"Itu bukan sesuatu yang perlu kau tahu, Sydney." Suara Morgan dingin, nyaris tanpa emosi. "Aku hanya ingin tahu kapan Tuan ada waktu luang. Aku ingin mengajak si kembar keluar saat akhir pekan." Sydney mengetik cepat, berdalih. Morgan melirik layar itu sekilas, lalu kembali menatap Sydney dengan wajah datar. Namun, ada sorot kecurigaan dalam matanya. "Kenapa?" tanya pria itu. "Karena mereka butuh udara segar.” Sydney mengetik lagi. "Tuan juga harus menghabiskan waktu dengan mereka." Morgan bersedekap, matanya tidak lepas dari Sydney. "Aku tidak punya waktu untuk itu." Entah mengapa jawaban Morgan membuat Sydney kesal, padahal dia hanya menjadikan alasan ini untuk menutupi alasan yang sebenarnya. "Setidaknya satu hari. Mereka bukan hanya tanggung jawabku," tulis Sydney menahan geram. Morgan mencondongkan tubuh ke depan, mendekat hingga wajah mereka hanya terpisah beberapa sentimeter. "Kau lupa siapa yang membayar semua kebutuhan mereka? Aku sudah memenuhi tanggung jawabku,” tu
Sydney menghela napas saat melihat limousin hitam mengilap terparkir di depan rumah. Dia hanya ingin bertemu Ghina, tetapi Morgan memperlakukannya seolah wanita itu akan menghadiri acara besar. Morgan mendekat dengan kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku. Tatapan Morgan tenang, tetapi ada senyum tipis di sudut bibirnya saat melihat ekspresi Sydney. "Kau yang memintaku membangun kedekatan dengan si kembar dan keluar rumah. Sekarang waktunya," ujar Morgan dengan lirih, seolah bisa membaca pikiran Sydney. Sydney menatapnya sekilas sebelum akhirnya naik ke dalam mobil. Morgan mengikutinya tanpa suara, duduk berhadapan dengannya sementara Jade dan Jane tertidur di baby car seat sebelahnya. Beginilah cara Morgan mengizinkan Sydney pergi keluar rumah siang ini. Begitu pintu ditutup dan mobil mulai melaju, Sydney masih tak bisa menahan diri untuk mengomentari kemewahan ini. "Ini terlalu berlebihan," tulis Sydney di layar ponsel, lalu menunjukkan pada Morgan. Pria itu hanya m
Sydney membuka pintu limousin dengan cepat, berharap melihat Morgan dan si kembar di dalamnya. Namun, kursi-kursi kulit mewah itu kosong. Tidak ada siapa pun di sana. Dahi Sydney berkerut. Wanita itu bertanya dalam hati, ‘Ke mana mereka?’ “Sydney.” Suara berat seorang pria membuat Sydney menoleh. Salah satu anak buah Morgan berdiri di dekat Sydney, mengenakan setelan hitam rapi dengan wajah datar. “Tuan Morgan sudah masuk ke dalam hotel bersama si kembar.” Sydney mengernyitkan dahi lebih dalam. ‘Morgan membawa si kembar masuk ke hotel? Untuk apa?’ batin Sydney. Sydney mengeluarkan ponsel, lalu mengetik sesuatu. "Kenapa?" Pria itu melirik layar ponsel Sydney sekilas sebelum menjawab dengan singkat, “Ikut saya.” Sydney menimbang sejenak. Ini Morgan. Pria itu tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakan Jade dan Jane. Akhirnya, Sydney mengangguk dan mengikuti pria itu masuk ke dalam hotel. Lift berhenti di lantai paling atas. Sydney melangkah keluar dengan sedikit ragu, tet
Morgan membaca pertanyaan Sydney di layar ponselnya. Rahang pria itu mengeras, tetapi senyum tipis tetap menggantung di bibirnya. "Seberapa berkuasa aku?" Morgan berbisik, mengulang pertanyaan Sydney. Sydney tidak menjawab. Tatapannya tetap terkunci pada pria itu, menunggu. Morgan menyandarkan punggung ke sofa, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. Jarak mereka menyempit, dan panas tubuh pria itu merambat ke udara di antara mereka. "Kau yakin ingin tahu jawabannya, Sydney?” Daripada bertanya, Morgan lebih terdengar seperti sedang menantang Sydney. Sydney menelan ludah, tetapi dia tidak goyah. Morgan mengamati itu. Semakin hari, Sydney semakin terlihat menarik di mata Morgan. Kebanyakan orang akan mulai gelisah atau pura-pura tidak peduli saat berhadapan dengannya dalam situasi seperti ini. Namun, Sydney berbeda. Morgan tertawa pelan, suaranya serak dan dalam. "Aku bisa mendapatkan apa pun yang kuinginkan." Morgan mengangkat gelas anggur yang ada di meja, menggoyangkan
Keesokan paginya, Morgan mengajak Sydney untuk turun ke restoran hotel. Sydney langsung setuju karena dia memang lapar setelah dua mulut mungil milik Jade dan Jane meminum air susunya. "Apa Tuan tidak akan berhenti menatapku seperti itu?" tanya Sydney. Kali ini Sydney menulis di atas tisu meja menggunakan pulpen pinjaman dari pria di hadapannya. Morgan mengangkat alis dan bibirnya melengkung membentuk seringai tipis. "Seperti … apa?" tanya Morgan memelankan kecepatan bicaranya, sengaja mengulur waktu. Sydney meletakkan sandwich yang hampir habis, lalu menulis lagi di tisu meja. "Seolah aku adalah sesuatu yang ingin Tuan mangsa.” Morgan terkekeh pelan. "Sydney, kalau aku ingin memakanmu ..." Morgan mengikis jarak, suara pria itu berubah menjadi bisikan yang menelusup ke telinga Sydney. "Aku tidak akan melakukannya di tempat seramai ini." Sydney tetap diam, tetapi ada sedikit ketegangan di ujung jarinya yang mencengkeram pulpen lebih erat. Semalam, Morgan mencium Sydney. Semal
"Kumohon, tetaplah tenang, Sydney." Suara berat dan tegas dari pria di hadapan Sydney terdengar jelas di tengah getaran mobil yang melaju cepat. Pria itu duduk tegak, wajahnya tetap tenang meski rahangnya mengeras. Sydney membuka mata dan menatapnya sejenak. Dia mendekap si kembar lebih erat, tubuhnya kaku di dalam mobil yang tertutup rapat. Jantung Sydney berdetak kencang. Dia mengetik sesuatu di ponsel, lalu menunjukkannya kepada pria yang memintanya tenang. "Seberapa buruk situasinya?" Pria itu melirik layar ponsel, lalu mendesah pelan. "Cukup untuk membuat Tuan Morgan murka," jawabnya singkat. Sydney menelan ludah. Dia kembali menoleh ke luar jendela. Mobil hitam yang membuntuti mereka masih di sana, menjaga jarak, tetapi jelas tidak berniat pergi. ‘Morgan … Apa dia baik-baik saja?’ Sydney membatin. Sydney menggigit bibir, merasakan kecemasan perlahan merayap di dadanya. Jika hal ini bisa membuat Morgan benar-benar marah, berarti situasinya lebih buruk dari yang dia duga
Beberapa jam kemudian, saat hari sudah sore. “Ikut aku,” pinta Morgan, sedikit mengejutkan Sydney. Sydney mengangkat wajahnya dari si kembar dan mendapati Morgan sudah berdiri di ambang pintu kamar. Mata pria itu gelap dan sulit dibaca, tetapi sudah lebih baik daripada tadi siang. Wanita itu menelan ludah, tetapi tetap bangkit. Sydney sudah selesai menyusui dan memandikan si kembar. Keduanya kini tertidur pulas di dalam kamar. Morgan berbalik tanpa menunggu jawaban. Sydney menghela napas dan mengikuti langkah pria itu. Saat Sydney sampai di ruang utama, Morgan sudah duduk di sofa panjang, kaki terentang santai, tetapi ekspresinya tajam. Seorang anak buahnya berdiri di dekat meja, memegang ponsel seperti menunggu perintah lebih lanjut. Sydney hendak duduk di ujung sofa, tetapi begitu dia nyaris menurunkan tubuhnya, sebuah tangan besar melingkari pinggangnya dan menariknya mendekat. Sydney terkejut. Dalam sekejap, Sydney sudah duduk tepat di samping Morgan, pinggul mereka berse
Tok! Tok! Tok! Aksi Morgan harus terhenti kala pintu ruang utama vila diketuk. Morgan dan Sydney menoleh. Seorang anak buah Morgan berdiri di depan pintu. Di belakangnya, ada dua orang asing yang memakai pakaian formal. “Psikolog dan dokter spesialis anak yang Tuan minta sudah tiba,” lapor pria berbadan besar itu. Morgan melirik arlojinya yang menunjukkan pukul delapan malam. “Silakan masuk,” sahut Morgan tanpa perlu repot-repot berdiri untuk menyambut tamunya. Sydney mengamati kedua tamu Morgan yang sedang melangkah masuk. Psikolog, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan dengan kacamata berbingkai tipis, tersenyum sopan sebelum memperkenalkan dirinya. “Saya Adriana Gills.” Dokter spesialis anak, pria paruh baya dengan raut tegas, mengangguk singkat. “Saya dokter Hansel.” Sydney menelan ludah. Napas Sydney sedikit tersendat saat Morgan menoleh padanya. “Kau akan diperiksa lebih dulu,” ujar Morgan. Bukan pertanyaan, bukan saran. Itu perintah. Sydney menatap pria itu d
“Kalian mendiskriminasiku,” protes Timothy, satu-satunya orang di antara mereka yang tidak bisa berbahasa isyarat.Timothy mencondongkan tubuh dan berbisik, “Apa yang kalian bicarakan? Sudah 10 menit kalian terus berinteraksi memakai bahasa isyarat. Aku merasa seperti patung.”Sydney tersenyum sambil menoleh. Dia mengetik sesuatu di ponselnya.“Maaf, Tim. Chester sedang membahas tentang kehadiran Vienna sebagai saksi, dan—tentu saja—tentang rasa jengkelnya pada Lucas.”Rasanya, Timothy masih seperti adik kecilnya yang dulu. Hanya sekarang pria itu lebih tinggi darinya.Timothy mengangkat kedua alis. Kemudian dia mengangguk-angguk pelan.Sementara Chester mengedikkan bahu dan melihat ke depan sambil menyilangkan tangan di depan dada.“Aku berniat meninju Lucas,” tukas Chester tanpa menoleh. “Kau akan melakukan apa padanya, Tim?”Timothy terkekeh. “Melihatmu. Aku tidak jago bela diri, Kak.”Chester sempat
“Apa kau benar-benar harus pergi sekarang?” tanya Sydney sambil menggerakan tangan. Hari di mana Morgan harus pergi cukup lama akhirnya tiba. Pria itu menghentikan langkahnya di depan pintu mansion. Angin pagi yang berembus pelan mengibaskan helaian rambutnya, sementara mata Sydney sudah berkaca-kaca. Sudah beberapa lama Sydney bersama Morgan, dia baru merasa kehilangan setelah pria itu berniat dinas panjang. Morgan menoleh dan melangkah mendekat. Dia mendekatkan wajahnya dan menatap mata Sydney dari jarak dekat. Pria itu mengangkat tangan dan mengusap pelan air mata yang mulai turun di pipi kekasihnya. “Dengar aku baik-baik,” bisik Morgan lembut. “Kau baru boleh pergi keluar sendiri setelah pengadilan resmi menjatuhkan hukuman untuk Bella, Vienna, dan Lucas. Mengerti?” Sydney mengangguk, cepat-cepat menghapus air mata yang tersisa dengan punggung tangan. Wanita itu tampak marah pada dirinya sendiri karena terlalu lemah. Morgan mendekatkan bibirnya ke telinga Sydney. “Aku jug
Lucas melangkah keluar dari mansion Morgan dengan langkah berat dan bahunya jatuh. Dia mengepalkan tangan erat-erat, seperti hendak meninju siapa pun yang berani menghiburnya saat itu.Udara pagi yang dingin menusuk tulang, tetapi amarah di dalam diri Lucas lebih membakar dari apa pun.Setelah Lucas menghilang di balik pintu utama, Ken berdeham.“Jika ini semua untuk membalas dendam Sydney,” ucap Ken membuka obrolan sambil menyilangkan kaki dan melirik Morgan, “mengapa kau memberi mereka jalan untuk kabur?”Morgan menyesap kopinya perlahan. Asap tipis mengepul dari permukaan cairan pekat itu.“Akan lebih menyenangkan jika mereka kalah karena rasa putus asanya setelah terluka cukup parah,” jawab Morgan sambil menaruh cangkir di atas meja. “Aku ingin melihat mereka kejang-kejang sebelum mati.”Ken tertawa kecil. Bukan tawa lepas, melainkan semacam menahan geli yang menggelitik perutnya.Dia seperti sedang menyaksikan sebua
“Kau melakukan itu untukku?” tanya Sydney seraya menaikkan kedua alis dan membentuk bahasa isyarat dengan kedua tangannya. Sydney merasa tenggorokanya kering, dan matanya belum beranjak dari milik Morgan—berusaha mencari jawaban lain, jika memang ada. Morgan mengangguk pelan. “Untuk siapa lagi?” tanya Morgan datar. “Dia mengganggumu dan hampir melukaimu. Aku tidak akan bisa memaafkannya. Lalu aku hanya memberinya kesempatan untuk bertemu dengan Bella. Kedua wanita itu berkomplotan.” Sydney menyipitkan mata, tubuhnya seketika kaku. “Berkomplotan?” tanya Sydney mengulang ucapan Morgan sambil menggerakan tangan perlahan. “Apa maksudmu mereka bekerja sama dalam kasus pemerkosaan itu?” “Ya,” jawab Morgan tanpa ragu. “Bella butuh pelampiasan. Olive butuh pelindung. Mereka memanfaatkan satu sama lain seperti memperdagangkan bencana. Apa kau marah padaku?” Seketika, dunia dalam kepala Sy
"Saya butuh waktu untuk berpikir beberapa menit." Suara Lucas akhirnya pecah di antara deru napas beratnya.Tangan Lucas yang masih menggenggam kemudi, kini mulai gemetar. Di luar sana, malam begitu hening. Namun di dadanya, badai bergemuruh tanpa henti.Terdengar tawa Morgan dari seberang telepon, nyaring dan penuh ejekan.“Mengapa jadi kau yang perlu waktu untuk berpikir?” tanya Morgan penuh sarkas. “Kau yang membutuhkanku, Lucas. Jika tidak mau, silakan pergi dan jangan mengotori pemandangan dimansion-ku.”Lucas menutup mata sejenak. Dia mengangkat tangan dan menyugar rambutnya ke belakang, menahan agar kepalanya tidak meledak karena frustrasi.Seluruh tubuh Lucas terasa seperti terbakar oleh amarah dan kekalahan sekaligus.Selama ini, Lucas pikir proyek pengawalan eksklusif itu adalah peluang besar. Kerja sama dengan Morgan akan membuat nama Zahlee Entertainment dan Monarch Legal Group naik kelas.‘Sejak awal Tuan Morgan memang hanya ingin menjebakku dan Vienna,’ ucap Lucas dalam
Setelah berita beralih ke topik lain, Sydney melangkah cepat menuju ruang kerja Morgan. Dia meninggalkan Layla yang masih terpaku di sana.Namun, ada dua anak buah yang berjaga di depan ruang kerjanya. Saat melihat Sydney mendekat, keduanya membungkuk hormat.“Maaf, Nona. Tuan Morgan sedang mengadakan rapat daring dengan Menteri Perdagangan,” ujar salah satunya memberi tahu.Sydney menautkan alisnya, padahal ada banyak hal yang ingin di tanyakan.Wanita itu mengetik cepat di layar ponsel, lalu memperlihatkannya pada mereka berdua.“Beri tahu Morgan jika aku menunggu di kamarku.”“Akan kami sampaikan, Nona.” Salah satu dari mereka mengangguk.Sydney tidak berkata apa-apa lagi. Dia mencengkram ponsel dengan erat saat berjalan menjauh dengan langkah yang semakin cepat.Sesampainya di kamar, Sydney langsung menjatuhkan diri ke atas ranjang. Rambut panjangnya menjuntai ke sisi wajah, menutupi ekspresi muram yang mulai mengendap di sana.Sydney menarik napas panjang, lalu membuka portal ber
"Apa yang baru saja kulakukan ...." desah Bella lirih dan suaranya bergetar. Begitu pula dengan tangannya yang gemetar. Pistol yang masih mengepul itu jatuh dari genggamannya dan menghantam lantai dengan dentingan logam yang keras. Pandangan Bella mengabur dan napasnya tercekat. Di hadapannya, tubuh Olive terbujur kaku di lantai kafe. Darah mengalir dari dada wanita itu, membentuk genangan yang perlahan meluas. Yang membuat Bella ketakutan, mata Olive masih terbuka dan menatapnya penuh amarah. Sunyi mendadak mengurung ruangan. “P-Pembunuh! Dia membunuhnya!” teriak seseorang di sudut ruangan. Teriakan itu membangunkan semua orang dari keterpakuan mereka. Beberapa pengunjung memekik, sebagian lainnya merunduk ketakutan. Bella menoleh cepat dengan wajah yang memucat. Bola matanya bergerak liar, seperti rusa yang terjebak dalam jerat. Wanita itu berbalik. Dengan sorot mata penuh amarah, Bella menatap tajam kedua pengawalnya yang berdiri di belakangnya tanpa melakukan apa-apa. “B
“Pergilah!” geram Bella dengan wajah memerah. “Kau sudah cukup beruntung masih selamat dari amukan Morgan. Jangan mencari masalah denganku!”Alih-alih mundur atau gentar, Olive justru menanggapi dengan tawa lebar, keras, dan penuh ejekan.Suaranya menggema di dalam kafe, membuat beberapa pasang mata yang semula hanya mengintip mulai terang-terangan menoleh.“Jangan seperti itu pada teman lamamu, Veronica,” ujar Olive berpura-pura sedih sambil memegang dadanya.Bella mengernyitkan dahi. Olive tidak biasanya memanggil Bella dengan nama panggung.“Veronica Pillpel kecil yang menggemaskan dan polos,” lanjut Olive sambil menyenderkan tubuh ke sandaran kursi, matanya bersinar penuh kemenangan.“Kau ingat? Kita sudah berteman sejak aku menemukan bakat luar biasamu di usia 17 tahun. Ya ampun, betapa cepat waktu berlalu.” Olive mengibaskan rambutnya ke belakang.Genggaman Bella pada gelas es kop
Bella menyandarkan punggungnya di kursi belakang mobil. Dia menatap layar ponsel tanpa benar-benar membaca apa pun. Wanita itu hanya menggulir layar ponsel ke atas dan ke bawah.Nina, sang manajer, baru saja membuka pintu mobil.“Kau mau beristirahat di mana?” tanya Nina sembari melirik ke arah kursi penumpang.“Bawa aku ke kafe,” desah Bella tanpa menoleh. “Aku butuh es kopi.”Tanpa bertanya lagi, Nina masuk ke kursi kemudi dan langsung menyalakan mesin. Mobil melaju perlahan menjauh dari lokasi syuting.Beberapa menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan Pop Cafe, sebuah tempat kecil yang sering mereka datangi untuk kabur sejenak dari hiruk-pikuk dunia selebriti.“Kau ingin pesan apa? Yang biasa?” tanya Nina sambil menoleh ke belakang, bersiap keluar.Bella menghela napas panjang, kemudian melihat sekeliling. Keramaian kafe itu seperti magnet baginya kali ini.“Aku akan ikut kau turun,” jawab Bella sambil merapikan rambut dan memeriksa riasannya di spion tengah.Nina menaikkan k