“Dokter! Pasien ruang 187 sudah sadar!”
Seruan bersemangat itu menembus kesadaran Sydney yang masih samar. Dia membuka matanya perlahan, mencoba membiasakan diri dengan cahaya yang menusuk mata.
“Telepon keluarganya! Kabarkan Nona Sydney akhirnya terbangun.”
Setelah dokter dan suster menjalankan pemeriksaan terhadap dirinya, pintu bangsal Sydney terbuka.
“Sydney!”
Sydney menoleh, mengira yang tiba adalah orang tua atau suaminya, tapi … dia harus berakhir kecewa karena yang dia lihat malah bibi dan pamannya, Ghina dan Fred.
Ghina memeluk Sydney erat. “Syukurlah kau sudah bangun, Nak,” suara Ghina terdengar lega. Namun, dalam hitungan detik, nada suaranya berubah menjadi isakan tertahan. “Kenapa, Nak? Kenapa kamu berniat bunuh diri seperti itu?!”
Sydney mengerutkan kening, rasa pening menyelimuti kepalanya seiring kebingungan menyelimutinya.
Bunuh diri? Apa maksud bibinya? Walau kepalanya sempat terbentur, tapi Sydney ingat ada yang telah mendorongnya!
Sydney mendudukkan diri perlahan, lalu mencoba bersuara. Akan tetapi, yang keluar hanyalah erangan parau. Tenggorokannya terasa seperti kertas kering yang diremas.
“Kenapa suaranya seperti itu?” Fred, sang paman, langsung menatap dokter dengan alis tertaut. “Ada apa dengan keponakan saya?”
Dokter segera mendekat, lalu berkata, “Kita bicara di luar, Nyonya, Tuan.”
Fred dan Ghina tampak ragu, tetapi mereka tetap mengikuti dokter. Beberapa menit kemudian, tangisan Ghina meledak di balik pintu.
“Oh, Tuhan!” teriak Ghina sambil terisak. “Sydney sudah kehilangan bayinya dan diceraikan oleh suaminya saat masih koma, Dokter! Sekarang dokter juga mengatakan kalau keponakanku bisu karena trauma?!”
‘Cerai?' ulang Sydney dalam hatinya. Dia sudah menduga hal tersebut akan terjadi, tapi … bisu?
Apa maksudnya dia bisu?!
Sydney meremas selimutnya kuat-kuat, lalu bangkit untuk menghampiri sang bibi dan dokter, meminta penjelasan.
Bruk!
Sydney jatuh dari ranjang rumah sakit. Darah juga mengalir deras dari tangannya karena selang infus terlepas.
Mendengar keributan di dalam ruangan, dokter beserta Fred dan Ghina masuk kembali ke dalam kamar, dan mereka terkejut menemukan Sydney menangis di lantai.
"Ya Tuhan, Sydney!"
Dengan sigap, Sydney kembali dibaringkan di ranjang dan dipasang infus. Sementara Ghina berusaha menenangkan keponakan malangnya itu.
Usai menyelesaikan urusannya, dokter dan suster pamit undur diri, meninggalkan Sydney dengan Ghina. Fred sendiri pergi untuk mengurus sejumlah administrasi.
Sydney menatap Ghina dengan mata yang merah, tampak ingin mengatakan sesuatu.
Menyadari itu, Ghina langsung meraih pulpen dan kertas dari atas meja nakas, lalu menyerahkannya pada Sydney. “Sayang, coba tuliskan apa yang ingin kamu tanyakan," pinta Ghina sambil menghapus sisa air matanya.
Dengan susah payah, Sydney menggenggam pulpen. Tangannya masih kaku, tetapi ia berhasil menuliskan satu kata:
Cerai?
Ghina menahan isakan dan mengangguk. Dengan suara bergetar, ia mulai menjelaskan semuanya.
Setelah Sydney terjatuh di tangga pemakaman dan berakhir koma, Lucas sempat datang. Bukan untuk melihat keadaan Sydney, tetapi untuk menceraikannya secara sepihak.
Tidak sampai di situ, ternyata Lucas juga mengalihkan utang atas namanya yang terjadi selama pernikahan menjadi milik Sydney. Totalnya 275 miliar!
“Ini baju yang pernah Isaac gunakan,” ucap Ghina sambil menyerahkan satu kotak kecil berisi pakaian Isaac. “Hanya ini yang bisa Tante pertahankan dari Lucas.”
Sydney membuka kotak itu dan tangannya gemetar saat mencoba menyentuh baju Isaac. Dia mengambil kaos bergambar gajah itu dan menciumnya. Ada wangi Isaac yang tertinggal di sana, walaupun sudah bercampur dengan air dan deterjen.
Air mata Sydney mengalir lagi, seperti tidak ada habisnya.
Sydney belum pernah merasa sesakit ini sebelumnya, seperti ada seseorang yang tengah memukul hatinya dengan keras dan tidak berperasaan.
Di saat ini, Ghina yang sedari tadi menahan sesuatu, memutuskan untuk angkat bicara, “Ada satu lagi yang belum Tante ceritakan.” Air mata yang sedari tadi dibendung, sekarang mengalir sepenuhnya. “Tapi berjanjilah untuk kuat dan tidak akan menyerah, Sayang.”
Hati Sydney sudah hancur berkeping-keping. Dia berpikir, apa lagi yang bisa menyiksanya setelah ini?
“Saat mendengar apa yang terjadi padamu di pemakaman … orang tuamu … orang tuamu kecelakaan dan … meninggal di tempat.”
Seketika, Sydney ambruk sepenuhnya. Dia menangis sejadi-jadinya dengan suara yang terdengar asing di telinga.
Hanya dalam waktu beberapa hari, dia kehilangan segalanya. Putranya. Suaminya. Orang tuanya. Bahkan suaranya sendiri.
Kalau seperti ini, apa lagi yang dia miliki di dunia ini?
**
Beberapa hari berlalu dalam kehampaan. Sydney masih menjalani terapi atas permintaan Ghina. Hanya saja, walau tubuhnya bergerak, tetapi jiwanya terasa kosong.
Sering Sydney menatap keluar jendela rumah sakit cukup lama, memerhatikan begitu banyak orang menjalani hidupnya dengan senyum di bibir mereka. Namun, tak elak hal tersebut membuatnya terus bertanya, dari sekian banyak orang di dunia, kenapa semua malapetaka harus terjadi padanya?
Terus berpikir demikian, malam itu Sydney berjalan keluar dari kamarnya menuju rooftop rumah sakit yang telah dia ketahui jadwal tidak terkuncinya.
Angin malam menggigit kulitnya, tapi langkah Sydney tak berhenti di tepi rooftop. Dia naik ke pembatas, lalu berdiri dengan tangan terbuka.
‘Isaac, Mama datang.’
Matanya terpejam. Angin menyapu air matanya.
Saat tubuhnya mulai condong ke depan—
Brak!
“Ah!”
Sydney merasakan sebuah lengan kekar melingkar di pinggangnya dan menariknya mundur, mengakibatkan dirinya terjatuh dan membentur sesuatu yang keras.
Nafas Sydney tertahan. Dia jatuh, tapi bukan ke lantai dasar, melainkan ke dalam pelukan seseorang!
“Kau gila?” Suara dalam yang berkumandang membuat Sydney terkejut dan mengangkat pandangannya.
Seketika, pandangan Sydney bertemu dengan sepasang manik cokelat tajam yang menatapnya dingin. Sosok asing yang tampan, tetapi aura gelapnya begitu kuat.
“Kalau ingin mati, jangan di sini. Kamu hanya akan membuatku dicurigai polisi.”
Melihat Sydney tidak bereaksi, pria asing itu menghela napas dan berkata, “Walau aku senang kita berada dalam posisi seperti ini, tapi tolong bangun dari tubuhku, Nona.” Dia mendorong Sydney menjauh sebelum akhirnya membantu wanita itu berdiri.Morgan Draxus melihat Sydney hanya menatapnya dalam diam. Sepasang manik hitam indah wanita tersebut seperti mempertanyakan kenapa pria itu memedulikannya, dan hal itu membuat tatapan Morgan yang tadi tajam mulai melunak.“Sekali lagi, aku akan mengingatkanmu. Jangan merepotkan orang lain jika ingin mengakhiri hidup,” ucap Morgan. “Aku orang yang sibuk, jadi aku tidak punya waktu untuk menjadi saksi kasus bunuh diri seorang wanita yang tidak kukenal.”Sydney mengerjapkan mata beberapa kali dan memindai Morgan. Walau wajahnya terpahat dengan begitu sempurna, tapi tubuh besarnya yang penuh tato dan bekas luka membuat Morgan begitu cocok menjadi kambing hitam bagi para polisi.Sydney mengerti keresahan pria itu. Namun, alih-alih membuat gestur mem
“Bagaimana jika saya tidak menemukannya dalam dua hari?” tanya Morgan, lebih terdengar seperti ancaman.“Jika tidak, kami terpaksa menggunakan susu formula dari kedelai, tapi saya tidak bisa menjamin hasilnya akan sebaik ASI,” jawab dokter hati-hati.“Tidak ada cara lain?” tanya Morgan menyelidik.Dokter menggeleng dan berkata, “Keadaan mereka sangat mendesak, Tuan. Atau mungkin, Tuan dapat membawa ibu mereka ke sini untuk memberi susu.”Morgan menyipitkan mata ke arah dokter. Seketika hawa dingin menerpa sekitarnya dan membuat lawan bicaranya menutup mulut.“Mereka tidak punya ibu. Hanya ada saya seorang,” jawab Morgan penuh penekanan.Dokter menunduk, memutus tatapan Morgan yang mampu menembus matanya itu. Dia sudah menyinggung pria itu.Sydney yang sejak tadi bersembunyi di balik tembok, menggigit bibirnya. Sekilas, dia menangkap ekspresi Morgan yang terlihat frustasi.‘Anak mana yang tidak punya ibu?’ Sydney tertegun dalam hati.Satu-satunya kemungkinan yang bisa Sydney pikirkan a
[Kenapa kamu pergi tanpa bilang Tante, Sydney?]Sydney menatap layar ponselnya cukup lama. Ibu jarinya menggantung di atas layar, menimbang-nimbang jawaban yang pantas diberikan untuk wanita paruh baya yang selalu baik padanya itu.Morgan sudah membayar lunas tagihan rumah sakit Sydney, jadi sesuai kesepakatan wanita itu akan menjadi ibu susu si kembar. Itu sebabnya sekarang mereka duduk bersebelahan di kursi belakang mobil yang sedang melaju menuju kediaman Morgan.Sementara Jade dan Jane yang dinyatakan bisa meninggalkan ruang NICU pagi ini, ada di mobil lain yang ada di belakang."Maaf, Tante. Aku harus mencari uang untuk membayar utang Lucas." Sydney membalas pesan Ghina.Pesan terkirim. Hanya beberapa detik berselang, ponsel Sydney kembali bergetar dengan balasan lain.[Setidaknya beri tahu Tante ke mana kamu pergi. Tante khawatir, Sayang.]Sydney menggigit bibir. Jari-jarinya mengetik jawaban lain."Aku akan memberi tahu Tante, tapi tidak sekarang. Jangan khawatir."Kali ini, Gh
“Tuan Morgan menunggu Anda di ruang kerja. Mari saya antar,” ujar salah satu anak buah Morgan yang berjaga di pintu. Sydney baru saja selesai mengulur waktu, memantapkan hati sekaligus menenangkan dirinya. Namun seberapa lama pun Sydney melakukan itu, jantungnya tetap berdebar hebat. Wanita itu tidak bisa berhenti memikirkan bahwa ada kemungkinan dia tidak akan bisa keluar lagi jika sudah menginjakan kaki ke dalam rumah Morgan. Anak buah Morgan berjalan lebih dulu. Sydney mengikuti di belakang sambil meremas tali tas untuk menguatkan langkahnya yang terasa lemah. Begitu melewati ambang pintu, mata Sydney langsung disambut oleh interior yang didominasi warna hitam. “Lebih cepat!” seru anak buah Morgan dengan berbisik. “Atau Tuan Morgan akan marah.” Tidak ingin Morgan menemukan cela dalam dirinya saat hari pertama bekerja, Sydney segera melangkah lebih lebar. Walaupun tetap saja langkahnya tertinggal jauh dari pria di hadapannya. “Cepat masuk!” bisik pria itu setelah membukakan se
“Aku mengenyam pendidikan berbulan-bulan dan punya pengalaman bertahun-tahun untuk menjadi pengasuh bayi. Ada sertifikat dari yayasan resmi yang membuktikan kemampuanku dalam mengasuh!” ucap pengasuh itu dengan angkuh. “Sementara kau ….” Sydney berhenti di tempat. Tangannya refleks mengepal, tetapi dia tetap diam. Pengasuh itu menaruh Jade ke tempat tidur bayi, lalu melangkah mendekati Sydney dengan mata menyipit. "Aku tidak mengerti bagaimana seseorang sepertimu bisa mendapat pekerjaan ini,” cibirnya. “Bagaimana kau bisa merawat bayi kalau bicara saja tidak bisa?! Apa kau akan mengetik setiap kali mereka menangis? Hah?" Sydney menggigit bibir. "Bayi tidak butuh orang bisu untuk mengasuh mereka," lanjut wanita muda dengan rambut disanggul sederhana itu lebih tajam. "Mereka butuh seseorang yang bisa berbicara, bernyanyi, menenangkan mereka dengan suara lembut. Bukan orang cacat seperti ... kau!" Sydney menahan napas, berusaha meredam emosinya. "Ck!” Pengasuh itu melipat tangan di
"Aku tidak tahu bagaimana kau akan bertahan di sini." Sydney baru saja menidurkan Jade dan Jane ketika seorang pelayan tua yang bertugas di dapur berucap pelan di dekatnya. Sementara Morgan sudah pergi ke kantor sejak beberapa menit lalu. Wanita paruh baya itu menaruh nampan berisi air hangat di atas meja, lalu menatap Sydney lurus. Sydney mengernyitkan dahi. Dia meraih ponselnya dan mengetik sesuatu. "Maksud Bibi apa?" Wanita bernama Layla itu mendengkus pelan. "Kau tahu sendiri. Tempat ini ... tidak mudah untuk ditinggali. Apalagi untuk orang sepertimu." Sydney tetap diam, menunggu Layla meneruskan ucapannya. Layla menghela napas sebelum melanjutkan dengan suara rendah, nyaris berbisik. "Rumah ini memiliki aturan yang ketat. Kau sudah melihat sendiri bagaimana Tuan Morgan memperlakukan orang yang membuatnya tidak senang, bukan?" Sydney teringat bagaimana Morgan mengusir pengasuh sebelumnya tanpa ragu. Semua terjadi begitu cepat dan tanpa aba-aba. Sydney menelan l
"Wajahmu terlalu polos untuk menghadapi ucapanku, ya?" Morgan terkekeh pelan, matanya mengunci ekspresi Sydney yang terdiam. Sydney menelan ludah, menahan diri agar tidak terpancing oleh ucapan pria itu. Namun, saat perhatiannya jatuh pada tangan bertato Morgan, ekspresi wanita itu langsung berubah. Darah! Tetesan merah merembes dari buku-buku jari Morgan, kontras dengan kulitnya yang pucat di bawah sinar lampu taman. Sydney mengernyit. Dia tidak melihat luka itu sebelumnya. ‘Bagaimana bisa dia tampak begitu tidak peduli pada dirinya sendiri?’ batin Sydney. Morgan menangkap tatapan Sydney dan mendengkus. "Jangan menatapku seperti itu. Luka kecil ini bukan apa-apa." Sydney tidak langsung bereaksi. Dia meraih ponselnya dan mengetik cepat. "Itu harus diobati." Morgan mencondongkan tubuhnya ke depan, semakin mengikis jarak dengan Sydney. Bahu pria itu sedikit bergetar karena tawa yang nyaris tak terdengar. "Apa kau ingin merawatku, hmm?" Morgan mengangkat tangan, mengamati dara
‘Aah, rasanya seperti terbakar!’ desah Sydney dalam hati sambil mengusap lengan. Wanita itu menghela napas panjang, meredam ketegangan yang masih tersisa setelah sesi olahraga. Otot-ototnya terasa lelah, tetapi tubuh Sydney terasa lebih ringan. Dia menyeka keringat di pelipisnya dengan handuk kecil sembari berjalan santai menuju kamar. Namun, langkah Sydney terhenti saat suara rendah dan familiar terdengar dari ruang tamu. “Semua berjalan sesuai rencana?” Sydney refleks menoleh. Itu suara Morgan. Sydney awalnya tidak berniat memperhatikan. Namun kemudian, suara lain menyusul, darah Sydney seketika membeku. "Tentu saja, Tuan. Saya tidak akan mengecewakan Anda." Lucas! Sydney mencengkeram handuk di tangannya. Napas wanita itu mulai tercekat. ‘Lucas bekerja untuk Morgan?’ batin Sydney bertanya-tanya. Jantung Sydney berdebar tak beraturan saat dia mengintip dari celah lorong. Morgan duduk dengan santai, satu lengannya tersampir di sandaran sofa dengan wajah menahan bosan. Sebal
“Jika Nyonya Besar Ryder akan hadir, maka keterlambatan ini bisa dimaklumi.” Pernyataan itu datang dari seorang pria dengan jas abu-abu yang duduk tidak jauh dari Sydney. Beberapa menit lalu, dia yang paling keras memprotes waktu yang terbuang, tetapi sekarang pendapatnya berubah begitu saja setelah mendengar nama itu disebut. “Aku justru berpikir ini menguntungkan,” sahut yang lain. “Bagaimanapun juga, kita semua tahu—maaf, Nona—komunikasi dengan seseorang yang … bisu tidak akan mudah.” Bisikan setuju bermunculan di antara para pemegang saham. Beberapa bahkan melirik Sydney seolah keberadaannya adalah sebuah gangguan, bukan seseorang yang bisa mewakili mereka untuk mengambil keputusan. Sydney mengabaikan mereka. Tatapan wanita itu kosong karena pikirannya terseret ke masa lalu. Tiga tahun lalu. Sydney duduk tegak di sofa dengan tangan saling menggenggam di pangkuan. Selain karena cuaca di Sevhastone, jari-jari Sydney terasa dingin karena tatapan tajam kedua pasangan paruh baya
Denting sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer berkilau gedung Monarch Legal Group. Setiap langkah Sydney mengundang perhatian, bukan hanya karena kehadirannya yang jarang terlihat di tempat ini, tetapi juga karena pesona dingin yang terpancar dari sorot mata wanita itu. Di belakang Sydney, Ronald berjalan mengikuti seperti bayangan yang selalu siap melindungi. Beberapa karyawan yang melintas otomatis memperlambat langkah mereka. Para karyawan wanita yang sedang berbincang di dekat mesin kopi saling berbisik, melirik ke arah wanita muda yang melangkah penuh percaya diri itu. “Siapa dia?” bisik salah satu dari mereka. “Entahlah. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Tapi … dia cantik sekali,” timpal yang lain dengan nada terkagum-kagum. Sydney tidak menghiraukan tatapan-tatapan itu. Dia terus berjalan menuju meja resepsionis dengan wajah datar. Seorang wanita muda di balik meja menyambut Sydney dengan senyum. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” Tanpa banyak basa-bas
“Jaga dirimu, Morgan.” Sydney menggerakkan tangan dengan perlahan, menatap pria yang sudah duduk di dalam mobil. Morgan menatap balik Sydney sejenak sebelum akhirnya mengangguk kecil. “Aku selalu melakukannya.” Suara mesin mobil menyala dan dalam hitungan detik, kendaraan mewah itu meluncur pergi meninggalkan halaman mansion. Sydney tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan mobil hitam itu hingga menghilang di tikungan. Beberapa pekerja yang ikut mengantar kepergian Morgan perlahan kembali ke dalam rumah, meninggalkan Sydney yang masih diam. Udara pagi terasa sedikit lebih dingin tanpa keberadaan pria itu. Entah kenapa, kali ini kepergian Morgan terasa lebih berat dibanding biasanya untuk Sydney. Sydney menghela napas pelan. Dia hendak berbalik menuju mansion ketika dua pelayan muda tiba-tiba mendekatinya dengan raut penasaran. “Sydney,” panggil salah satu dari mereka—seorang wanita muda dengan rambut dikucir kuda. “Tuan Morgan tadi di kamar si kembar bersamamu?” Sydney meng
"Susuku sudah habis." Sydney buru-buru memutar tubuh untuk menghindari tatapan Morgan yang terlalu intens. Jawaban itu meluncur begitu saja dari gerakan tangan Sydney tanpa sempat dipikirkan lebih dulu. Wanita itu membatu. Mata Sydney melebar saat menyadari betapa bodohnya alasan yang baru saja dia rangkai. Namun, setelah mimpi buruk semalam, Sydney belum siap melakukan sesuatu lebih jauh dengan Morgan. Setidaknya dengan alasan bodoh itu, Morgan akan mengurungkan niatnya. ‘Semoga saja,’ batin Sydney berharap. Sekejap ruangan menjadi hening. Morgan yang masih berdiri di belakang Sydney, berkedip sekali, lalu kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Pria itu menatap punggung Sydney dalam diam, sebelum akhirnya tertawa pelan. Sydney tidak perlu menoleh untuk tahu bahwa pria itu pasti sedang menyeringai. "Sydney," panggil Morgan, nada suaranya masih dipenuhi tawa tertahan. "Kau sadar betapa lucunya alasanmu barusan?" Morgan mencoba melihat wajah Sydney, tetapi wanita itu segera mem
Sydney terbangun dengan napas memburu. Keringat dingin membasahi pelipis dan dadanya naik-turun dengan cepat. Dia menelan ludah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu liar. Suara tangisan si kembar menggema di kamar, menarik Sydney kembali ke realitas. Sydney memejamkan mata sejenak, berusaha mengendalikan napasnya yang masih tersengal. Bayangan mimpi buruk itu masih terlalu nyata di kepalanya. Terlalu hidup. Terlalu menyakitkan. Lucas. Sydney melihat pria itu lagi dalam tidurnya. Dalam mimpi itu, Sydney tengah duduk di dalam kamar tidur mereka di kediaman Lucas. Perut Sydney tengah membesar. Sydney dengan lembut membelai Isaac yang masih ada dalam kandungannya. Dia tersenyum saat merasakan tendangan lembut dari dalam, Isaac membalas sentuhannya. Namun, detik berikutnya, Sydney merasakan sesuatu yang lain. Lucas berlutut di hadapannya, lalu menyentuh perut Sydney yang membuncit. Tatapan mata pria itu begitu lembut dan penuh kasih sayang, membuat Sy
Sydney tertegun, jemarinya menggenggam ponsel dengan erat. Tinggal bersama Timothy? Pergi dari tempat ini? Jari-jari Sydney bergerak di atas layar, ragu-ragu sebelum akhirnya mengetik balasan. "Itu hebat! Aku senang mendengarnya. Hanya saja, sekarang aku sudah bersama seseorang yang bisa melindungiku, Tim. Jika sudah waktunya, kau akan tahu dia siapa." Saat mengetik itu, Sydney memikirkan Morgan. Dia menekan tombol kirim, lalu meletakkan ponsel di samping bantal. Sydney menatap langit-langit, pikiran wanita itu masih berputar-putar memikirkan percakapannya dengan Morgan beberapa saat lalu. Detak jantung Sydney belum sepenuhnya normal. Tubuh Sydney pun masih terasa panas, bukan karena suhu kamar, melainkan karena kejadian di ruang kerja Morgan tadi. Ingatan tentang sentuhan pria itu masih melekat di kulit Sydney. Betapa mudahnya Morgan membuat Sydney kehilangan kendali. Sydney menggigit bibir, berusaha mengusir bayangan tadi. Dia harus tidur. Tepat ketika kelopak mata Sydney m
Sydney mengetuk jemarinya ke udara, mencoba menenangkan diri, tetapi rona merah tetap bertahan di pipinya. Dia akhirnya mengangkat tangan dan mulai berbahasa isyarat, "Aku akan tidur di kamar si kembar, Tuan." “Tuan lagi?” Morgan menyeringai, matanya menyipit penuh ketertarikan. “Kau tidak menandatangani kontrak apa pun kali ini.” Sydney terdiam sejenak, menimbang kata-kata Morgan. Pria itu bersandar di kursinya menatap wanita berbalut gaun tidur seksi di hadapannya lekat-lekat. “Lalu, untuk apa kau datang ke sini, Darling?” tanya Morgan. Sydney menarik napas dalam, berusaha mengabaikan detak jantungnya yang tidak beraturan. Dia duduk di kursi di seberang meja kerja Morgan, menyamankan diri sebelum akhirnya bicara lagi. "Mengapa masih ada CCTV di kamarku? Apa yang kau lihat?" tanya Sydney. “Dirimu,” jawab Morgan cepat, manik cokelatnya menatap Sydney. Sydney merasakan darahnya berdesir. Morgan selalu tahu bagaimana memilih kata-kata yang bisa membuat Sydney kehilangan keseimb
Sydney menghela napas panjang, mata wanita itu menatap lurus ke arah Morgan yang berdiri tegak di hadapannya. Pria itu tidak mengatakan apa pun, tetapi dari sorot matanya yang kelam dan tajam, Sydney tahu Morgan tidak menerima penolakan. Sydney baru akan mengangkat tangan untuk memberi isyarat ketika suara langkah kaki mendekat dari arah mansion. Sosok Layla muncul sambil mendorong dua kereta bayi kembar yang di dalamnya ada Jade dan Jane. Sydney tersentak. Mata wanita itu refleks berkaca-kaca saat melihat si kembar yang tampak lebih besar dibanding terakhir kali Sydney melihat mereka. Pipi mereka lebih berisi, rambut mereka mulai tumbuh lebih tebal, dan mata mereka yang bening kini menatapnya penuh rasa ingin tahu. Layla berhenti beberapa langkah di depan mereka. Bibirnya bergetar, jelas Layla juga menahan perasaan yang membuncah. Namun, tatapan tajam Morgan membuatnya mengurungkan niat untuk bicara lebih dulu. Morgan melirik Sydney dan berkata pelan, "Lihat mata mereka, Sydney.
"Siap, Tuan," sahut Ronald tanpa ragu. Morgan hanya mengangguk, sementara Sydney duduk membeku di sampingnya. Perutnya terasa mual, bukan karena guncangan mobil, tetapi karena dinginnya keputusan Morgan. Seakan nyawa orang lain tidak lebih dari pion dalam permainan catur yang bisa dia singkirkan kapan saja. Sydney menelan ludah, lalu menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Namun, semakin lama dia berada di dekat Morgan, semakin sulit baginya untuk mengabaikan kenyataan bahwa pria ini hidup di dunia yang berbeda dengannya. Dia tidak bisa. Dia tidak ingin terjebak lebih dalam. Sydney menarik napas dalam, lalu mengangkat tangannya. “Berhenti. Aku ingin turun.” Tatapan tajam Morgan segera tertuju pada Sydney. Dia seperti sedang menilai seberapa jauh keberanian Sydney untuk menantangnya. Sydney kembali mengisyaratkan, lebih tegas kali ini. “Hentikan mobilnya!” Morgan menghela napas pelan sebelum mencondongkan tubuhnya, mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa se