Melihat Sydney tidak bereaksi, pria asing itu menghela napas dan berkata, “Walau aku senang kita berada dalam posisi seperti ini, tapi tolong bangun dari tubuhku, Nona.” Dia mendorong Sydney menjauh sebelum akhirnya membantu wanita itu berdiri.
Morgan Draxus melihat Sydney hanya menatapnya dalam diam. Sepasang manik hitam indah wanita tersebut seperti mempertanyakan kenapa pria itu memedulikannya, dan hal itu membuat tatapan Morgan yang tadi tajam mulai melunak.
“Sekali lagi, aku akan mengingatkanmu. Jangan merepotkan orang lain jika ingin mengakhiri hidup,” ucap Morgan. “Aku orang yang sibuk, jadi aku tidak punya waktu untuk menjadi saksi kasus bunuh diri seorang wanita yang tidak kukenal.”
Sydney mengerjapkan mata beberapa kali dan memindai Morgan. Walau wajahnya terpahat dengan begitu sempurna, tapi tubuh besarnya yang penuh tato dan bekas luka membuat Morgan begitu cocok menjadi kambing hitam bagi para polisi.
Sydney mengerti keresahan pria itu. Namun, alih-alih membuat gestur meminta maaf, Sydney justru merebut ponsel pria itu yang tidak terkunci di sebelah mereka.
Melihat aksi Sydney, Morgan mengerjapkan mata. Jujur, dia yang awalnya kesal menjadi sangat terhibur dengan bagaimana wanita di hadapannya ini terus-menerus mengejutkannya.
“Sekarang kau mencuri ponselku?” Morgan menaikkan alis kanannya.
Sydney mengabaikan Morgan dan terus mengetik di sana.
“Bagaimana cara bunuh diri tanpa merepotkan orang lain?” Sydney menunjukkan layar ponsel ke depan wajah Morgan.
Morgan mengernyitkan dahi. “Kau ternyata gila dan bisu?”
“Ekkh!” Sydney bersuara dan menggoyangkan layar ponsel supaya Morgan menjawab pertanyaannya.
Alis tebal Morgan semakin tertaut. Matanya yang seperti elang justru bergerak memindai Sydney dari ujung kepala hingga kaki.
Saat itulah Morgan melihat baju Sydney sangat basah di bagian dada. Pria itu segera melepas jas dan memakaikannya ke bahu Sydney.
“Urus dulu dadamu yang basah,” sahut Morgan sambil mengulurkan tangan, meminta ponselnya kembali.
Sydney membelalak dan segera mengembalikan ponsel Morgan. Lalu, dia menutup rapat jas yang dipinjamkan Morgan. Pipi Sydney memerah.
‘Apa dia melihat sesuatu? Apa bajuku tembus pandang?’ batin Sydney.
Dalam sekejap, Sydney melupakan niat bunuh dirinya. Dia jauh lebih malu karena ada seorang pria yang melihatnya seperti ini.
Di saat yang sama, Sydney juga merasa hidupnya sangat ironis. Isaac sudah pergi, tetapi Sydney masih harus rutin memompa ASI setiap beberapa jam sekali. Jika tidak, beginilah keadaan dadanya.
Morgan menatap Sydney bingung. “Apa yang terjadi padamu?”
“Permisi, Tuan Morgan.” Seorang pria berbadan besar dengan pakaian serba hitam tiba-tiba saja hadir dari pintu rooftop dan menyela percakapan mereka.
Sydney dan Morgan sama-sama menoleh.
“Mohon segera turun, Tuan. Dokter membutuhkan tanda tangan persetujuan tindakan pada si kembar,” lanjut pria berwajah datar itu.
Morgan mengangguk. Wajahnya berubah menjadi lebih serius. Tanpa mengatakan apa pun lagi pada Sydney, pria bertubuh tinggi dengan punggung tegap itu pergi.
‘Si kembar?’ Sydney menyoroti kata itu dalam hatinya.
Alhasil, tanpa dia sadari, Sydney memutuskan untuk mengikuti Morgan.
Sambil melangkah, Sydney mengancingkan jas yang masih beraroma maskulin itu supaya orang lain tidak melihat dadanya yang basah.
Beberapa kali Morgan sedikit menoleh ke belakang dan melihat Sydney. Pria itu sedikit menarik salah satu sudut bibirnya. Dia baru saja melakukan tugas mulia dengan menggagalkan orang bunuh diri.
Sesuatu yang tidak sangka akan pria itu lakukan dalam hidupnya.
Di sisi lain, Sydney yang menangkap senyuman Morgan tampak bertanya-tanya. ‘Dia tersenyum? Dia pasti sedang bahagia,’ batinnya.
Kepala Sydney menunduk, sedikit iri dengan Morgan yang pasti sangat bahagia karena memiliki anak kembar. Rumah tangga Morgan dan istrinya pasti sangat harmonis, tidak seperti rumah tangganya.
Sydney teringat satu tahun lalu saat dirinya tengah berjuang melahirkan Isaac, Lucas tidak datang. Baru Sydney tahu setelahnya bahwa di malam dia melahirkan Isaac, itulah pertama kalinya Lucas tidur dengan Vienna.
Hati Sydney masih terasa sesak setiap kali mengingat itu.
Namun sekarang, tiap kali dia mengingat nama Lucas dan Vienna, hati Sydney menjadi sangat dingin.
Kebencian dalam hatinya terlalu dalam untuk hilang begitu saja!
“Tuan Morgan,” sapa seorang dokter pria paruh baya yang baru saja keluar dari ruang NICU.
Morgan menghentikan langkah di dekat dokter itu. Sementara Sydney sembunyi di balik tembok terdekat.
“Ya,” sahut Morgan singkat, siap mendengarkan penjelasan dokter.
“Jade dan Jane mengalami sindrom gangguan pernapasan karena paru-paru mereka belum matang sempurna saat dilahirkan, Tuan. Hasil tes darah mereka juga menunjukkan bahwa si kembar alergi susu sapi,” jelas dokter.
Mata Sydney melebar. Penjelasan itu membuat Sydney merasa sedikit bersalah karena sempat berpikir bahwa hidup Morgan baik-baik saja.
“Apa yang harus saya lakukan?” tanya Morgan menatap dokter, sedikit mengintimidasi.
“Saya akan mengurus paru-paru mereka, sementara Tuan bisa menandatangani persetujuan tindakan,” jawab dokter dengan lugas.
Morgan mengangguk dengan dahi yang masih mengernyit.
“Dan,” lanjut dokter. “Untuk alergi susu sapi, saya sarankan Tuan segera mencari pendonor ASI dalam dua hari.”
“Apa?!” Morgan menaikkan salah satu alisnya, tidak percaya.
“Jade dan Jane lahir prematur. Saya tidak ingin mengambil risiko dengan memberikan mereka jenis susu lain. Jadi mencari pendonor ASI adalah saran terbaik yang bisa saya berikan, Tuan,” sahut dokter sedikit membungkuk.
‘Kenapa mereka butuh pendonor ASI? Memang ke mana ibu mereka?’ tanya Sydney dalam hati sambil mengernyitkan dahi.
“Bagaimana jika saya tidak menemukannya dalam dua hari?” tanya Morgan, lebih terdengar seperti ancaman.“Jika tidak, kami terpaksa menggunakan susu formula dari kedelai, tapi saya tidak bisa menjamin hasilnya akan sebaik ASI,” jawab dokter hati-hati.“Tidak ada cara lain?” tanya Morgan menyelidik.Dokter menggeleng dan berkata, “Keadaan mereka sangat mendesak, Tuan. Atau mungkin, Tuan dapat membawa ibu mereka ke sini untuk memberi susu.”Morgan menyipitkan mata ke arah dokter. Seketika hawa dingin menerpa sekitarnya dan membuat lawan bicaranya menutup mulut.“Mereka tidak punya ibu. Hanya ada saya seorang,” jawab Morgan penuh penekanan.Dokter menunduk, memutus tatapan Morgan yang mampu menembus matanya itu. Dia sudah menyinggung pria itu.Sydney yang sejak tadi bersembunyi di balik tembok, menggigit bibirnya. Sekilas, dia menangkap ekspresi Morgan yang terlihat frustasi.‘Anak mana yang tidak punya ibu?’ Sydney tertegun dalam hati.Satu-satunya kemungkinan yang bisa Sydney pikirkan a
[Kenapa kamu pergi tanpa bilang Tante, Sydney?]Sydney menatap layar ponselnya cukup lama. Ibu jarinya menggantung di atas layar, menimbang-nimbang jawaban yang pantas diberikan untuk wanita paruh baya yang selalu baik padanya itu.Morgan sudah membayar lunas tagihan rumah sakit Sydney, jadi sesuai kesepakatan wanita itu akan menjadi ibu susu si kembar. Itu sebabnya sekarang mereka duduk bersebelahan di kursi belakang mobil yang sedang melaju menuju kediaman Morgan.Sementara Jade dan Jane yang dinyatakan bisa meninggalkan ruang NICU pagi ini, ada di mobil lain yang ada di belakang."Maaf, Tante. Aku harus mencari uang untuk membayar utang Lucas." Sydney membalas pesan Ghina.Pesan terkirim. Hanya beberapa detik berselang, ponsel Sydney kembali bergetar dengan balasan lain.[Setidaknya beri tahu Tante ke mana kamu pergi. Tante khawatir, Sayang.]Sydney menggigit bibir. Jari-jarinya mengetik jawaban lain."Aku akan memberi tahu Tante, tapi tidak sekarang. Jangan khawatir."Kali ini, Gh
“Tuan Morgan menunggu Anda di ruang kerja. Mari saya antar,” ujar salah satu anak buah Morgan yang berjaga di pintu. Sydney baru saja selesai mengulur waktu, memantapkan hati sekaligus menenangkan dirinya. Namun seberapa lama pun Sydney melakukan itu, jantungnya tetap berdebar hebat. Wanita itu tidak bisa berhenti memikirkan bahwa ada kemungkinan dia tidak akan bisa keluar lagi jika sudah menginjakan kaki ke dalam rumah Morgan. Anak buah Morgan berjalan lebih dulu. Sydney mengikuti di belakang sambil meremas tali tas untuk menguatkan langkahnya yang terasa lemah. Begitu melewati ambang pintu, mata Sydney langsung disambut oleh interior yang didominasi warna hitam. “Lebih cepat!” seru anak buah Morgan dengan berbisik. “Atau Tuan Morgan akan marah.” Tidak ingin Morgan menemukan cela dalam dirinya saat hari pertama bekerja, Sydney segera melangkah lebih lebar. Walaupun tetap saja langkahnya tertinggal jauh dari pria di hadapannya. “Cepat masuk!” bisik pria itu setelah membukakan se
“Aku mengenyam pendidikan berbulan-bulan dan punya pengalaman bertahun-tahun untuk menjadi pengasuh bayi. Ada sertifikat dari yayasan resmi yang membuktikan kemampuanku dalam mengasuh!” ucap pengasuh itu dengan angkuh. “Sementara kau ….” Sydney berhenti di tempat. Tangannya refleks mengepal, tetapi dia tetap diam. Pengasuh itu menaruh Jade ke tempat tidur bayi, lalu melangkah mendekati Sydney dengan mata menyipit. "Aku tidak mengerti bagaimana seseorang sepertimu bisa mendapat pekerjaan ini,” cibirnya. “Bagaimana kau bisa merawat bayi kalau bicara saja tidak bisa?! Apa kau akan mengetik setiap kali mereka menangis? Hah?" Sydney menggigit bibir. "Bayi tidak butuh orang bisu untuk mengasuh mereka," lanjut wanita muda dengan rambut disanggul sederhana itu lebih tajam. "Mereka butuh seseorang yang bisa berbicara, bernyanyi, menenangkan mereka dengan suara lembut. Bukan orang cacat seperti ... kau!" Sydney menahan napas, berusaha meredam emosinya. "Ck!” Pengasuh itu melipat tangan di
"Aku tidak tahu bagaimana kau akan bertahan di sini." Sydney baru saja menidurkan Jade dan Jane ketika seorang pelayan tua yang bertugas di dapur berucap pelan di dekatnya. Sementara Morgan sudah pergi ke kantor sejak beberapa menit lalu. Wanita paruh baya itu menaruh nampan berisi air hangat di atas meja, lalu menatap Sydney lurus. Sydney mengernyitkan dahi. Dia meraih ponselnya dan mengetik sesuatu. "Maksud Bibi apa?" Wanita bernama Layla itu mendengkus pelan. "Kau tahu sendiri. Tempat ini ... tidak mudah untuk ditinggali. Apalagi untuk orang sepertimu." Sydney tetap diam, menunggu Layla meneruskan ucapannya. Layla menghela napas sebelum melanjutkan dengan suara rendah, nyaris berbisik. "Rumah ini memiliki aturan yang ketat. Kau sudah melihat sendiri bagaimana Tuan Morgan memperlakukan orang yang membuatnya tidak senang, bukan?" Sydney teringat bagaimana Morgan mengusir pengasuh sebelumnya tanpa ragu. Semua terjadi begitu cepat dan tanpa aba-aba. Sydney menelan l
"Wajahmu terlalu polos untuk menghadapi ucapanku, ya?" Morgan terkekeh pelan, matanya mengunci ekspresi Sydney yang terdiam. Sydney menelan ludah, menahan diri agar tidak terpancing oleh ucapan pria itu. Namun, saat perhatiannya jatuh pada tangan bertato Morgan, ekspresi wanita itu langsung berubah. Darah! Tetesan merah merembes dari buku-buku jari Morgan, kontras dengan kulitnya yang pucat di bawah sinar lampu taman. Sydney mengernyit. Dia tidak melihat luka itu sebelumnya. ‘Bagaimana bisa dia tampak begitu tidak peduli pada dirinya sendiri?’ batin Sydney. Morgan menangkap tatapan Sydney dan mendengkus. "Jangan menatapku seperti itu. Luka kecil ini bukan apa-apa." Sydney tidak langsung bereaksi. Dia meraih ponselnya dan mengetik cepat. "Itu harus diobati." Morgan mencondongkan tubuhnya ke depan, semakin mengikis jarak dengan Sydney. Bahu pria itu sedikit bergetar karena tawa yang nyaris tak terdengar. "Apa kau ingin merawatku, hmm?" Morgan mengangkat tangan, mengamati dara
‘Aah, rasanya seperti terbakar!’ desah Sydney dalam hati sambil mengusap lengan. Wanita itu menghela napas panjang, meredam ketegangan yang masih tersisa setelah sesi olahraga. Otot-ototnya terasa lelah, tetapi tubuh Sydney terasa lebih ringan. Dia menyeka keringat di pelipisnya dengan handuk kecil sembari berjalan santai menuju kamar. Namun, langkah Sydney terhenti saat suara rendah dan familiar terdengar dari ruang tamu. “Semua berjalan sesuai rencana?” Sydney refleks menoleh. Itu suara Morgan. Sydney awalnya tidak berniat memperhatikan. Namun kemudian, suara lain menyusul, darah Sydney seketika membeku. "Tentu saja, Tuan. Saya tidak akan mengecewakan Anda." Lucas! Sydney mencengkeram handuk di tangannya. Napas wanita itu mulai tercekat. ‘Lucas bekerja untuk Morgan?’ batin Sydney bertanya-tanya. Jantung Sydney berdebar tak beraturan saat dia mengintip dari celah lorong. Morgan duduk dengan santai, satu lengannya tersampir di sandaran sofa dengan wajah menahan bosan. Sebal
"Kau ingin aku menebaknya?" bisik Morgan, suaranya begitu dekat hingga Sydney bisa merasakan embusan napas pria itu di wajahnya. Sydney menegang, tidak bergerak sedikit pun saat jemari Morgan melayang ringan di sepanjang rahangnya. Sentuhan itu tidak menyakitkan, tetapi dingin, seperti teguran halus yang bisa berubah tajam kapan saja. Alih-alih menjawab, Sydney menatap langsung ke mata pria itu dan mengetik di ponselnya dengan gerakan tenang sebelum mengangkat layarnya. "Jika aku tidak boleh memberi tahu orang lain tentang Tuan dan si kembar, apakah Tuan boleh melakukan hal itu?" Morgan tidak langsung menjawab. Dia menarik diri sedikit, satu sudut bibirnya terangkat, seperti menikmati permainan ini. "Tidak," jawab Morgan akhirnya. "Tidak ada yang boleh tahu tentang dirimu." Sydney menatap pria itu lekat-lekat, mencari kebohongan di balik wajah dingin Morgan. Namun, Morgan bukan tipe yang suka berbasa-basi. Jika Morgan bilang seperti itu, berarti Lucas tidak tahu dirinya ad
“Jika Nyonya Besar Ryder akan hadir, maka keterlambatan ini bisa dimaklumi.” Pernyataan itu datang dari seorang pria dengan jas abu-abu yang duduk tidak jauh dari Sydney. Beberapa menit lalu, dia yang paling keras memprotes waktu yang terbuang, tetapi sekarang pendapatnya berubah begitu saja setelah mendengar nama itu disebut. “Aku justru berpikir ini menguntungkan,” sahut yang lain. “Bagaimanapun juga, kita semua tahu—maaf, Nona—komunikasi dengan seseorang yang … bisu tidak akan mudah.” Bisikan setuju bermunculan di antara para pemegang saham. Beberapa bahkan melirik Sydney seolah keberadaannya adalah sebuah gangguan, bukan seseorang yang bisa mewakili mereka untuk mengambil keputusan. Sydney mengabaikan mereka. Tatapan wanita itu kosong karena pikirannya terseret ke masa lalu. Tiga tahun lalu. Sydney duduk tegak di sofa dengan tangan saling menggenggam di pangkuan. Selain karena cuaca di Sevhastone, jari-jari Sydney terasa dingin karena tatapan tajam kedua pasangan paruh baya
Denting sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer berkilau gedung Monarch Legal Group. Setiap langkah Sydney mengundang perhatian, bukan hanya karena kehadirannya yang jarang terlihat di tempat ini, tetapi juga karena pesona dingin yang terpancar dari sorot mata wanita itu. Di belakang Sydney, Ronald berjalan mengikuti seperti bayangan yang selalu siap melindungi. Beberapa karyawan yang melintas otomatis memperlambat langkah mereka. Para karyawan wanita yang sedang berbincang di dekat mesin kopi saling berbisik, melirik ke arah wanita muda yang melangkah penuh percaya diri itu. “Siapa dia?” bisik salah satu dari mereka. “Entahlah. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Tapi … dia cantik sekali,” timpal yang lain dengan nada terkagum-kagum. Sydney tidak menghiraukan tatapan-tatapan itu. Dia terus berjalan menuju meja resepsionis dengan wajah datar. Seorang wanita muda di balik meja menyambut Sydney dengan senyum. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” Tanpa banyak basa-bas
“Jaga dirimu, Morgan.” Sydney menggerakkan tangan dengan perlahan, menatap pria yang sudah duduk di dalam mobil. Morgan menatap balik Sydney sejenak sebelum akhirnya mengangguk kecil. “Aku selalu melakukannya.” Suara mesin mobil menyala dan dalam hitungan detik, kendaraan mewah itu meluncur pergi meninggalkan halaman mansion. Sydney tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan mobil hitam itu hingga menghilang di tikungan. Beberapa pekerja yang ikut mengantar kepergian Morgan perlahan kembali ke dalam rumah, meninggalkan Sydney yang masih diam. Udara pagi terasa sedikit lebih dingin tanpa keberadaan pria itu. Entah kenapa, kali ini kepergian Morgan terasa lebih berat dibanding biasanya untuk Sydney. Sydney menghela napas pelan. Dia hendak berbalik menuju mansion ketika dua pelayan muda tiba-tiba mendekatinya dengan raut penasaran. “Sydney,” panggil salah satu dari mereka—seorang wanita muda dengan rambut dikucir kuda. “Tuan Morgan tadi di kamar si kembar bersamamu?” Sydney meng
"Susuku sudah habis." Sydney buru-buru memutar tubuh untuk menghindari tatapan Morgan yang terlalu intens. Jawaban itu meluncur begitu saja dari gerakan tangan Sydney tanpa sempat dipikirkan lebih dulu. Wanita itu membatu. Mata Sydney melebar saat menyadari betapa bodohnya alasan yang baru saja dia rangkai. Namun, setelah mimpi buruk semalam, Sydney belum siap melakukan sesuatu lebih jauh dengan Morgan. Setidaknya dengan alasan bodoh itu, Morgan akan mengurungkan niatnya. ‘Semoga saja,’ batin Sydney berharap. Sekejap ruangan menjadi hening. Morgan yang masih berdiri di belakang Sydney, berkedip sekali, lalu kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Pria itu menatap punggung Sydney dalam diam, sebelum akhirnya tertawa pelan. Sydney tidak perlu menoleh untuk tahu bahwa pria itu pasti sedang menyeringai. "Sydney," panggil Morgan, nada suaranya masih dipenuhi tawa tertahan. "Kau sadar betapa lucunya alasanmu barusan?" Morgan mencoba melihat wajah Sydney, tetapi wanita itu segera mem
Sydney terbangun dengan napas memburu. Keringat dingin membasahi pelipis dan dadanya naik-turun dengan cepat. Dia menelan ludah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu liar. Suara tangisan si kembar menggema di kamar, menarik Sydney kembali ke realitas. Sydney memejamkan mata sejenak, berusaha mengendalikan napasnya yang masih tersengal. Bayangan mimpi buruk itu masih terlalu nyata di kepalanya. Terlalu hidup. Terlalu menyakitkan. Lucas. Sydney melihat pria itu lagi dalam tidurnya. Dalam mimpi itu, Sydney tengah duduk di dalam kamar tidur mereka di kediaman Lucas. Perut Sydney tengah membesar. Sydney dengan lembut membelai Isaac yang masih ada dalam kandungannya. Dia tersenyum saat merasakan tendangan lembut dari dalam, Isaac membalas sentuhannya. Namun, detik berikutnya, Sydney merasakan sesuatu yang lain. Lucas berlutut di hadapannya, lalu menyentuh perut Sydney yang membuncit. Tatapan mata pria itu begitu lembut dan penuh kasih sayang, membuat Sy
Sydney tertegun, jemarinya menggenggam ponsel dengan erat. Tinggal bersama Timothy? Pergi dari tempat ini? Jari-jari Sydney bergerak di atas layar, ragu-ragu sebelum akhirnya mengetik balasan. "Itu hebat! Aku senang mendengarnya. Hanya saja, sekarang aku sudah bersama seseorang yang bisa melindungiku, Tim. Jika sudah waktunya, kau akan tahu dia siapa." Saat mengetik itu, Sydney memikirkan Morgan. Dia menekan tombol kirim, lalu meletakkan ponsel di samping bantal. Sydney menatap langit-langit, pikiran wanita itu masih berputar-putar memikirkan percakapannya dengan Morgan beberapa saat lalu. Detak jantung Sydney belum sepenuhnya normal. Tubuh Sydney pun masih terasa panas, bukan karena suhu kamar, melainkan karena kejadian di ruang kerja Morgan tadi. Ingatan tentang sentuhan pria itu masih melekat di kulit Sydney. Betapa mudahnya Morgan membuat Sydney kehilangan kendali. Sydney menggigit bibir, berusaha mengusir bayangan tadi. Dia harus tidur. Tepat ketika kelopak mata Sydney m
Sydney mengetuk jemarinya ke udara, mencoba menenangkan diri, tetapi rona merah tetap bertahan di pipinya. Dia akhirnya mengangkat tangan dan mulai berbahasa isyarat, "Aku akan tidur di kamar si kembar, Tuan." “Tuan lagi?” Morgan menyeringai, matanya menyipit penuh ketertarikan. “Kau tidak menandatangani kontrak apa pun kali ini.” Sydney terdiam sejenak, menimbang kata-kata Morgan. Pria itu bersandar di kursinya menatap wanita berbalut gaun tidur seksi di hadapannya lekat-lekat. “Lalu, untuk apa kau datang ke sini, Darling?” tanya Morgan. Sydney menarik napas dalam, berusaha mengabaikan detak jantungnya yang tidak beraturan. Dia duduk di kursi di seberang meja kerja Morgan, menyamankan diri sebelum akhirnya bicara lagi. "Mengapa masih ada CCTV di kamarku? Apa yang kau lihat?" tanya Sydney. “Dirimu,” jawab Morgan cepat, manik cokelatnya menatap Sydney. Sydney merasakan darahnya berdesir. Morgan selalu tahu bagaimana memilih kata-kata yang bisa membuat Sydney kehilangan keseimb
Sydney menghela napas panjang, mata wanita itu menatap lurus ke arah Morgan yang berdiri tegak di hadapannya. Pria itu tidak mengatakan apa pun, tetapi dari sorot matanya yang kelam dan tajam, Sydney tahu Morgan tidak menerima penolakan. Sydney baru akan mengangkat tangan untuk memberi isyarat ketika suara langkah kaki mendekat dari arah mansion. Sosok Layla muncul sambil mendorong dua kereta bayi kembar yang di dalamnya ada Jade dan Jane. Sydney tersentak. Mata wanita itu refleks berkaca-kaca saat melihat si kembar yang tampak lebih besar dibanding terakhir kali Sydney melihat mereka. Pipi mereka lebih berisi, rambut mereka mulai tumbuh lebih tebal, dan mata mereka yang bening kini menatapnya penuh rasa ingin tahu. Layla berhenti beberapa langkah di depan mereka. Bibirnya bergetar, jelas Layla juga menahan perasaan yang membuncah. Namun, tatapan tajam Morgan membuatnya mengurungkan niat untuk bicara lebih dulu. Morgan melirik Sydney dan berkata pelan, "Lihat mata mereka, Sydney.
"Siap, Tuan," sahut Ronald tanpa ragu. Morgan hanya mengangguk, sementara Sydney duduk membeku di sampingnya. Perutnya terasa mual, bukan karena guncangan mobil, tetapi karena dinginnya keputusan Morgan. Seakan nyawa orang lain tidak lebih dari pion dalam permainan catur yang bisa dia singkirkan kapan saja. Sydney menelan ludah, lalu menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Namun, semakin lama dia berada di dekat Morgan, semakin sulit baginya untuk mengabaikan kenyataan bahwa pria ini hidup di dunia yang berbeda dengannya. Dia tidak bisa. Dia tidak ingin terjebak lebih dalam. Sydney menarik napas dalam, lalu mengangkat tangannya. “Berhenti. Aku ingin turun.” Tatapan tajam Morgan segera tertuju pada Sydney. Dia seperti sedang menilai seberapa jauh keberanian Sydney untuk menantangnya. Sydney kembali mengisyaratkan, lebih tegas kali ini. “Hentikan mobilnya!” Morgan menghela napas pelan sebelum mencondongkan tubuhnya, mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa se