“Baik. Akan saya konfirmasi dulu ke Pak Davin. Nanti saya hubungi lagi.”
Pria bertubuh tinggi kurus dan berjas hitam itu memasukkan ponsel ke saku jas. Ia bergegas menyusul atasannya yang berjalan dengan langkah-langkah tegap di hadapannya.
“Mr. Keith mengajak Anda makan siang sekarang.” Pria itu melapor. “Bagaimana? Apa Anda mau menerima ajakan beliau?”
“Vincent, sejak kapan kamu jadi asisten pribadiku?” Davin bertanya dengan pandangan lurus ke depan.
“Lima tahun, Pak.”
“Lima tahun? Kamu yakin?”
Vincent berpikir sejenak, dan menghitung kembali berapa lama ia menjadi bawahan CEO muda ini. “Yakin, Pak. Lima tahun.”
Davin mendengus. “Lalu, kenapa hal sekecil itu saja kamu masih bertanya padaku?”
Selain arogan, Davin William juga sosok CEO yang cukup menyebalkan.
Vincent berdehem. “Maaf. Saya akan meminta Mia untuk mewakili Anda.” Ia membuka pintu ruangan CEO dan menutupnya kembali setelah Davin masuk. Kemudian Vincent menghampiri meja sekretaris Davin. “Mia, kamu dapat makan siang gratis.”
“Dengan siapa lagi sekarang?” Wanita cantik itu memutar bola matanya.
“Mr. Keith.”
“Baiklah.” Mia segera menyudahi pekerjaannya dan bersiap-siap. “Sebenarnya, kenapa hampir setahunan ini Pak Davin selalu menolak ajakan makan siang di luar? Menurut kamu aneh nggak sih?”
Vincent tersenyum samar. “Itu karena—”
“Vincent! Masuk!” Suara berat Davin berseru dari dalam ruangan, menyela ucapan Vincent.
“Baiklah, Mia. Selamat makan siang. Kamu beruntung karena punya bos yang sering memberimu makan siang gratis.” Sambil terkekeh, detik itu juga Vincent meninggalkan Mia dan memasuki ruangan atasannya.
Vincent menghampiri Davin di sofa.
“Sebentar lagi aku akan pergi menemani Chelsea ke pameran. Siapkan makan siangku. Aku akan makan sekarang!” perintah Davin yang sudah duduk di sofa yang ada di tengah ruangan luas bernuansa abu muda itu.
“Baik.”
Vincent mengambil rantang makanan tiga susun yang berisi makan siang Davin dan menatanya di atas meja. Lengkap dengan minumannya.
“Makanan yang dibuat Bu Jingga rasanya pasti mengalahkan makanan di restoran,” komentar Vincent, “Pak Davin selalu menolak ajakan makan siang di luar dan lebih memilih menghabiskan makanan dari istri Anda.”
Davin tidak memberi tanggapan apapun. Ia mulai menyantap makanannya dalam diam, sambil memandangi makanan di hadapannya dengan tatapan sulit diartikan.
Pada saat yang sama, Vincent mendapat telepon, ia keluar dari ruangan Davin untuk menerima panggilan tersebut.
Vincent baru kembali ke hadapan Davin setelah atasannya itu selesai menghabiskan makanannya.
“Tadi saya mendapat telepon dari Pak Erick, beliau akan menemui Anda untuk membahas perceraian Anda dengan… Bu Jingga.”
Rahang Davin seketika berubah mengeras, ia kembali duduk di kursi kebesarannya. “Bilang padanya, nggak usah menemuiku. Aku akan membatalkan perceraiannya.”
Vincent mengerjap. “Anda tidak akan menceraikan Bu Jingga?"
“Ya.”
Kedua sudut bibir Vincent terangkat, lalu mengangguk. “Saya sudah menduga hal ini akan terjadi.”
Kelopak mata Davin terangkat, menatap Vincent dengan mata elangnya. “Apa maksudmu?”
“Anda mungkin tidak sadar, tapi saya merasa kalau Pak Davin sudah… menaruh hati pada Bu Jingga,” ucapnya hati-hati. Ia orang yang paling dekat dengan Davin. Vincent tahu Davin luar dalam.
Davin mendengus. “Jangan bicara omong kosong. Kamu bukan Tuhan yang tahu isi hati seseorang,” gumamnya dengan nada kesal.
“Tapi sikap seseorang itu cerminan dari hatinya, Pak,” timpal Vincent sambil tersenyum kikuk. “Walaupun Anda sering bersikap kurang baik pada istri Anda, tapi Pak Davin selalu menyempatkan sarapan dan makan malam di rumah. Dan tidak pernah melewatkan bekal makan siang dari Bu Jingga satu hari pun. Selain itu….”
Vincent melirik rambut Davin yang sudah tidak rapi seperti tadi pagi. “Sebelum pulang ke rumah, Anda selalu merapikan penampilan Anda lebih dulu. Seolah-olah Pak Davin ingin terlihat rapi di hadapan—”
BRAKK!!!
Ucapan Vincent terputus seketika saat Davin menggebrak meja dengan keras. Raut mukanya tampak suram.
“Jangan lancang kalau kamu masih butuh pekerjaan,” berang Davin sambil menatap Vincent. “Semua perkiraanmu itu salah! Aku nggak jadi menceraikan Jingga bukan karena aku memiliki perasaan padanya, tapi aku nggak mau perusahaan ini jatuh ke tangan Ethan!”
Vincent menelan saliva. Sepertinya ia sudah membangunkan singa yang tertidur. “Maaf, Pak. Saya sudah lancang.”
Davin beranjak dari kursinya sambil berdesis, “Memangnya kamu nggak punya mata? Aku nggak mungkin jatuh cinta pada wanita yang tidak menarik seperti dia!”
**
Jingga menarik napas dalam-dalam. Ia mengusap-usap kedua telapak tangannya yang berkeringat pada pakaiannya, lalu mengepalkannya. Ia memberanikan diri melangkahkan kakinya memasuki gedung New Pacific Group.
Lobinya terasa dingin dan harum. Interiornya tampak mewah yang didominasi warna putih dan gold. Orang-orang berpakaian rapi tampak hilir mudik dan berjalan tergesa-gesa, seolah menyiratkan betapa sibuknya perusahaan tersebut.
Jingga tidak tahu di mana ruangan suaminya. Sebab, hari ini adalah kali pertama ia menginjakkan kaki di perusahaan yang dikelola Davin.
Jantung Jingga berdegup cepat. Ia menjadi pusat perhatian orang-orang. Bukan karena mereka tahu ia adalah istri CEO, melainkan… karena cara berjalan Jingga yang timpang dan penampilannya yang mungkin tak pantas memasuki gedung ini.
“Selamat siang. Boleh saya tahu di mana ruangan Pak Davin William?” Jingga bertanya pada resepsionis. Ia sudah mencoba menelepon Davin, tapi panggilannya sama sekali tidak diangkat.
“Maaf. Tapi Pak Davin sedang sibuk. Mbak tidak bisa bertemu dengan beliau.” Resepsionis wanita itu menatap Jingga dari atas sampai bawah.
“Kalau begitu, tolong telepon dia. Bilang saja istrinya sedang menunggu di sini. Dia pasti mau turun dan—"
"Istri?" sela wanita bernama Elis itu dengn tatapan sedikit menyipit.
“Iya. Saya istrinya.”
Bagaimanapun juga, Jingga harus bertemu dengan Davin sekarang. Ada hal penting yang ingin ia sampaikan pada pria itu.
Elis dan rekan kerja di sampingnya tertawa sambil menutupi mulutnya. Elis memanggil satpam. Tak lama, seorang pria berseragam hitam dan bertubuh gempal berdiri di samping Jingga dan mencekal lengannya.
“Mbak silahkan keluar dari sini. Sudah banyak wanita yang datang mengaku-ngaku istri Pak Davin. Kami tidak akan tertipu lagi,” jelas satpam tersebut.
Wajah Jingga seketika berubah pucat pasi saat lelaki itu mencekal lengannya. Ia berusaha menarik tangannya, tapi cekalan tangan sang satpam terlalu kuat.
“Lepas! Jangan sentuh saya,” pinta Jingga dengan bibir bergetar.
Namun, pria gempal itu tidak menghiraukan. Dia menyeret Jingga keluar melewati beberapa orang yang berkerumun. Jingga bisa mendengar mereka berbisik- bisik membicarakan dirinya.
“Ngaco! Ngaku-ngaku istri Pak Davin, padahal wanita seperti dia mungkin orang terakhir yang akan Pak Davin nikahi.”
“Dia nggak sadar diri. Minimal dandan dulu kalau mau nipu.”
“Dia pikir, orang akan kasihan lihat kakinya pincang?”
Jingga tertegun. Ia merasa dirinya semakin kerdil dan tak berharga. Ia dipandang seperti sampah yang tak pantas untuk tinggal di planet ini.
Hingga akhirnya langkah kaki satpam itu terhenti, membuat Jingga juga ikut berhenti. Saat Jingga mendongak, ia melihat sosok Davin tengah berdiri di hadapan mereka dengan wajah merah padam.
“Lepaskan tanganmu!” desis Davin dengan tatapan tajam pada satpam.
“Tapi, Pak, wanita ini sudah mencoba—”
“LEPAS!!!” Davin berteriak marah, membuat para karyawannya yang ada di lobi berjengit kaget.
Wajah satpam itu sedikit pucat, ia segera melepaskan genggamannya dari lengan Jingga.
“Ikut aku.” Davin mencekal lengan Jingga keras-keras hingga Jingga meringis menahan rasa sakit, lalu menarik Jingga menuju lift.
Jingga berusaha menyeimbangkan langkah kakinya yang terseok-seok dengan langkah Davin yang lebar dan cepat.
Mereka memasuki lift eksekutif. Davin menekan tombol angka dua belas. Berdiri di samping Jingga dengan rahang mengeras penuh amarah, tanpa melepaskan cekalan tangannya pada lengan Jingga.
***
Pintu lift terbuka. Davin kembali menyeret Jingga memasuki ruangannya. Kemudian melepaskan lengan wanita itu dengan kasar hingga punggung Jingga membentur dinding. “Kenapa datang ke sini?” desis Davin dengan napas memburu penuh amarah. “Kamu sengaja datang ke sini untuk mempermalukanku?” Jingga terhenyak. Ia mendongak, menatap Davin dengan tatapan terluka. “Mempermalukanmu?” Jingga menggeleng, dan kembali bersuara lirih, “Aku nggak pernah sama sekali punya niat untuk bikin kamu malu, Dave.” Davin setengah mendengus dan setengah tertawa. Tatapannya semakin tajam, membuat nyali Jingga menciut. “Kamu nggak lihat orang-orang di bawah tadi menghinamu, Jingga?” Jari telunjuknya mengacung menunjuk ke arah pintu. “Di luar sana, mereka membicarakanmu, menghinamu. Dengan kamu mengakui sebagai istriku, sama saja kamu sudah mempermalukanku di depan karyawanku.” Jingga tercenung. “Sebelum datang ke sini, seharusnya kamu memperhatikan penampilanmu. Lalu tanya pada dirimu sendiri, apakah kamu
Satu sudut bibir Davin terangkat.Setelah memberi gugatan cerai, sekarang dia meneleponku? batin Davin sambil mengangkat panggilan tersebut.“Selamat siang. Apa benar ini dengan keluarganya Jingga Thania?”Davin menegakkan punggung saat ia mendengar suara pria di seberang telepon. Ia juga mendengar suara berisik di belakang pria itu.“Siapa ini? Kenapa handphone istri saya ada di tangan Anda?”“Apakah Bapak suaminya?” “Ya.”“Kami dari kepolisian, ingin memberitahu sebuah kabar buruk yang baru saja menimpa Bu Jingga.”Seketika, Davin menginjak rem, mobilnya berhenti mendadak. Klakson mobil di belakang meneriaki Davin saling bersahutan. Cepat-cepat Davin menepikan kendaraannya ke kiri. Jantungnya mendadak berdebar- debar.“Taksi yang ditumpangi Bu Jingga mengalami kecelakaan. Dan Bu Jingga meninggal dunia di tempat kejadian. Lokasinya berada di….”Ponsel Davin terjatuh. Wajahnya seketika berubah pucat pasi. Tubuhnya lemas dan bergetar.Dan Davin merasakan dunia di sekitarnya tiba-tiba r
Seketika, Davin terhenyak. “Apa?”“Aku memang belum bisa memastikan, tapi kemungkinan besar darah kamu mengalir di tubuh anak yang Jingga lahirkan,” ulang Ethan sekali lagi.Davin melemparkan botol di tangannya ke lantai. “Sial! jangan bicara omong kosong, sialan!” desisnya sambil menarik kerah baju Ethan dengan tatapan membunuh, rahangnya berkedut. “Katakan sekali lagi!”Ethan tidak terpancing emosi. Ia malah menggenggam tangan Davin yang masih mencengkeram kerahnya. “Kita bicarakan ini baik-baik. Jangan mengedepankan emosi.”Davin mendengus. Dengan terpaksa ia melepaskan cengkeramannya, dan duduk kembali di kursinya. “Jelaskan padaku, omong kosong apa yang baru saja kamu bicarakan!”“Kamu ingat, dua tahun lalu, waktu pengacara Kakek datang dan menyampaikan surat wasiat dari Kakek, supaya kita mencari wanita yang bernama Jingga?”Davin mengangguk. “Ya.”“Jadi, saat itu….”Saat itu Davin merasa frustrasi, karena ia ditekan oleh orang tuanya agar segera menemukan Jingga untuk kemudian
‘Kumohon… semoga ini bukan hanya mimpi.’ Davin membatin seraya melangkahkan kakinya mendekati Jingga dan menatap wanita itu dengan tatapan penuh harap. Davin merasakan jantungnya berdebar-debar. Jingga, yang memakai kemeja putih dan celana kain warna coklat itupun seketika berdiri. Matanya membulat, seakan-akan tidak percaya Davin datang untuk menemuinya. “Dave? Ke-kenapa… kamu di—” Pertanyaan Jingga seketika terhenti saat Davin menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Tubuh Jingga menegang dan mematung. Davin memeluknya dengan erat untuk memastikan dirinya tidak sedang bermimpi. Ternyata benar, ini terasa begitu nyata. Davin bisa merasakan hangatnya tubuh Jingga yang tenggelam dalam dekapannya. Dan baru Davin sadari bahwa wanita ini sangat kurus, dia sangat rapuh. Di kehidupan sebelumnya, Davin tidak pernah satu kalipun memeluk Jingga. “Senang bisa bertemu kamu lagi… Jingga,” gumam Davin dengan suara bergetar. Davin menunduk, menumpukan dagu di bahu Jingga dan memeluknya semakin erat
Melihat ekspresi mengeras di wajah Davin, Jingga merasa pria itu akan benar-benar marah kepadanya. Tangan kiri Jingga meremas pakaiannya dengan perasaan cemas.“I-itu… aku pikir, kamu akan marah kalau aku mengaku sebagai istrimu,” jawab Jingga tergagap-gagap.Seketika, Davin terdiam. Ketegangan di wajah Davin perlahan memudar. Ia mengusap wajahnya dengan kasar dan merapikan kembali kotak P3K. Tampak penyesalan yang tergambar jelas di wajahnya.“Apa dengan jari seperti itu kamu masih bisa melukis?” tanya Davin kemudian.Jingga mengangguk. “Masih,” jawabnya, “ini nggak terlalu sakit.”“Baiklah. Aku akan mengembalikan ini dulu.” Davin memutar badan dan hendak melangkah, tapi ia mengurungkan niatnya saat Jingga menarik kain lengan kemejanya. Davin kembali berbalik. “Ada apa?”Jingga diam sejenak, sambil menimbang-nimbang apakah ia berani menyuarakan pertanyaannya atau tidak. Setelah menarik napas berat, ia akhirnya bertanya, “Boleh aku tahu apa alasanmu datang ke sini?”“Itu….” Davin meng
“Kami memang sering bertemu, karena aku bekerja di studio dia.” “Damn!” Secara spontan Davin mengumpat seraya memukul kemudi dengan pelan. Davin tidak suka mendengarnya. Apalagi ia bisa melihat dengan jelas tatapan lelaki bernama Kalil itu saat menatap Jingga, tadi. Sebagai sesama seorang lelaki, Davin tahu arti tatapan lelaki itu. Cengkeraman tangan Davin semakin kuat pada kemudi, tanpa sadar ia menaikkan kecepatan kendaraannya dengan wajah mengeras. “Kamu… marah? Apa aku perlu turun di sini?” gumam Jingga, yang membuat Davin terhenyak. Davin menoleh pada Jingga, sejenak. Lalu mengembuskan napas panjang. Ia sudah diberi kesempatan kedua untuk menatap wanita ini lagi. Seharusnya ia memperlakukan Jingga dengan baik dan bersikap lebih lembut. Namun, Davin tidak terbiasa melakukan hal itu, sehingga ia merasa sedikit canggung ketika ingin bersikap lebih lembut pada Jingga. “Jangan terlalu dekat dengan lelaki itu.” Davin berkata dengan suara yang tidak terlalu dingin. “Kenapa?” Dav
Jingga tengah memasak makan malam. Namun, lagi-lagi ia dibuat bingung dengan sikap Davin, yang sejak tadi duduk di meja makan sambil memerhatikannya. Membuat Jingga merasa setiap gerak-geriknya diawasi, dan Jingga khawatir ada yang salah dengan sikapnya di mata Davin. Lalu ujung-ujungnya Davin memarahinya karena kesalahannya, seperti yang sudah-sudah.Jingga membuka kabinet atas untuk mengambil bumbu penyedap rasa yang masih utuh. Ia berjinjit, tapi tangannya tak dapat menjangkau benda tersebut.Tiba-tiba, Jingga merasakan dada seseorang menempel di punggungnya. Disusul dengan tangan panjang Davin yang mengambil bumbu dalam kemasan plastik itu.Jingga terkesiap. Ia memekik kaget dan hendak mundur untuk menjauh. Akan tetapi, punggungnya justru malah menabrak dada Davin dan akhirnya ia terjebak dalam pelukan pria itu.“Hati-hati. Kamu bisa melukai dirimu sendiri,” bisik Davin.Jingga merasakan napas hangat Davin menerpa telinganya. Pria itu memeluknya dari belakang. Lalu tangan Davin ya
“Segini cukup?”Isabela membelalak menatap layar ponsel Davin, yang memperlihatkan jumlah uang dua digit yang akan ditransfer pada internet banking.Namun, Isabela tersenyum masam.“Maaf. Harga diriku tidak semurah itu.”“Baik.” Davin kembali mengoreksi jumlahnya menjadi tiga digit.Malam ini, Davin akan membuktikan jika ia bisa mengubah masa depan. Bukan meminta maaf dengan merayu Isabela dan membawanya ke atas ranjang seperti di masa lalu, melainkan dengan memberinya kompensasi sejumlah uang yang tidak sedikit.“Bagaimana dengan ini?” Davin menunjukkan layar ponselnya kembali.Senyuman merekah tersungging di bibir merah Isabela. Sedetik kemudian senyuman itu hilang. Dia harus bersikap jual mahal.“Baiklah. Cukup.”“Hapus dulu foto-fotoku di handphone kamu. Baru setelah itu akan aku transfer.”Isabela membuang napas. Dengan wajah terpaksa ia menghapus foto mereka di galeri ponselnya. Lalu ia tersenyum lebar kala mendapat pemberitahuan ada uang masuk ke rekeningnya. Davin kemudian mer
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah