Melihat Sydney tidak bereaksi, pria asing itu menghela napas dan berkata, “Walau aku senang kita berada dalam posisi seperti ini, tapi tolong bangun dari tubuhku, Nona.” Dia mendorong Sydney menjauh sebelum akhirnya membantu wanita itu berdiri.
Morgan Draxus melihat Sydney hanya menatapnya dalam diam. Sepasang manik hitam indah wanita tersebut seperti mempertanyakan kenapa pria itu memedulikannya, dan hal itu membuat tatapan Morgan yang tadi tajam mulai melunak.
“Sekali lagi, aku akan mengingatkanmu. Jangan merepotkan orang lain jika ingin mengakhiri hidup,” ucap Morgan. “Aku orang yang sibuk, jadi aku tidak punya waktu untuk menjadi saksi kasus bunuh diri seorang wanita yang tidak kukenal.”
Sydney mengerjapkan mata beberapa kali dan memindai Morgan. Walau wajahnya terpahat dengan begitu sempurna, tapi tubuh besarnya yang penuh tato dan bekas luka membuat Morgan begitu cocok menjadi kambing hitam bagi para polisi.
Sydney mengerti keresahan pria itu. Namun, alih-alih membuat gestur meminta maaf, Sydney justru merebut ponsel pria itu yang tidak terkunci di sebelah mereka.
Melihat aksi Sydney, Morgan mengerjapkan mata. Jujur, dia yang awalnya kesal menjadi sangat terhibur dengan bagaimana wanita di hadapannya ini terus-menerus mengejutkannya.
“Sekarang kau mencuri ponselku?” Morgan menaikkan alis kanannya.
Sydney mengabaikan Morgan dan terus mengetik di sana.
“Bagaimana cara bunuh diri tanpa merepotkan orang lain?” Sydney menunjukkan layar ponsel ke depan wajah Morgan.
Morgan mengernyitkan dahi. “Kau ternyata gila dan bisu?”
“Ekkh!” Sydney bersuara dan menggoyangkan layar ponsel supaya Morgan menjawab pertanyaannya.
Alis tebal Morgan semakin tertaut. Matanya yang seperti elang justru bergerak memindai Sydney dari ujung kepala hingga kaki.
Saat itulah Morgan melihat baju Sydney sangat basah di bagian dada. Pria itu segera melepas jas dan memakaikannya ke bahu Sydney.
“Urus dulu dadamu yang basah,” sahut Morgan sambil mengulurkan tangan, meminta ponselnya kembali.
Sydney membelalak dan segera mengembalikan ponsel Morgan. Lalu, dia menutup rapat jas yang dipinjamkan Morgan. Pipi Sydney memerah.
‘Apa dia melihat sesuatu? Apa bajuku tembus pandang?’ batin Sydney.
Dalam sekejap, Sydney melupakan niat bunuh dirinya. Dia jauh lebih malu karena ada seorang pria yang melihatnya seperti ini.
Di saat yang sama, Sydney juga merasa hidupnya sangat ironis. Isaac sudah pergi, tetapi Sydney masih harus rutin memompa ASI setiap beberapa jam sekali. Jika tidak, beginilah keadaan dadanya.
Morgan menatap Sydney bingung. “Apa yang terjadi padamu?”
“Permisi, Tuan Morgan.” Seorang pria berbadan besar dengan pakaian serba hitam tiba-tiba saja hadir dari pintu rooftop dan menyela percakapan mereka.
Sydney dan Morgan sama-sama menoleh.
“Mohon segera turun, Tuan. Dokter membutuhkan tanda tangan persetujuan tindakan pada si kembar,” lanjut pria berwajah datar itu.
Morgan mengangguk. Wajahnya berubah menjadi lebih serius. Tanpa mengatakan apa pun lagi pada Sydney, pria bertubuh tinggi dengan punggung tegap itu pergi.
‘Si kembar?’ Sydney menyoroti kata itu dalam hatinya.
Alhasil, tanpa dia sadari, Sydney memutuskan untuk mengikuti Morgan.
Sambil melangkah, Sydney mengancingkan jas yang masih beraroma maskulin itu supaya orang lain tidak melihat dadanya yang basah.
Beberapa kali Morgan sedikit menoleh ke belakang dan melihat Sydney. Pria itu sedikit menarik salah satu sudut bibirnya. Dia baru saja melakukan tugas mulia dengan menggagalkan orang bunuh diri.
Sesuatu yang tidak sangka akan pria itu lakukan dalam hidupnya.
Di sisi lain, Sydney yang menangkap senyuman Morgan tampak bertanya-tanya. ‘Dia tersenyum? Dia pasti sedang bahagia,’ batinnya.
Kepala Sydney menunduk, sedikit iri dengan Morgan yang pasti sangat bahagia karena memiliki anak kembar. Rumah tangga Morgan dan istrinya pasti sangat harmonis, tidak seperti rumah tangganya.
Sydney teringat satu tahun lalu saat dirinya tengah berjuang melahirkan Isaac, Lucas tidak datang. Baru Sydney tahu setelahnya bahwa di malam dia melahirkan Isaac, itulah pertama kalinya Lucas tidur dengan Vienna.
Hati Sydney masih terasa sesak setiap kali mengingat itu.
Namun sekarang, tiap kali dia mengingat nama Lucas dan Vienna, hati Sydney menjadi sangat dingin.
Kebencian dalam hatinya terlalu dalam untuk hilang begitu saja!
“Tuan Morgan,” sapa seorang dokter pria paruh baya yang baru saja keluar dari ruang NICU.
Morgan menghentikan langkah di dekat dokter itu. Sementara Sydney sembunyi di balik tembok terdekat.
“Ya,” sahut Morgan singkat, siap mendengarkan penjelasan dokter.
“Jade dan Jane mengalami sindrom gangguan pernapasan karena paru-paru mereka belum matang sempurna saat dilahirkan, Tuan. Hasil tes darah mereka juga menunjukkan bahwa si kembar alergi susu sapi,” jelas dokter.
Mata Sydney melebar. Penjelasan itu membuat Sydney merasa sedikit bersalah karena sempat berpikir bahwa hidup Morgan baik-baik saja.
“Apa yang harus saya lakukan?” tanya Morgan menatap dokter, sedikit mengintimidasi.
“Saya akan mengurus paru-paru mereka, sementara Tuan bisa menandatangani persetujuan tindakan,” jawab dokter dengan lugas.
Morgan mengangguk dengan dahi yang masih mengernyit.
“Dan,” lanjut dokter. “Untuk alergi susu sapi, saya sarankan Tuan segera mencari pendonor ASI dalam dua hari.”
“Apa?!” Morgan menaikkan salah satu alisnya, tidak percaya.
“Jade dan Jane lahir prematur. Saya tidak ingin mengambil risiko dengan memberikan mereka jenis susu lain. Jadi mencari pendonor ASI adalah saran terbaik yang bisa saya berikan, Tuan,” sahut dokter sedikit membungkuk.
‘Kenapa mereka butuh pendonor ASI? Memang ke mana ibu mereka?’ tanya Sydney dalam hati sambil mengernyitkan dahi.
“Bagaimana jika saya tidak menemukannya dalam dua hari?” tanya Morgan, lebih terdengar seperti ancaman.“Jika tidak, kami terpaksa menggunakan susu formula dari kedelai, tapi saya tidak bisa menjamin hasilnya akan sebaik ASI,” jawab dokter hati-hati.“Tidak ada cara lain?” tanya Morgan menyelidik.Dokter menggeleng dan berkata, “Keadaan mereka sangat mendesak, Tuan. Atau mungkin, Tuan dapat membawa ibu mereka ke sini untuk memberi susu.”Morgan menyipitkan mata ke arah dokter. Seketika hawa dingin menerpa sekitarnya dan membuat lawan bicaranya menutup mulut.“Mereka tidak punya ibu. Hanya ada saya seorang,” jawab Morgan penuh penekanan.Dokter menunduk, memutus tatapan Morgan yang mampu menembus matanya itu. Dia sudah menyinggung pria itu.Sydney yang sejak tadi bersembunyi di balik tembok, menggigit bibirnya. Sekilas, dia menangkap ekspresi Morgan yang terlihat frustasi.‘Anak mana yang tidak punya ibu?’ Sydney tertegun dalam hati.Satu-satunya kemungkinan yang bisa Sydney pikirkan a
[Kenapa kamu pergi tanpa bilang Tante, Sydney?]Sydney menatap layar ponselnya cukup lama. Ibu jarinya menggantung di atas layar, menimbang-nimbang jawaban yang pantas diberikan untuk wanita paruh baya yang selalu baik padanya itu.Morgan sudah membayar lunas tagihan rumah sakit Sydney, jadi sesuai kesepakatan wanita itu akan menjadi ibu susu si kembar. Itu sebabnya sekarang mereka duduk bersebelahan di kursi belakang mobil yang sedang melaju menuju kediaman Morgan.Sementara Jade dan Jane yang dinyatakan bisa meninggalkan ruang NICU pagi ini, ada di mobil lain yang ada di belakang."Maaf, Tante. Aku harus mencari uang untuk membayar utang Lucas." Sydney membalas pesan Ghina.Pesan terkirim. Hanya beberapa detik berselang, ponsel Sydney kembali bergetar dengan balasan lain.[Setidaknya beri tahu Tante ke mana kamu pergi. Tante khawatir, Sayang.]Sydney menggigit bibir. Jari-jarinya mengetik jawaban lain."Aku akan memberi tahu Tante, tapi tidak sekarang. Jangan khawatir."Kali ini, Gh
“Tuan Morgan menunggu Anda di ruang kerja. Mari saya antar,” ujar salah satu anak buah Morgan yang berjaga di pintu. Sydney baru saja selesai mengulur waktu, memantapkan hati sekaligus menenangkan dirinya. Namun seberapa lama pun Sydney melakukan itu, jantungnya tetap berdebar hebat. Wanita itu tidak bisa berhenti memikirkan bahwa ada kemungkinan dia tidak akan bisa keluar lagi jika sudah menginjakan kaki ke dalam rumah Morgan. Anak buah Morgan berjalan lebih dulu. Sydney mengikuti di belakang sambil meremas tali tas untuk menguatkan langkahnya yang terasa lemah. Begitu melewati ambang pintu, mata Sydney langsung disambut oleh interior yang didominasi warna hitam. “Lebih cepat!” seru anak buah Morgan dengan berbisik. “Atau Tuan Morgan akan marah.” Tidak ingin Morgan menemukan cela dalam dirinya saat hari pertama bekerja, Sydney segera melangkah lebih lebar. Walaupun tetap saja langkahnya tertinggal jauh dari pria di hadapannya. “Cepat masuk!” bisik pria itu setelah membukakan se
“Aku mengenyam pendidikan berbulan-bulan dan punya pengalaman bertahun-tahun untuk menjadi pengasuh bayi. Ada sertifikat dari yayasan resmi yang membuktikan kemampuanku dalam mengasuh!” ucap pengasuh itu dengan angkuh. “Sementara kau ….” Sydney berhenti di tempat. Tangannya refleks mengepal, tetapi dia tetap diam. Pengasuh itu menaruh Jade ke tempat tidur bayi, lalu melangkah mendekati Sydney dengan mata menyipit. "Aku tidak mengerti bagaimana seseorang sepertimu bisa mendapat pekerjaan ini,” cibirnya. “Bagaimana kau bisa merawat bayi kalau bicara saja tidak bisa?! Apa kau akan mengetik setiap kali mereka menangis? Hah?" Sydney menggigit bibir. "Bayi tidak butuh orang bisu untuk mengasuh mereka," lanjut wanita muda dengan rambut disanggul sederhana itu lebih tajam. "Mereka butuh seseorang yang bisa berbicara, bernyanyi, menenangkan mereka dengan suara lembut. Bukan orang cacat seperti ... kau!" Sydney menahan napas, berusaha meredam emosinya. "Ck!” Pengasuh itu melipat tangan di
"Aku tidak tahu bagaimana kau akan bertahan di sini." Sydney baru saja menidurkan Jade dan Jane ketika seorang pelayan tua yang bertugas di dapur berucap pelan di dekatnya. Sementara Morgan sudah pergi ke kantor sejak beberapa menit lalu. Wanita paruh baya itu menaruh nampan berisi air hangat di atas meja, lalu menatap Sydney lurus. Sydney mengernyitkan dahi. Dia meraih ponselnya dan mengetik sesuatu. "Maksud Bibi apa?" Wanita bernama Layla itu mendengkus pelan. "Kau tahu sendiri. Tempat ini ... tidak mudah untuk ditinggali. Apalagi untuk orang sepertimu." Sydney tetap diam, menunggu Layla meneruskan ucapannya. Layla menghela napas sebelum melanjutkan dengan suara rendah, nyaris berbisik. "Rumah ini memiliki aturan yang ketat. Kau sudah melihat sendiri bagaimana Tuan Morgan memperlakukan orang yang membuatnya tidak senang, bukan?" Sydney teringat bagaimana Morgan mengusir pengasuh sebelumnya tanpa ragu. Semua terjadi begitu cepat dan tanpa aba-aba. Sydney menelan l
"Wajahmu terlalu polos untuk menghadapi ucapanku, ya?" Morgan terkekeh pelan, matanya mengunci ekspresi Sydney yang terdiam. Sydney menelan ludah, menahan diri agar tidak terpancing oleh ucapan pria itu. Namun, saat perhatiannya jatuh pada tangan bertato Morgan, ekspresi wanita itu langsung berubah. Darah! Tetesan merah merembes dari buku-buku jari Morgan, kontras dengan kulitnya yang pucat di bawah sinar lampu taman. Sydney mengernyit. Dia tidak melihat luka itu sebelumnya. ‘Bagaimana bisa dia tampak begitu tidak peduli pada dirinya sendiri?’ batin Sydney. Morgan menangkap tatapan Sydney dan mendengkus. "Jangan menatapku seperti itu. Luka kecil ini bukan apa-apa." Sydney tidak langsung bereaksi. Dia meraih ponselnya dan mengetik cepat. "Itu harus diobati." Morgan mencondongkan tubuhnya ke depan, semakin mengikis jarak dengan Sydney. Bahu pria itu sedikit bergetar karena tawa yang nyaris tak terdengar. "Apa kau ingin merawatku, hmm?" Morgan mengangkat tangan, mengamati dara
‘Aah, rasanya seperti terbakar!’ desah Sydney dalam hati sambil mengusap lengan. Wanita itu menghela napas panjang, meredam ketegangan yang masih tersisa setelah sesi olahraga. Otot-ototnya terasa lelah, tetapi tubuh Sydney terasa lebih ringan. Dia menyeka keringat di pelipisnya dengan handuk kecil sembari berjalan santai menuju kamar. Namun, langkah Sydney terhenti saat suara rendah dan familiar terdengar dari ruang tamu. “Semua berjalan sesuai rencana?” Sydney refleks menoleh. Itu suara Morgan. Sydney awalnya tidak berniat memperhatikan. Namun kemudian, suara lain menyusul, darah Sydney seketika membeku. "Tentu saja, Tuan. Saya tidak akan mengecewakan Anda." Lucas! Sydney mencengkeram handuk di tangannya. Napas wanita itu mulai tercekat. ‘Lucas bekerja untuk Morgan?’ batin Sydney bertanya-tanya. Jantung Sydney berdebar tak beraturan saat dia mengintip dari celah lorong. Morgan duduk dengan santai, satu lengannya tersampir di sandaran sofa dengan wajah menahan bosan. Sebal
"Kau ingin aku menebaknya?" bisik Morgan, suaranya begitu dekat hingga Sydney bisa merasakan embusan napas pria itu di wajahnya. Sydney menegang, tidak bergerak sedikit pun saat jemari Morgan melayang ringan di sepanjang rahangnya. Sentuhan itu tidak menyakitkan, tetapi dingin, seperti teguran halus yang bisa berubah tajam kapan saja. Alih-alih menjawab, Sydney menatap langsung ke mata pria itu dan mengetik di ponselnya dengan gerakan tenang sebelum mengangkat layarnya. "Jika aku tidak boleh memberi tahu orang lain tentang Tuan dan si kembar, apakah Tuan boleh melakukan hal itu?" Morgan tidak langsung menjawab. Dia menarik diri sedikit, satu sudut bibirnya terangkat, seperti menikmati permainan ini. "Tidak," jawab Morgan akhirnya. "Tidak ada yang boleh tahu tentang dirimu." Sydney menatap pria itu lekat-lekat, mencari kebohongan di balik wajah dingin Morgan. Namun, Morgan bukan tipe yang suka berbasa-basi. Jika Morgan bilang seperti itu, berarti Lucas tidak tahu dirinya ad
Sementara itu beberapa menit sebelumnya. [Bagian depan sudah aman. Nona bisa masuk, mereka ada di taman sebelah gerbang.] Pesan dari Ronald itu muncul di layar ponsel Bella tepat saat sopirnya menghentikan mobil di balik dinding gerbang utama mansion. “Sempurna!” puji Bella atas pekerjaan salah satu orang kepercayaannya itu. Bibir wanita berambut hitam legam itu melengkung, memperlihatkan senyum licik yang bahkan membuat pengemudinya diam-diam merinding. Bella turun dari mobil tanpa banyak bicara. Dia melangkah masuk ke dalam mansion, tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Saat kakinya menapaki jalan setapak menuju taman, mata Bella langsung menangkap sosok Sydney yang duduk di atas alas piknik. Rambut panjang bergelombang warna cokelat milik wanita itu terlihat sangat mencolok. Namun langkah Bella terhenti ketika jarak di antara mereka kian dekat. “Mamiii!”
“Jangan keluar dulu, Sayang. Kita belum selesai,” pinta Morgan sambil menarik pinggang Sydney yang nyaris bangkit dari bathtub. Sydney menggigit bibir dan menoleh dengan napas terengah. Kulit wanita itu masih mengilap oleh air dan uap panas, sementara lehernya penuh bekas ciuman dari Morgan. Dengan kedua tangan yang gemetar ringan, Sydney menyentuh bahu Morgan dan mengangkat jemari untuk berbicara dalam bahasa isyarat. “Aku sudah berjanji pada para pelayan untuk berkeliling. Sebentar lagi mereka selesai menyiapkan si kembar.” Morgan mendesah panjang, lalu menyandarkan punggungnya di sisi bathtub. “Kenapa rasanya kau selalu mencuri napasku tapi tak pernah mengembalikannya, hmm?” tanya Morgan beretorika sambil mengelus lembut garis rahang Sydney. Sydney hanya tersenyum kecil. Pria itu kembali menarik tubuh Sydney dan menenggelamkan wajahnya ke lekukan leher sang kekasih. "Aku belum puas denganmu," bisik Morgan penuh bujuk rayu, padahal mereka baru saja bercinta selama dua jam leb
“Ayo, kita keluar. Mereka sudah tertidur,” ketik Sydney di ponsel dan menunjukkannya pada Esther. Esther melirik dua bayi mungil yang sudah tertidur pulas di boks. Dada Jade dan Jane naik turun perlahan dan terlihat sangat damai. Pelayan itu mengangguk kaku, lalu berjalan mengikuti langkah ringan Sydney ke luar kamar si kembar. Di depan pintu, Sydney kembali mengetik sesuatu di layar ponselnya. Dia menyodorkannya sebelum berpisah. “Aku titip salam untuk adikmu. Jika kau ingin bertemu lagi dengannya, beri tahu aku.” Esther mengatup bibirnya erat. Dada kirinya mendadak terasa sesak. “Baik, Nona,” jawab Esther seraya menunduk sopan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Esther membungkuk dan buru-buru pergi. Dia melangkah tergesa-gesa seolah takut tubuhnya akan runtuh jika terlalu lama berdiri di sana. Sydney diam di depan pintu sambil terus memandang punggung Esther yang semakin menjauh. Senyum wanita itu memudar dan berubah datar penuh waspada. Sesaat Sydney menoleh pada pintu k
“Bisakah Bibi pergi lebih dulu? Aku ingin bicara dengan Esther.” Layla mengernyit ketika membaca pesan di layar ponsel Sydney. Sekilas, Layla menatap wanita muda yang tengah menyusui bayi susu laki-lakinya dengan tenang itu. Sementara Jane tengah berbaring di sisi sofa Sydney, mengantre. Tubuh kedua bayi itu semakin besar. Sydney kesulitan jika harus menyusui mereka bersamaan. “Perlu aku panggilkan Celia dan Miran, Nona?” tanya Layla sambil menaikkan kedua alisnya. Sydney hanya menggeleng dan kembali mengetik. “Mereka sedang sibuk menata koleksi parfumku yang baru datang. Bibi istirahat saja dulu.” Esther yang berdiri di belakang Layla terlihat menegang. Dia meremas kedua jarinya tanpa sadar. Detak jantung Esther berdetak dua kali lebih cepat. Tubuhnya juga mulai terasa panas meski pendingin udara di kamar si kembar menyala. Kenapa Sydney mendadak in
“Ibu kandung?” Bella mengulang kalimat itu sambil terkekeh lirih. “Ternyata gelar itu berguna juga.” Gelar yang Bella buang begitu saja setelah melahirkan si kembar. Gelar yang membuat hidupnya sebagai Veronica Pillpel selesai, merusak tubuhnya, dan mengambil segala waktunya yang berharga. Esther mengangkat wajah. Tatapan penuh harapnya bersambut. Dia tersenyum senang, seperti seorang murid yang akhirnya mendapat pujian dari guru yang paling ditakutinya. Bella bangkit dari duduknya, lalu melangkah pelan ke arah cermin besar di tengah ruang tamunya. Dia mengetuk pelan bingkai kaca dua kali, lalu wanita itu berbalik. “Aku ingin tahu jadwal mereka dan siapa saja yang ikut mengawasi,” tukas Bella tegas. “Ronald masih bekerja di sana, bukan? Kau bisa bekerja sama dengannya untuk membuka jalan masuk untukku ke mansion.” Nama pria itu membuat senyum licik mengembang di wajah Bella. Dia menunduk sedikit sambil memainkan cincin di jari manisnya. Ronald adalah salah satu kerabat jauhnya y
“Tentu saja Nona Be—maksud saya, Nona Veronica lebih cantik!” Esther menjawab tanpa banyak berpikir, seakan kata-kata itu sudah lama tertahan di ujung lidahnya. Bella tersenyum puas. Dia mengangkat kedua tangan dan menyibak rambut panjangnya ke belakang telinga seperti sedang bersiap difoto. Mata wanita itu menyipit lembut, padahal beberapa saat lalu dia menatap pelayan setianya seperti harimau lapar hanya karena mendengar panggilan Nona yang disematkan pada Sydney. “Lanjutkan,” perintah Bella datar. Esther mengangguk cepat. “Saya tidak tahu di mana Tuan Morgan menemukan Sydney, Nona. Tapi sebenarnya … wanita itu awalnya bekerja di mansion,” lanjut Esther penuh keyakinan. Saat-saat seperti ini adalah saat yang sudah ditunggu oleh Esther. Setelah Bella menempatkannya di mansion Morgan dan menjadikan wanita muda itu mata-mata. Pada dasarnya
“S-saya tidak bekerja untuk Tuan Morgan, Nyonya,” sahut Esther terbata-bata. Wanita itu kelewatan meninggikan nada bicaranya karena gugup. Hal itu langsung memicu atmosfer kaku yang menyebar ke seluruh ruangan. Bella sontak membuang wajah ke arah lain sambil mendengkus. Dia tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya karena Esther terlalu reaktif. Jawaban seperti itu sudah pasti akan memancing pertanyaan menusuk lainnya. Seharusnya Esther cukup dengan berpura-pura tidak mengenal Morgan. Vienna menyunggingkan senyum sinis. Dia bangkit dan melangkah santai mendekati Esther yang masih berdiri canggung di tengah ruangan dengan kedua tangan mengepal gugup di depan tubuhnya. “Bukankah Tuan Morgan adalah orang yang sangat … tegas?” tanya Vienna seraya menekankan setiap kata yang diucapkan. “Terutama terhadap pengkhianat. Berani sekali kau mengaku tidak bekerja dengannya saat masih memakai seragam pelayan dari mansion p
Resepsionis langsung pergi setelah mengantar dan membantu Esther menghubungi pemilik unit melalui interkom video. “Kenapa lama sekali? Sudah kubilang jangan membuat aku menunggu!” gerutu seorang wanita dari interkom tersebut. Esther terlonjak pelan ketika suara di balik pintu akhirnya terdengar. Suara itu datar, tetapi cukup tajam untuk membuat jantung Esther berdegup lebih cepat. Pintu apartemen terbuka perlahan dan menampakkan sosok wanita bertubuh ramping dengan rambut hitam legam yang digelung rapi. Wajahnya masih secantik sejak terakhir mereka bertemu beberapa tahun lalu. “Tidak ada yang mengikutimu, bukan?” tanya Bella sambil memperhatikan sekeliling Esther, memastikan tidak ada sesuatu yang mencurigakan. “Tidak, Nona. Saya yakin itu.” Esther mengangguk cepat dengan mata berbinar. Bella menatap Esther beberapa detik, lalu berbalik tanpa bicara lagi. Gaunnya yang elegan menyapu lantai marmer saat dia melangkah masuk lebih dulu. Esther buru-buru mengikuti setelah men
Keesokan paginya, Sydney sedang mengatur perapian di kamar si kembar ditemani oleh Celia saat Miran masuk. “Kenapa kau ke sini?” tanya Celia dengan dahi berkerut sambil menyusun baju si kembar ke dalam laci. “Bukankah kau akan pergi ke supermarket bersama Bibi Layla?” Langkah Miran terhenti di ambang pintu kamar si kembar. Dia menurunkan keranjang kain bersih dari lengannya, lalu mengerucutkan bibir kesal. “Tidak jadi. Tiba-tiba Esther yang ingin mengantar dan agak memaksa Bibi Layla,” jawab Miran sambil menjatuhkan diri duduk di sebelah Sydney. Miran segera membantu Sydney memilih kayu bakar yang masih bagus. Sydney menoleh pelan. Dia memperhatikan interaksi Celia dan Miran, sedikit penasaran. Mata wanita itu sedikit menyipit mendengar nama Esther. Sydney tidak begitu hafal semua nama pelayan di mansion ini, tetapi dia ingin mencoba menghafalnya.