“Kami memang sering bertemu, karena aku bekerja di studio dia.” “Damn!” Secara spontan Davin mengumpat seraya memukul kemudi dengan pelan. Davin tidak suka mendengarnya. Apalagi ia bisa melihat dengan jelas tatapan lelaki bernama Kalil itu saat menatap Jingga, tadi. Sebagai sesama seorang lelaki, Davin tahu arti tatapan lelaki itu. Cengkeraman tangan Davin semakin kuat pada kemudi, tanpa sadar ia menaikkan kecepatan kendaraannya dengan wajah mengeras. “Kamu… marah? Apa aku perlu turun di sini?” gumam Jingga, yang membuat Davin terhenyak. Davin menoleh pada Jingga, sejenak. Lalu mengembuskan napas panjang. Ia sudah diberi kesempatan kedua untuk menatap wanita ini lagi. Seharusnya ia memperlakukan Jingga dengan baik dan bersikap lebih lembut. Namun, Davin tidak terbiasa melakukan hal itu, sehingga ia merasa sedikit canggung ketika ingin bersikap lebih lembut pada Jingga. “Jangan terlalu dekat dengan lelaki itu.” Davin berkata dengan suara yang tidak terlalu dingin. “Kenapa?” Dav
Jingga tengah memasak makan malam. Namun, lagi-lagi ia dibuat bingung dengan sikap Davin, yang sejak tadi duduk di meja makan sambil memerhatikannya. Membuat Jingga merasa setiap gerak-geriknya diawasi, dan Jingga khawatir ada yang salah dengan sikapnya di mata Davin. Lalu ujung-ujungnya Davin memarahinya karena kesalahannya, seperti yang sudah-sudah.Jingga membuka kabinet atas untuk mengambil bumbu penyedap rasa yang masih utuh. Ia berjinjit, tapi tangannya tak dapat menjangkau benda tersebut.Tiba-tiba, Jingga merasakan dada seseorang menempel di punggungnya. Disusul dengan tangan panjang Davin yang mengambil bumbu dalam kemasan plastik itu.Jingga terkesiap. Ia memekik kaget dan hendak mundur untuk menjauh. Akan tetapi, punggungnya justru malah menabrak dada Davin dan akhirnya ia terjebak dalam pelukan pria itu.“Hati-hati. Kamu bisa melukai dirimu sendiri,” bisik Davin.Jingga merasakan napas hangat Davin menerpa telinganya. Pria itu memeluknya dari belakang. Lalu tangan Davin ya
“Segini cukup?”Isabela membelalak menatap layar ponsel Davin, yang memperlihatkan jumlah uang dua digit yang akan ditransfer pada internet banking.Namun, Isabela tersenyum masam.“Maaf. Harga diriku tidak semurah itu.”“Baik.” Davin kembali mengoreksi jumlahnya menjadi tiga digit.Malam ini, Davin akan membuktikan jika ia bisa mengubah masa depan. Bukan meminta maaf dengan merayu Isabela dan membawanya ke atas ranjang seperti di masa lalu, melainkan dengan memberinya kompensasi sejumlah uang yang tidak sedikit.“Bagaimana dengan ini?” Davin menunjukkan layar ponselnya kembali.Senyuman merekah tersungging di bibir merah Isabela. Sedetik kemudian senyuman itu hilang. Dia harus bersikap jual mahal.“Baiklah. Cukup.”“Hapus dulu foto-fotoku di handphone kamu. Baru setelah itu akan aku transfer.”Isabela membuang napas. Dengan wajah terpaksa ia menghapus foto mereka di galeri ponselnya. Lalu ia tersenyum lebar kala mendapat pemberitahuan ada uang masuk ke rekeningnya. Davin kemudian mer
“Apa… aku yang sudah membuatmu menangis barusan?”Jingga tak menjawab.Davin merasakan tubuh Jingga menegang saat Davin menyentuh pipinya, dan kini wanita itu mau menatapnya.Wajah Davin semakin mendekat. Napas hangatnya terasa menerpa wajah Jingga. Perlahan-lahan, Davin mendaratkan bibirnya di atas bibir Jingga, yang membuat wanita itu seketika terhenyak. Tangan Jingga mencengkeram pakaiannya hingga bergetar.Sial. Davin tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Ia hanya mengikuti naluri untuk memejamkan mata dan memagut bibir Jingga dengan penuh kelembutan. wanita itu hanya diam mematung.Dan, tiba-tiba…."Hentikan!" Jingga mendorong dada Davin, membuat Davin seketika mundur dan membuka kelopak matanya dalam sekejap. Ia menatap Jingga dengan tatapan penuh kebingungan.“Ke-kenapa kamu… melakukannya?” tanya Jingga dengan bibir gemetar.Davin tidak mengerti apa yang sebenarnya Jingga pikirkan. Ia lantas berdiri tegak dan menggaruk dahi. “Apa aku harus minta izin dulu padamu sebelum mela
“Anda terlambat. Dia sudah pulang naik bis lima menit yang lalu.”Davin melirik arloji di tangan kiri sambil mengembuskan napas kecewa.“Baik kalau begitu. Terima kasih,” ucap Davin seraya menaikkan pandangannya pada Kalil yang berdiri di hadapannya. “Saya pamit.”Davin memutar tubuhnya dan hendak meninggalkan lobi Madhava Studio. Namun, ucapan Kalil selanjutnya membuat langkah kaki Davin seketika terhenti.“Anda pasti tidak tahu jam berapa jadwal Jingga pulang, bukan?”Sial. Pria itu bisa dengan mudah menebaknya, desis Davin dalam hati dengan rahang berkedut.Terpaksa Davin membalikkan badannya kembali menghadap Kalil. Sorot matanya yang tajam menyiratkan ia tidak menyukai atasan Jingga tersebut.“Tahu atau tidak, saya rasa itu bukan urusan Anda. Anda tidak berhak menilai saya.”Kalil tertawa kecil, lalu manggut-manggut. Ia berjalan mendekati Davin dan berhenti sekitar dua langkah di hadapannya. “Sebagai teman dekat yang sangat peduli pada kebahagiaan Jingga, tentu saja saya berhak.”
Jingga tertegun menatap tangannya yang berada dalam genggaman Davin. Kehangatan telapak tangan pria itu mengalir ke tangan Jingga yang dingin.Kemudian Jingga menaikkan pandangannya ke wajah Davin yang tengah menatap ke depan dengan tatapan tegas.Sungguh, Jingga tidak tahu apa yang harus ia rasakan saat ini. Entah ia harus senang, atau justru harus waspada atas perubahan sikap Davin yang drastis ini.“Hujannya sudah reda,” komentar Jingga.“Hm. Sudah reda.”“Payungnya….”“Kenapa payungnya?” Davin balik bertanya.“Nggak kamu tutup?”Mata Davin mendelik pada wanita yang tingginya hanya sebatas dadanya itu. “Kenapa harus ditutup? Kamu ingin berjalan menjauh dariku seperti tadi? Lagi pula masih ada gerimis, belum sepenuhnya reda.” Davin berdehem dan meluruskan kembali pandangannya.Mulut Jingga ternganga, lalu mengatup lagi, ia menggerutu sendiri, “Dia selalu salah paham. Memangnya siapa yang bilang aku mau berjalan menjauhinya kalau payungnya ditutup?”“Apa?” Davin menatap Jingga dengan
Jingga memijat pergelangan kaki kirinya yang terasa pegal. Sambil sesekali ia memperhatikan Oliver yang sibuk melempar-lemparkan bola kain ke arahnya.Anak gempal itu terlihat senang bisa mengeksplorasi rumah luas, yang selama ini nyaris tidak pernah ia gunakan untuk bermain.Selain di daycare, Oliver lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Jingga merasa bersalah, karena sebagai seorang ibu ia tidak bisa memberi kehidupan yang layak untuk putranya.“Sayang, kalau Mama sudah gajian awal bulan nanti, Mama janji akan beliin kamu mainan dan baju baru,” gumam Jingga sambil menatap nanar pada beberapa mainan Oliver yang itu-itu saja dan nyaris rusak. Warna baju yang dikenakan Oliver pun sudah mulai pudar.Oliver hanya tersenyum lebar sambil bergelak tawa. Matanya yang polos dan jernih membuat hati Jingga merasa teriris-iris saat menatapnya.Tanpa Jingga sadari, di ambang pintu kamar utama, Davin memperhatikan mereka sejak tadi sambil bersandar pada kusen pintu. Kedua belah telapak t
Jantung Jingga berpacu semakin kuat, lututnya gemetar saat wajah Davin semakin mendekat ke wajahnya. Mata Jingga kemudian terpejam dengan perasaan takut. Napas hangat Davin yang menerpa wajahnya membuat Jingga berteriak dan secara spontan mendorong Davin dengan sekuat tenaga."Aku mohon maafkan aku. Ja-jangan mencekikku. Aku janji, aku nggak akan mengulang kesalahan yang sama. Please… beri aku kesempatan, jangan menghukumku, Dave. Aku… aku… masih ingin hidup,” lirih Jingga sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di dada.“Apa? Mencekik?” Davin terperangah, sekaligus merasa sesak saat melihat Jingga yang tampak ketakutan. “Siapa yang akan mencekikmu, Jingga? Kamu pikir aku pria yang sekejam itu?”Jingga terdiam. Perlahan kelopak matanya terbuka dan menatap Davin dengan bingung. “Jadi barusan, kamu bukan mau mencekik leherku?”Davin mengusap wajahnya dengan kasar. “Bukan.”“Lalu? Kamu bilang, kamu mau menghukumku?”Mata Davin mengerjap, jemarinya menggaruk dahi dan ia tampak salah t