Davin mengeluarkan sebatang rokok dan menyelipkannya di bibir. Ia meraba-raba saku celana tapi tidak menemukan apa yang ia cari.
“Butuh ini?”
Davin mendongak dan mendapati sepupunya menjulurkan pemantik api ke hadapannya.
Dengan malas Davin mengambil alat tersebut dan menyalakan rokok miliknya.
“Thanks.” Davin menyerahkan pemantik api itu kembali kepada Ethan.
Ethan, yang dua tahun lebih tua dari Davin itu duduk di samping Davin dan melakukan hal yang sama dengannya.
Kedua pria tersebut adalah cucu dan pewaris mendiang Eddie Walton. Mereka nyaris tidak pernah akur semenjak kecil dan selalu berkompetisi dalam hal apapun. Ibu mereka adalah dua bersaudara.
Sebetulnya dalam surat wasiat yang Eddie tinggalkan sebelum meninggal dunia, Eddie meminta Davin atau Ethan untuk menemukan Jingga. Dan siapa di antara mereka yang menemukan Jingga lebih dulu lalu menikahinya, maka dia yang akan mendapatkan New Pacific Group, salah satu perusahaan besar yang ada di tanah air.
Ternyata Davin-lah yang lebih dulu menemukan dan menikahi Jingga, sehingga perusahaan sang kakek akan jatuh ke tangannya dan akan resmi menjadi miliknya minggu depan.
“Bukankah dia cantik?”
Mata Davin menyipit pada Ethan. “Dia? Siapa?”
Ethan mengedikkan dagu ke arah halaman rumah. Saat ini keduanya sedang duduk di balkon lantai dua. “Istrimu.”
Davin mengalihkan tatapannya ke arah yang ditunjuk Ethan. Terlihat Jingga dan Oliver baru saja keluar dari mobil yang dikemudikan sopir pribadi Davin.
Davin tidak memberi tanggapan apapun pada ucapan Ethan, selain dengusan kasar.
“Memang, kecantikannya tertutupi oleh kekurangan yang dia miliki di kakinya dan sikapnya yang pendiam,” lanjut Ethan sambil mengembuskan asap rokok dari hidungnya. “Selain dua hal itu, dia perempuan yang sempurna menurutku. Dia cantik dan menarik. Bahkan dengan Chelsea saja, aku rasa… Jingga masih jauh lebih cantik.”
Seketika, Davin menatap Ethan dengan tatapan penuh permusuhan. Rahangnya berubah mengeras.
Bagi Davin, Jingga tetaplah wanita yang buruk. Dia murahan dan telah memanfaatkan sikap lugunya untuk menipu orang lain. Andai wanita itu tidak hamil di luar nikah, mungkin penilaian Davin akan sedikit lebih baik terhadapnya.
“Di keluarga kita, hampir semua orang tahu kalau kamu nggak menaruh hati padanya,” lanjut Ethan dengan senyuman licik. “Dan banyak yang meragukan, apa Oliver benar-benar anakmu atau bukan.”
“Sebenarnya apa yang ingin kamu bicarakan?” Davin merasa tidak tertarik dengan topik pembicaraan mereka. Ia menyesap rokoknya kembali dengan perlahan.
“Aku sudah tahu, Oliver memang bukan anakmu.”
Davin mengeluarkan asap rokok dari mulutnya dan berpaling ke arah lain. “Lalu?”
“Setelah kamu mendapatkan perusahaan Kakek, kamu akan menceraikan dia. Apa aku benar?”
Rahang Davin berkedut, tanpa memberi jawaban.
Ethan terkekeh kecil. “Kalau aku menikahi dia setelah kamu menceraikannya, lalu aku mengumumkan kalau Oliver bukan anakmu, melainkan darah dagingku, kira- kira menurutmu apa yang akan terjadi?”
Seketika, Davin mengepalkan kedua belah telapak tangannya hingga rokok yang terselip di antara jemarinya nyaris hancur. Rahangnya mengeras, matanya menatap Ethan dengan tajam seolah-olah ingin menghabisi sepupunya detik ini juga.
“Jangan pernah berani mengambil milikku dariku,” desis Davin dengan tajam dan penuh penekanan. “Aku yang lebih dulu menemukan wanita itu.”
Satu sudut bibir Ethan terangkat. “Jadi? Siapa yang kamu klaim sebagai milikmu? Wanita itu? Atau perusahaan kakek?”
**
Jingga tidak pernah merasa nyaman setiap kali berada di rumah mertuanya. Dadanya selalu terasa sesak. Ia gugup dan cemas. Tidak ada satu orang pun yang akrab dengan Jingga di keluarga Davin. Mereka sama sekali tidak menyukai kehadiran Jingga.
Lucy—ibu Davin, bahkan tidak pernah menganggap Jingga sebagai menantu. Kondisi fisik Jingga yang tidak sempurna, dan asal usul keluarganya yang tidak jelas, membuat Jingga dibenci oleh seluruh anggota keluarga besar Davin yang terpandang dan dihormati orang lain.
Padahal kaki Jingga menjadi tidak sempurna pun karena Jingga menolong Eddie Walton di masa lalu yang nyaris tertabrak mobil. Sehingga Eddie pun selamat setelah ditolong Jingga. Akan tetapi, Jingga justru malah menjadi korban dalam kecelakaan tersebut.
Meski begitu, kehadiran Jingga di keluarga ini seolah-olah ia adalah sampah yang harus disingkirkan. Jingga menjadi alat bagi Davin untuk mendapatkan harta kekayaan Eddie Walton.
“Jingga, kamu sudah tahu ‘kan minggu depan Davin akan resmi menjadi pemilik NP Group?” Lucy bertanya sambil mengelus cangkir perak di tangannya, lalu menyeruput tehnya dengan anggun.
Mereka duduk di ruang tamu. Hanya ada Jingga, kedua mertuanya dan Amarylis—satu-satunya adik Davin, yang baru pulang dari London setelah menyelesaikan program sarjananya.
Jingga mengangguk. “Tahu, Tante,” jawabnya, Lucy tidak pernah mau dipanggil ‘mami’ oleh Jingga.
“Kamu tahu artinya apa?"
Itu artinya mereka akan segera bercerai. Sekali lagi Jingga mengangguk. “Tahu, Tante.”
“Bagus.” Lucy tersenyum. “Segera bereskan barang- barangmu di rumah Davin. Setelah kalian resmi bercerai, kamu bisa hidup bebas dan Davin akan segera menikahi Chelsea.”
Chelsea?
Jingga tercenung. Dadanya semakin sesak, ia tak sanggup membayangkan suaminya yang dingin itu akan hidup bahagia dengan perempuan pujaan hatinya.
Percakapan mereka terinterupsi oleh kedatangan Ethan dan Davin yang baru saja turun dari lantai dua.
“Tante, aku pulang dulu,” ucap Ethan sambil menghampiri Lucy.
“Lho? Wajah kamu, Ethan?” Lucy tampak terkejut melihat rahang Ethan yang babak belur dan ada darah di sudut bibirnya.
Ethan menyengir. “Biasa, Tante. Ada sedikit insiden kecil barusan.” Lalu ia menatap Jingga setelah menyalami Anthony dan Lucy. Ethan tersenyum pada Jingga sambil mengedipkan sebelah matanya.
Jingga mengerjap. Di satu sisi, ia bingung dengan sikap Ethan, padahal biasanya Ethan pun bersikap dingin padanya. Namun di sisi lain, Jingga merasa takut ketika berinteraksi secara intens dengan pria lain selain Davin.
“Sampai ketemu lagi, Jingga,” ucap Ethan, “dan saat kita bertemu lagi nanti, kamu akan mendengar sesuatu yang sangat mengejutkan dariku.”
“Pergi,” desis Davin sambil mendorong punggung Ethan. “Mas, yang sopan sama sepupumu.” Lucy mengingatkan.
Ethan terkekeh. “Santai saja, Tante. Aku pulang dulu, selamat malam semuanya.”
Jingga menatap kepergian Ethan dengan tatapan penuh kebingungan.
Apa maksud ucapan Ethan barusan? Kabar apa yang akan disampaikan Ethan kepadanya?
Sampai punggung Ethan menghilang di balik pintu, Jingga kembali meluruskan pandangannya ke depan.
Tanpa sengaja tatapannya dan tatapan Davin bertemu. Pria yang duduk di hadapannya itu tengah menatap Jingga dengan tajam.
Seketika itu juga, Jingga melarikan pandangannya ke arah lain, karena ia tak sanggup membalas tatapan suaminya yang selalu menyakitkan hati.
“Mas, kalian berantem?” tanya Amarylis yang baru terlihat ceria setelah kedatangan Davin. “Wajah Mas Davin juga lebam-lebam gitu. Ada apa sih? Ada masalah ya?.”
Jingga kembali menatap Davin. Benar. Ada lebam samar- samar di rahang Davin, tapi tidak terlihat begitu jelas seperti Ethan.
“Berantem dikit,” jawab Davin sembari menyandarkan punggung ke sofa. “Ini urusan laki-laki, Ary.”
“Dan aku nggak boleh tahu.” Amarylis memutar bola matanya, sudah tahu apa yang akan Davin ucapkan selanjutnya. “Kalian selalu saja nggak akur.”
Anthoni—ayah mereka, hanya diam, sama sekali tidak mengeluarkan satu patah katapun dari mulutnya.
“Mas, jadi tadi itu Mami sama Jingga lagi bahas perceraian kalian.” Lucy kembali bersuara. “Mami sudah menghubungi pengacara keluarga kita, dan besok lusa dia akan datang menemui kamu.”
Davin kembali menatap Jingga, rahangnya seketika berubah mengeras. “Mi, keputusan ada di tanganku.”
“Maksud kamu apa, Mas? Mami gak ngerti.”
Davin mengalihkan tatapannya dari Jingga ke arah Lucy. “Aku yang memutuskan, apakah aku akan menceraikan Jingga atau nggak.”
Mendengarnya, Jingga tertegun. Ia menatap suaminya dengan bingung.
“Mas, tapi ‘kan kamu sudah sepakat akan menceraikan perempuan ini secepatnya setelah acara peresmian.”
Belum sempat Davin menanggapi ucapan ibunya, seorang pelayan rumah tangga datang menghampiri mereka dan menginformasikan sesuatu kepada Lucy, yang membuat wajah Lucy seketika berubah ceria.
“Ada apa, Mi?” Anthoni akhirnya bersuara, menatap istrinya penuh tanya.
Lucy tersenyum lebar. “Mami mengundang seseorang untuk ikut bergabung makan malam dengan kita.”
Seseorang?
Perasaan Jingga semakin tidak nyaman. Entah mengapa, ia merasa seseorang yang diundang ibu mertuanya itu akan membuat suasana hati Jingga semakin kacau.
Dan benar saja dugaan Jingga.
Seorang wanita cantik datang menghampiri mereka dengan senyuman cerah secerah mentari pagi.
Chelsea?
Bukankah dia perempuan yang dicintai Davin? Calon istrinya?
***
“Selamat sore semuanya. Apa kabar Om, Tante?”Chelsea tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar. Kecantikan dan keanggunannya membuat siapa saja yang melihatnya akan terpana. Dia sosok yang ceria dan mudah bergaul.“Sore. Kabar kami baik, kok. Terima kasih ya sudah datang.” Lucy menyambut Chelsea dengan hangat, memeluknya dan mengajaknya duduk di samping Davin.Sikap Lucy berbeda sekali dengan saat ia menyambut kedatangan Jingga. Lucy nyaris tidak pernah tersenyum tulus terhadap menantunya itu.Davin tampak terkejut melihat kedatangan Chelsea, ia menoleh ke wanita yang duduk di sampingnya itu. “Chelsea, kenapa kamu di sini? Bukannya kamu harus istirahat?”Mata Chelsea mengerling. “Kenapa? Kamu nggak senang aku ada di sini?”“Bukan begitu.” Davin mendecak pelan seraya menyentil dahi Chelsea. “Aku hanya khawatir. Seharusnya kamu istirahat di rumah saja. Memangnya kamu nggak dengar apa kata dokter semalam?”“Ya Tuhan, Chelsea, kamu lagi sakit? Aduh, maaf Tante nggak tahu kalau kamu haru
“Baik. Akan saya konfirmasi dulu ke Pak Davin. Nanti saya hubungi lagi.”Pria bertubuh tinggi kurus dan berjas hitam itu memasukkan ponsel ke saku jas. Ia bergegas menyusul atasannya yang berjalan dengan langkah-langkah tegap di hadapannya.“Mr. Keith mengajak Anda makan siang sekarang.” Pria itu melapor. “Bagaimana? Apa Anda mau menerima ajakan beliau?”“Vincent, sejak kapan kamu jadi asisten pribadiku?” Davin bertanya dengan pandangan lurus ke depan.“Lima tahun, Pak.”“Lima tahun? Kamu yakin?”Vincent berpikir sejenak, dan menghitung kembali berapa lama ia menjadi bawahan CEO muda ini. “Yakin, Pak. Lima tahun.”Davin mendengus. “Lalu, kenapa hal sekecil itu saja kamu masih bertanya padaku?”Selain arogan, Davin William juga sosok CEO yang cukup menyebalkan.Vincent berdehem. “Maaf. Saya akan meminta Mia untuk mewakili Anda.” Ia membuka pintu ruangan CEO dan menutupnya kembali setelah Davin masuk. Kemudian Vincent menghampiri meja sekretaris Davin. “Mia, kamu dapat makan siang grati
Pintu lift terbuka. Davin kembali menyeret Jingga memasuki ruangannya. Kemudian melepaskan lengan wanita itu dengan kasar hingga punggung Jingga membentur dinding. “Kenapa datang ke sini?” desis Davin dengan napas memburu penuh amarah. “Kamu sengaja datang ke sini untuk mempermalukanku?” Jingga terhenyak. Ia mendongak, menatap Davin dengan tatapan terluka. “Mempermalukanmu?” Jingga menggeleng, dan kembali bersuara lirih, “Aku nggak pernah sama sekali punya niat untuk bikin kamu malu, Dave.” Davin setengah mendengus dan setengah tertawa. Tatapannya semakin tajam, membuat nyali Jingga menciut. “Kamu nggak lihat orang-orang di bawah tadi menghinamu, Jingga?” Jari telunjuknya mengacung menunjuk ke arah pintu. “Di luar sana, mereka membicarakanmu, menghinamu. Dengan kamu mengakui sebagai istriku, sama saja kamu sudah mempermalukanku di depan karyawanku.” Jingga tercenung. “Sebelum datang ke sini, seharusnya kamu memperhatikan penampilanmu. Lalu tanya pada dirimu sendiri, apakah kamu
Satu sudut bibir Davin terangkat.Setelah memberi gugatan cerai, sekarang dia meneleponku? batin Davin sambil mengangkat panggilan tersebut.“Selamat siang. Apa benar ini dengan keluarganya Jingga Thania?”Davin menegakkan punggung saat ia mendengar suara pria di seberang telepon. Ia juga mendengar suara berisik di belakang pria itu.“Siapa ini? Kenapa handphone istri saya ada di tangan Anda?”“Apakah Bapak suaminya?” “Ya.”“Kami dari kepolisian, ingin memberitahu sebuah kabar buruk yang baru saja menimpa Bu Jingga.”Seketika, Davin menginjak rem, mobilnya berhenti mendadak. Klakson mobil di belakang meneriaki Davin saling bersahutan. Cepat-cepat Davin menepikan kendaraannya ke kiri. Jantungnya mendadak berdebar- debar.“Taksi yang ditumpangi Bu Jingga mengalami kecelakaan. Dan Bu Jingga meninggal dunia di tempat kejadian. Lokasinya berada di….”Ponsel Davin terjatuh. Wajahnya seketika berubah pucat pasi. Tubuhnya lemas dan bergetar.Dan Davin merasakan dunia di sekitarnya tiba-tiba r
Seketika, Davin terhenyak. “Apa?”“Aku memang belum bisa memastikan, tapi kemungkinan besar darah kamu mengalir di tubuh anak yang Jingga lahirkan,” ulang Ethan sekali lagi.Davin melemparkan botol di tangannya ke lantai. “Sial! jangan bicara omong kosong, sialan!” desisnya sambil menarik kerah baju Ethan dengan tatapan membunuh, rahangnya berkedut. “Katakan sekali lagi!”Ethan tidak terpancing emosi. Ia malah menggenggam tangan Davin yang masih mencengkeram kerahnya. “Kita bicarakan ini baik-baik. Jangan mengedepankan emosi.”Davin mendengus. Dengan terpaksa ia melepaskan cengkeramannya, dan duduk kembali di kursinya. “Jelaskan padaku, omong kosong apa yang baru saja kamu bicarakan!”“Kamu ingat, dua tahun lalu, waktu pengacara Kakek datang dan menyampaikan surat wasiat dari Kakek, supaya kita mencari wanita yang bernama Jingga?”Davin mengangguk. “Ya.”“Jadi, saat itu….”Saat itu Davin merasa frustrasi, karena ia ditekan oleh orang tuanya agar segera menemukan Jingga untuk kemudian
‘Kumohon… semoga ini bukan hanya mimpi.’ Davin membatin seraya melangkahkan kakinya mendekati Jingga dan menatap wanita itu dengan tatapan penuh harap. Davin merasakan jantungnya berdebar-debar. Jingga, yang memakai kemeja putih dan celana kain warna coklat itupun seketika berdiri. Matanya membulat, seakan-akan tidak percaya Davin datang untuk menemuinya. “Dave? Ke-kenapa… kamu di—” Pertanyaan Jingga seketika terhenti saat Davin menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Tubuh Jingga menegang dan mematung. Davin memeluknya dengan erat untuk memastikan dirinya tidak sedang bermimpi. Ternyata benar, ini terasa begitu nyata. Davin bisa merasakan hangatnya tubuh Jingga yang tenggelam dalam dekapannya. Dan baru Davin sadari bahwa wanita ini sangat kurus, dia sangat rapuh. Di kehidupan sebelumnya, Davin tidak pernah satu kalipun memeluk Jingga. “Senang bisa bertemu kamu lagi… Jingga,” gumam Davin dengan suara bergetar. Davin menunduk, menumpukan dagu di bahu Jingga dan memeluknya semakin erat
Melihat ekspresi mengeras di wajah Davin, Jingga merasa pria itu akan benar-benar marah kepadanya. Tangan kiri Jingga meremas pakaiannya dengan perasaan cemas.“I-itu… aku pikir, kamu akan marah kalau aku mengaku sebagai istrimu,” jawab Jingga tergagap-gagap.Seketika, Davin terdiam. Ketegangan di wajah Davin perlahan memudar. Ia mengusap wajahnya dengan kasar dan merapikan kembali kotak P3K. Tampak penyesalan yang tergambar jelas di wajahnya.“Apa dengan jari seperti itu kamu masih bisa melukis?” tanya Davin kemudian.Jingga mengangguk. “Masih,” jawabnya, “ini nggak terlalu sakit.”“Baiklah. Aku akan mengembalikan ini dulu.” Davin memutar badan dan hendak melangkah, tapi ia mengurungkan niatnya saat Jingga menarik kain lengan kemejanya. Davin kembali berbalik. “Ada apa?”Jingga diam sejenak, sambil menimbang-nimbang apakah ia berani menyuarakan pertanyaannya atau tidak. Setelah menarik napas berat, ia akhirnya bertanya, “Boleh aku tahu apa alasanmu datang ke sini?”“Itu….” Davin meng
“Kami memang sering bertemu, karena aku bekerja di studio dia.” “Damn!” Secara spontan Davin mengumpat seraya memukul kemudi dengan pelan. Davin tidak suka mendengarnya. Apalagi ia bisa melihat dengan jelas tatapan lelaki bernama Kalil itu saat menatap Jingga, tadi. Sebagai sesama seorang lelaki, Davin tahu arti tatapan lelaki itu. Cengkeraman tangan Davin semakin kuat pada kemudi, tanpa sadar ia menaikkan kecepatan kendaraannya dengan wajah mengeras. “Kamu… marah? Apa aku perlu turun di sini?” gumam Jingga, yang membuat Davin terhenyak. Davin menoleh pada Jingga, sejenak. Lalu mengembuskan napas panjang. Ia sudah diberi kesempatan kedua untuk menatap wanita ini lagi. Seharusnya ia memperlakukan Jingga dengan baik dan bersikap lebih lembut. Namun, Davin tidak terbiasa melakukan hal itu, sehingga ia merasa sedikit canggung ketika ingin bersikap lebih lembut pada Jingga. “Jangan terlalu dekat dengan lelaki itu.” Davin berkata dengan suara yang tidak terlalu dingin. “Kenapa?” Dav
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah