Home / Pernikahan / Istri Manis sang Pewaris / 1. Pernikahan Yang Tidak Bahagia

Share

Istri Manis sang Pewaris
Istri Manis sang Pewaris
Author: Rosa Uchiyamana

1. Pernikahan Yang Tidak Bahagia

Author: Rosa Uchiyamana
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Prang!!!

Bunyi gelas yang terjatuh ke lantai membuat Jingga terkejut. Seketika itu juga Jingga mematikan kompor, lalu bergegas menyeret langkah kakinya yang terseok-seok menuju ruang tengah.

Jingga tertegun.

Ia melihat pecahan gelas berserakan di lantai. Putranya tengah memeluk salah satu kaki Davin dengan wajah ketakutan. Dan… suaminya—Davin William, yang tampak marah sambil mengepalkan kedua belah telapak tangannya, menatap Jingga dengan tatapan penuh kebencian.

Jingga menghampiri mereka dengan perasaan bingung. Dengan suara pelan ia bertanya, “Dave, apa yang terjadi?”

“Pa… pa. Pa… pa…,” celoteh anak berusia satu tahun itu sambil mengeratkan pelukannya pada kaki Davin.

Jingga kembali tertegun. Papa?

Oliver memanggil Davin dengan panggilan ‘papa’?

Hati Jingga seketika diliputi perasaan haru, karena untuk pertama kalinya ia mendengar Oliver berbicara setelah lama ia menantikannya.

Papa, kata pertama yang terucap dari mulut Oliver.

“Kamu dengar?” Suara dingin Davin membuat rasa haru Jingga seketika lenyap. “Anak haram ini memanggilku dengan panggilan sialan itu! Aku nggak sudi mendengarnya!”

Sekarang Jingga mengerti, pecahan gelas di lantai itu adalah akibat ulah Davin yang melemparkan gelas untuk melampiaskan amarahnya, tadi. Jingga bersyukur, setidaknya Oliver tidak menjadi sasaran gelas tersebut.

“Dave, Oliver masih anak-anak. Dia belum mengerti apa-apa. Dia--"  

Ucapan Jingga terhenti, ia kaget dan hatinya terasa perih saat melihat Davin menarik kakinya yang dipeluk Oliver ke belakang, hingga membuat Oliver jatuh terduduk ke lantai.

Ibu mana yang tak sakit hati melihat anaknya diperlakukan seperti itu?

Davin berjongkok di depan Oliver yang tampak ketakutan. Ia berdesis, “Jangan memanggilku papa lagi, Anak Kecil. Aku bukan ayahmu. Dan sampai dunia kiamat pun aku nggak akan pernah mau jadi ayahmu!”

“Davin!” seru Jingga dengan bibir bergetar, tangannya terkepal.

Davin mendongak, mengangkat satu sudut bibirnya seraya menatap Jingga dengan jijik seolah-olah yang ia tatap adalah sampah.

“Kenapa? Mau melawanku demi anak haram ini?”

Jingga membuka mulut hendak melawan Davin, tapi seluruh perbendaharaan katanya mendadak lenyap. Lidahnya kelu. Tak ada ekspresi apapun di wajah Jingga selain ekspresi datar, berbanding terbalik dengan hatinya yang hancur berkeping-keping, dadanya bergemuruh hebat.

“Oliver nggak punya dosa apa-apa, Dave,” gumam Jingga sambil merengkuh Oliver ke dalam dekapannya. Hanya itu yang terlontar dari mulut Jingga, sebab ia tidak memiliki hak untuk menuntut lebih dari Davin—pria yang telah menikahinya dua tahun lalu.

“Anak ini memang nggak punya dosa.” Davin berdiri dan masih menatap Jingga dengan tatapan merendahkan. “Tapi darah seorang pelacur mengalir di tubuhnya. Kalau kamu nggak suka dia diperlakukan seperti ini, serahkan saja anakmu pada ayahnya. Itupun kalau kamu tahu dia anak kandung dari pria yang mana,” cemooh Davin sambil mendengus.

Kepalan tangan Jingga semakin kuat. Detik itu juga Jingga pergi meninggalkan Davin dengan dada yang terasa nyeri. Ia masuk ke kamar dan duduk di tepian ranjang sambil memeluk Oliver.

Anak ini memang bukan anak kandung Davin.

Namun, bukan berarti Jingga adalah mantan wanita tuna susila yang menjajakkan dirinya kepada para pria hidung belang.

Dua tahun lalu, tepat di hari pernikahannya dengan Davin, Jingga sangat terpukul saat mengetahui dirinya tengah mengandung, tanpa tahu siapa lelaki yang telah menghamilinya.

Karena kehamilannya itulah, Davin semakin membenci Jingga. Davin selalu menganggap Jingga wanita murahan dan menjijikan seperti sampah yang tak pantas hidup di planet ini.

Padahal Jingga sendiri tidak tahu siapa ayah janin di perutnya. Tepat satu bulan sebelum pernikahannya, Jingga dijebak oleh seseorang. Dalam keadaan tidak sadar Jingga dirudapaksa seorang pria yang sampai saat ini tidak Jingga ingat siapa sosok pria itu.

Jingga baru sadar keesokan harinya, saat ia terbangun di kamar hotel dalam kondisi yang berantakan.

Jingga tak pernah menyangka, bahwa kejadian mengerikan malam itu membawa Jingga pada kehidupannya yang menyedihkan.

Meski begitu, Jingga tidak bisa membenci Oliver. Anak ini sama sekali tidak berdosa. Jingga memutuskan untuk membesarkannya, meski Davin sempat memaksa Jingga untuk menggugurkan kandungannya.

Gedoran dipintu membuyarkan lamunan Jingga. Ia mendudukan Oliver yang sudah lebih tenang di atas baby chair.

Kemudian Jingga membuka pintu kamarnya dan mendapati Davin sedang berdiri di hadapannya dengan ekspresi datar.

“Siapkan makan malam untukku.”

Jingga mengangguk. Dengan langkah tertatih-tatih ia menghampiri dapur dan menyiapkan makanan—yang sebelumnya sudah ia masak, di atas meja.

Jingga tidak pernah bisa melawan Davin, meski selama dua tahun pernikahan mereka Davin selalu memperlakukan Jingga dengan buruk.

Jingga tidak pandai berkomunikasi. Ia tidak bisa menunjukkan kemarahannya dan rasa sakit hatinya. Jingga selalu memendam perasaannya sendiri.

Davin duduk di kursi utama. Jingga duduk di sampingnya sambil memisahkan makanan ke piring Davin. Lalu pria berusia 29 tahun itu menyantap makanannya tanpa protes. Suasana di meja makan terasa hening, hanya terdengar dentingan sendok yang beradu dengan piring.

Setelah berperang dengan pikirannya sendiri, Jingga memberanikan diri untuk bertanya, “Aku dengar… pengumuman pemilik New Pacific Group yang baru, akan dilakukan minggu depan?”

“Ya,” jawab Davin tanpa menatap Jingga.

‘New Pacific Group akan resmi menjadi milik Davin. Itu artinya pernikahan kita akan segera berakhir,’ batin Jingga sambil mengentikan kunyahannya.

Sesuai perjanjian di awal pernikahan mereka, bahwa pernikahan ini akan berakhir, setelah Davin mendapatkan hak warisnya berupa perusahaan besar, yang bernama New Pacific Group dari mendiang sang kakek.

Seharusnya Jingga merasa senang bisa terbebas dari pernikahan yang menyiksanya dan pergi sejauh-jauhnya dari Davin.

Namun, kenapa ia tidak merasa senang sedikit pun?

Apakah… ini karena rasa cinta yang sudah tertanam di hatinya untuk Davin?

“Lalu, mengenai perceraian kita….” Jingga menelan ludah sejenak. “Apa kamu sudah menghubungi pengacara?”

BRAK!!!

Jingga tersentak ketika Davin tiba-tiba membanting sendok dan garpu ke atas piring.

“Kamu ingin segera mendapat uang dua milyar dariku?” desis Davin dengan tatapan tajam, yang membuat Jingga seketika tertegun.

Tidak. Bukan itu maksud Jingga. Meski ia dijanjikan akan mendapat uang sejumlah 2 milyar setelah bercerai nanti, tapi Jingga sama sekali tidak memikirkan hal itu.

“A-aku… bukan begitu, tapi—”

“Baik,” sela Davin sembari berdiri, kursi yang ia duduki terdorong ke belakang. Kemudian ia mengeluarkan sebuah kartu hitam dari dompetnya, dan melemparkannya ke arah Jingga dengan tidak sopan. “Uang dua puluh milyarmu ada di sini.”

Jingga menatap kartu yang tergeletak di hadapannya itu tanpa ekspresi.

“Benar-benar wanita murahan dan mata duitan,” gumam Davin sambil mendengus kasar, lalu ia pergi meninggalkan Jingga dengan wajah penuh amarah.

‘Kenapa dia tiba-tiba marah?’ batin Jingga sambil mendongak menatap punggung Davin yang berjalan menuju kamarnya.

Davin selalu membenci Jingga dan membenci pernikahan mereka.

Jingga pikir, bukankah seharusnya Davin senang saat membahas perceraian? Tapi kenapa lelaki itu justru marah?

Tangisan kencang Oliver yang tiba-tiba terdengar, membuyarkan lamunan Jingga. Dengan cepat ia menyeret langkahnya menuju kamar.

Begitu membuka pintu, seketika Jingga terhenyak, wajahnya mendadak berubah pucat begitu melihat pemandangan di hadapannya.

“Oliver…!”

Comments (12)
goodnovel comment avatar
Kamaliah Mel
untuk pertama kali, bagus sih, selanjutnya ttp bagus
goodnovel comment avatar
Ririn Satkwantono
aq mmpir nih thor
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
jingga kmu jangan takut d ceraikan Davin .buat spa kmu takut akan perjanjian itu lebih baik kmu siap2 cari rmh yg bagus tuk kmu tinggalin dgn anak mu dn kmu cari kerjaan tuk kehidupan selanjut nya dr pada d siksa sama Davin terus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Istri Manis sang Pewaris   2. Tidak Peduli

    Oliver tersungkur di lantai sambil menangis kencang. Darah segar mengalir ke lantai.Buru-buru Jingga menghampiri Oliver dan meraih anak itu ke pangkuannya. Wajah Jingga menegang saat melihat dahi dan bibir Oliver mengeluarkan darah yang cukup banyak.Dengan panik, Jingga mengambil sembarang kain untuk menahan pendarahan di dahi putranya. Ia membawa Oliver keluar dari kamar, dan tanpa sengaja bertemu Davin yang sedang mengenakan jaket.Tanpa berpikir panjang, Jingga menghampiri Davin. Tidak peduli jika Davin akan marah karena mendengar tangisan Oliver. Davin sangat tidak menyukai tangisan anak kecil.“Dave, bi-bisakah antar aku ke… ru-rumah sakit?” tanya Jingga dengan bibir gemetar. Ia panik, takut dan khawatir dengan kondisi Oliver.Davin memutar tubuhnya menghadap Jingga. Pria itu sempat menatap Oliver yang berlumuran darah, sejenak. Lalu mendengus. “Anak ini bukan urusanku.”Davin hendak pergi, tapi Jingga segera menahan ujung jaket pria itu. “Kumohon… tolong aku kali ini saja,” li

  • Istri Manis sang Pewaris   3. Calon Istri

    Davin mengeluarkan sebatang rokok dan menyelipkannya di bibir. Ia meraba-raba saku celana tapi tidak menemukan apa yang ia cari.“Butuh ini?”Davin mendongak dan mendapati sepupunya menjulurkan pemantik api ke hadapannya.Dengan malas Davin mengambil alat tersebut dan menyalakan rokok miliknya.“Thanks.” Davin menyerahkan pemantik api itu kembali kepada Ethan.Ethan, yang dua tahun lebih tua dari Davin itu duduk di samping Davin dan melakukan hal yang sama dengannya.Kedua pria tersebut adalah cucu dan pewaris mendiang Eddie Walton. Mereka nyaris tidak pernah akur semenjak kecil dan selalu berkompetisi dalam hal apapun. Ibu mereka adalah dua bersaudara.Sebetulnya dalam surat wasiat yang Eddie tinggalkan sebelum meninggal dunia, Eddie meminta Davin atau Ethan untuk menemukan Jingga. Dan siapa di antara mereka yang menemukan Jingga lebih dulu lalu menikahinya, maka dia yang akan mendapatkan New Pacific Group, salah satu perusahaan besar yang ada di tanah air.Ternyata Davin-lah yang le

  • Istri Manis sang Pewaris   4. Menantu Yang Tak Dianggap

    “Selamat sore semuanya. Apa kabar Om, Tante?”Chelsea tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar. Kecantikan dan keanggunannya membuat siapa saja yang melihatnya akan terpana. Dia sosok yang ceria dan mudah bergaul.“Sore. Kabar kami baik, kok. Terima kasih ya sudah datang.” Lucy menyambut Chelsea dengan hangat, memeluknya dan mengajaknya duduk di samping Davin.Sikap Lucy berbeda sekali dengan saat ia menyambut kedatangan Jingga. Lucy nyaris tidak pernah tersenyum tulus terhadap menantunya itu.Davin tampak terkejut melihat kedatangan Chelsea, ia menoleh ke wanita yang duduk di sampingnya itu. “Chelsea, kenapa kamu di sini? Bukannya kamu harus istirahat?”Mata Chelsea mengerling. “Kenapa? Kamu nggak senang aku ada di sini?”“Bukan begitu.” Davin mendecak pelan seraya menyentil dahi Chelsea. “Aku hanya khawatir. Seharusnya kamu istirahat di rumah saja. Memangnya kamu nggak dengar apa kata dokter semalam?”“Ya Tuhan, Chelsea, kamu lagi sakit? Aduh, maaf Tante nggak tahu kalau kamu haru

  • Istri Manis sang Pewaris   5. Istri CEO

    “Baik. Akan saya konfirmasi dulu ke Pak Davin. Nanti saya hubungi lagi.”Pria bertubuh tinggi kurus dan berjas hitam itu memasukkan ponsel ke saku jas. Ia bergegas menyusul atasannya yang berjalan dengan langkah-langkah tegap di hadapannya.“Mr. Keith mengajak Anda makan siang sekarang.” Pria itu melapor. “Bagaimana? Apa Anda mau menerima ajakan beliau?”“Vincent, sejak kapan kamu jadi asisten pribadiku?” Davin bertanya dengan pandangan lurus ke depan.“Lima tahun, Pak.”“Lima tahun? Kamu yakin?”Vincent berpikir sejenak, dan menghitung kembali berapa lama ia menjadi bawahan CEO muda ini. “Yakin, Pak. Lima tahun.”Davin mendengus. “Lalu, kenapa hal sekecil itu saja kamu masih bertanya padaku?”Selain arogan, Davin William juga sosok CEO yang cukup menyebalkan.Vincent berdehem. “Maaf. Saya akan meminta Mia untuk mewakili Anda.” Ia membuka pintu ruangan CEO dan menutupnya kembali setelah Davin masuk. Kemudian Vincent menghampiri meja sekretaris Davin. “Mia, kamu dapat makan siang grati

  • Istri Manis sang Pewaris   6. Pertengkaran

    Pintu lift terbuka. Davin kembali menyeret Jingga memasuki ruangannya. Kemudian melepaskan lengan wanita itu dengan kasar hingga punggung Jingga membentur dinding. “Kenapa datang ke sini?” desis Davin dengan napas memburu penuh amarah. “Kamu sengaja datang ke sini untuk mempermalukanku?” Jingga terhenyak. Ia mendongak, menatap Davin dengan tatapan terluka. “Mempermalukanmu?” Jingga menggeleng, dan kembali bersuara lirih, “Aku nggak pernah sama sekali punya niat untuk bikin kamu malu, Dave.” Davin setengah mendengus dan setengah tertawa. Tatapannya semakin tajam, membuat nyali Jingga menciut. “Kamu nggak lihat orang-orang di bawah tadi menghinamu, Jingga?” Jari telunjuknya mengacung menunjuk ke arah pintu. “Di luar sana, mereka membicarakanmu, menghinamu. Dengan kamu mengakui sebagai istriku, sama saja kamu sudah mempermalukanku di depan karyawanku.” Jingga tercenung. “Sebelum datang ke sini, seharusnya kamu memperhatikan penampilanmu. Lalu tanya pada dirimu sendiri, apakah kamu

  • Istri Manis sang Pewaris   7. Kabar Duka

    Satu sudut bibir Davin terangkat.Setelah memberi gugatan cerai, sekarang dia meneleponku? batin Davin sambil mengangkat panggilan tersebut.“Selamat siang. Apa benar ini dengan keluarganya Jingga Thania?”Davin menegakkan punggung saat ia mendengar suara pria di seberang telepon. Ia juga mendengar suara berisik di belakang pria itu.“Siapa ini? Kenapa handphone istri saya ada di tangan Anda?”“Apakah Bapak suaminya?” “Ya.”“Kami dari kepolisian, ingin memberitahu sebuah kabar buruk yang baru saja menimpa Bu Jingga.”Seketika, Davin menginjak rem, mobilnya berhenti mendadak. Klakson mobil di belakang meneriaki Davin saling bersahutan. Cepat-cepat Davin menepikan kendaraannya ke kiri. Jantungnya mendadak berdebar- debar.“Taksi yang ditumpangi Bu Jingga mengalami kecelakaan. Dan Bu Jingga meninggal dunia di tempat kejadian. Lokasinya berada di….”Ponsel Davin terjatuh. Wajahnya seketika berubah pucat pasi. Tubuhnya lemas dan bergetar.Dan Davin merasakan dunia di sekitarnya tiba-tiba r

  • Istri Manis sang Pewaris   8. Kesempatan Kedua

    Seketika, Davin terhenyak. “Apa?”“Aku memang belum bisa memastikan, tapi kemungkinan besar darah kamu mengalir di tubuh anak yang Jingga lahirkan,” ulang Ethan sekali lagi.Davin melemparkan botol di tangannya ke lantai. “Sial! jangan bicara omong kosong, sialan!” desisnya sambil menarik kerah baju Ethan dengan tatapan membunuh, rahangnya berkedut. “Katakan sekali lagi!”Ethan tidak terpancing emosi. Ia malah menggenggam tangan Davin yang masih mencengkeram kerahnya. “Kita bicarakan ini baik-baik. Jangan mengedepankan emosi.”Davin mendengus. Dengan terpaksa ia melepaskan cengkeramannya, dan duduk kembali di kursinya. “Jelaskan padaku, omong kosong apa yang baru saja kamu bicarakan!”“Kamu ingat, dua tahun lalu, waktu pengacara Kakek datang dan menyampaikan surat wasiat dari Kakek, supaya kita mencari wanita yang bernama Jingga?”Davin mengangguk. “Ya.”“Jadi, saat itu….”Saat itu Davin merasa frustrasi, karena ia ditekan oleh orang tuanya agar segera menemukan Jingga untuk kemudian

  • Istri Manis sang Pewaris   9. Bertemu Lagi Dengan Sosok Yang Dirindukan

    ‘Kumohon… semoga ini bukan hanya mimpi.’ Davin membatin seraya melangkahkan kakinya mendekati Jingga dan menatap wanita itu dengan tatapan penuh harap. Davin merasakan jantungnya berdebar-debar. Jingga, yang memakai kemeja putih dan celana kain warna coklat itupun seketika berdiri. Matanya membulat, seakan-akan tidak percaya Davin datang untuk menemuinya. “Dave? Ke-kenapa… kamu di—” Pertanyaan Jingga seketika terhenti saat Davin menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Tubuh Jingga menegang dan mematung. Davin memeluknya dengan erat untuk memastikan dirinya tidak sedang bermimpi. Ternyata benar, ini terasa begitu nyata. Davin bisa merasakan hangatnya tubuh Jingga yang tenggelam dalam dekapannya. Dan baru Davin sadari bahwa wanita ini sangat kurus, dia sangat rapuh. Di kehidupan sebelumnya, Davin tidak pernah satu kalipun memeluk Jingga. “Senang bisa bertemu kamu lagi… Jingga,” gumam Davin dengan suara bergetar. Davin menunduk, menumpukan dagu di bahu Jingga dan memeluknya semakin erat

Latest chapter

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 10

    “Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 9

    “Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 8

    Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 7

    Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 6

    Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 5

    “Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 4

    Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 3

    Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 2

    “Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah

DMCA.com Protection Status