“Baik. Akan saya konfirmasi dulu ke Pak Davin. Nanti saya hubungi lagi.”
Pria bertubuh tinggi kurus dan berjas hitam itu memasukkan ponsel ke saku jas. Ia bergegas menyusul atasannya yang berjalan dengan langkah-langkah tegap di hadapannya.
“Mr. Keith mengajak Anda makan siang sekarang.” Pria itu melapor. “Bagaimana? Apa Anda mau menerima ajakan beliau?”
“Vincent, sejak kapan kamu jadi asisten pribadiku?” Davin bertanya dengan pandangan lurus ke depan.
“Lima tahun, Pak.”
“Lima tahun? Kamu yakin?”
Vincent berpikir sejenak, dan menghitung kembali berapa lama ia menjadi bawahan CEO muda ini. “Yakin, Pak. Lima tahun.”
Davin mendengus. “Lalu, kenapa hal sekecil itu saja kamu masih bertanya padaku?”
Selain arogan, Davin William juga sosok CEO yang cukup menyebalkan.
Vincent berdehem. “Maaf. Saya akan meminta Mia untuk mewakili Anda.” Ia membuka pintu ruangan CEO dan menutupnya kembali setelah Davin masuk. Kemudian Vincent menghampiri meja sekretaris Davin. “Mia, kamu dapat makan siang gratis.”
“Dengan siapa lagi sekarang?” Wanita cantik itu memutar bola matanya.
“Mr. Keith.”
“Baiklah.” Mia segera menyudahi pekerjaannya dan bersiap-siap. “Sebenarnya, kenapa hampir setahunan ini Pak Davin selalu menolak ajakan makan siang di luar? Menurut kamu aneh nggak sih?”
Vincent tersenyum samar. “Itu karena—”
“Vincent! Masuk!” Suara berat Davin berseru dari dalam ruangan, menyela ucapan Vincent.
“Baiklah, Mia. Selamat makan siang. Kamu beruntung karena punya bos yang sering memberimu makan siang gratis.” Sambil terkekeh, detik itu juga Vincent meninggalkan Mia dan memasuki ruangan atasannya.
Vincent menghampiri Davin di sofa.
“Sebentar lagi aku akan pergi menemani Chelsea ke pameran. Siapkan makan siangku. Aku akan makan sekarang!” perintah Davin yang sudah duduk di sofa yang ada di tengah ruangan luas bernuansa abu muda itu.
“Baik.”
Vincent mengambil rantang makanan tiga susun yang berisi makan siang Davin dan menatanya di atas meja. Lengkap dengan minumannya.
“Makanan yang dibuat Bu Jingga rasanya pasti mengalahkan makanan di restoran,” komentar Vincent, “Pak Davin selalu menolak ajakan makan siang di luar dan lebih memilih menghabiskan makanan dari istri Anda.”
Davin tidak memberi tanggapan apapun. Ia mulai menyantap makanannya dalam diam, sambil memandangi makanan di hadapannya dengan tatapan sulit diartikan.
Pada saat yang sama, Vincent mendapat telepon, ia keluar dari ruangan Davin untuk menerima panggilan tersebut.
Vincent baru kembali ke hadapan Davin setelah atasannya itu selesai menghabiskan makanannya.
“Tadi saya mendapat telepon dari Pak Erick, beliau akan menemui Anda untuk membahas perceraian Anda dengan… Bu Jingga.”
Rahang Davin seketika berubah mengeras, ia kembali duduk di kursi kebesarannya. “Bilang padanya, nggak usah menemuiku. Aku akan membatalkan perceraiannya.”
Vincent mengerjap. “Anda tidak akan menceraikan Bu Jingga?"
“Ya.”
Kedua sudut bibir Vincent terangkat, lalu mengangguk. “Saya sudah menduga hal ini akan terjadi.”
Kelopak mata Davin terangkat, menatap Vincent dengan mata elangnya. “Apa maksudmu?”
“Anda mungkin tidak sadar, tapi saya merasa kalau Pak Davin sudah… menaruh hati pada Bu Jingga,” ucapnya hati-hati. Ia orang yang paling dekat dengan Davin. Vincent tahu Davin luar dalam.
Davin mendengus. “Jangan bicara omong kosong. Kamu bukan Tuhan yang tahu isi hati seseorang,” gumamnya dengan nada kesal.
“Tapi sikap seseorang itu cerminan dari hatinya, Pak,” timpal Vincent sambil tersenyum kikuk. “Walaupun Anda sering bersikap kurang baik pada istri Anda, tapi Pak Davin selalu menyempatkan sarapan dan makan malam di rumah. Dan tidak pernah melewatkan bekal makan siang dari Bu Jingga satu hari pun. Selain itu….”
Vincent melirik rambut Davin yang sudah tidak rapi seperti tadi pagi. “Sebelum pulang ke rumah, Anda selalu merapikan penampilan Anda lebih dulu. Seolah-olah Pak Davin ingin terlihat rapi di hadapan—”
BRAKK!!!
Ucapan Vincent terputus seketika saat Davin menggebrak meja dengan keras. Raut mukanya tampak suram.
“Jangan lancang kalau kamu masih butuh pekerjaan,” berang Davin sambil menatap Vincent. “Semua perkiraanmu itu salah! Aku nggak jadi menceraikan Jingga bukan karena aku memiliki perasaan padanya, tapi aku nggak mau perusahaan ini jatuh ke tangan Ethan!”
Vincent menelan saliva. Sepertinya ia sudah membangunkan singa yang tertidur. “Maaf, Pak. Saya sudah lancang.”
Davin beranjak dari kursinya sambil berdesis, “Memangnya kamu nggak punya mata? Aku nggak mungkin jatuh cinta pada wanita yang tidak menarik seperti dia!”
**
Jingga menarik napas dalam-dalam. Ia mengusap-usap kedua telapak tangannya yang berkeringat pada pakaiannya, lalu mengepalkannya. Ia memberanikan diri melangkahkan kakinya memasuki gedung New Pacific Group.
Lobinya terasa dingin dan harum. Interiornya tampak mewah yang didominasi warna putih dan gold. Orang-orang berpakaian rapi tampak hilir mudik dan berjalan tergesa-gesa, seolah menyiratkan betapa sibuknya perusahaan tersebut.
Jingga tidak tahu di mana ruangan suaminya. Sebab, hari ini adalah kali pertama ia menginjakkan kaki di perusahaan yang dikelola Davin.
Jantung Jingga berdegup cepat. Ia menjadi pusat perhatian orang-orang. Bukan karena mereka tahu ia adalah istri CEO, melainkan… karena cara berjalan Jingga yang timpang dan penampilannya yang mungkin tak pantas memasuki gedung ini.
“Selamat siang. Boleh saya tahu di mana ruangan Pak Davin William?” Jingga bertanya pada resepsionis. Ia sudah mencoba menelepon Davin, tapi panggilannya sama sekali tidak diangkat.
“Maaf. Tapi Pak Davin sedang sibuk. Mbak tidak bisa bertemu dengan beliau.” Resepsionis wanita itu menatap Jingga dari atas sampai bawah.
“Kalau begitu, tolong telepon dia. Bilang saja istrinya sedang menunggu di sini. Dia pasti mau turun dan—"
"Istri?" sela wanita bernama Elis itu dengn tatapan sedikit menyipit.
“Iya. Saya istrinya.”
Bagaimanapun juga, Jingga harus bertemu dengan Davin sekarang. Ada hal penting yang ingin ia sampaikan pada pria itu.
Elis dan rekan kerja di sampingnya tertawa sambil menutupi mulutnya. Elis memanggil satpam. Tak lama, seorang pria berseragam hitam dan bertubuh gempal berdiri di samping Jingga dan mencekal lengannya.
“Mbak silahkan keluar dari sini. Sudah banyak wanita yang datang mengaku-ngaku istri Pak Davin. Kami tidak akan tertipu lagi,” jelas satpam tersebut.
Wajah Jingga seketika berubah pucat pasi saat lelaki itu mencekal lengannya. Ia berusaha menarik tangannya, tapi cekalan tangan sang satpam terlalu kuat.
“Lepas! Jangan sentuh saya,” pinta Jingga dengan bibir bergetar.
Namun, pria gempal itu tidak menghiraukan. Dia menyeret Jingga keluar melewati beberapa orang yang berkerumun. Jingga bisa mendengar mereka berbisik- bisik membicarakan dirinya.
“Ngaco! Ngaku-ngaku istri Pak Davin, padahal wanita seperti dia mungkin orang terakhir yang akan Pak Davin nikahi.”
“Dia nggak sadar diri. Minimal dandan dulu kalau mau nipu.”
“Dia pikir, orang akan kasihan lihat kakinya pincang?”
Jingga tertegun. Ia merasa dirinya semakin kerdil dan tak berharga. Ia dipandang seperti sampah yang tak pantas untuk tinggal di planet ini.
Hingga akhirnya langkah kaki satpam itu terhenti, membuat Jingga juga ikut berhenti. Saat Jingga mendongak, ia melihat sosok Davin tengah berdiri di hadapan mereka dengan wajah merah padam.
“Lepaskan tanganmu!” desis Davin dengan tatapan tajam pada satpam.
“Tapi, Pak, wanita ini sudah mencoba—”
“LEPAS!!!” Davin berteriak marah, membuat para karyawannya yang ada di lobi berjengit kaget.
Wajah satpam itu sedikit pucat, ia segera melepaskan genggamannya dari lengan Jingga.
“Ikut aku.” Davin mencekal lengan Jingga keras-keras hingga Jingga meringis menahan rasa sakit, lalu menarik Jingga menuju lift.
Jingga berusaha menyeimbangkan langkah kakinya yang terseok-seok dengan langkah Davin yang lebar dan cepat.
Mereka memasuki lift eksekutif. Davin menekan tombol angka dua belas. Berdiri di samping Jingga dengan rahang mengeras penuh amarah, tanpa melepaskan cekalan tangannya pada lengan Jingga.
***
Pintu lift terbuka. Davin kembali menyeret Jingga memasuki ruangannya. Kemudian melepaskan lengan wanita itu dengan kasar hingga punggung Jingga membentur dinding. “Kenapa datang ke sini?” desis Davin dengan napas memburu penuh amarah. “Kamu sengaja datang ke sini untuk mempermalukanku?” Jingga terhenyak. Ia mendongak, menatap Davin dengan tatapan terluka. “Mempermalukanmu?” Jingga menggeleng, dan kembali bersuara lirih, “Aku nggak pernah sama sekali punya niat untuk bikin kamu malu, Dave.” Davin setengah mendengus dan setengah tertawa. Tatapannya semakin tajam, membuat nyali Jingga menciut. “Kamu nggak lihat orang-orang di bawah tadi menghinamu, Jingga?” Jari telunjuknya mengacung menunjuk ke arah pintu. “Di luar sana, mereka membicarakanmu, menghinamu. Dengan kamu mengakui sebagai istriku, sama saja kamu sudah mempermalukanku di depan karyawanku.” Jingga tercenung. “Sebelum datang ke sini, seharusnya kamu memperhatikan penampilanmu. Lalu tanya pada dirimu sendiri, apakah kamu
Satu sudut bibir Davin terangkat.Setelah memberi gugatan cerai, sekarang dia meneleponku? batin Davin sambil mengangkat panggilan tersebut.“Selamat siang. Apa benar ini dengan keluarganya Jingga Thania?”Davin menegakkan punggung saat ia mendengar suara pria di seberang telepon. Ia juga mendengar suara berisik di belakang pria itu.“Siapa ini? Kenapa handphone istri saya ada di tangan Anda?”“Apakah Bapak suaminya?” “Ya.”“Kami dari kepolisian, ingin memberitahu sebuah kabar buruk yang baru saja menimpa Bu Jingga.”Seketika, Davin menginjak rem, mobilnya berhenti mendadak. Klakson mobil di belakang meneriaki Davin saling bersahutan. Cepat-cepat Davin menepikan kendaraannya ke kiri. Jantungnya mendadak berdebar- debar.“Taksi yang ditumpangi Bu Jingga mengalami kecelakaan. Dan Bu Jingga meninggal dunia di tempat kejadian. Lokasinya berada di….”Ponsel Davin terjatuh. Wajahnya seketika berubah pucat pasi. Tubuhnya lemas dan bergetar.Dan Davin merasakan dunia di sekitarnya tiba-tiba r
Seketika, Davin terhenyak. “Apa?”“Aku memang belum bisa memastikan, tapi kemungkinan besar darah kamu mengalir di tubuh anak yang Jingga lahirkan,” ulang Ethan sekali lagi.Davin melemparkan botol di tangannya ke lantai. “Sial! jangan bicara omong kosong, sialan!” desisnya sambil menarik kerah baju Ethan dengan tatapan membunuh, rahangnya berkedut. “Katakan sekali lagi!”Ethan tidak terpancing emosi. Ia malah menggenggam tangan Davin yang masih mencengkeram kerahnya. “Kita bicarakan ini baik-baik. Jangan mengedepankan emosi.”Davin mendengus. Dengan terpaksa ia melepaskan cengkeramannya, dan duduk kembali di kursinya. “Jelaskan padaku, omong kosong apa yang baru saja kamu bicarakan!”“Kamu ingat, dua tahun lalu, waktu pengacara Kakek datang dan menyampaikan surat wasiat dari Kakek, supaya kita mencari wanita yang bernama Jingga?”Davin mengangguk. “Ya.”“Jadi, saat itu….”Saat itu Davin merasa frustrasi, karena ia ditekan oleh orang tuanya agar segera menemukan Jingga untuk kemudian
‘Kumohon… semoga ini bukan hanya mimpi.’ Davin membatin seraya melangkahkan kakinya mendekati Jingga dan menatap wanita itu dengan tatapan penuh harap. Davin merasakan jantungnya berdebar-debar. Jingga, yang memakai kemeja putih dan celana kain warna coklat itupun seketika berdiri. Matanya membulat, seakan-akan tidak percaya Davin datang untuk menemuinya. “Dave? Ke-kenapa… kamu di—” Pertanyaan Jingga seketika terhenti saat Davin menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Tubuh Jingga menegang dan mematung. Davin memeluknya dengan erat untuk memastikan dirinya tidak sedang bermimpi. Ternyata benar, ini terasa begitu nyata. Davin bisa merasakan hangatnya tubuh Jingga yang tenggelam dalam dekapannya. Dan baru Davin sadari bahwa wanita ini sangat kurus, dia sangat rapuh. Di kehidupan sebelumnya, Davin tidak pernah satu kalipun memeluk Jingga. “Senang bisa bertemu kamu lagi… Jingga,” gumam Davin dengan suara bergetar. Davin menunduk, menumpukan dagu di bahu Jingga dan memeluknya semakin erat
Melihat ekspresi mengeras di wajah Davin, Jingga merasa pria itu akan benar-benar marah kepadanya. Tangan kiri Jingga meremas pakaiannya dengan perasaan cemas.“I-itu… aku pikir, kamu akan marah kalau aku mengaku sebagai istrimu,” jawab Jingga tergagap-gagap.Seketika, Davin terdiam. Ketegangan di wajah Davin perlahan memudar. Ia mengusap wajahnya dengan kasar dan merapikan kembali kotak P3K. Tampak penyesalan yang tergambar jelas di wajahnya.“Apa dengan jari seperti itu kamu masih bisa melukis?” tanya Davin kemudian.Jingga mengangguk. “Masih,” jawabnya, “ini nggak terlalu sakit.”“Baiklah. Aku akan mengembalikan ini dulu.” Davin memutar badan dan hendak melangkah, tapi ia mengurungkan niatnya saat Jingga menarik kain lengan kemejanya. Davin kembali berbalik. “Ada apa?”Jingga diam sejenak, sambil menimbang-nimbang apakah ia berani menyuarakan pertanyaannya atau tidak. Setelah menarik napas berat, ia akhirnya bertanya, “Boleh aku tahu apa alasanmu datang ke sini?”“Itu….” Davin meng
“Kami memang sering bertemu, karena aku bekerja di studio dia.” “Damn!” Secara spontan Davin mengumpat seraya memukul kemudi dengan pelan. Davin tidak suka mendengarnya. Apalagi ia bisa melihat dengan jelas tatapan lelaki bernama Kalil itu saat menatap Jingga, tadi. Sebagai sesama seorang lelaki, Davin tahu arti tatapan lelaki itu. Cengkeraman tangan Davin semakin kuat pada kemudi, tanpa sadar ia menaikkan kecepatan kendaraannya dengan wajah mengeras. “Kamu… marah? Apa aku perlu turun di sini?” gumam Jingga, yang membuat Davin terhenyak. Davin menoleh pada Jingga, sejenak. Lalu mengembuskan napas panjang. Ia sudah diberi kesempatan kedua untuk menatap wanita ini lagi. Seharusnya ia memperlakukan Jingga dengan baik dan bersikap lebih lembut. Namun, Davin tidak terbiasa melakukan hal itu, sehingga ia merasa sedikit canggung ketika ingin bersikap lebih lembut pada Jingga. “Jangan terlalu dekat dengan lelaki itu.” Davin berkata dengan suara yang tidak terlalu dingin. “Kenapa?” Dav
Jingga tengah memasak makan malam. Namun, lagi-lagi ia dibuat bingung dengan sikap Davin, yang sejak tadi duduk di meja makan sambil memerhatikannya. Membuat Jingga merasa setiap gerak-geriknya diawasi, dan Jingga khawatir ada yang salah dengan sikapnya di mata Davin. Lalu ujung-ujungnya Davin memarahinya karena kesalahannya, seperti yang sudah-sudah.Jingga membuka kabinet atas untuk mengambil bumbu penyedap rasa yang masih utuh. Ia berjinjit, tapi tangannya tak dapat menjangkau benda tersebut.Tiba-tiba, Jingga merasakan dada seseorang menempel di punggungnya. Disusul dengan tangan panjang Davin yang mengambil bumbu dalam kemasan plastik itu.Jingga terkesiap. Ia memekik kaget dan hendak mundur untuk menjauh. Akan tetapi, punggungnya justru malah menabrak dada Davin dan akhirnya ia terjebak dalam pelukan pria itu.“Hati-hati. Kamu bisa melukai dirimu sendiri,” bisik Davin.Jingga merasakan napas hangat Davin menerpa telinganya. Pria itu memeluknya dari belakang. Lalu tangan Davin ya
“Segini cukup?”Isabela membelalak menatap layar ponsel Davin, yang memperlihatkan jumlah uang dua digit yang akan ditransfer pada internet banking.Namun, Isabela tersenyum masam.“Maaf. Harga diriku tidak semurah itu.”“Baik.” Davin kembali mengoreksi jumlahnya menjadi tiga digit.Malam ini, Davin akan membuktikan jika ia bisa mengubah masa depan. Bukan meminta maaf dengan merayu Isabela dan membawanya ke atas ranjang seperti di masa lalu, melainkan dengan memberinya kompensasi sejumlah uang yang tidak sedikit.“Bagaimana dengan ini?” Davin menunjukkan layar ponselnya kembali.Senyuman merekah tersungging di bibir merah Isabela. Sedetik kemudian senyuman itu hilang. Dia harus bersikap jual mahal.“Baiklah. Cukup.”“Hapus dulu foto-fotoku di handphone kamu. Baru setelah itu akan aku transfer.”Isabela membuang napas. Dengan wajah terpaksa ia menghapus foto mereka di galeri ponselnya. Lalu ia tersenyum lebar kala mendapat pemberitahuan ada uang masuk ke rekeningnya. Davin kemudian mer