“Selamat sore semuanya. Apa kabar Om, Tante?”
Chelsea tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar. Kecantikan dan keanggunannya membuat siapa saja yang melihatnya akan terpana. Dia sosok yang ceria dan mudah bergaul.
“Sore. Kabar kami baik, kok. Terima kasih ya sudah datang.” Lucy menyambut Chelsea dengan hangat, memeluknya dan mengajaknya duduk di samping Davin.
Sikap Lucy berbeda sekali dengan saat ia menyambut kedatangan Jingga. Lucy nyaris tidak pernah tersenyum tulus terhadap menantunya itu.
Davin tampak terkejut melihat kedatangan Chelsea, ia menoleh ke wanita yang duduk di sampingnya itu. “Chelsea, kenapa kamu di sini? Bukannya kamu harus istirahat?”
Mata Chelsea mengerling. “Kenapa? Kamu nggak senang aku ada di sini?”
“Bukan begitu.” Davin mendecak pelan seraya menyentil dahi Chelsea. “Aku hanya khawatir. Seharusnya kamu istirahat di rumah saja. Memangnya kamu nggak dengar apa kata dokter semalam?”
“Ya Tuhan, Chelsea, kamu lagi sakit? Aduh, maaf Tante nggak tahu kalau kamu harus istirahat.” Lucy menimpali dengan cepat seraya menatap Chelsea dengan khawatir. “Sakit apa, hm? Lalu gimana kondisi kamu sekarang?”
Chelsea terkekeh-kekeh dengan pipi tersipu-sipu. “Davin sama Tante nggak berbeda, ya. Kalian selalu mengkhawatirkan aku berlebihan begini,” kelakarnya sambil tertawa. “Semalam Davin ngantar aku ke UGD karena aku tiba-tiba pingsan, Tante. Tapi dokter bilang nggak ada yang serius dengan kondisiku, aku cuma kelelahan. Tante jangan khawatir ya.”
“Syukurlah kalau begitu.” Lucy menghela napas lega sambil mengelus dada.
“Oh? Ary, senang bertemu kamu lagi. Kapan pulang?” Pandangan Chelsea beralih ke arah Amarylis.
Gadis itu menjawab tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel. “Kemaren.”
“Kapan-kapan kita main golf bareng lagi ya? Aku kangen lho sama kamu.”
Amarylis tersenyum kecil. “Oke.”
“Ary, simpan dulu handphone kamu. Kita lagi berkumpul,” tegur Anthoni.
Gadis yang wajahnya replika Davin versi perempuan itu menghela napas kasar. Ia menaruh ponsel ke meja dan bersedekap dada. Lalu ikut berbaur dengan terpaksa. Amarylis gadis yang cukup dingin. Satu-satunya orang yang dekat dengannya di keluarga ini hanyalah Davin.
Kelima orang itu mulai terlibat obrolan-obrolan ringan sambil sesekali tertawa. Kehadiran Chelsea mampu mengubah suasana yang tadinya kaku dan hening, menjadi ramai dan hangat.
Sementara Jingga, dia hanya diam mendengarkan percakapan mereka dengan perasaan tidak nyaman.
Kehadirannya di sini sama sekali tidak dihiraukan. Seakan-akan mereka semua lupa bahwa status menantu sah di rumah ini masih dipegang oleh Jingga.
Jingga memandangi Davin. Pria itu berubah menjadi sosok yang hangat dan ramah saat berhadapan dengan wanita pujaan hatinya.
Jingga merasakan dadanya nyeri dan perih. Seharusnya sedari awal, Jingga membentengi hatinya untuk tidak jatuh hati pada lelaki itu. Namun, ia gagal. Sebab perasaan ini hadir jauh sebelum mereka menikah.
Karena merasa keberadaannya tidak dibutuhkan, perlahan-lahan Jingga bangkit dan menyeret langkahnya meninggalkan ruangan tersebut.
Sejenak ia berhenti di depan cermin tinggi, memperhatikan pantulan dirinya dengan miris. Tidak ada riasan make up di wajahnya, pakaiannya pun tertutup, tubuh kurus, dan… kaki pincang. Bukankah seharusnya Jingga tahu diri untuk tidak mengharapkan apapun dari Davin?
Jingga dan Chelsea sangat jauh berbeda. Jika Chelsea adalah permata, maka Jingga adalah batu kali, begitu pikir Jingga.
Wanita berambut hitam sepinggang itu melanjutkan langkahnya lagi, menghampiri Oliver yang sedang diasuh Nuri—satu-satunya pekerja rumah tangga di rumah ini yang bersikap baik terhadap Jingga.
“Den Oliver nggak rewel, Bu. Dia ceria sekali. Dari tadi senang banget main sama Kitty.” Nuri melapor sambil tersenyum lebar dan mengelus anak kucing warna putih yang bernama Kitty.
Jingga menipiskan bibirnya dan duduk di samping putranya. Oliver langsung menghambur ke pelukan Jingga sambil tertawa.
“Terima kasih banyak, ya. Bibik selalu bersedia menemani Oliver setiap saya datang ke sini.”
“Den Oliver lucu sekali, Bu. Senang saya lihatnya. Awalnya saya mengira Den Oliver mirip sama Bu Jingga, tapi kalau diperhatikan lama-lama, ternyata mirip sama Pak Davin, ya. Matanya sama-sama hitam dan dalam, apalagi kalau lagi senyum, kelihatan banget kalau—”
“Bik,” sela Jingga dengan lembut hingga ucapan Nuri terhenti.
Bukan apa-apa, Jingga hanya takut Davin mendengar ucapan Nuri yang menyamakan dirinya dengan Oliver. Dan hal itu bisa mengundang amarah Davin.
“Saya haus. Bisa tolong buatkan saya teh hangat?” Jingga beralasan untuk mengalihkan topik pembicaraan mereka.
Nuri dengan sigap pergi ke dapur untuk membuat pesanan Jingga.
Jingga memandangi Oliver, lalu menghela napas panjang dan tersenyum kecil. Tidak mungkin Oliver sangat mirip dengan Davin. Mereka tidak memiliki hubungan darah, pikirnya. Mungkin pandangan Nuri saja yang salah.
Oliver memainkan bola kain dengan semangat, lalu ia melemparkannya. Bola itu menggelinding cukup jauh dan berhenti tepat di depan sepasang kaki Davin—yang sedang berdiri menatap tajam ke arah Jingga.
Oliver tersenyum lebar, matanya berbinar-binar menatap Davin, seolah-olah ia sedang memohon agar Davin melemparkan bola itu ke arahnya.
Namun, Davin hanya diam. Ia menatap bola itu dan Oliver dengan acuh tak acuh. Akhirnya Oliver merangkak cepat, mengambil bola itu dan duduk tepat di hadapan Davin sambil mendongak dan mengerjap lucu.
Davin melengos pergi begitu saja, mengambil secangkir kopi yang baru selesai dibuat oleh pembantu.
“Ya ampun lucunya…. Boleh aku main sama anak kamu, Dave?” Chelsea tiba-tiba datang, ia berjongkok di depan Oliver sambil tersenyum.
“Sebaiknya jangan.” Davin menghampiri Chelsea seraya membawa secangkir kopi di tangan kirinya.
“Eh? Tapi—”
“Kita harus bicara berdua.” Seulas senyum kecil terlukis di bibir Davin, yang membuat Chelsea akhirnya berdiri dan mengangguk. “Ayo, ikut aku.”
Sambil menggenggam tangan Chelsea dengan tangan kanannya, Davin membawa wanita itu pergi.
Jingga memperhatikannya. Sekali lagi, hatinya kembali luluh lantak melihat bagaimana Davin memperlakukan pujaan hatinya dengan lembut.
Berbeda sekali dengan saat Davin memperlakukannya, pria itu nyaris tidak pernah berbuat baik terhadap Jingga. Bahkan setiap kata yang keluar dari mulut Davin selalu berhasil meninggalkan luka di hatinya.
“Chelsea itu cinta pertamanya Davin, mereka sudah dekat sejak masih SMP. Kamu tahu, bukan?”
Jingga terkejut ketika Lucy tiba-tiba berdiri di sampingnya. Jingga kemudian ikut berdiri.
Iya, Jingga tahu itu. Davin dan Chelsea sudah akrab sejak SMP. Sebab, Jingga bersekolah di sekolahan yang sama dengan mereka ketika SMA. Davin adalah sosok yang dipuja-puja para siswi. Sedangkan Chelsea adalah primadona satu sekolah. Mereka sering terlihat bersama-sama dan memiliki geng yang terdiri dari beberapa siswa kalangan elit di sekolah itu.
“Davin selalu berjuang keras untuk menjadi orang sukses dan hebat, selain untuk membuat orang tuanya bangga, dia juga ingin membuat Chelsea bangga dan bahagia,” lanjut Lucy lagi, ia menatap Jingga dengan tatapan datar. “Dan kebahagiaan Davin adalah hidup bersama dengan Chelsea. Tapi kakeknya tiba-tiba memberi Davin dua pilihan yang sama-sama menyulitkan dia. Menikahi kamu lalu mendapatkan kehidupan yang sejahtera, atau tidak menikahi kamu tapi dia nggak akan mendapat apapun.”
Jingga tercenung. Kedua belah telapak tangannya meremas pakaiannya.
“Selama menikah dengan kamu, Davin nggak pernah merasa bahagia. Dia justru malah tertekan karena harus menanggung kesalahan yang dibuat kakeknya,” tegas Lucy sambil bersedekap dada. Ia kembali melanjutkan, “Jadi, setelah acara peresmian minggu depan, saya harap kamu segera pergi dari kehidupan Davin dan menjauh sejauh-jauhnya, sampai Davin nggak bisa menemukan kamu lagi selamanya!”
Jingga terhenyak, ia menatap Lucy dengan mata sedikit membulat. Seharusnya Jingga tidak terkejut mendengar hal tersebut, tapi kenapa hatinya terasa sakit ketika ia harus menghapus Davin dari pandangan matanya untuk selamanya?
***
“Baik. Akan saya konfirmasi dulu ke Pak Davin. Nanti saya hubungi lagi.”Pria bertubuh tinggi kurus dan berjas hitam itu memasukkan ponsel ke saku jas. Ia bergegas menyusul atasannya yang berjalan dengan langkah-langkah tegap di hadapannya.“Mr. Keith mengajak Anda makan siang sekarang.” Pria itu melapor. “Bagaimana? Apa Anda mau menerima ajakan beliau?”“Vincent, sejak kapan kamu jadi asisten pribadiku?” Davin bertanya dengan pandangan lurus ke depan.“Lima tahun, Pak.”“Lima tahun? Kamu yakin?”Vincent berpikir sejenak, dan menghitung kembali berapa lama ia menjadi bawahan CEO muda ini. “Yakin, Pak. Lima tahun.”Davin mendengus. “Lalu, kenapa hal sekecil itu saja kamu masih bertanya padaku?”Selain arogan, Davin William juga sosok CEO yang cukup menyebalkan.Vincent berdehem. “Maaf. Saya akan meminta Mia untuk mewakili Anda.” Ia membuka pintu ruangan CEO dan menutupnya kembali setelah Davin masuk. Kemudian Vincent menghampiri meja sekretaris Davin. “Mia, kamu dapat makan siang grati
Pintu lift terbuka. Davin kembali menyeret Jingga memasuki ruangannya. Kemudian melepaskan lengan wanita itu dengan kasar hingga punggung Jingga membentur dinding. “Kenapa datang ke sini?” desis Davin dengan napas memburu penuh amarah. “Kamu sengaja datang ke sini untuk mempermalukanku?” Jingga terhenyak. Ia mendongak, menatap Davin dengan tatapan terluka. “Mempermalukanmu?” Jingga menggeleng, dan kembali bersuara lirih, “Aku nggak pernah sama sekali punya niat untuk bikin kamu malu, Dave.” Davin setengah mendengus dan setengah tertawa. Tatapannya semakin tajam, membuat nyali Jingga menciut. “Kamu nggak lihat orang-orang di bawah tadi menghinamu, Jingga?” Jari telunjuknya mengacung menunjuk ke arah pintu. “Di luar sana, mereka membicarakanmu, menghinamu. Dengan kamu mengakui sebagai istriku, sama saja kamu sudah mempermalukanku di depan karyawanku.” Jingga tercenung. “Sebelum datang ke sini, seharusnya kamu memperhatikan penampilanmu. Lalu tanya pada dirimu sendiri, apakah kamu
Satu sudut bibir Davin terangkat.Setelah memberi gugatan cerai, sekarang dia meneleponku? batin Davin sambil mengangkat panggilan tersebut.“Selamat siang. Apa benar ini dengan keluarganya Jingga Thania?”Davin menegakkan punggung saat ia mendengar suara pria di seberang telepon. Ia juga mendengar suara berisik di belakang pria itu.“Siapa ini? Kenapa handphone istri saya ada di tangan Anda?”“Apakah Bapak suaminya?” “Ya.”“Kami dari kepolisian, ingin memberitahu sebuah kabar buruk yang baru saja menimpa Bu Jingga.”Seketika, Davin menginjak rem, mobilnya berhenti mendadak. Klakson mobil di belakang meneriaki Davin saling bersahutan. Cepat-cepat Davin menepikan kendaraannya ke kiri. Jantungnya mendadak berdebar- debar.“Taksi yang ditumpangi Bu Jingga mengalami kecelakaan. Dan Bu Jingga meninggal dunia di tempat kejadian. Lokasinya berada di….”Ponsel Davin terjatuh. Wajahnya seketika berubah pucat pasi. Tubuhnya lemas dan bergetar.Dan Davin merasakan dunia di sekitarnya tiba-tiba r
Seketika, Davin terhenyak. “Apa?”“Aku memang belum bisa memastikan, tapi kemungkinan besar darah kamu mengalir di tubuh anak yang Jingga lahirkan,” ulang Ethan sekali lagi.Davin melemparkan botol di tangannya ke lantai. “Sial! jangan bicara omong kosong, sialan!” desisnya sambil menarik kerah baju Ethan dengan tatapan membunuh, rahangnya berkedut. “Katakan sekali lagi!”Ethan tidak terpancing emosi. Ia malah menggenggam tangan Davin yang masih mencengkeram kerahnya. “Kita bicarakan ini baik-baik. Jangan mengedepankan emosi.”Davin mendengus. Dengan terpaksa ia melepaskan cengkeramannya, dan duduk kembali di kursinya. “Jelaskan padaku, omong kosong apa yang baru saja kamu bicarakan!”“Kamu ingat, dua tahun lalu, waktu pengacara Kakek datang dan menyampaikan surat wasiat dari Kakek, supaya kita mencari wanita yang bernama Jingga?”Davin mengangguk. “Ya.”“Jadi, saat itu….”Saat itu Davin merasa frustrasi, karena ia ditekan oleh orang tuanya agar segera menemukan Jingga untuk kemudian
‘Kumohon… semoga ini bukan hanya mimpi.’ Davin membatin seraya melangkahkan kakinya mendekati Jingga dan menatap wanita itu dengan tatapan penuh harap. Davin merasakan jantungnya berdebar-debar. Jingga, yang memakai kemeja putih dan celana kain warna coklat itupun seketika berdiri. Matanya membulat, seakan-akan tidak percaya Davin datang untuk menemuinya. “Dave? Ke-kenapa… kamu di—” Pertanyaan Jingga seketika terhenti saat Davin menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Tubuh Jingga menegang dan mematung. Davin memeluknya dengan erat untuk memastikan dirinya tidak sedang bermimpi. Ternyata benar, ini terasa begitu nyata. Davin bisa merasakan hangatnya tubuh Jingga yang tenggelam dalam dekapannya. Dan baru Davin sadari bahwa wanita ini sangat kurus, dia sangat rapuh. Di kehidupan sebelumnya, Davin tidak pernah satu kalipun memeluk Jingga. “Senang bisa bertemu kamu lagi… Jingga,” gumam Davin dengan suara bergetar. Davin menunduk, menumpukan dagu di bahu Jingga dan memeluknya semakin erat
Melihat ekspresi mengeras di wajah Davin, Jingga merasa pria itu akan benar-benar marah kepadanya. Tangan kiri Jingga meremas pakaiannya dengan perasaan cemas.“I-itu… aku pikir, kamu akan marah kalau aku mengaku sebagai istrimu,” jawab Jingga tergagap-gagap.Seketika, Davin terdiam. Ketegangan di wajah Davin perlahan memudar. Ia mengusap wajahnya dengan kasar dan merapikan kembali kotak P3K. Tampak penyesalan yang tergambar jelas di wajahnya.“Apa dengan jari seperti itu kamu masih bisa melukis?” tanya Davin kemudian.Jingga mengangguk. “Masih,” jawabnya, “ini nggak terlalu sakit.”“Baiklah. Aku akan mengembalikan ini dulu.” Davin memutar badan dan hendak melangkah, tapi ia mengurungkan niatnya saat Jingga menarik kain lengan kemejanya. Davin kembali berbalik. “Ada apa?”Jingga diam sejenak, sambil menimbang-nimbang apakah ia berani menyuarakan pertanyaannya atau tidak. Setelah menarik napas berat, ia akhirnya bertanya, “Boleh aku tahu apa alasanmu datang ke sini?”“Itu….” Davin meng
“Kami memang sering bertemu, karena aku bekerja di studio dia.” “Damn!” Secara spontan Davin mengumpat seraya memukul kemudi dengan pelan. Davin tidak suka mendengarnya. Apalagi ia bisa melihat dengan jelas tatapan lelaki bernama Kalil itu saat menatap Jingga, tadi. Sebagai sesama seorang lelaki, Davin tahu arti tatapan lelaki itu. Cengkeraman tangan Davin semakin kuat pada kemudi, tanpa sadar ia menaikkan kecepatan kendaraannya dengan wajah mengeras. “Kamu… marah? Apa aku perlu turun di sini?” gumam Jingga, yang membuat Davin terhenyak. Davin menoleh pada Jingga, sejenak. Lalu mengembuskan napas panjang. Ia sudah diberi kesempatan kedua untuk menatap wanita ini lagi. Seharusnya ia memperlakukan Jingga dengan baik dan bersikap lebih lembut. Namun, Davin tidak terbiasa melakukan hal itu, sehingga ia merasa sedikit canggung ketika ingin bersikap lebih lembut pada Jingga. “Jangan terlalu dekat dengan lelaki itu.” Davin berkata dengan suara yang tidak terlalu dingin. “Kenapa?” Dav
Jingga tengah memasak makan malam. Namun, lagi-lagi ia dibuat bingung dengan sikap Davin, yang sejak tadi duduk di meja makan sambil memerhatikannya. Membuat Jingga merasa setiap gerak-geriknya diawasi, dan Jingga khawatir ada yang salah dengan sikapnya di mata Davin. Lalu ujung-ujungnya Davin memarahinya karena kesalahannya, seperti yang sudah-sudah.Jingga membuka kabinet atas untuk mengambil bumbu penyedap rasa yang masih utuh. Ia berjinjit, tapi tangannya tak dapat menjangkau benda tersebut.Tiba-tiba, Jingga merasakan dada seseorang menempel di punggungnya. Disusul dengan tangan panjang Davin yang mengambil bumbu dalam kemasan plastik itu.Jingga terkesiap. Ia memekik kaget dan hendak mundur untuk menjauh. Akan tetapi, punggungnya justru malah menabrak dada Davin dan akhirnya ia terjebak dalam pelukan pria itu.“Hati-hati. Kamu bisa melukai dirimu sendiri,” bisik Davin.Jingga merasakan napas hangat Davin menerpa telinganya. Pria itu memeluknya dari belakang. Lalu tangan Davin ya