Memang, bukan sesuatu yang mudah mencari seseorang di antara ratusan orang yang berlalu lalang di bandara.
Hanya bermodalkan foto di ponselnya, Davin dan Vincent mengamati wajah setiap laki-laki yang berpapasan dengan mereka, sambil mencocokannya dengan foto itu. Keduanya berpencar.Davin mencarinya di gate khusus check in penerbangan menuju kota Milan. Namun kursi tunggu di gate itu tampak sepi. Karena para penumpang sudah melakukan check in dan masuk ke boarding room.Sial. Kenapa Davin lupa tidak meminta nomor ponsel Eugenio pada wanita tadi?Davin mengusap wajah dengan kasar, napasnya sedikit tersengal karena terus berlari ke sana kemari hanya untuk menemukan sosok Eugenio.“Saya tidak menemukannya,” ujar Vincent saat keduanya tanpa sengaja berpapasan.“Kemungkinan besar dia sudah masuk boarding room.” Davin tertunduk lesu. Ia tak memiliki harapan untuk bertemu dengan pria tua itu. “Apa yang harus aku katakan pada istriku?” gumamnya kemudian“Jingga, bagaimana project Vincent? Kamu sudah mulai mengerjakannya?”Jingga mengangguk seraya mengalihkan tatapannya dari kanvas di hadapannya, ke arah Kalil yang baru saja membuka pintu dan menghampirinya. “Saya baru mulai mengerjakannya hari ini.”Kalil mengangguk, ia memperhatikan sketsa di kanvas itu sejenak. “Baiklah… aku percaya padamu. Klien kita nggak pernah kecewa sama hasil karya kamu, Jingga,” ucapnya sambil melemparkan senyuman hangat pada wanita berusia 26 tahun itu.Melihat bagaimana antusiasnya Kalil dan betapa Kalil mempercayainya, Jingga jadi merasa bersalah. Sebab sampai saat ini Kalil belum tahu bahwa yang sebenarnya memesan lukisan ini adalah Davin. Suaminya.“Pak Kalil…,” panggil Jingga, yang membuat pria itu kembali memandanginya dengan sorot mata teduh.“Ada sesuatu yang mau kamu sampaikan?” tanya pria itu.Jingga masih m
Jingga mengalungkan lengan di leher Davin seraya memperhatikan ekspresi mengeras yang masih nampak di wajahnya. Banyak hal yang ingin ia tanyakan pada pria itu, tapi Jingga mencoba menahan diri.“Dave, bisa turunin aku?” gumam Jingga, “aku bisa berjalan sendiri.”Mata Davin yang menjorok ke dalam itu seketika menatap Jingga. “Jangan berpura-pura baik-baik saja.”Hanya itu yang terlontar dari mulut Davin dan berhasil membuat Jingga bungkam seribu bahasa. Amarah pria itu belum mereda, Jingga tahu itu dari nada suaranya.Davin membawa Jingga keluar dari rumah orang tuanya, lalu menyuruh sopir membuka pintu mobil.Davin lantas menurunkan Jingga di kursi depan tepat di samping kursi kemudi. “Ada yang tertinggal di dalam?” tanyanya seraya memasang sabuk pengaman untuk Jingga.Jingga sempat menahan napasnya sesaat ketika ia merasakan napas hangat Davin menerpa pipinya. “Hm. Tas aku ketinggalan di dapur.”“Aku ambil dulu.”Wajah Davin masih terlihat mengeras seakan tengah menyimpan emosi yang
Jingga membeku mendengar kata-kata yang—menurut Jingga—mustahil keluar dari mulut Davin. Namun pada kenyataannya pria itu mengatakannya dengan sangat jelas barusan."Aku merindukanmu," gumam Davin sekali lagi.Semilir angin sore dan suara deru mesin mobil yang melewati mereka membuat Jingga keluar dari keterdiamannya. Dan ia baru sadar pelukan Davin semakin terasa erat.Davin kemudian melepas pelukannya dan memutar tubuh Jingga. Tanpa memberi kesempatan pada Jingga untuk bernapas lega, pria itu kembali memeluknya, menenggelamkan wajah Jingga di dadanya yang bidang.“Bukan maksud aku menyalahkanmu, Jingga,” ucap Davin setelah cukup lama terdiam. “Selama ini aku pikir, kamu selalu diam karena kamu nggak suka bicara denganku dan itu membuatku sangat marah.”Jingga tertegun. Ternyata selama ini Davin salah paham dengan sikapnya.“Aku ingin mengobrol denganmu, aku ingin kamu menunjukkan ketertarikanmu padaku.” Davin menghela napas panjang. Karena hanya Jingga, wanita yang sama sekali tidak
“Selama aku pergi, kamu makan dengan baik?” Suara Davin terdengar teredam.“Iya. Aku juga makan cukup banyak.” Jingga menggigit bibir bawahnya, merasa gugup dengan posisi mereka yang tak berjarak sama sekali. Hembusan napas hangat Davin terasa menerpa pundaknya yang terbalut pakaian.“Bagus. Nanti aku akan cek berat badanmu.”“Sampai sejauh itu?” Jingga merasa tak habis pikir.“Hm. Aku harus memastikan istriku tumbuh dengan baik,” timpal Davin dalam gumaman.Jingga sedikit mengerutkan bibirnya. “Baiklah. Sebenarnya aku sudah cek, dan berat badanku naik nol koma enam kilo.”“Kenapa sedikit sekali?” Davin mengangkat wajahnya yang semula terbenam di pundak Jingga, matanya menatap Jingga dari samping.“Tapi aku sudah makan sebanyak yang aku mampu,” protes Jingga dengan cepat, “lagipula ini baru beberapa hari, kok. Belum satu bulan. Buat aku naik enam ratus gram dalam waktu sesingkat itu termasuk perkembangan yang bagus.”Mata Davin mengerjap saat melihat Jingga protes dengan bibir cemberu
Suasana di antara Jingga dan Davin pagi itu menjadi terasa canggung setelah apa yang mereka lakukan tadi malam. Jingga tak berani menatap Davin karena malu. Sementara Davin tampak salah tingkah.Semalam, setelah Davin secara tiba-tiba mengatakan bahwa ia mengingat sesuatu, Jingga lantas bertanya memangnya apa yang Davin ingat?Namun Davin tidak menjawab dengan jujur. Davin mengelak dan kembali mencium bibir Jingga. Davin belum siap, jika ia jujur mengenai apa yang ia lakukan ‘malam itu’, ia takut Jingga marah dan membencinya.Sekarang bukan waktu yang tepat, pikir Davin.Saat gairah Davin semakin memuncak dan ia ingin melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar berciuman, Jingga tiba-tiba menolak dengan halus.“Aku… belum siap. Maaf,” gumam Jingga saat itu, yang membuat Davin terpaksa menahan diri dan itu sungguh amat menyiksa. Meski demikian, Davin berusaha untuk memahami Jingga dan tak ingin memaksa. Ia akan menunggu.Setelah memastikan penampilannya sudah rapi, Jingga keluar kamar sa
“Sial. Kenapa tidak diangkat?” berang Davin pada dirinya sendiri seraya menatap layar ponsel yang menampilkan nama ibunya. Tiga panggilannya sama sekali tak ada yang terangkat.Setelah mendengar penuturan Amarylis beberapa saat yang lalu, Davin tiba-tiba dikuasai amarah. Hanya mendengar Jingga ditampar saja sudah membuat Davin ingin mengobrak-abrik seisi ruangan kantornya untuk melampiaskan kemarahannya.Saat Davin masih berusaha menghubungi ibunya—untuk meminta penjelasan atas apa yang telah ibunya lakukan pada Jingga, tiba-tiba Davin mendapat pesan dari seseorang yang ia utus untuk mengikuti Jingga.Davin segera membuka pesan tersebut, yang berisi sebuah foto Jingga sedang keluar dari studio bersama Kalil.[“Bu Jingga dan laki-laki ini akan pergi makan siang bersama.”]Hati Davin seketika diliputi hawa panas yang entah datang dari mana. Sial. Mereka akan makan siang berdua?Davin mendengus kasar. Ia segera menghubungi informan itu.“Mereka makan siang di mana?” tanya Davin tanpa bas
“Dia kenapa hari ini? Sikapnya benar-benar aneh,” gumam Jingga pada dirinya sendiri seraya merapikan meja.Lalu, Jingga terdiam saat ia teringat dengan panggilan ‘sayang’ yang disematkan Davin untuknya ketika makan siang beberapa jam yang lalu.Tatapan Davin yang hangat, senyuman lembutnya, dan panggilan mesra itu sempat membuat Jingga terbuai. Ia merasa telah menjadi seorang istri yang dicintai dan diinginkan.Namun, dengan cepat Jingga menepis semua rasa itu. Bagaimanapun juga di dalam hidup Davin masih ada Chelsea, yang mungkin sangat sulit untuk dia hilangkan begitu saja.Lagipula, Jingga masih kesal pada Davin. Saat makan siang tadi ia lebih banyak mengobrol dengan Kalil dan mencuekkan suaminya itu.Kalau dulu, Jingga tak akan berani menunjukkan kekesalannya pada Davin. Namun sekarang Jingga sendiri heran kenapa ia bisa sampai seberani ini menampilkannya.Jingga menghela napas panjang. Lantas keluar dari ruangan kerjanya. Saat membuka pintu, ia terkejut karena Kalil sudah berdiri
Jingga menggeliat. Tapi mendadak ia tidak bebas bergerak, seperti ada sesuatu yang mengikatnya dari belakang.Sejenak Jingga tertegun. Ia juga mendengar dengkuran halus di belakangnya. Mata Jingga seketika terbuka, ia menunduk, lalu terbelalak begitu melihat tangan kekar seorang pria melingkari perutnya.Jingga panik, ketakutan. Ingatannya seketika terlempar ke masa lalu. Kepada malam yang membuat kehidupannya menjadi semakin hancur setelah seseorang merudapaksa dirinya.Malam itu, samar-samar Jingga mengingat, dalam keadaan setengah sadar, Jingga melihat tangan kekar seseorang memeluknya dari belakang—dengan posisi yang sama seperti pagi ini.Namun, malam itu kepala Jingga terlalu berat dan nyaris kehilangan kesadarannya. Sehingga Jingga tidak bisa memberontak ataupun berteriak saat orang itu mendesakkan dirinya ke dalam diri Jingga.Jingga menyingkirkan tangan Davin, ia bangkit duduk dengan wajah memucat. Ingatan buruk tentang masa lalu selalu menghantuinya, membuatnya ketakutan dan
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah