“Aku mengenyam pendidikan berbulan-bulan dan punya pengalaman bertahun-tahun untuk menjadi pengasuh bayi. Ada sertifikat dari yayasan resmi yang membuktikan kemampuanku dalam mengasuh!” ucap pengasuh itu dengan angkuh. “Sementara kau ….”
Sydney berhenti di tempat. Tangannya refleks mengepal, tetapi dia tetap diam. Pengasuh itu menaruh Jade ke tempat tidur bayi, lalu melangkah mendekati Sydney dengan mata menyipit. "Aku tidak mengerti bagaimana seseorang sepertimu bisa mendapat pekerjaan ini,” cibirnya. “Bagaimana kau bisa merawat bayi kalau bicara saja tidak bisa?! Apa kau akan mengetik setiap kali mereka menangis? Hah?" Sydney menggigit bibir. "Bayi tidak butuh orang bisu untuk mengasuh mereka," lanjut wanita muda dengan rambut disanggul sederhana itu lebih tajam. "Mereka butuh seseorang yang bisa berbicara, bernyanyi, menenangkan mereka dengan suara lembut. Bukan orang cacat seperti ... kau!" Sydney menahan napas, berusaha meredam emosinya. "Ck!” Pengasuh itu melipat tangan di dada. "Aku benar-benar ingin tahu ... apa Tuan Morgan merekrutmu karena kasihan? Atau mungkin dia punya selera aneh?" Sydney mengepalkan jemarinya semakin erat. Tangis Jane tiba-tiba pecah lagi, membuat pengasuh itu mengernyitkan kening. "Hah, lihat? Bahkan sebelum kau mengasuhnya, dia sudah menangis. Bayi bisa merasakan sesuatu, kau tahu? Mungkin dia tahu kau tidak pantas ada di sini.” Sydney mengabaikannya. Dia segera duduk di sofa dekat tempat tidur bayi. Wanita itu berusaha tetap fokus dan tidak terpancing provokasi. Yang terpenting saat ini adalah Jane. Begitu bayi mungil itu menemukan sumber makanannya, tangis Jane perlahan mereda. "Jangan berpikir kau bisa merasa aman hanya karena kau berhasil menenangkannya. Lihat saja, tidak akan ada yang benar-benar menganggapmu pantas di sini!" Pengasuh itu memelototi Sydney, lalu mendengkus. Sydney tetap tidak menanggapi, menghindari stres yang akan membuat ASI-nya berkurang. Walaupun cibiran-cibiran itu menyakiti hatinya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka lebar tanpa peringatan. Morgan muncul dari sana. Sydney dan pengasuh tersentak. "Menarik." Suara berat Morgan memenuhi ruangan. Sydney menoleh dengan cepat dan menemukan pria itu berdiri di ambang pintu dengan wajah datar, matanya tajam mengamati mereka. "Apa yang menarik, Tuan?" Pengasuh muda itu buru-buru sedikit membungkuk. Morgan tidak langsung menjawab. Dia melangkah masuk dengan santai, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. "Aku baru saja mendapatkan tontonan menarik dari CCTV yang kupasang di kamar ini," ujar Morgan sambil menunjuk salah satu sudut kamar, di mana CCTV berada.. Lagi-lagi, Sydney dan pengasuh si kembar kompak melihat ke arah yang ditunjuk Morgan. Wajah pengasuh itu mendadak pucat. “CCTV?” “Ya, kenapa? Jika tidak begitu, aku tidak bisa mendengar pekerjaku mengatakan hal-hal kasar di depan anak-anakku,” sahut Morgan dengan cepat dan menatap tajam pengasuh itu. “Kalau kau memang memiliki sertifikat untuk menjadi pengasuh, seharusnya kau tahu kalau bayi baru lahir bisa mengerti apa yang orang dewasa bicarakan di sekitar mereka. Tapi kau malah memaki-maki pasangan kerja samamu di depan Jade dan Jane?!” lanjut Morgan dengan sarkas. "T-Tuan Morgan, saya tidak bermaksud—saya hanya bercanda!" Suaranya bergetar penuh ketakutan. Morgan tetap diam beberapa saat, lalu mengalihkan pandangannya ke Sydney yang masih menyusui Jane. "Kalau kau tidak tahan dengan ejekan kecil seperti itu," tukas Morgan dingin, "kau bisa pergi sekarang." Sydney mengangkat wajah dan menatap Morgan. ‘Pergi?’ batin Sydney. Sydney meraih ponsel dan mengetik. "Aku tidak selemah itu." Morgan menyeringai kecil, tampak puas dengan jawaban Sydney. Pria itu lalu menoleh ke arah pengasuh yang masih berlutut. "Lihat baik-baik," perintah Morgan dengan suara rendah yang berbahaya, "wanita yang kau sebut cacat itu sedang memberikan hidup untuk bayi kembar bosmu." Pengasuh itu menundukkan kepala, menggigit bibirnya. Morgan mendekat, menatapnya dingin. "Masih berpikir Sydney tidak pantas berada di sini?!” Pengasuh itu mencuri pandang ke arah Sydney dan Jane. Dia tidak bisa menyangkal bahwa bayi perempuan itu tampak nyaman di dalam pelukan Sydney, jauh lebih tenang dibandingkan saat berada dalam gendongan siapa pun. "M-maafkan saya, Tuan," bisiknya. Morgan bergeming. "Aku tidak butuh orang yang meremehkan pekerja lain di rumah ini." Tubuh pengasuh itu menegang. "T-Tuan, saya—" "Kemasi barangmu dan pergi!” potong Morgan. Seketika, pengasuh si kembar berlutut di hadapan Morgan, tangannya menggenggam ujung celana pria itu dengan gemetar. “S-saya mohon jangan seperti itu, Tuan,” pinta pengasuh itu dengan nada memelas. Dia mulai meneteskan air mata, tidak sanggup membayangkan nasibnya setelah ini. Morgan menatap pengasih itu dingin tanpa berkata apa-apa. “Tolong beri saya kesempatan untuk memperbaiki sikap saya. Saya janji saya tidak a–” “Siapa pun yang berani meremehkan Sydney,” potong Morgan, “tidak akan punya tempat lagi di rumah ini, atau di mana pun!”Halo selamat membaca karya ketigaku yaa. Jangan lupa tambah ke daftar pustaka, beri ulasan, dan komen positif yaa. Terima kasih banyak, happy reading :)
"Aku tidak tahu bagaimana kau akan bertahan di sini." Sydney baru saja menidurkan Jade dan Jane ketika seorang pelayan tua yang bertugas di dapur berucap pelan di dekatnya. Sementara Morgan sudah pergi ke kantor sejak beberapa menit lalu. Wanita paruh baya itu menaruh nampan berisi air hangat di atas meja, lalu menatap Sydney lurus. Sydney mengernyitkan dahi. Dia meraih ponselnya dan mengetik sesuatu. "Maksud Bibi apa?" Wanita bernama Layla itu mendengkus pelan. "Kau tahu sendiri. Tempat ini ... tidak mudah untuk ditinggali. Apalagi untuk orang sepertimu." Sydney tetap diam, menunggu Layla meneruskan ucapannya. Layla menghela napas sebelum melanjutkan dengan suara rendah, nyaris berbisik. "Rumah ini memiliki aturan yang ketat. Kau sudah melihat sendiri bagaimana Tuan Morgan memperlakukan orang yang membuatnya tidak senang, bukan?" Sydney teringat bagaimana Morgan mengusir pengasuh sebelumnya tanpa ragu. Semua terjadi begitu cepat dan tanpa aba-aba. Sydney menelan l
"Wajahmu terlalu polos untuk menghadapi ucapanku, ya?" Morgan terkekeh pelan, matanya mengunci ekspresi Sydney yang terdiam. Sydney menelan ludah, menahan diri agar tidak terpancing oleh ucapan pria itu. Namun, saat perhatiannya jatuh pada tangan bertato Morgan, ekspresi wanita itu langsung berubah. Darah! Tetesan merah merembes dari buku-buku jari Morgan, kontras dengan kulitnya yang pucat di bawah sinar lampu taman. Sydney mengernyit. Dia tidak melihat luka itu sebelumnya. ‘Bagaimana bisa dia tampak begitu tidak peduli pada dirinya sendiri?’ batin Sydney. Morgan menangkap tatapan Sydney dan mendengkus. "Jangan menatapku seperti itu. Luka kecil ini bukan apa-apa." Sydney tidak langsung bereaksi. Dia meraih ponselnya dan mengetik cepat. "Itu harus diobati." Morgan mencondongkan tubuhnya ke depan, semakin mengikis jarak dengan Sydney. Bahu pria itu sedikit bergetar karena tawa yang nyaris tak terdengar. "Apa kau ingin merawatku, hmm?" Morgan mengangkat tangan, mengamati dara
‘Aah, rasanya seperti terbakar!’ desah Sydney dalam hati sambil mengusap lengan. Wanita itu menghela napas panjang, meredam ketegangan yang masih tersisa setelah sesi olahraga. Otot-ototnya terasa lelah, tetapi tubuh Sydney terasa lebih ringan. Dia menyeka keringat di pelipisnya dengan handuk kecil sembari berjalan santai menuju kamar. Namun, langkah Sydney terhenti saat suara rendah dan familiar terdengar dari ruang tamu. “Semua berjalan sesuai rencana?” Sydney refleks menoleh. Itu suara Morgan. Sydney awalnya tidak berniat memperhatikan. Namun kemudian, suara lain menyusul, darah Sydney seketika membeku. "Tentu saja, Tuan. Saya tidak akan mengecewakan Anda." Lucas! Sydney mencengkeram handuk di tangannya. Napas wanita itu mulai tercekat. ‘Lucas bekerja untuk Morgan?’ batin Sydney bertanya-tanya. Jantung Sydney berdebar tak beraturan saat dia mengintip dari celah lorong. Morgan duduk dengan santai, satu lengannya tersampir di sandaran sofa dengan wajah menahan bosan. Sebal
"Kau ingin aku menebaknya?" bisik Morgan, suaranya begitu dekat hingga Sydney bisa merasakan embusan napas pria itu di wajahnya. Sydney menegang, tidak bergerak sedikit pun saat jemari Morgan melayang ringan di sepanjang rahangnya. Sentuhan itu tidak menyakitkan, tetapi dingin, seperti teguran halus yang bisa berubah tajam kapan saja. Alih-alih menjawab, Sydney menatap langsung ke mata pria itu dan mengetik di ponselnya dengan gerakan tenang sebelum mengangkat layarnya. "Jika aku tidak boleh memberi tahu orang lain tentang Tuan dan si kembar, apakah Tuan boleh melakukan hal itu?" Morgan tidak langsung menjawab. Dia menarik diri sedikit, satu sudut bibirnya terangkat, seperti menikmati permainan ini. "Tidak," jawab Morgan akhirnya. "Tidak ada yang boleh tahu tentang dirimu." Sydney menatap pria itu lekat-lekat, mencari kebohongan di balik wajah dingin Morgan. Namun, Morgan bukan tipe yang suka berbasa-basi. Jika Morgan bilang seperti itu, berarti Lucas tidak tahu dirinya ad
Layla mendesah pelan, mengalihkan pandangan sejenak ke luar jendela sebelum kembali menatap Sydney. "Tuan Morgan bukan pembunuh," sahut Layla akhirnya. Sydney tidak berkedip, memperhatikan setiap perubahan ekspresi wanita paruh baya itu. Ada sesuatu di balik kata-kata Layla yang membuat Sydney semakin penasaran. "Kalau bukan pembunuh, lalu apa, Bi?" Sydney mengetik cepat di ponselnya, lalu menunjukkan layar kepada Layla. Layla ragu sesaat. "Tuan seorang pengusaha." Sydney menaikkan alis. Itu jawaban yang terlalu umum. "Pengusaha apa?" Sydney kembali mengetik. Layla menatap Sydney sambil menghela napas, lalu bersandar di meja. "Poseidon Exports. Tuan Morgan adalah pemilik sekaligus CEO-nya." Sydney mengernyitkan dahi. Nama itu terdengar familiar. "Perusahaan pelayaran?" tanya Sydney melalui layar ponsel. Layla mengangguk. "Bukan sekadar perusahaan pelayaran. Poseidon Exports merajai industri transportasi laut dan pengiriman barang internasional. Mereka memiliki ribuan kapal k
"Itu bukan sesuatu yang perlu kau tahu, Sydney." Suara Morgan dingin, nyaris tanpa emosi. "Aku hanya ingin tahu kapan Tuan ada waktu luang. Aku ingin mengajak si kembar keluar saat akhir pekan." Sydney mengetik cepat, berdalih. Morgan melirik layar itu sekilas, lalu kembali menatap Sydney dengan wajah datar. Namun, ada sorot kecurigaan dalam matanya. "Kenapa?" tanya pria itu. "Karena mereka butuh udara segar.” Sydney mengetik lagi. "Tuan juga harus menghabiskan waktu dengan mereka." Morgan bersedekap, matanya tidak lepas dari Sydney. "Aku tidak punya waktu untuk itu." Entah mengapa jawaban Morgan membuat Sydney kesal, padahal dia hanya menjadikan alasan ini untuk menutupi alasan yang sebenarnya. "Setidaknya satu hari. Mereka bukan hanya tanggung jawabku," tulis Sydney menahan geram. Morgan mencondongkan tubuh ke depan, mendekat hingga wajah mereka hanya terpisah beberapa sentimeter. "Kau lupa siapa yang membayar semua kebutuhan mereka? Aku sudah memenuhi tanggung jawabku,” tu
Sydney menghela napas saat melihat limousin hitam mengilap terparkir di depan rumah. Dia hanya ingin bertemu Ghina, tetapi Morgan memperlakukannya seolah wanita itu akan menghadiri acara besar. Morgan mendekat dengan kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku. Tatapan Morgan tenang, tetapi ada senyum tipis di sudut bibirnya saat melihat ekspresi Sydney. "Kau yang memintaku membangun kedekatan dengan si kembar dan keluar rumah. Sekarang waktunya," ujar Morgan dengan lirih, seolah bisa membaca pikiran Sydney. Sydney menatapnya sekilas sebelum akhirnya naik ke dalam mobil. Morgan mengikutinya tanpa suara, duduk berhadapan dengannya sementara Jade dan Jane tertidur di baby car seat sebelahnya. Beginilah cara Morgan mengizinkan Sydney pergi keluar rumah siang ini. Begitu pintu ditutup dan mobil mulai melaju, Sydney masih tak bisa menahan diri untuk mengomentari kemewahan ini. "Ini terlalu berlebihan," tulis Sydney di layar ponsel, lalu menunjukkan pada Morgan. Pria itu hanya m
Sydney membuka pintu limousin dengan cepat, berharap melihat Morgan dan si kembar di dalamnya. Namun, kursi-kursi kulit mewah itu kosong. Tidak ada siapa pun di sana. Dahi Sydney berkerut. Wanita itu bertanya dalam hati, ‘Ke mana mereka?’ “Sydney.” Suara berat seorang pria membuat Sydney menoleh. Salah satu anak buah Morgan berdiri di dekat Sydney, mengenakan setelan hitam rapi dengan wajah datar. “Tuan Morgan sudah masuk ke dalam hotel bersama si kembar.” Sydney mengernyitkan dahi lebih dalam. ‘Morgan membawa si kembar masuk ke hotel? Untuk apa?’ batin Sydney. Sydney mengeluarkan ponsel, lalu mengetik sesuatu. "Kenapa?" Pria itu melirik layar ponsel Sydney sekilas sebelum menjawab dengan singkat, “Ikut saya.” Sydney menimbang sejenak. Ini Morgan. Pria itu tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakan Jade dan Jane. Akhirnya, Sydney mengangguk dan mengikuti pria itu masuk ke dalam hotel. Lift berhenti di lantai paling atas. Sydney melangkah keluar dengan sedikit ragu, tet
Sementara itu beberapa menit sebelumnya. [Bagian depan sudah aman. Nona bisa masuk, mereka ada di taman sebelah gerbang.] Pesan dari Ronald itu muncul di layar ponsel Bella tepat saat sopirnya menghentikan mobil di balik dinding gerbang utama mansion. “Sempurna!” puji Bella atas pekerjaan salah satu orang kepercayaannya itu. Bibir wanita berambut hitam legam itu melengkung, memperlihatkan senyum licik yang bahkan membuat pengemudinya diam-diam merinding. Bella turun dari mobil tanpa banyak bicara. Dia melangkah masuk ke dalam mansion, tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Saat kakinya menapaki jalan setapak menuju taman, mata Bella langsung menangkap sosok Sydney yang duduk di atas alas piknik. Rambut panjang bergelombang warna cokelat milik wanita itu terlihat sangat mencolok. Namun langkah Bella terhenti ketika jarak di antara mereka kian dekat. “Mamiii!”
“Jangan keluar dulu, Sayang. Kita belum selesai,” pinta Morgan sambil menarik pinggang Sydney yang nyaris bangkit dari bathtub. Sydney menggigit bibir dan menoleh dengan napas terengah. Kulit wanita itu masih mengilap oleh air dan uap panas, sementara lehernya penuh bekas ciuman dari Morgan. Dengan kedua tangan yang gemetar ringan, Sydney menyentuh bahu Morgan dan mengangkat jemari untuk berbicara dalam bahasa isyarat. “Aku sudah berjanji pada para pelayan untuk berkeliling. Sebentar lagi mereka selesai menyiapkan si kembar.” Morgan mendesah panjang, lalu menyandarkan punggungnya di sisi bathtub. “Kenapa rasanya kau selalu mencuri napasku tapi tak pernah mengembalikannya, hmm?” tanya Morgan beretorika sambil mengelus lembut garis rahang Sydney. Sydney hanya tersenyum kecil. Pria itu kembali menarik tubuh Sydney dan menenggelamkan wajahnya ke lekukan leher sang kekasih. "Aku belum puas denganmu," bisik Morgan penuh bujuk rayu, padahal mereka baru saja bercinta selama dua jam leb
“Ayo, kita keluar. Mereka sudah tertidur,” ketik Sydney di ponsel dan menunjukkannya pada Esther. Esther melirik dua bayi mungil yang sudah tertidur pulas di boks. Dada Jade dan Jane naik turun perlahan dan terlihat sangat damai. Pelayan itu mengangguk kaku, lalu berjalan mengikuti langkah ringan Sydney ke luar kamar si kembar. Di depan pintu, Sydney kembali mengetik sesuatu di layar ponselnya. Dia menyodorkannya sebelum berpisah. “Aku titip salam untuk adikmu. Jika kau ingin bertemu lagi dengannya, beri tahu aku.” Esther mengatup bibirnya erat. Dada kirinya mendadak terasa sesak. “Baik, Nona,” jawab Esther seraya menunduk sopan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Esther membungkuk dan buru-buru pergi. Dia melangkah tergesa-gesa seolah takut tubuhnya akan runtuh jika terlalu lama berdiri di sana. Sydney diam di depan pintu sambil terus memandang punggung Esther yang semakin menjauh. Senyum wanita itu memudar dan berubah datar penuh waspada. Sesaat Sydney menoleh pada pintu k
“Bisakah Bibi pergi lebih dulu? Aku ingin bicara dengan Esther.” Layla mengernyit ketika membaca pesan di layar ponsel Sydney. Sekilas, Layla menatap wanita muda yang tengah menyusui bayi susu laki-lakinya dengan tenang itu. Sementara Jane tengah berbaring di sisi sofa Sydney, mengantre. Tubuh kedua bayi itu semakin besar. Sydney kesulitan jika harus menyusui mereka bersamaan. “Perlu aku panggilkan Celia dan Miran, Nona?” tanya Layla sambil menaikkan kedua alisnya. Sydney hanya menggeleng dan kembali mengetik. “Mereka sedang sibuk menata koleksi parfumku yang baru datang. Bibi istirahat saja dulu.” Esther yang berdiri di belakang Layla terlihat menegang. Dia meremas kedua jarinya tanpa sadar. Detak jantung Esther berdetak dua kali lebih cepat. Tubuhnya juga mulai terasa panas meski pendingin udara di kamar si kembar menyala. Kenapa Sydney mendadak in
“Ibu kandung?” Bella mengulang kalimat itu sambil terkekeh lirih. “Ternyata gelar itu berguna juga.” Gelar yang Bella buang begitu saja setelah melahirkan si kembar. Gelar yang membuat hidupnya sebagai Veronica Pillpel selesai, merusak tubuhnya, dan mengambil segala waktunya yang berharga. Esther mengangkat wajah. Tatapan penuh harapnya bersambut. Dia tersenyum senang, seperti seorang murid yang akhirnya mendapat pujian dari guru yang paling ditakutinya. Bella bangkit dari duduknya, lalu melangkah pelan ke arah cermin besar di tengah ruang tamunya. Dia mengetuk pelan bingkai kaca dua kali, lalu wanita itu berbalik. “Aku ingin tahu jadwal mereka dan siapa saja yang ikut mengawasi,” tukas Bella tegas. “Ronald masih bekerja di sana, bukan? Kau bisa bekerja sama dengannya untuk membuka jalan masuk untukku ke mansion.” Nama pria itu membuat senyum licik mengembang di wajah Bella. Dia menunduk sedikit sambil memainkan cincin di jari manisnya. Ronald adalah salah satu kerabat jauhnya y
“Tentu saja Nona Be—maksud saya, Nona Veronica lebih cantik!” Esther menjawab tanpa banyak berpikir, seakan kata-kata itu sudah lama tertahan di ujung lidahnya. Bella tersenyum puas. Dia mengangkat kedua tangan dan menyibak rambut panjangnya ke belakang telinga seperti sedang bersiap difoto. Mata wanita itu menyipit lembut, padahal beberapa saat lalu dia menatap pelayan setianya seperti harimau lapar hanya karena mendengar panggilan Nona yang disematkan pada Sydney. “Lanjutkan,” perintah Bella datar. Esther mengangguk cepat. “Saya tidak tahu di mana Tuan Morgan menemukan Sydney, Nona. Tapi sebenarnya … wanita itu awalnya bekerja di mansion,” lanjut Esther penuh keyakinan. Saat-saat seperti ini adalah saat yang sudah ditunggu oleh Esther. Setelah Bella menempatkannya di mansion Morgan dan menjadikan wanita muda itu mata-mata. Pada dasarnya
“S-saya tidak bekerja untuk Tuan Morgan, Nyonya,” sahut Esther terbata-bata. Wanita itu kelewatan meninggikan nada bicaranya karena gugup. Hal itu langsung memicu atmosfer kaku yang menyebar ke seluruh ruangan. Bella sontak membuang wajah ke arah lain sambil mendengkus. Dia tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya karena Esther terlalu reaktif. Jawaban seperti itu sudah pasti akan memancing pertanyaan menusuk lainnya. Seharusnya Esther cukup dengan berpura-pura tidak mengenal Morgan. Vienna menyunggingkan senyum sinis. Dia bangkit dan melangkah santai mendekati Esther yang masih berdiri canggung di tengah ruangan dengan kedua tangan mengepal gugup di depan tubuhnya. “Bukankah Tuan Morgan adalah orang yang sangat … tegas?” tanya Vienna seraya menekankan setiap kata yang diucapkan. “Terutama terhadap pengkhianat. Berani sekali kau mengaku tidak bekerja dengannya saat masih memakai seragam pelayan dari mansion p
Resepsionis langsung pergi setelah mengantar dan membantu Esther menghubungi pemilik unit melalui interkom video. “Kenapa lama sekali? Sudah kubilang jangan membuat aku menunggu!” gerutu seorang wanita dari interkom tersebut. Esther terlonjak pelan ketika suara di balik pintu akhirnya terdengar. Suara itu datar, tetapi cukup tajam untuk membuat jantung Esther berdegup lebih cepat. Pintu apartemen terbuka perlahan dan menampakkan sosok wanita bertubuh ramping dengan rambut hitam legam yang digelung rapi. Wajahnya masih secantik sejak terakhir mereka bertemu beberapa tahun lalu. “Tidak ada yang mengikutimu, bukan?” tanya Bella sambil memperhatikan sekeliling Esther, memastikan tidak ada sesuatu yang mencurigakan. “Tidak, Nona. Saya yakin itu.” Esther mengangguk cepat dengan mata berbinar. Bella menatap Esther beberapa detik, lalu berbalik tanpa bicara lagi. Gaunnya yang elegan menyapu lantai marmer saat dia melangkah masuk lebih dulu. Esther buru-buru mengikuti setelah men
Keesokan paginya, Sydney sedang mengatur perapian di kamar si kembar ditemani oleh Celia saat Miran masuk. “Kenapa kau ke sini?” tanya Celia dengan dahi berkerut sambil menyusun baju si kembar ke dalam laci. “Bukankah kau akan pergi ke supermarket bersama Bibi Layla?” Langkah Miran terhenti di ambang pintu kamar si kembar. Dia menurunkan keranjang kain bersih dari lengannya, lalu mengerucutkan bibir kesal. “Tidak jadi. Tiba-tiba Esther yang ingin mengantar dan agak memaksa Bibi Layla,” jawab Miran sambil menjatuhkan diri duduk di sebelah Sydney. Miran segera membantu Sydney memilih kayu bakar yang masih bagus. Sydney menoleh pelan. Dia memperhatikan interaksi Celia dan Miran, sedikit penasaran. Mata wanita itu sedikit menyipit mendengar nama Esther. Sydney tidak begitu hafal semua nama pelayan di mansion ini, tetapi dia ingin mencoba menghafalnya.