‘Aku juga suka gaun itu,’ batin Jingga, yang tak berani ia suarakan.Rasanya, Jingga tak pantas untuk menjadi pemilik gaun cantik dan indah tersebut.Jingga hanya diam, memperhatikan Davin yang sedang memanggil pelayan untuk menurunkan gaun hitam itu untuk Chelsea.Bahkan, Davin sama sekali tidak bertanya gaun mana yang Jingga sukai.“Sudah dapat dress yang kamu suka?” tanya Davin tiba-tiba, yang membuat Jingga sedikit terkejut. Ia mendongak dan mendapati Davin tengah menatapnya dengan tatapan sulit diartikan.Jingga menggeleng. “Belum,” dustanya.“Mau aku bantu carikan?”“Nggak usah.” Jingga memutar tubuh dan hendak meninggalkan Davin, akan tetapi kedatangan Widya membuat langkahnya seketika terhenti.“Nah, ‘kan, saya sudah bilang, Bu Jingga sangat cocok pakai gaun yang itu,” kata Widya sambil melihat gaun hitam yang sedang diturunkan oleh dua stafnya. Lalu menatap Jingga sambil tersenyum. “Mau dicobain sekarang?”Jingga te
“Jingga, cowok yang waktu itu datang ke sini, siapa dia? Boleh aku minta nomor handphone-nya?”Pertanyaan Messy—yang tiba-tiba berdiri di sampingnya sambil bersedekap dada, membuat Jingga mengalihkan tatapannya dari air yang mengucur ke gelas, ke arah staf finance Madhava Studio itu.“Kenapa kamu ingin tahu?” gumam Jingga tanpa ekspresi.Messy kesal dengan respons Jingga yang tak bersahabat. Di studio ini hampir tidak ada yang dekat dengan Jingga, kecuali pimpinan mereka.“Kali aja aku bisa ngajak dia jalan keluar. Ngomong-ngomong, kamu kenal dia dari mana? Kok bisa dia kenal kamu?”Jingga mematikan keran dispenser dan meneguk air minumnya sejenak. Ia taruh kembali gelas ke meja, lalu berkata, “Dia suamiku.”Mata Messy terbelalak. Sedetik kemudian, tawanya menggema di ruangan pantry itu. “Suami? Hey, jangan bercanda.”“Kenapa? Kamu nggak percaya?”“Ya siapa juga yang bakal percaya?” Messy masih tertawa, geleng-geleng kepala. “L
Jingga sama sekali tidak pernah menyangka kalau Davin akan membawanya ke tempat ini. Dulu, hal seperti ini amat mustahil terjadi. Bahkan bermimpi saja Jingga tidak berani.Namun, sore ini, tidak ada angin tidak ada hujan, Davin membawa Jingga ke sebuah toko perlengkapan bayi dan balita, yang merupakan salah satu toko terbesar dan terkenal di ibukota.“Cari baju yang cocok untuk Oliver,” kata Davin, “ayo masuk.”Jingga sedikit mengangkat Oliver dalam pangkuannya. Lalu berjalan di belakang Davin dan memberi mereka jarak saat memasuki toko tersebut.Sebelum membuka pintu, Davin menoleh ke belakang dan mengerutkan keningnya. “Kenapa menjauh dariku?”“Itu… aku rasa lebih baik kita menjaga jarak.” Jingga menatap beberapa orang di dalam toko. Ia tidak ingin mempermalukan Davin dengan kehadirannya di sisinya. “Lagi pula, aku nggak akan sanggup membeli baju-baju di sini. Aku belum menerima gaji bulan ini, jadi… lebih baik kita cari toko yang lebih—”
“Kenapa membeli mainan banyak sekali?” tanya Jingga sambil memperhatikan barang-barang yang dimasukkan ke mobil SUV yang dikemudikan sopir Davin.Beberapa saat yang lalu, Davin memanggil Dodi alias sopirnya kemari untuk membawa barang belanjaan.Davin menoleh pada Jingga. Oliver masih berada di pangkuan Davin yang tampak senang dengan mainan baru dalam genggamannya.“Jangan tanya alasannya, aku sendiri nggak tahu,” jawab Davin.“Apa… suatu saat aku harus menggantinya?”Davin tampak tidak senang mendengarnya. Ia membuka mulut hendak mengomel, tapi kemudian matanya terpejam seraya mengembuskan napas berat.“Iya, kamu harus menggantinya.”Jingga terhenyak. Ia mendongak, menatap Davin dengan tatapan terkejut. “Berapa total belanjaan hari ini?”Davin tertawa kecil melihat mata jernih dan bulat Jingga yang membelalak. “Aku nggak minta diganti
“Mulai malam ini, aku akan pindah ke kamarmu!”Mata Jingga seketika membulat. “A-apa? Pindah… ke kamarku?”“Ya,” jawab Davin sambil menegakkan punggung.“Tapi kenapa begitu?” tanya Jingga lagi. Bukankah selama ini Davin tidak ingin berlama-lama dalam satu ruangan dengannya? Bahkan lelaki itu nyaris tidak pernah menginjakkan kaki di kamar Jingga.“Aku cuma ingin menghindarkan kamu dari hukuman yang mungkin kamu terima setiap hari.”“Hukuman?”“Ya.” Davin menyembunyikan tangan di saku tanpa melepaskan tatapannya dari Jingga. “Bisa saja besok pagi, dan besok paginya lagi kamu lupa membangunkanku atau diam di sisiku saat aku bangun.”Mata Jingga mengerjap.“Jadi kalau kita tidur satu kamar, kamu nggak perlu repot-repot membangunkanku dan masuk ke kamarku. Sehingga kamu terbebas dari hukuman ka
“Bik, nanti malam, saya titip Oliver, ya?” pinta Jingga pada Arum—ART Davin.“Lho? Nggak akan dibawa ke pesta, Bu?”"Nggak." Jingga menggeleng, ia menatap Oliver yang baru saja terlelap di pangkuannya. “Oliver pasti anteng kok, Bik. Susunya sudah saya siapin di kulkas. Kalau dia nangis, tinggal seduh saja. saya juga nggak akan lama.”Arum mengangguk. “Siap, Bu. Bu Jingga jangan khawatir, saya pasti menjaga Den Oliver dengan baik.”“Terima kasih, Bik.” Jingga mengecup kening Oliver. Kemudian membawa anak itu ke dalam kamar dan merebahkannya di tempat tidur.Sejujurnya Jingga masih belum berani membawa Oliver ke tempat ramai seperti pesta nanti malam.Ia khawatir akan banyak orang yang membicarakan dirinya dan Oliver. Sebab, ke manapun Jingga pergi, ia selalu menjadi pusat perhatian. Bukan karena kelebihan yang Jingga miliki, melainkan karena kondisi kakinya ya
Jingga merasa gugup. Telapak tangannya berkeringat dingin. Selain saat pesta pernikahan mereka, baru hari ini Jingga kembali menghadiri pesta yang sangat mewah dan dihadiri banyak orang.Jingga merasa tidak pantas berbaur dengan orang-orang dari kalangan atas seperti mereka.“Aku tahu kamu gugup,” ucap Davin sambil menggenggam kedua tangan Jingga. “Tapi ingatlah, kali ini aku nggak akan membiarkanmu melewatinya sendirian. Aku janji, akan selalu berada di samping kamu.”Jingga menatap mata tegas Davin, berusaha mencari-cari kebohongan di dalam sana. Namun Jingga tidak menemukannya. Davin benar-benar serius dengan ucapannya, membuat Jingga merasa sedikit tenang.“Masuk sekarang?”Jingga mengangguk. “Iya.”Davin menggenggam tangan Jingga dengan erat, lalu keduanya melangkah memasuki ballroom yang terlihat ramai dan meriah. Langkah kaki Davin yang pelan membuat Jingga tidak
Amarylis mondar-mandir di dekat wastafel sambil menggigit ujung kuku jari telunjuknya. Pipinya memerah menahan malu.“Bego! Kenapa aku bisa sebego ini, sih? Gimana kalau tadi orang-orang lihat aku? Mereka pasti ngetawain aku!” gerutunya, bermonolog.Jingga menghela napas panjang. Amarylis memang Davin versi perempuan. Gaya bicara mereka tidak jauh berbeda.“Memang kenapa kalau mereka ngetawain kamu?” tanya Jingga dengan tenang sambil menghampiri gadis itu.“Ya malu, lah. Mau ditaruh di mana coba muka aku?”Jingga menipiskan bibirnya. “Mereka nggak akan peduli, kok.”“Apa?”“Kalau pun mereka memperhatikan kamu, paling cuma saat itu doang. Sekarang mereka pasti lupa dan sibuk dengan urusan mereka masing-masing,” ujar Jingga sambil bersandar di tepian meja wastafel.“Nggak bisa begitu.” Amarylis bersikukuh dengan eks
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah