Sydney Zahlee baru berusia 23 tahun saat harus kehilangan bayi, status sebagai istri, dan juga suaranya. Belum lagi, mantan suami yang berselingkuh dengan sepupunya itu meninggalkan begitu banyak utang atas nama Sydney. Putus asa, Sydney memilih untuk mengakhiri hidup. Namun, seorang pria tampan dan menyeramkan justru menyelamatkannya. Pria itu adalah Morgan Draxus, penguasa bisnis di industri pelayaran laut, yang juga seorang bos mafia. Morgan juga meminta Sydney untuk menjadi ibu susu bagi bayi kembarnya. Tidak ada yang bisa menolak sepasang bayi kembar Morgan, termasuk Sydney. Apalagi ketika Sydney mengetahui bahwa Morgan adalah bos mantan suaminya. Bukankah ini bisa menjadi jalan untuk balas dendam pada pria brengsek yang sudah membuat Sydney sengsara? “Sentuh dia, dan akan kubakar habis dirimu beserta semua keluargamu!” ancam Morgan saat melihat Sydney hampir meregang nyawa di tangan mantan suaminya. *** IG: @prasidafai
View MoreDi hari ulang tahun putranya, bukan pesta atau kado yang Sydney siapkan, melainkan peti mati dan doa perpisahan.
Isaac, putra Sydney yang seharusnya meniup lilin pertamanya, kini hanya nama di batu nisan setelah meninggal akibat penyakit imun yang dideritanya.
"Kudengar bocah itu bisa selamat kalau mendapatkan transplantasi sumsum. Dengan kekayaan keluarganya, kenapa operasi itu tidak dilakukan saja?" ujar salah satu kerabat yang menghadiri pemakaman.
“Kamu tidak tahu? Kata dokter, satu-satunya yang bisa mendonorkan sumsum itu adalah sang ayah, tapi karena hubungan Sydney dan suaminya buruk, sampai anak itu mati, tidak ada transplantasi yang dilakukan.”
“Astaga, malangnya. Karena ibu dan ayahnya yang tidak bertanggung jawab, jadi anak yang menjadi korban.”
Sydney tersenyum pahit mendengar gosip kerabat di sekelilingnya.
Orang-orang ini tidak tahu mengenai apa yang benar-benar terjadi, tapi dengan mudah memperbincangkan keluarganya.
Seperti yang dikatakan, penyakit langka yang Isaac derita memang hanya bisa terobati dengan transplantasi sumsum tulang dari ayahnya, dan Lucas, selaku suami Sydney, ayah Isaac, dan satu-satunya orang yang memiliki kecocokan sempurna sebagai donor, menolak memberikan kesempatan hidup bagi darah dagingnya.
Semua karena pria itu membencinya!
“Anak itu tidak pernah kuinginkan, jadi jangan pernah melibatkanku dengan apa pun yang berkaitan dengannya! Bahkan bila dia mati, aku tidak akan peduli!”
Kalimat keji yang terlontar dari bibir Lucas terekam jelas di benak Sydney. Dia sudah memohon dan berlutut, tapi suaminya untuk dua tahun itu dengan begitu mudah pergi.
Kini, Isaac telah tiada, bukan karena penyakitnya tak bisa disembuhkan, tapi karena ayahnya sendiri memilih untuk tidak menyelamatkannya!
Setelah semua kerabat telah pergi meninggalkan Sydney sendiri, getaran ponsel membuat wanita tersebut sadar dari lamunannya. Dia meraih benda pipih itu dan melihat sebuah pesan video dari nomor tak dikenal.
Saat ia menekan tombol putar, rekaman Lucas yang sedang memacu tubuh seorang wanita pun terlihat!
“Aaaah, Vienna! Milikmu sangat luar biasa!” seru Lucas dalam video.
Wanita yang tengah berada di bawah pria itu tersenyum binal. “Katakan kamu lebih suka bermain denganku dibanding Sydney, Lucas!”
“Jangan sebut namanya lagi!” Lucas berkata setengah berteriak, nafsu terpancar jelas dari matanya. “Fokuslah dengan bagaimana aku akan membuatmu tidak bisa berjalan besok pagi, Sayang!”
Tangan Sydney bergetar. Sudah lama dia tahu mengenai perselingkuhan Lucas dengan Vienna, sepupunya. Namun, tidak pernah dia bayangkan bahwa di saat putranya terbaring sakit, menantikan kehadiran seorang ayah di tengah meregang nyawa, pria itu justru lebih mementingkan nafsunya!
Belum selesai keterkejutan itu menyerangnya, sebuah pesan teks masuk ke layar ponsel Sydney.
[Apakah kau menikmati pertunjukannya? Lihat ke kanan, Sayang.]
Dengan cepat, Sydney mengangkat wajahnya dan menoleh ke samping. Tepat di sebelah tangga bukit pemakaman, seorang wanita berdiri dengan senyum penuh kemenangan.
Vienna Zahlee.
Menghampiri Vienna, Sydney langsung bertanya, “Apa maumu?”
Vienna terkekeh. “Mengunjungi keponakan malangku yang meninggal tanpa dipedulikan ayah kandungnya sendiri. Tentu aku harus hadir sebagai gantinya, bukan?” katanya dengan nada penuh kepalsuan.
Ucapan itu membuat darah Sydney mendidih. Kekhawatiran yang munafik itu terdengar memuakkan!
“Putraku sudah mati, suamiku juga telah menjadi milikmu. Karena sekarang aku tidak punya apa-apa lagi, berhentilah menggangguku dengan hal menjijikkan seperti ini, Vienna,” ucap Sydney.
Vienna mengangkat alisnya dengan ekspresi terhibur. “Aku menolak.” Bibirnya melukiskan senyuman angkuh menjijikkan. “Aku terlalu senang melihatmu menderita.”
Ketenangan Sydney seketika goyah.
“Kenapa, Vienna?!” suara Sydney pecah. “Sejak kecil, aku selalu bersikap baik padamu, memberikan apa pun yang bisa kuberikan, menganggapmu saudari kandungku, tapi kenapa?! Kenapa kamu melakukan semua ini padaku?! Apa salah yang pernah kulakukan padamu?!”
Vienna hanya tersenyum tipis, ekspresi kemenangan terlukis di wajahnya. Namun, saat ia membuka mulutnya, nada suaranya berubah tajam, sarat dengan kebencian yang dingin.
“Hidup.”
Sydney membeku, mencoba memahami maksud Vienna.
“Kesalahanmu adalah kamu memiliki hidup yang lebih baik dariku.”
Lalu, wajah Vienna yang awalnya tampak puas berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih bengis.
“Dan sekarang, aku sangat berharap kamu bisa mati.”
Sydney menghirup napas tajam, tetapi sebelum tubuhnya bisa bereaksi, Vienna sudah mengayunkan tangannya dan mendorongnya sekuat tenaga.
Dunia tiba-tiba berputar. Udara mencengkeram tubuhnya saat Sydney kehilangan keseimbangan. Pandangannya berguncang ketika tubuhnya menghantam anak tangga pertama. Hantaman kedua membuat seluruh tubuhnya menjerit kesakitan. Lalu, yang ketiga, yang paling mematikan–kepalanya menghantam beton dengan suara memilukan.
Pandangan Sydney kabur, dan dunianya perlahan meredup. Namun, telinganya masih bisa mendengar suara Vienna yang melengking penuh kepalsuan.
“Tolong! Ada yang jatuh! Seseorang panggil ambulans!”
Sydney menatap langit. Nafasnya tersengal, darah hangat merembes di pelipisnya, menetes ke tanah. Matanya mulai kehilangan fokus.
Bayangan Isaac muncul dalam kabut kesadarannya, menyebabkan air mata kembali luruh menuruni wajahnya.
‘Isaac, Mama akan menyusulmu….’
“Morgan,” panggil Sydney lirih sambil menyentuh tangan Morgan. Mobil yang mereka tumpangi sedang melaju, membelah jalanan dengan pengawalan sehingga tidak terkendala macet. Morgan agak tersentak karena belum terbiasa mendengar suara Sydney. Dia menoleh dengan cepat ke arah Sydney yang duduk bersandar lemah di sebelahnya. “Ya, Darling. Aku di sini.” Morgan langsung menggenggam tangan Sydney, lalu merengkuhnya dengan hati-hati. Morgan menyapu rambut kusut wanita itu dengan jemarinya sambil menatap wajah yang penuh lebam itu dengan getir. Kata-kata yang baru saja terucap dari bibir Sydney masih terngiang-ngiang di telinga Morgan. Pria itu belum sepenuhnya percaya bahwa Sydney benar-benar berbicara. Pelukan Morgan mengerat. Tubuhnya nyaris gemetar menahan emosi. Setelah sekian lama menunggu dan berharap, akhirnya Morgan dapat mendengar suara indah Sydney secara langsung.
Sydney menoleh dan melihat Morgan berdiri di sumber suara. Pria itu menutupi sebagian wajahnya dengan masker. “Sialan! Bagaimana kau bisa masuk, Bajingan?!” Edgar membentak penuh kepanikan begitu melihat sosok Morgan berdiri tegak di ambang pintu. Morgan tidak menjawab. Dia melangkah lebar seperti singa yang baru saja menemukan pencabik sang betina. Tanpa memberi ruang pada Edgar untuk melarikan diri, Morgan langsung mencengkeram kerah baju pria itu dan menariknya mendekat. Bugh! Sebuah tinju keras menghantam wajah Edgar, membuat pria itu tersungkur ke belakang. Berbeda dengan Edgar, Morgan tidak perlu bantuan senjata untuk membuat pria itu koyak. “Bangsat!” Edgar berteriak kesakitan, darah segar mengucur dari sudut bibirnya. Morgan menoleh. Pandangannya jatuh pada tubuh Sydney yang terkulai di atas alat pemenggal kepala dengan tubuh penuh luka, wajah bengkak, darah mengering di
“Selamat datang di neraka, Cantik,” sapa Edgar penuh sarkasme begitu pintu ruangan terbuka. Sydney diseret masuk ke sebuah ruangan dengan tembok merah gelap yang tampak mengelupas di beberapa bagian. Namun bukan cat yang paling menyita perhatian Sydney, melainkan noda hitam keunguan yang mengering di berbagai sudut dan juga aroma anyir menyengat yang mengaduk lambungnya. Sydney mengedarkan pandangan sambil menahan mual yang naik ke kerongkongan. Rak-rak besi di sisi kiri ruangan memajang berbagai alat aneh seperti besi panas, cambuk berduri, tang penjepit, dan benda-benda yang hanya bisa Sydney lihat dari film horor thriller menegangkan. Udara terasa lebih lembab dan pengap. Bau anyir darah mengendap di dalam paru-parunya. Sydney ingin menutup hidung, tetapi dia terlalu lemas untuk menarik lengannya dari cengkeraman bawahan Edgar. BRAK! Tanpa peringatan, sebuah tinju menghantam wajah Sydney. Itu bukan tinju dari tangan kosong, Sydney sempat melihat kilau logam di buku-buku jari
Dengan tangan gemetar, Sydney mengetik sesuatu di tablet. “Kau salah orang. Aku tidak mengenal Morgan.” Butuh seluruh tenaga dan sisa keberanian dalam diri Sydney untuk mengetik kalimat tersebut. Jelas saja merupakan sebuah dusta, tetapi itu satu-satunya perisai yang bisa Sydney angkat di hadapan binatang buas sepertinya. Pria itu menatap layar sejenak, lalu tertawa. Tawa yang penuh penghinaan hingga menggema di ruangan lembab itu. “Lucu juga,” sinisnya. Dalam sekejap, tangannya yang besar mencengkeram rambut Sydney dan menjambaknya kuat-kuat. ‘Aaakh!’ Sydney menjerit dalam hati. Tubuh wanita itu sampai terangkat karena tarikan brutal pria di hadapannya. “Kau tidak bisa diajak bicara baik-baik ya, Jalang?!” hardik pria yang tidak punya belas kasihan pada wanita itu. Kepala Sydney mendongak ke belakang, kulit kepalanya perih seakan tercabik. Air matanya mengalir tanpa kendali, bukan hanya karena rasa sakit, tetapi karena kemarahan yang membuncah. ‘Bicara baik-baik apanya?! I
“Tangan Mama dingin sekali.” Sydney mengerjap. Suara lembut itu terdengar begitu nyata di telinganya. Wanita itu menoleh cepat dan mendapati seorang anak laki-laki, mungkin berusia sekitar tujuh tahun, sedang menyentuh tangannya dengan penuh kasih. Anak itu mengenakan kaus biru muda dan celana pendek krem, dengan rambut cokelat gelap yang sedikit ikal. Namun yang paling mencolok, wajah anak itu sangat mirip dengan Isaac. “Isaac?” bisik Sydney, matanya membulat. Sydney bahkan terkejut karena dia bisa bicara lagi. Suaranya terdengar serak, tetapi dia dapat membentuk kata dengan sempurna. “Bangun, Ma.” Anak kecil itu tersenyum dan matanya bersinar penuh kasih. Sydney mengernyitkan dahi. “Apa maksudnya bangun?” tanya Sydney kebingungan. “Belum waktunya Mama di sini. Mama masih harus membesarkan adik-adik. Mereka menunggu Mama di rumah. Mama harus bangun,” jawab sosok mirip Isaac itu sambil menatap Sydney penuh harap. Kerutan di dahi Sydney semakin dalam. Sosok anak itu mulai kab
"Aku tidak peduli bagaimana caranya, cari dia sampai ketemu!" bentak Morgan, suaranya menggelegar di dalam helikopter yang bergetar akibat baling-baling yang berputar cepat. Pria bertubuh kekar di depannya hanya mengangguk cepat sambil mengetik sesuatu di ponselnya. Morgan membenamkan tubuhnya ke dalam kursi. Tanpa sadar, Morgan mengetuk-ngetuk lutut dengan gelisah. Mata pria itu bergerak liar memandang keluar jendela, melihat hamparan awan yang lewat seolah waktu tidak pernah berjalan cukup cepat untuk menandingi ketakutannya. Sebuah denting di ponselnya membuat Morgan reflek menoleh. Ada pesan baru dari anak buahnya yang ada di Highvale. [Nona Sydney terakhir terlihat di toko perhiasan, Tuan. Beliau memesan anting untuk Nona Jane dan kalung untuk Tuan Jade. Saya menduga, Nona menghilang setelah memesan perhiasan dari toko ini, Tuan.] Morgan mengangkat kedua alisnya tinggi. Hatinya yang sejak tadi terliputi amarah kini terasa seperti dipukul sesuatu yang jauh lebih keras. Ada
Morgan sedang meregangkan otot lehernya yang kaku saat seseorang di seberang telepon mengangkat panggilannya. "Ya, Tuan," sahut sebuah suara berat. Morgan menyandarkan punggung ke kursi dan membiarkan pandangannya menyapu luasnya laut biru. Kapal Poseidon Exports yang ditumpanginya bergoyang perlahan di tengah samudra, sangat jauh dari daratan. Morgan harus menyipitkan mata karena sinar matahari memancar dengan terik. "Bagaimana Lucas dan Vienna?" tanya Morgan langsung pada intinya dengan tajam. "Baru kemarin lusa mereka bertengkar, Tuan," jawab pria itu. "Vienna menuntut Lucas membebaskannya lebih cepat, tetapi Lucas belum menemukan orang yang mampu membantu. Selain itu, Lucas tanpa sengaja menyinggung soal rencana pembunuhan Gloria dan Terry, membuat Vienna semakin marah." "Jadi hubungan mereka memburuk?" Morgan menyeringai lebar, bibirnya melengkung licik. "Ya, Tuan. Namun, mungkin itu hanya sementara. Vienna sedang mengandung, dan Lucas sangat menginginkan anak itu,"
"Tuan tidak perlu meminta pendapat saya untuk melakukan itu." Lucas berusaha menguasai nadanya agar terdengar tetap tenang, meski rahangnya mengeras.Di seberang sana, tawa Morgan meledak penuh ejekan.Sementara Lucas mengepalkan tangan. Dia tidak boleh terpancing oleh Morgan. Bagaimana pun Lucas masih membutuhkan Morgan untuk membantunya dan Vienna keluar dari penjara. "Aku mungkin sedang jauh dari Highvale," ucap Morgan berubah dingin, "tapi mata dan telingaku masih ada di sana. Satu kata saja, Lucas. Satu kata saja yang kalian ucapkan untuk mencemooh Sydney, aku akan tahu."Lucas menahan napas. Dia tidak bisa berpikir jernih hingga memaki Sydney saat di ruang sidang. Morgan pasti mengerahkan pengawal untuk mengawal wanita itu."Sebagai hukumannya, jangan desak aku untuk segera mengeluarkanmu dan istrimu dari penjara. Tunggu saja. Itu pun kalau aku ingat," lanjut Morgan, sengaja mempermainkan Lucas.Gigi Lucas bergemelutuk menahan emosi. Dadanya naik turun dengan cepat.Morgan ter
Lucas mengepalkan tangan dan otot-otot di lehernya terlihat jelas.Pria itu baru saja hendak membalas ucapan Sydney ketika suara Chester lebih dulu terdengar.“Sydney benar.” Chester melangkah maju dengan wajah tanpa ekspresi. “Jika kau tidak menganggap Mama dan Papa sebagai orang tuamu, kau tidak berhak atas apa pun yang mereka berikan.”Lucas menoleh dengan enggan. Tatapannya langsung menusuk Chester penuh kebencian.“Sejak awal semua kepura-puraanmu peduli pada Mama dan Papa ternyata hanya demi ini, bukan? Kau licik, Chester! Sangat pandai berpura-pura supaya terlihat seperti anak baik. Tapi pada kenyataannya, yang kau incar cuma uang!” Lucas menyeringai sinis.Chester menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Dia menanggapi ucapan Lucas dengan santai.“Itu peninggalan Mama dan Papa.” Chester mengangkat bahu ringan. “Tentu aku harus menjaganya juga. Selamat mendekam di penjara, Adik Kecil!”Lucas membuka mulut, tampak masih ingin melontarkan kata-kata berbisa. Namun, para p
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments