“Aku merindukanmu.”
Jingga tertegun.Davin mengeratkan pelukannya, membuat Jingga merasa sedikit sesak. Pelukan itu terasa hangat. Telinga kanan Jingga bahkan bisa mendengar detak jantung Davin yang cepat.Jingga mengepalkan kedua telapak tangannya di sisi tubuh. Rasanya ini tidak benar-benar nyata. Pelukan Davin, ungkapan kerinduan Davin, semuanya terasa begitu membingungkan bagi Jingga.“Ada apa, Dave?” Jingga mendongak, menatap mata Davin yang teduh yang tengah memandanginya. Bahkan, Jingga tidak lagi melihat tatapan jijik dan dingin yang biasa Davin layangkan padanya. “Ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu?”“Iya. Ada,” gumam Davin.“Boleh aku tahu apa itu?”Davin diam sejenak, menghela napas panjang tanpa melepaskan kedua tangannya yang melingkari punggung Jingga.“Aku merindukanmu,” ulang Davin, “itu yang sangaPercakapannya dengan Davin tadi malam membuat Jingga marah dan kecewa.Jadi sore ini Jingga enggan pulang bersama Davin. Ia memutuskan pulang lebih awal dari studio sebelum Davin menjemputnya. Lalu Jingga mampir terlebih dulu ke supermarket untuk membeli susu Oliver.Jingga mengambil dua box susu formula dari rak yang berisi bermacam-macam merek susu bayi.Ponselnya terdengar berdering. Jingga menaruh susu tersebut ke troli, sebelum kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam tas.Davin William memanggil.Jingga diam sejenak. Lalu detik itu juga ia mematikan ponsel dan memasukkannya lagi ke tas.Davin pasti murka, pikir Jingga. Atau mungkin saat ini, di seberang sana, Davin sedang mengumpat dan marah-marah karena panggilannya tidak diangkat? Entahlah. Jingga tahu resiko apa yang akan ia tanggung saat pulang ke rumah nanti.Namun, untuk pertama kalinya, Jingga merasa tidak peduli dengan kemarahan Davin. Sebab Jingga sendiri t
“Hm.” Jingga mengangguk. “Aku serius.”Davin ternganga mendengarnya. Detik berikutnya ia menjatuhkan kantong belanjaan ke lantai, dan secara spontan Davin memeluk pinggang Jingga, kemudian mengangkatnya dan memutarnya sebentar sambil tertawa. Jingga sempat memekik karena kaget.“Bagus, Jingga. Kamu mengambil keputusan yang tepat!” seru Davin, “aku sudah menemukan dokter terbaik. Jangan khawatir.”Jingga menunduk menatap mata Davin yang tampak berbinar-binar. Ia lalu memeluk leher lelaki itu untuk menjadi tumpuan agar tidak jatuh. Rasanya benar-benar sulit dipercaya Davin tampak semangat seperti ini.“Kamu percaya padaku, Jingga?” Davin mengulas senyum kecil. “Aku melakukannya bukan karena aku malu punya istri seperti kamu. Aku yang dulu sangat berbeda dengan aku yang sekarang, jadi—”“I-iya,” sela Jingga sambil melihat ke sekeliling. &ldquo
Davin mengeluarkan sebuah bingkai foto berukuran 3R dari dalam tasnya. Ia memandangi foto itu sesaat. Bibirnya mengulas senyum kecil. Lalu menaruh foto tersebut di atas meja kerja.Itu foto pernikahannya dengan Jingga, yang selama hampir 2 tahun ini tidak pernah Davin pedulikan.Dalam foto tersebut keduanya tidak ada yang tersenyum. Seolah-olah pernikahan itu telah merenggut habis seluruh kebahagiaan mereka.“Apa lebih baik kita foto ulang lagi?” gumam Davin sambil mengusap dagu.Bunyi dentingan ponsel membuat Davin mengalihkan fokusnya dari wajah Jingga, ke layar ponselnya yang menyala dan menampilkan notifikasi balasan email dari….“Dokter Eugenio?” Davin terperanjat.Buru-buru ia membuka email tersebut dengan perasaan yang mendadak gugup. Sudah beberapa hari ini ia menantikan balasan dari dokter itu. Dan semoga email ini membawa kabar baik.Namun, wajah Davin mendadak berubah keruh ketika ia membaca isi email tersebut.Tangan Davin seketika terkepal. Rahangnya mengetat.Kemudian ta
Davin melepas kaos yang sedikit basah di bagian perut, yang ia kenakan.Mata Jingga terbelalak melihat pemandangan itu, ia langsung berbalik memunggungi Davin. Pipinya memerah menahan malu.“Mencuci badan seharusnya bisa kamu lakukan sendiri," gumam Jingga.“Aku lagi malas melakukannya sendiri.” Satu sudut bibir Davin terangkat. Ia menaruh kaosnya ke tempat pakaian kotor. Lalu berdiri di belakang Jingga seraya menumpukan dagu di bahu rampingnya, membuat Jingga berjengit kaget. “Lagi pula kamu ‘kan istriku. Apa salahnya kalau aku meminta bantuan istriku sendiri, hem?”“Ki-kita… nggak pernah seperti ini sebelumnya.” Kedua tangan Jingga saling meremas di depan perut. “Jadi aku merasa canggung karena kita nggak biasa.”“Kalau begitu kita harus terbiasa mulai sekarang,” timpal Davin dengan cepat. Ia berbisik di dekat telinga Jingga, “Kita akan menjadi suami istri untuk waktu yang sangat lama. Nggak mungkin kita akan terus canggung seperti ini, bukan?”Suami istri untuk waktu yang sangat la
“Davin sudah pulang?” Lucy nyelonong masuk meski belum dipersilahkan.Bahu Jingga tersenggol bahu Lucy. “Davin nggak ada di rumah, Tante,” jawab Jingga sembari menyingkir saat Chelsea ikut masuk.Lucy kemudian mendaratkan pantatnya di sofa. “Nggak ada? Ke mana? Seharusnya dia sudah pulang dari kantor.” Lalu tersenyum manis pada Chelsea. “Duduk di sini, Sayang.”“Iya, Tante,” balas Chelsea sambil tersenyum.Jingga menghela napas sepelan mungkin dan menutup pintu kembali. Ia menghampiri mertuanya, lalu berkata, “Hari ini Davin pergi ke Italia, Tante. Baru berangkat sekitar tiga jam yang lalu.”“Italia?” Chelsea langsung menyahut dengan tatapan terkejut seraya menatap Jingga. “Mau apa dia pergi ke sana? Kenapa Davin nggak bilang sama aku?”Tangan Jingga terkepal. “Memangnya kenapa Davin harus bilang sama kamu?” timpal Jingga, membuat Chelsea gelagapan.Jingga tidak tahu entah dari mana dirinya mendapat keberanian menimpali ucapan Chelsea sampai seberani itu. Hanya saja, ia merasa tidak s
Jingga memperhatikan Amarylis yang sibuk dengan ponselnya—seperti biasa, di sofa. Amarylis lebih senang ‘berinteraksi’ dengan ponsel pintar itu ketimbang dengan orang-orang di sekitarnya. Kecuali saat ia bersama Davin. Seluruh fokus Amarylis pasti tertuju pada sang kakak.“Ngomong-ngomong, tumben kamu ke sini.” Jingga menaruh sepiring buah apel yang telah ia potong-potong, di atas meja. “Kapan ya terakhir kamu berkunjung ke sini? Mungkin… tahun lalu?”“Mungkin.” Amarylis mengedikkan bahu tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. “Lagi pengen main aja ke sini. Sumpek di rumah. Kamar tamu kosong, ‘kan?”Seulas senyum kecil tersungging di bibir Jingga. Ia mengerti ucapan Amarylis, yang secara tak langsung menyampaikan maksudnya yang akan menginap di rumah ini. Amarylis pasti terlalu gengsi untuk bicara to the point.“Kosong,” jawab Jingga, “kamu bawa baju ganti?”“Ada. Di mobil.”Jingga mengangguk, ia melirik ke arah jam dinding sekilas. Sudah hampir pukul enam sore. “Aku mau masak
Amarylis: Aku mau nunjukin sesuatu ke Mas Davin, tapi sebagai hadiahnya, aku mau liburan ke Swiss. Mas Davin yang bayarin.Davin: Sesuatunya apa dulu? Menarik atau nggak? Kalau nggak, ogah. Minta aja uangnya sama Papi.Amarylis: Papi nggak bakal ngizinin. Dia kan nggak punya duit, yang punya duit banyak itu Mas Davin.Amarylis: Pokoknya ini sesuatu yang sangat langka. Aku yakin Mas Davin pasti kaget.Davin: Apa, sih? Kamu sengaja bikin mas kamu ini penasaran, ya?Sejenak Davin mengalihkan pandangannya dari layar ponsel yang menampilkan chat room-nya dengan sang adik, ke arah jalanan yang ia lewati.Dari dalam mobil ini, Davin memandangi bangunan-bangunan kuno yang menawan dengan dinding-dinding batu klasik. Budaya dan sejarah mengalir begitu kental di ibu kota Italia ini. Davin merasa seperti terlempar ke dalam dunia lain berabad-abad yang lalu.Ponselnya kembali berdenting, membuat fokus Davin kembali teralihkan.Bibir tipis berwarna merah agak kecoklatannya mengukir senyuman kecil k
Memang, bukan sesuatu yang mudah mencari seseorang di antara ratusan orang yang berlalu lalang di bandara.Hanya bermodalkan foto di ponselnya, Davin dan Vincent mengamati wajah setiap laki-laki yang berpapasan dengan mereka, sambil mencocokannya dengan foto itu. Keduanya berpencar.Davin mencarinya di gate khusus check in penerbangan menuju kota Milan. Namun kursi tunggu di gate itu tampak sepi. Karena para penumpang sudah melakukan check in dan masuk ke boarding room.Sial. Kenapa Davin lupa tidak meminta nomor ponsel Eugenio pada wanita tadi?Davin mengusap wajah dengan kasar, napasnya sedikit tersengal karena terus berlari ke sana kemari hanya untuk menemukan sosok Eugenio.“Saya tidak menemukannya,” ujar Vincent saat keduanya tanpa sengaja berpapasan.“Kemungkinan besar dia sudah masuk boarding room.” Davin tertunduk lesu. Ia tak memiliki harapan untuk bertemu dengan pria tua itu. “Apa yang harus aku katakan pada istriku?” gumamnya kemudian
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah