibir Jingga sejenak, lalu menarik napas panjang dan melonggarkan ikatan dasinya.“Aku minta bantuan Amarylis,” jawab Davin, “ngomong-ngomong, kenapa tiba-tiba jadi panas? Kurasa AC-nya bermasalah. Aku harus membawa mobil ini ke tempat service,” gerutu Davin sambil mengurangi suhu AC.“Aku nggak panas, kok.” Jingga menggeleng polos seraya memasukkan lipstik itu ke dalam tas. “Dari tadi suhunya tetap dingin, malah sekarang sepertinya aku mulai kedinginan.” Ia memeluk dirinya sendiri karena udara tiba-tiba semakin dingin.Seketika Davin menegakkan punggung. Lalu menambah lagi suhu AC-nya. “Sepertinya tubuhku saja yang bermasalah. Gimana? Segini masih dingin?”“Kurasa cukup.”Jingga menoleh ke kiri dan mengamati gedung yang berdiri kokoh dan tampak paling tinggi di daerah tersebut. Gedun
“Damn!”Davin mengumpat lirih saat bunyi deringan ponsel dari saku celananya terdengar nyaring di ruangan yang sunyi itu.“Dave, a-ada telepon. Kurasa itu telepon penting.” Jingga menyentuh dada Davin dan mendorongnya perlahan.Davin mengembuskan napas kasar. Terpaksa ia menarik wajahnya dari ceruk leher Jingga. Napas pria itu terasa memburu. Dan dengan wajah memberengut kesal, ia mengeluarkan ponsel dari saku.Vincent memanggil.Sekali lagi, Davin mengembuskan napas kasar sebelum akhirnya mengangkat panggilan tersebut.“Aku akan memecatmu kalau nggak ada hal penting yang kamu bicarakan!” desis Davin pada Vincent di seberang telepon, wajahnya mengeras, dan tatapannya siap membunuh apapun yang ia tatap andai saja matanya adalah pedang.Pipi Jingga memerah menahan malu, karena barusan ia sempat terbuai oleh Davin.Lalu, Jingga menggunakan kesempatan itu untuk merapikan pakaiannya kembali.Jingga benar-benar tak menyangka bahwa mereka nyaris bercinta di ruangan ini. Sungguh. Dan jujur sa
Alarm yang berbunyi nyaring membuat Jingga seketika terbangun dari tidurnya. Ia terkejut karena matahari sudah terlihat terang melalui jendela yang ia lihat di sisi kiri kamar.Lalu, saat ia mematikan alarm di ponselnya dan melihat jam, rasanya semakin kaget karena pagi ini Jingga bangun kesiangan. Davin dan Oliver pun sudah tidak terlihat sosoknya di tempat tidur.Jingga bergegas turun dari ranjang. Dan seketika itu juga ia panik, karena mendapati tubuhnya tak berbalut pakaian sehelai benang pun yang terbungkus selimut putih itu.“Apa yang terjadi?” gumam Jingga pada dirinya sendiri, panik.Saat tatapannya tertuju pada sofa, pipi Jingga terasa memanas. Sekarang ia ingat apa alasan bangunnya kesiangan pagi ini. Semalam, di sofa itu, ia dan Davin….“Akhirnya kamu bangun. Sudah puas tidurnya?”Tulang punggung Jingga menegang ketika ia mendengar suara husky Davin menggema di pintu. Jingga menoleh dan mendapati Davin masuk menghampiri. Jingga merapatkan selimut tebal yang masih membungkus
“Sebenarnya… kamu sudah menjadi wanita simpanan siapa?”Pertanyaan bernada meremehkan itu membuat Jingga terhenyak. Sudut-sudut hati Jingga mendadak terasa nyeri. Bagaimana tidak? Adik kandung yang sering menghabiskan waktu bersamanya saat mereka kecil itu, kini memandang murah kakaknya sendiri.Tangan Jingga terkepal. “Kenapa kamu bertanya seperti itu, Pelangi?”Pelangi tersenyum kecut. “Terakhir aku lihat, kamu masih pincang. Tapi sekarang kakimu sepertinya sudah sembuh. Pasti butuh uang yang nggak sedikit buat mengobatinya, ‘kan?”Pincang?Ah, Jingga merasa sakit mendengarnya. Meski selama ini ia sudah kebal dengan satu kata itu, tapi ternyata rasanya sangat menyakitkan saat ia mendengar kata "pincang" dari saudari kandungnya sendiri.“Dan semua yang kamu pakai…,” lanjut Pelangi seraya meneliti tubuh Jingga sekali lagi. “Semuanya pakaian mahal, yang mustahil kamu bisa membelinya kalau bukan pemberian dari om-om berduit.” Pelangi mendengus kasar. “Ternyata kakakku yang dulu lugu dan
“Aku pernah menamparmu?!”“Hm. Pernah.” Davin tersenyum samar, ia duduk di kursi dan menatap Jingga yang sudah duduk di hadapannya. “Kamu menamparku sangat keras, dan rasa sakitnya masih terasa sampai sekarang.”Jingga ternganga mendengarnya. Keningnya berkerut, berusaha menggali memori tentang kapan tepatnya ia menampar Davin. Namun Jingga yakin sekali, ia tidak pernah melakukannya.“Dave, apa kamu yakin aku pernah menamparmu? Sungguh?” tanya Jingga, memastikan.“Ya. Aku nggak berbohong.” Davin mengangguk penuh keyakinan.“Nggak mungkin. Aku sama sekali nggak ingat aku pernah melakukannya.” Lalu Jingga menatap Davin dengan tatapan serius, menatap bola matanya dalam-dalam, yang membuat pipi Davin memerah.“Kenapa menatapku seperti itu?”“Kapan dan di mana aku menamparmu? Tolong ingatkan aku.”Helaan napas Davin terdengar panjang, lalu pria itu terkekeh dan memajukan wajahnya ke depan Jingga. Diraihnya satu tangan wanita itu dan ia menghadiahkan kecupan pada punggung tangan. Davin meli
Davin menghentikan laju kendaraannya di bawah sebuah pohon yang berdiri kokoh dan rindang. Ia membiarkan mesin tetap menyala, lalu melepas sabuk pengaman dan menolehkan kepalanya ke kiri.Wanita itu sedang tidur, sangat nyenyak. Entah sejak kapan dia tertidur, tahu-tahu saat Davin menoleh sepuluh menit yang lalu kelopak matanya yang berbulu lentik itu sudah terpejam.Davin tidak mau mengganggu tidurnya. Ia menurunkan kaca mobil dan seketika aroma laut tercium. Deburan ombak terdengar mengalun lembut, menenangkan.Sambil melipat tangan kiri di belakang kepala, tangan kanan Davin sibuk dengan ponsel, lalu teleponnya terhubung dengan Arum di seberang sana.“Sore ini saya dan Jingga akan pulang terlambat, Bibik jemput Oliver di daycare,” ujar Davin seraya menempelkan ponsel di telinga, sikunya bertumpu pada pintu yang kacanya terbuka. “Ya, pastikan dia makan dengan benar dan jaga dia baik-baik. Segera kabari saya kalau ada apa-apa.”Setelah Davin memutus sambungan telepon, ia menoleh dan
Jingga dan Davin saling bertukar pandangan saat keduanya baru menyadari baju mereka basah kuyup.Dua pasang mata itu sama-sama mengerjap, seolah-olah mereka memiliki pikiran yang sama saat ini.“Dave, kamu bawa baju ganti?”“Kamu nggak bawa baju ganti, ‘kan?”Dua pertanyaan itu dilontarkan dalam waktu bersamaan. Lantas, keduanya sama-sama tertawa.“Aku nggak bawa baju ganti,” jawab Jingga lebih dulu. “Lagi pula, gimana ceritanya aku bawa baju, kamu tahu sendiri aku berangkat dari studio dan cuma bawa tas kecil doang.” Jingga menunjuk ke arah mobil yang teronggok membisu di samping mereka.Davin menghela napas panjang seraya memperhatikan tubuh Jingga yang mulai menggigil. Angin yang berembus kencang terasa menembus tulang.Davin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Mustahil ia bisa menemukan penjual pakaian di sekitar mereka. Yang ada hanyalah warung-warung penjual makanan dan minuman.“Kalau begitu, kamu pakai bajuku saja. Aku bawa baju ganti di mobil. Tunggu sebentar,” uca