"Kumohon, tetaplah tenang, Sydney." Suara berat dan tegas dari pria di hadapan Sydney terdengar jelas di tengah getaran mobil yang melaju cepat. Pria itu duduk tegak, wajahnya tetap tenang meski rahangnya mengeras. Sydney membuka mata dan menatapnya sejenak. Dia mendekap si kembar lebih erat, tubuhnya kaku di dalam mobil yang tertutup rapat. Jantung Sydney berdetak kencang. Dia mengetik sesuatu di ponsel, lalu menunjukkannya kepada pria yang memintanya tenang. "Seberapa buruk situasinya?" Pria itu melirik layar ponsel, lalu mendesah pelan. "Cukup untuk membuat Tuan Morgan murka," jawabnya singkat. Sydney menelan ludah. Dia kembali menoleh ke luar jendela. Mobil hitam yang membuntuti mereka masih di sana, menjaga jarak, tetapi jelas tidak berniat pergi. ‘Morgan … Apa dia baik-baik saja?’ Sydney membatin. Sydney menggigit bibir, merasakan kecemasan perlahan merayap di dadanya. Jika hal ini bisa membuat Morgan benar-benar marah, berarti situasinya lebih buruk dari yang dia duga
Beberapa jam kemudian, saat hari sudah sore. “Ikut aku,” pinta Morgan, sedikit mengejutkan Sydney. Sydney mengangkat wajahnya dari si kembar dan mendapati Morgan sudah berdiri di ambang pintu kamar. Mata pria itu gelap dan sulit dibaca, tetapi sudah lebih baik daripada tadi siang. Wanita itu menelan ludah, tetapi tetap bangkit. Sydney sudah selesai menyusui dan memandikan si kembar. Keduanya kini tertidur pulas di dalam kamar. Morgan berbalik tanpa menunggu jawaban. Sydney menghela napas dan mengikuti langkah pria itu. Saat Sydney sampai di ruang utama, Morgan sudah duduk di sofa panjang, kaki terentang santai, tetapi ekspresinya tajam. Seorang anak buahnya berdiri di dekat meja, memegang ponsel seperti menunggu perintah lebih lanjut. Sydney hendak duduk di ujung sofa, tetapi begitu dia nyaris menurunkan tubuhnya, sebuah tangan besar melingkari pinggangnya dan menariknya mendekat. Sydney terkejut. Dalam sekejap, Sydney sudah duduk tepat di samping Morgan, pinggul mereka berse
Tok! Tok! Tok! Aksi Morgan harus terhenti kala pintu ruang utama vila diketuk. Morgan dan Sydney menoleh. Seorang anak buah Morgan berdiri di depan pintu. Di belakangnya, ada dua orang asing yang memakai pakaian formal. “Psikolog dan dokter spesialis anak yang Tuan minta sudah tiba,” lapor pria berbadan besar itu. Morgan melirik arlojinya yang menunjukkan pukul delapan malam. “Silakan masuk,” sahut Morgan tanpa perlu repot-repot berdiri untuk menyambut tamunya. Sydney mengamati kedua tamu Morgan yang sedang melangkah masuk. Psikolog, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan dengan kacamata berbingkai tipis, tersenyum sopan sebelum memperkenalkan dirinya. “Saya Adriana Gills.” Dokter spesialis anak, pria paruh baya dengan raut tegas, mengangguk singkat. “Saya dokter Hansel.” Sydney menelan ludah. Napas Sydney sedikit tersendat saat Morgan menoleh padanya. “Kau akan diperiksa lebih dulu,” ujar Morgan. Bukan pertanyaan, bukan saran. Itu perintah. Sydney menatap pria itu d
“Sejak lulus sebagai Sarjana Hukum aku selalu ingin bekerja di Monarch Legal Group.” Sydney mengetik di layar ponsel, lalu menyodorkannya ke hadapan Morgan. “Tapi sekarang aku tidak bisa. Setidaknya aku bisa memiliki sahamnya.” Morgan membaca pesan itu dengan tatapan tajam. Sydney mengetik lagi, “Lagipula, aku punya utang besar yang harus segera dibayar. Aku bisa mendapat pemasukan tambahan dari sana.” Morgan terkekeh pelan. “Jadi, yang kau inginkan adalah uang?” “Tuan bilang kalau ini hadiah, berarti harus yang sedang sangat aku inginkan,” ketik Sydney lagi sambil menatap Morgan. Morgan melangkah mendekat, jemarinya menyusuri garis rahang Sydney dengan lembut, membelainya. “Baiklah,” sahut Morgan pelan. “Aku akan memberikannya padamu.” Sydney terkejut sesaat. Dia sudah menyiapkan diri dengan berbagai argumen jika Morgan menolak, tetapi ternyata pria itu menyetujuinya tanpa banyak bertanya. “Kenapa?” Sydney mengetik buru-buru. “Tuan bahkan tidak bertanya lebih jauh.”
“Kau menanam duri, maka karma akan datang menusukmu, Vienna. Nirina memandang tulisan itu, lalu ekspresinya berubah drastis. Wajah yang semula ramah itu kini tampak dingin dan tidak senang. Semua mata tertuju pada Vienna, yang masih terpaku di tempatnya. “Apa maksudnya ini, Vienna?” Nirina bertanya tajam, pandangannya menusuk lurus ke arah Vienna. Bisikan dari para tamu mulai terdengar di telinga Vienna. "Astaga, siapa yang mengirimi pesan seperti itu?" Keringat dingin pun mengalir di punggung Vienna. ‘Ini tidak mungkin!’ Vienna menyangkal ini dalam hati. Tidak mungkin seseorang mengirimkan sesuatu seperti ini ke acara pentingnya. Vienna bisa merasakan pandangan para wanita menusuk kulitnya, seolah dia adalah tontonan utama dalam sebuah drama memalukan. Salah satu wanita yang duduk di seberangnya tersenyum miring, mencondongkan tubuh sedikit ke arah Nirina. "Nona Nirina, kau harus lebih berhati-hati. Siapa tahu kau akan menjadi korban berikutnya?" Tawa kecil yan
"Aku tidak mengenalnya." Sydney mengetik kalimat itu dengan cepat di layar ponselnya, menyembunyikan kepanikan yang mulai menyelinap di dada. Morgan tidak langsung bereaksi. Pria itu hanya duduk di sofa, tatapannya gelap dan tajam, seolah sedang menimbang sesuatu. Sydney menggigit bibirnya, lalu mengetik kalimat tambahan. "Apa Tuan mengenal semua orang yang seumuran dengan Tuan?" Sindiran halus itu seharusnya cukup untuk mengalihkan perhatiannya. Namun bukannya terprovokasi, Morgan justru mendengkus pelan, lalu tertawa—suaranya bergema di ruangan. Sydney terpaku. Morgan tertawa? Pelayan yang ada di sekitar mereka ikut terkejut, saling melirik dengan ekspresi tak percaya. Seorang pelayan bahkan hampir menjatuhkan nampan yang dipegangnya. "Tuan tertawa? Apa Tuan sehat?" bisik salah satu dari mereka. "Sejak kapan terakhir kali Tuan tertawa seperti itu?" "Tidak pernah," sahut yang lain, matanya tak lepas dari sosok pria yang kini masih menyunggingkan senyum tipis. "Dan kau sad
“Akan ada berita baik tentangku beberapa minggu lagi. Dan saat kau mendengarnya, kau tidak akan bangun lagi, Jalang!” Suara Vienna terdengar tajam di ujung telepon, penuh dengan kebencian dan kepuasan yang menjijikkan. Tanpa menunggu respons, wanita itu langsung menutup panggilan dengan kasar. Seolah baru saja menjatuhkan vonis mati bagi Sydney. Tuut. Tuut. Sydney menatap layar ponselnya yang kini gelap. Dulu, kata-kata semacam itu bisa menghancurkan Sydney. Dulu, ancaman Vienna akan membuatnya bersembunyi di sudut kamar dengan tubuh gemetar, dan kepala yang penuh pikiran karena ketakutan. Namun, sekarang? Semua luka itu bukan lagi rantai yang mengikat Sydney. Sebaliknya, luka itu justru menjadi bahan bakar yang mengobarkan sesuatu yang jauh lebih besar. Dendam. Sydney menarik sudut bibirnya, membentuk senyum samar—bukan karena takut—tetapi karena merasa lucu. ‘Kau ingin aku mati?’ batin Sydney. Lelucon macam apa itu? Vienna pikir Sydney masih wanita yang sama seperti dulu
‘Kau benar-benar nekat, Sydney Zahlee!’ batin Sydney, bicara pada dirinya sendiri. Sydney menahan napas, meredam degup jantungnya yang berdebar kencang. Tatapannya tertuju pada komputer di hadapannya, layar yang tadinya gelap kini bersinar terang, menampilkan sesuatu yang tidak dia duga sebelumnya. Sydney mengepalkan tangan di sisi meja. Ini bukan informasi biasa, dokumen-dokumen yang terpampang jelas di layar adalah sesuatu yang bisa menghancurkan Lucas. Sydney menarik napas dalam, berusaha menjaga ketenangannya. Beberapa saat lalu, setelah memastikan mansion dalam kondisi aman, Sydney melepas gelang kaki berloncengnya—benda sialan yang membuatnya selalu ketahuan ke mana pun dia pergi—dan masuk ke ruang kerja Morgan yang, anehnya, tidak terkunci. Sydney tidak menyangka betapa mudahnya dia bisa masuk ke ruangan pria itu. Suara Vienna yang mengatakan tentang kabar baik masih terngiang di telinga Sydney. Walaupun tidak lagi merasa takut, Sydney sangat tahu kalau itu bukan sekadar
"Siap, Tuan," sahut Ronald tanpa ragu. Morgan hanya mengangguk, sementara Sydney duduk membeku di sampingnya. Perutnya terasa mual, bukan karena guncangan mobil, tetapi karena dinginnya keputusan Morgan. Seakan nyawa orang lain tidak lebih dari pion dalam permainan catur yang bisa dia singkirkan kapan saja. Sydney menelan ludah, lalu menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Namun, semakin lama dia berada di dekat Morgan, semakin sulit baginya untuk mengabaikan kenyataan bahwa pria ini hidup di dunia yang berbeda dengannya. Dia tidak bisa. Dia tidak ingin terjebak lebih dalam. Sydney menarik napas dalam, lalu mengangkat tangannya. “Berhenti. Aku ingin turun.” Tatapan tajam Morgan segera tertuju pada Sydney. Dia seperti sedang menilai seberapa jauh keberanian Sydney untuk menantangnya. Sydney kembali mengisyaratkan, lebih tegas kali ini. “Hentikan mobilnya!” Morgan menghela napas pelan sebelum mencondongkan tubuhnya, mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa se
Suara alarm mobil berbunyi bersahutan, menciptakan kepanikan di sekitar mereka. Sydney masih bisa merasakan jantungnya berdetak tidak beraturan. Getaran hebat dari ledakan tadi masih terasa di tanah tempat mereka tiarap. Dengan napas memburu, Sydney menoleh ke belakang, memastikan Morgan masih sadarkan diri. Pandangannya langsung bertemu dengan mata pria itu, yang meskipun tampak sedikit kacau, tetap terjaga dan penuh kewaspadaan. ‘Morgan?’ panggil Sydney dalam hati, walaupun sadar Morgan tidak akan bisa mendengarnya. Morgan mengerjapkan mata, seakan baru menyadari bahwa Sydney sedang menatapnya dengan khawatir. Napas Morgan berat, tetapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan yang parah. Tanpa mengatakan apa pun, Morgan mengangkat tubuhnya dan membimbing Sydney untuk duduk di sebelahnya sambil mengatur napas. “Duduk,” pinta Morgan. Sydney mengikuti arahan Morgan. Morgan menghela napas panjang sebelum menatap Sydney dalam-dalam. “Kau tidak terluka?” Sydney menggeleng cepa
Sydney menatap Morgan lekat-lekat. Sorot mata pria itu berubah sekilas, ada sesuatu di sana, sebuah kenangan yang mungkin tidak ingin dia ungkapkan. Namun, alih-alih menjelaskan, Morgan justru bangkit dari ranjang. Pria itu menarik kemeja yang tadi dia lepaskan, mengenakannya kembali dengan satu tarikan lengan, lalu mulai mengancingkannya satu per satu tidak terjadi apa-apa. Sydney mengernyitkan dahi. “Apa artinya?” tanya Sydney dengan bahasa isyarat. Dengan tenang, Morgan meraih jas yang tadi tergeletak di lantai dan menyampirkannya di lengan. “Tidak ada arti khusus,” sahut Morgan ringan. “Lupakan saja.” Sydney menyipitkan mata, tidak puas dengan jawaban itu. Tatapan mata wanita seolah bertanya, ‘Kau pikir aku akan percaya begitu saja?’ Morgan menghindari tatapan itu. Setelah memastikan penampilannya rapi seperti sebelumnya, dia melirik ke arah Sydney. “Ayo keluar. Dokter bilang kau sudah boleh pulang setelah sadar,” ajak Morgan sebelum Sydney bisa menginterogasinya lebih jau
“Ambilkan peralatan medis dan beberapa obat antiseptik.” Morgan menatap perawat di ambang pintu dengan nada yang tak bisa dibantah. Wanita itu mengangguk cepat sebelum bergegas pergi. Sydney tetap diam di ranjang, jemarinya saling meremas di atas pangkuan. Wajah wanita itu masih pucat, tetapi matanya kini lebih hidup. Morgan mendekati Sydney, satu tangan bertumpu di sandaran ranjang. Dia sedikit membungkuk untuk menyamakan posisi wajah dengan Sydney yang tengah duduk di sana. “Kau yang akan mengobati lukaku,” tukas Morgan. Sydney mendongak, alisnya berkerut. Bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin menolak, tetapi tak ada suara yang keluar. “Aku hanya mau diobati olehmu.” Morgan tidak memberi Sydney kesempatan untuk protes. Sebelum Sydney sempat menolak, perawat kembali datang dengan membawa kotak medis kecil dan meletakkannya di meja samping. Setelah itu, perawat pergi begitu saja. Sydney menelan ludah, lalu meraih kotak itu dengan ragu. Ketika Sydney mempersiapakan beberapa p
“Sial!” Morgan mengumpat tertahan. Sydney pingsan dalam dekapannya. Napas wanita itu lemah dan tubuhnya terasa dingin. Morgan bisa merasakan betapa rapuh wanita dalam pelukannya itu. Tanpa berpikir panjang, Morgan menggeser lengannya agar lebih stabil, lalu mengangkat Sydney ke dalam gendongan. Pria itu melangkah cepat keluar dari toilet, melewati koridor yang masih sepi. Saat Morgan baru saja tiba di ujung koridor, Ronald muncul dengan napas memburu. Wajahnya penuh kepanikan. “Tuan! Ikuti saya! Kita keluar lewat jalur darurat,” ujar Ronald cepat sedikit terengah. Morgan hanya mengangguk. Dia tidak punya waktu untuk bertanya lebih jauh. Yang penting sekarang adalah membawa Sydney keluar dari tempat ini secepat mungkin. Ronald memimpin jalan, membimbing Morgan menuju sebuah pintu yang tidak mencolok di sisi gedung. Pintu itu langsung terhubung ke tangga darurat. “Kita akan keluar dari sini,” ucap Ronald sembari membuka pintu dengan hati-hati. Morgan masih menggendong Sydney de
Suara dering ponsel memecah fokus Morgan yang masih menatap layar GPS. Pria itu mengerutkan kening saat melihat nama pemanggilnya, salah satu anak buah yang bertugas di luar area pesta. Firasat Morgan buruk karena anak buahnya tidak mungkin menelepon langsung jika tidak ada sesuatu yang genting. Morgan menerima panggilan dengan cepat. “Ada apa?” “Tuan Morgan, kita ada masalah besar!” “Apa?!” tanya Morgan tajam. “Edgar Selgardo. Dia tahu keberadaanmu. Orang-orangnya sudah mulai bergerak,” jawab anak buah Morgan. Morgan mendadak menegang. Rahang pria itu mengeras dan dia mencengkeram ponsel lebih erat. Edgar Selgardo adalah rival bisnis ilegalnya yang terkenal nekat dan keji. Keluarga Alfonzo yang pernah mengganggu mereka beberapa waktu lalu, tidak ada apa-apanya. “Sialan! Bagaimana bajingan itu bisa menemukan diriku di tempat ini?!” geram Morgan pelan. Edgar berkali-kali mencoba menjatuhkan Morgan, bahkan tidak segan menggunakan cara kotor untuk mencapai tujuannya. Be
“Apa Tuan ingin saya mengikuti mereka?” Ronald mencondongkan tubuhnya, bersiap menerima perintah. Tatapan anak buah Morgan itu juga tertuju pada Lucas yang menarik tangan Sydney dengan paksa. Alih-alih menjawab, Morgan mengambil ponselnya dan membuka sebuah aplikasi. Beberapa detik kemudian, layar menampilkan titik merah yang bergerak pelan menjauh dari aula pesta. “Aku sudah memasang GPS di gelang kaki Sydney tanpa sepengetahuannya,” ucap Morgan datar. Ronald melirik layar ponsel itu, matanya membulat sesaat sebelum dia menahan diri untuk tidak mengomentari betapa cerdik bosnya itu. “Baik, Tuan,” jawab Ronald sambil menundukkan kepala hormat. Morgan memandangi layar ponselnya. Titik merah itu terus bergerak menuju koridor belakang dekat area toilet, menjauhi pusat acara. Namun, meskipun Morgan bisa mengetahui lokasi Sydney, dia tidak bisa melihat apa yang terjadi di sana. Dan itu membuat Morgan tidak tenang. *** Di koridor yang sepi, Lucas menghentikan langkahnya begitu mer
“Kau boleh menganggap seperti itu.” Tulisan itu muncul di layar ponsel Sydney, ditunjukkan tepat di hadapan Vienna yang membacanya dengan mata yang semakin berkilat marah. Vienna mengepalkan tangan di balik gaunnya yang mewah. Sydney, wanita bisu yang seharusnya terbuang, selalu punya sesuatu yang Vienna inginkan. Jika bukan status, maka perhatian orang-orang di sekitarnya. Dan sekarang? Bahkan Nirina tampak begitu dekat dengan wanita itu. “Aku tidak berpikir sampai sana tadi.” Timothy menyahut polos, matanya berbinar seakan baru saja menemukan sebuah fakta menarik. “Tapi memang wajar saja. Kak Sydney dan Nona Nirina itu teman semasa sekolah. Pantas kalian akrab sekali, Kak!” Sydney tersenyum kecil pada Timothy, wajah penuh kasih sayang yang membuat Vienna semakin mendidih. Dia tahu Sydney tidak melakukan apa pun untuk merebut simpati orang-orang, tetapi tetap mendapatkannya. Dan itu, membuat Vienna semakin membenci wanita itu. “Kau boleh pergi, Tim.” Vienna mengangkat dagu den
“Kami sangat berterima kasih atas kehadiran Tuan Simon dan Nyonya Abigail malam ini. Suatu kehormatan bagi kami,” ujar Lucas penuh hormat, sedikit membungkuk kepada Kepala Keluarga Fritz dan istrinya itu. Sang pria paruh baya itu mengangguk kecil, ekspresinya tenang dan penuh wibawa. “Selamat atas pernikahan kalian. Semoga menjadi awal yang baik untuk perjalanan panjang ke depan.” Vienna tersenyum manis. “Terima kasih banyak, Tuan Simon. Tapi saya tidak melihat Nona Nirina. Bukankah dia seharusnya datang bersama Anda?” Mata Vienna mengitari sekeliling, mencari sosok wanita muda yang seharusnya ikut bersama Keluarga Fritz. Mendengar pertanyaan itu, Abigail saling pandang dengan suaminya sebelum menjawab, “Nirina melihat seorang teman lama dan memutuskan untuk mengobrol sebentar." Vienna mengangkat alis, jelas terkejut. “Teman lama?” “Iya.” Simon menegaskan. “Sepertinya cukup akrab karena Nirina begitu senang melihatnya.” Mata Vienna berbinar mendengar jawaban itu. Nirina memilik