“Sayangnya, saat aku cemburu, nggak ada yang bisa menghentikanku.”Kata-kata Davin membuat tulang punggung Jingga merinding. Ia terjebak di bawah genggaman Davin yang kuat, tidak bisa bergerak bebas. Tatapan Davin menyihir Jingga, membuat Jingga tidak sadar bahwa kini bibir mereka sudah kembali saling bertaut.Jingga sama sekali tidak menyangka, hanya gara-gara Kalil yang memijat pergelangan kakinya, bisa membuat Davin berubah menjadi sangat posesif dan liar seperti ini.Saat tangan Davin menjelajahinya dan melepas kancing kemejanya satu persatu, pikiran Jingga tiba-tiba dipenuhi kebingungan dan ketakutan.Davin melempar helai pakaian dari tubuh Jingga ke sembarang arah, satu persatu, hingga wanita itu kini tampil polos di hadapannya. Ia melumat bibirnya dengan penuh gairah seakan-akan tidak ingin berhenti.Namun, tangan Jingga yang menahan dada bidangnya, membuat Davin terpaksa menjauhkan kembali wajah mereka.“Kenapa? Kamu ingin aku berhenti?” bisik Davin dengan napas tersengal. Ia m
Jingga menatap pantulan dirinya di cermin. Rambut panjangnya terurai sepunggung. Merasa hal itu akan membuatnya ribet selama dalam perjalanan nanti, ia lantas mencepol rambutnya.Ia meremas tangannya, lalu membuka pintu kamar. Hari ini mereka akan pergi ke Italia, Jingga merasa gugup.Begitu Jingga keluar kamar, ia melihat Davin baru selesai menelepon. Pria itu tersenyum ke arahnya, membuat napas Jingga tertahan dan merasa gugup.Sejak sore itu—sore di mana ia dan Davin menyatu tanpa terpisahkan, Jingga menjadi selalu salah tingkah dan malu setiap kali berhadapan dengan pria itu.“Pastikan nggak ada barang penting milikmu yang tertinggal.” Davin menghampiri Jingga sambil menenteng sepasang sepatu sneakers.“Hm. Sudah aku cek lagi, dan semuanya aman, kok.”Davin mengangguk. “Kemarilah.” Ia menarik tangan Jingga menuju sofa. “Duduk di sini.”Jingga menurut meski tidak tahu apa yang akan Davin lakukan.Davin berjongkok di depan Jingga dan menaruh sepatu itu di dekat kakinya. “Sepatu ini
Setelah menghabiskan waktu hampir 17 jam di udara, pesawat pribadi New Pacific Group itu pun mendarat di bandar udara International Leonardo Da Vinci, tepat pada pukul satu dini hari waktu setempat.Udara dingin Italia langsung menyapa Jingga saat ia keluar dari pintu pesawat. Hati Jingga terasa berbunga-bunga. Jika ia tipe wanita yang periang, mungkin saat ini ia sudah melompat kegirangan karena begitu bahagia telah menginjakkan kaki di luar negeri untuk pertama kalinya.Dulu, Jingga sama sekali tidak berani bermimpi pergi ke luar negeri, sebab hal itu mustahil baginya.Jingga menuruni tangga pesawat dengan hati-hati. Namun, tiba-tiba kakinya tergelincir.Davin yang ada di belakang Jingga tidak sempat menahannya. Jingga nyaris terjatuh andai saja Vincent tidak menahan tubuhnya di depan. Jingga jatuh ke pelukan Vincent.“Bu Jingga, Anda baik-baik saja?”“Oh? Iya. Aku baik-baik saja. Terima kasih.”Vincent masih menahan Jingga yang belum mendapat keseimbangan.Namun, saat Vincent menat
Jingga menatap curiga pada Davin yang sejak tadi terus tersenyum penuh kemenangan.Merasa ditatap Jingga, Davin pun menoleh pada istrinya yang duduk di sampingnya itu.“Kenapa menatapku seperti itu, hm?”“Penampilan Vincent berubah. Apa itu… karena perintahmu?”“Ah, kamu pintar juga ternyata.” Davin mengacak puncak kepala Jingga. Bibirnya tersenyum miring. “Itu resiko yang harus dia terima. Bukankah kemarin kamu bilang, dia itu tampan? Jadi hari ini kubuat dia jadi jelek di depanmu.”“Apa?” Mulut Jingga ternganga, ia geleng-geleng kepala tak habis pikir. “Jadi, itu gara-gara aku memuji dia tampan?”“Hm.” Davin mengangguk enteng. “Semakin kamu memuji orang itu, semakin aku buat dia jelek.”Astaga… Davin benar-benar kekanakkan! Jingga tak percaya kalau suaminya ini lulusan S2 Universitas Oxford.Jingga lantas menatap Vincent yang sedang menelepon di kejauhan dengan perasaan bersalah. Saat ini mereka sedang menunggu kedatangan dokter Eugenio, di ruangan tunggu Amorefields Hospital, rumah
“Jingga akan masuk ke ruangan operasi hari ini.” Davin menempelkan ponselnya di telinga, seraya menatap taman rumah sakit melalui dinding kaca. “Sekarang? Dia baik-baik saja. Ya… saya tahu. Akan saya sampaikan. Sebenarnya saya memberitahumu karena Jingga yang meminta. Dia tetap menghormatimu sebagai atasan dan temannya. Baiklah. Saya tutup.”Davin memasukkan ponsel ke saku dan mengembuskan napas kasar. Barusan ia berbicara dengan Kalil. Andai saja bukan Jingga yang meminta untuk mengabari lelaki itu, Davin tidak akan mau.Davin lantas menghampiri Jingga yang sudah terbaring di ranjang pasien sejak kemarin siang. Wanita itu terlihat gelisah.“Kamu gugup, hem?” Davin menggenggam tangan Jingga yang tersimpan di atas perutnya, terasa dingin.Jingga mengangguk. “Iya, Dave. Walaupun aku sudah berusaha buat nggak takut, tetap saja ini rasanya sangat menegangkan.”“Kamu akan baik-baik saja. Percaya padaku.”“Gimana kalau ternyata operasinya gagal dan aku meninggal?” Jingga semakin cemas. “Gim
Jingga berjalan di tengah ladang luas yang dipenuhi bunga-bunga berwarna-warni. Udara terasa segar. Cahaya matahari hangat menyinari sekelilingnya. Rambut panjangnya melambai-lambai tertempa angin yang menyejukkan.Ia memutar badan, tapi ia tidak melihat di mana letak ujungnya ladang ini. Sekelilingnya seakan tak berpenghujung.Tatapan Jingga terhenti pada satu-satunya pohon rindang yang berdiri tegak di depan sana. Daun-daunnya bergoyang-goyang syahdu, bergemerisik. Jingga menghampiri pohon itu. Dedaunan rindangnya melindungi Jingga dari tempaan cahaya matahari.Dengan hati-hati tangan Jingga menyentuh batang pohon tersebut, seolah-olah lubang kecil bercahaya di tengah batang itu menarik perhatiannya.Dan tiba-tiba, cahaya itu menarik habis seluruh tubuh Jingga, membawa Jingga masuk ke dalam dunia yang baru.Jingga disambut dengan suara pecahan guci, amukan Davin yang menggelegar, dan suara tamparan keras yang Jingga layangkan di pipi Davin. Semua kejadian itu seperti cuplikan film,
“Sepertinya, suami Anda sangat mencintai Anda, Nyonya William.”“Eh?”Jingga keluar dari keterpakuannya kala mendengar ucapan perawat yang sedang memeriksa tekanan darahnya.Pandangan Jingga lantas beralih dari Davin—yang sedang tertidur nyenyak di sofa, ke arah perawat wanita yang bermata biru di sampingnya itu.“Ah, itu… menurutmu begitu?”Hanya itu yang keluar dari mulut Jingga. Ia tidak tahu harus memberi tanggapan seperti apa. Sebab Jingga sangat tahu, bahwa kata-kata perawat itu seratus persen tidak benar. Selain itu, bahasa Inggris Jingga tidak terlalu mahir, tapi ia mengerti apa yang orang lain katakan.“Saat kau tidak kunjung siuman, saya melihat dia tidak tidur siang dan malam. Setiap kali saya masuk ke ruangan Anda, dia selalu duduk di samping ranjang sambil menggenggam tangan Anda.” Perawat itu tersenyum seraya merapikan peralatannya “Saya rasa, sikapnya itu benar-benar romantis.”Pipi Jingga merona-rona.“Nah, Nyonya, makan malam sebentar lagi akan diantar ke sini. Selama
Wajah Davin tiba-tiba menjadi kaku dan tegang. “Kamu… mimpi begitu?” tanyanya dengan suara serak.“Mm-hm. Di mimpi itu aku bisa melihat diri aku sendiri, seolah-olah aku menyaksikan kejadian itu secara langsung. Dan kejadiannya terasa benar-benar nyata.”Jingga terdiam. Rasanya sulit dipercaya ia bisa bercerita mengenai mimpi buruknya pada Davin. Padahal, dulu, Jingga selalu takut ketika ingin menyampaikan sesuatu, entah kepada Davin, ataupun orang lain.Menyadari Davin hanya diam, Jingga lantas mendongak, menatap wajah Davin yang mendadak pucat. Jingga heran.“Dave, kamu sakit?”Pria itu terkejut, mengerjap. Lalu menunduk, membuat pipi Jingga seketika merona karena jarak wajah mereka begitu dekat.“Itu hanya mimpi buruk. Jangan terlalu dipikirkan!” tegas Davin.Jingga mengangguk. Namun, ia tiba-tiba merasa penasaran akan sesuatu. “Dave?” panggilnya dalam gumaman.“Hm?”Jingga ragu sejenak, ia menggigit bibir bawahnya dengan gamang. Kalau ia menyuarakan pertanyaan yang ada di kepalanya