[Kenapa kamu pergi tanpa bilang Tante, Sydney?]
Sydney menatap layar ponselnya cukup lama. Ibu jarinya menggantung di atas layar, menimbang-nimbang jawaban yang pantas diberikan untuk wanita paruh baya yang selalu baik padanya itu.
Morgan sudah membayar lunas tagihan rumah sakit Sydney, jadi sesuai kesepakatan wanita itu akan menjadi ibu susu si kembar. Itu sebabnya sekarang mereka duduk bersebelahan di kursi belakang mobil yang sedang melaju menuju kediaman Morgan.
Sementara Jade dan Jane yang dinyatakan bisa meninggalkan ruang NICU pagi ini, ada di mobil lain yang ada di belakang.
"Maaf, Tante. Aku harus mencari uang untuk membayar utang Lucas." Sydney membalas pesan Ghina.
Pesan terkirim. Hanya beberapa detik berselang, ponsel Sydney kembali bergetar dengan balasan lain.
[Setidaknya beri tahu Tante ke mana kamu pergi. Tante khawatir, Sayang.]
Sydney menggigit bibir. Jari-jarinya mengetik jawaban lain.
"Aku akan memberi tahu Tante, tapi tidak sekarang. Jangan khawatir."
Kali ini, Ghina tidak langsung membalas. Beberapa menit berlalu, dan Sydney mengira wanita itu menyerah. Namun, tiba-tiba pesan baru muncul.
[Tidak bisa sekarang? Tante bisa mati penasaran!]
Sydney memejamkan mata sejenak. Ghina sangat peduli padanya sejak dulu, tetapi terkadang kepeduliannya sedikit berlebihan. Seperti sekarang, Ghina akan terus mengejar Sydney jika belum merasa puas.
Sydney membalas lagi. "Aku sudah terlalu banyak berhutang budi pada Tante dan Om Fred. Selain itu, kembali ke tempat Tante hanya akan mengingatkanku pada beberapa memori yang menyakitkan, terutama kepergian Mama dan Papa."
Kali ini, balasan dari Ghina tidak langsung datang. Titik-titik tanda seseorang sedang mengetik muncul di layar, lalu menghilang. Muncul lagi, lalu menghilang lagi.
Sydney bisa membayangkan Ghina yang sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk membalasnya, tetapi akhirnya tidak ada satu pun pesan yang masuk.
Wanita paruh baya itu mungkin ingin membantah, tetapi apa pun yang akan dikatakannya tidak akan mengubah keputusan Sydney.
Sydney menurunkan ponselnya dan menghela napas.
Hal itu mengalihkan perhatian Morgan.
"Apa yang terjadi?" Suara Morgan rendah dan tajam.
Sydney mengetik dengan cepat sebelum menunjukkan layar ponselnya kepada Morgan.
"Tante Ghina. Beliau khawatir aku pergi tanpa memberitahunya."
Morgan mendengkus. "Lalu? Apa kamu berniat kembali?"
Sydney menggeleng. Jemarinya kembali menari di atas layar ponselnya.
"Aku sudah terlalu sering merepotkan mereka. Selain itu, aku harus membayar utang mantan suamiku."
Morgan membaca kalimat itu dengan wajah datar.
“Utang, huh?" Morgan menyeringai tipis. "Kau tahu, aku heran bagaimana seseorang bisa menanggung utang sebesar 275 miliar begitu saja tanpa protes."
Sydney merasakan dadanya mencengkeram sesaat. Dia memberi tahu Morgan tentang jumlah utangnya untuk menghindari kesalahpahaman. Namun, pria itu menggunakannya sebagai bahan ejekan.
"Aku tidak punya pilihan lain," balas Sydney melalui ketikannya.
Morgan menatap Sydney lama. "Benarkah? Atau kau hanya tidak tahu bagaimana cara melawan?"
Sydney menghela napas. Tangannya kembali bergerak di atas layar ponsel.
"Terserah kau saja!”
Morgan tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suara itu. "Kau begitu bodoh hingga membiarkan dirimu dihancurkan oleh pria sepertinya. Siapa mantan suamimu?"
Sydney menggertakkan giginya. Jari-jarinya kembali mengetik dengan cepat, kali ini lebih keras dari sebelumnya.
"Bukan urusanmu!"
Morgan membuang napas kasar dan mencibir pelan, “Nona Keras Kepala!”
"Tawaranku adalah satu-satunya yang kau punya saat ini, jadi jangan bersikap labil jika mantan suamimu datang dan memintamu kembali," lanjut Morgan sebelum Sydney sempat membalas cibirannya.
Meskipun hatinya masih penuh keraguan, Sydney akhirnya mengetik satu kalimat lagi.
"Aku mengerti."
"Bagus," puji Morgan sambil menepuk pelan puncak kepala Sydney.
Sydney mengernyit, tetapi Morgan segera membuang wajah dan melihat keluar jendela di sisinya.
Mobil berhenti di depan gerbang besi tinggi yang terbuka otomatis. Sydney menegang, menatap mansion megah di yang dikelilingi hutan.
Bangunan klasik itu berdiri anggun dengan halaman luas, air mancur kecil, dan penjaga berseragam hitam berjaga di berbagai sudut. Suasananya sunyi, nyaris mengintimidasi.
Morgan turun lebih dulu.
"Turun!" perintah Morgan.
Sydney baru saja melangkah keluar ketika sesuatu di sudut halaman menarik perhatiannya. Seorang pria babak belur tergeletak di tanah, tubuhnya penuh luka dan lebam. Dua pria berbadan tegap menyeretnya menuju mansion.
Sydney menahan napas. Jantungnya berdegup kencang.
‘Siapa dia?! Apa yang mereka lakukan padanya?!’ batin Sydney meremas tangannya sendiri.
Ketakutan merayapi tubuh Sydney. Jika Morgan bisa melakukan ini pada seseorang, bagaimana jika suatu hari Sydney juga dianggap tidak berguna?
Sydney harus pergi. Sekarang!
Wanita itu mundur perlahan, bersiap kabur ke arah gerbang. Namun, suara Morgan menghentikannya.
"Kau mau ke mana?"
Sydney membeku. Morgan berdiri di tidak jauh di depan, tengah menatapnya tajam.
Tangan Sydney gemetar saat mengetik cepat di ponselnya. "Aku lupa mengambil sesuatu di mobil."
Morgan melirik anak buahnya yang masih menyeret pria babak belur itu. Ekspresinya datar, seolah hal seperti itu sudah sering terjadi.
Morgan melangkah mendekat, lalu dengan satu jari dia mengangkat dagu Sydney, memaksa wanita itu menatap langsung ke mata elangnya.
"Apa yang kau lihat tadi?" tanya Morgan penuh penekanan.
Sydney menelan ludah. Dia segera menggeleng.
Morgan menatap manik Sydney lekat, berusaha membaca kebohongan dalam sorot mata wanita itu. Kemudian, bibir Morgan melengkung samar.
"Ambil barangmu yang tertinggal. Lalu, segera masuk ke dalam!” perintah Morgan. “Jangan membuatku menunggu lama, jika kau tidak siap menanggung akibatnya.”
Sydney spontan merinding mendengar kata-kata penuh ancaman itu.
“Tuan Morgan menunggu Anda di ruang kerja. Mari saya antar,” ujar salah satu anak buah Morgan yang berjaga di pintu. Sydney baru saja selesai mengulur waktu, memantapkan hati sekaligus menenangkan dirinya. Namun seberapa lama pun Sydney melakukan itu, jantungnya tetap berdebar hebat. Wanita itu tidak bisa berhenti memikirkan bahwa ada kemungkinan dia tidak akan bisa keluar lagi jika sudah menginjakan kaki ke dalam rumah Morgan. Anak buah Morgan berjalan lebih dulu. Sydney mengikuti di belakang sambil meremas tali tas untuk menguatkan langkahnya yang terasa lemah. Begitu melewati ambang pintu, mata Sydney langsung disambut oleh interior yang didominasi warna hitam. “Lebih cepat!” seru anak buah Morgan dengan berbisik. “Atau Tuan Morgan akan marah.” Tidak ingin Morgan menemukan cela dalam dirinya saat hari pertama bekerja, Sydney segera melangkah lebih lebar. Walaupun tetap saja langkahnya tertinggal jauh dari pria di hadapannya. “Cepat masuk!” bisik pria itu setelah membukakan se
“Aku mengenyam pendidikan berbulan-bulan dan punya pengalaman bertahun-tahun untuk menjadi pengasuh bayi. Ada sertifikat dari yayasan resmi yang membuktikan kemampuanku dalam mengasuh!” ucap pengasuh itu dengan angkuh. “Sementara kau ….” Sydney berhenti di tempat. Tangannya refleks mengepal, tetapi dia tetap diam. Pengasuh itu menaruh Jade ke tempat tidur bayi, lalu melangkah mendekati Sydney dengan mata menyipit. "Aku tidak mengerti bagaimana seseorang sepertimu bisa mendapat pekerjaan ini,” cibirnya. “Bagaimana kau bisa merawat bayi kalau bicara saja tidak bisa?! Apa kau akan mengetik setiap kali mereka menangis? Hah?" Sydney menggigit bibir. "Bayi tidak butuh orang bisu untuk mengasuh mereka," lanjut wanita muda dengan rambut disanggul sederhana itu lebih tajam. "Mereka butuh seseorang yang bisa berbicara, bernyanyi, menenangkan mereka dengan suara lembut. Bukan orang cacat seperti ... kau!" Sydney menahan napas, berusaha meredam emosinya. "Ck!” Pengasuh itu melipat tangan di
"Aku tidak tahu bagaimana kau akan bertahan di sini." Sydney baru saja menidurkan Jade dan Jane ketika seorang pelayan tua yang bertugas di dapur berucap pelan di dekatnya. Sementara Morgan sudah pergi ke kantor sejak beberapa menit lalu. Wanita paruh baya itu menaruh nampan berisi air hangat di atas meja, lalu menatap Sydney lurus. Sydney mengernyitkan dahi. Dia meraih ponselnya dan mengetik sesuatu. "Maksud Bibi apa?" Wanita bernama Layla itu mendengkus pelan. "Kau tahu sendiri. Tempat ini ... tidak mudah untuk ditinggali. Apalagi untuk orang sepertimu." Sydney tetap diam, menunggu Layla meneruskan ucapannya. Layla menghela napas sebelum melanjutkan dengan suara rendah, nyaris berbisik. "Rumah ini memiliki aturan yang ketat. Kau sudah melihat sendiri bagaimana Tuan Morgan memperlakukan orang yang membuatnya tidak senang, bukan?" Sydney teringat bagaimana Morgan mengusir pengasuh sebelumnya tanpa ragu. Semua terjadi begitu cepat dan tanpa aba-aba. Sydney menelan l
"Wajahmu terlalu polos untuk menghadapi ucapanku, ya?" Morgan terkekeh pelan, matanya mengunci ekspresi Sydney yang terdiam. Sydney menelan ludah, menahan diri agar tidak terpancing oleh ucapan pria itu. Namun, saat perhatiannya jatuh pada tangan bertato Morgan, ekspresi wanita itu langsung berubah. Darah! Tetesan merah merembes dari buku-buku jari Morgan, kontras dengan kulitnya yang pucat di bawah sinar lampu taman. Sydney mengernyit. Dia tidak melihat luka itu sebelumnya. ‘Bagaimana bisa dia tampak begitu tidak peduli pada dirinya sendiri?’ batin Sydney. Morgan menangkap tatapan Sydney dan mendengkus. "Jangan menatapku seperti itu. Luka kecil ini bukan apa-apa." Sydney tidak langsung bereaksi. Dia meraih ponselnya dan mengetik cepat. "Itu harus diobati." Morgan mencondongkan tubuhnya ke depan, semakin mengikis jarak dengan Sydney. Bahu pria itu sedikit bergetar karena tawa yang nyaris tak terdengar. "Apa kau ingin merawatku, hmm?" Morgan mengangkat tangan, mengamati dara
‘Aah, rasanya seperti terbakar!’ desah Sydney dalam hati sambil mengusap lengan. Wanita itu menghela napas panjang, meredam ketegangan yang masih tersisa setelah sesi olahraga. Otot-ototnya terasa lelah, tetapi tubuh Sydney terasa lebih ringan. Dia menyeka keringat di pelipisnya dengan handuk kecil sembari berjalan santai menuju kamar. Namun, langkah Sydney terhenti saat suara rendah dan familiar terdengar dari ruang tamu. “Semua berjalan sesuai rencana?” Sydney refleks menoleh. Itu suara Morgan. Sydney awalnya tidak berniat memperhatikan. Namun kemudian, suara lain menyusul, darah Sydney seketika membeku. "Tentu saja, Tuan. Saya tidak akan mengecewakan Anda." Lucas! Sydney mencengkeram handuk di tangannya. Napas wanita itu mulai tercekat. ‘Lucas bekerja untuk Morgan?’ batin Sydney bertanya-tanya. Jantung Sydney berdebar tak beraturan saat dia mengintip dari celah lorong. Morgan duduk dengan santai, satu lengannya tersampir di sandaran sofa dengan wajah menahan bosan. Sebal
"Kau ingin aku menebaknya?" bisik Morgan, suaranya begitu dekat hingga Sydney bisa merasakan embusan napas pria itu di wajahnya. Sydney menegang, tidak bergerak sedikit pun saat jemari Morgan melayang ringan di sepanjang rahangnya. Sentuhan itu tidak menyakitkan, tetapi dingin, seperti teguran halus yang bisa berubah tajam kapan saja. Alih-alih menjawab, Sydney menatap langsung ke mata pria itu dan mengetik di ponselnya dengan gerakan tenang sebelum mengangkat layarnya. "Jika aku tidak boleh memberi tahu orang lain tentang Tuan dan si kembar, apakah Tuan boleh melakukan hal itu?" Morgan tidak langsung menjawab. Dia menarik diri sedikit, satu sudut bibirnya terangkat, seperti menikmati permainan ini. "Tidak," jawab Morgan akhirnya. "Tidak ada yang boleh tahu tentang dirimu." Sydney menatap pria itu lekat-lekat, mencari kebohongan di balik wajah dingin Morgan. Namun, Morgan bukan tipe yang suka berbasa-basi. Jika Morgan bilang seperti itu, berarti Lucas tidak tahu dirinya ad
Layla mendesah pelan, mengalihkan pandangan sejenak ke luar jendela sebelum kembali menatap Sydney. "Tuan Morgan bukan pembunuh," sahut Layla akhirnya. Sydney tidak berkedip, memperhatikan setiap perubahan ekspresi wanita paruh baya itu. Ada sesuatu di balik kata-kata Layla yang membuat Sydney semakin penasaran. "Kalau bukan pembunuh, lalu apa, Bi?" Sydney mengetik cepat di ponselnya, lalu menunjukkan layar kepada Layla. Layla ragu sesaat. "Tuan seorang pengusaha." Sydney menaikkan alis. Itu jawaban yang terlalu umum. "Pengusaha apa?" Sydney kembali mengetik. Layla menatap Sydney sambil menghela napas, lalu bersandar di meja. "Poseidon Exports. Tuan Morgan adalah pemilik sekaligus CEO-nya." Sydney mengernyitkan dahi. Nama itu terdengar familiar. "Perusahaan pelayaran?" tanya Sydney melalui layar ponsel. Layla mengangguk. "Bukan sekadar perusahaan pelayaran. Poseidon Exports merajai industri transportasi laut dan pengiriman barang internasional. Mereka memiliki ribuan kapal k
"Itu bukan sesuatu yang perlu kau tahu, Sydney." Suara Morgan dingin, nyaris tanpa emosi. "Aku hanya ingin tahu kapan Tuan ada waktu luang. Aku ingin mengajak si kembar keluar saat akhir pekan." Sydney mengetik cepat, berdalih. Morgan melirik layar itu sekilas, lalu kembali menatap Sydney dengan wajah datar. Namun, ada sorot kecurigaan dalam matanya. "Kenapa?" tanya pria itu. "Karena mereka butuh udara segar.” Sydney mengetik lagi. "Tuan juga harus menghabiskan waktu dengan mereka." Morgan bersedekap, matanya tidak lepas dari Sydney. "Aku tidak punya waktu untuk itu." Entah mengapa jawaban Morgan membuat Sydney kesal, padahal dia hanya menjadikan alasan ini untuk menutupi alasan yang sebenarnya. "Setidaknya satu hari. Mereka bukan hanya tanggung jawabku," tulis Sydney menahan geram. Morgan mencondongkan tubuh ke depan, mendekat hingga wajah mereka hanya terpisah beberapa sentimeter. "Kau lupa siapa yang membayar semua kebutuhan mereka? Aku sudah memenuhi tanggung jawabku,” tu
“Jika Nyonya Besar Ryder akan hadir, maka keterlambatan ini bisa dimaklumi.” Pernyataan itu datang dari seorang pria dengan jas abu-abu yang duduk tidak jauh dari Sydney. Beberapa menit lalu, dia yang paling keras memprotes waktu yang terbuang, tetapi sekarang pendapatnya berubah begitu saja setelah mendengar nama itu disebut. “Aku justru berpikir ini menguntungkan,” sahut yang lain. “Bagaimanapun juga, kita semua tahu—maaf, Nona—komunikasi dengan seseorang yang … bisu tidak akan mudah.” Bisikan setuju bermunculan di antara para pemegang saham. Beberapa bahkan melirik Sydney seolah keberadaannya adalah sebuah gangguan, bukan seseorang yang bisa mewakili mereka untuk mengambil keputusan. Sydney mengabaikan mereka. Tatapan wanita itu kosong karena pikirannya terseret ke masa lalu. Tiga tahun lalu. Sydney duduk tegak di sofa dengan tangan saling menggenggam di pangkuan. Selain karena cuaca di Sevhastone, jari-jari Sydney terasa dingin karena tatapan tajam kedua pasangan paruh baya
Denting sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer berkilau gedung Monarch Legal Group. Setiap langkah Sydney mengundang perhatian, bukan hanya karena kehadirannya yang jarang terlihat di tempat ini, tetapi juga karena pesona dingin yang terpancar dari sorot mata wanita itu. Di belakang Sydney, Ronald berjalan mengikuti seperti bayangan yang selalu siap melindungi. Beberapa karyawan yang melintas otomatis memperlambat langkah mereka. Para karyawan wanita yang sedang berbincang di dekat mesin kopi saling berbisik, melirik ke arah wanita muda yang melangkah penuh percaya diri itu. “Siapa dia?” bisik salah satu dari mereka. “Entahlah. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Tapi … dia cantik sekali,” timpal yang lain dengan nada terkagum-kagum. Sydney tidak menghiraukan tatapan-tatapan itu. Dia terus berjalan menuju meja resepsionis dengan wajah datar. Seorang wanita muda di balik meja menyambut Sydney dengan senyum. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” Tanpa banyak basa-bas
“Jaga dirimu, Morgan.” Sydney menggerakkan tangan dengan perlahan, menatap pria yang sudah duduk di dalam mobil. Morgan menatap balik Sydney sejenak sebelum akhirnya mengangguk kecil. “Aku selalu melakukannya.” Suara mesin mobil menyala dan dalam hitungan detik, kendaraan mewah itu meluncur pergi meninggalkan halaman mansion. Sydney tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan mobil hitam itu hingga menghilang di tikungan. Beberapa pekerja yang ikut mengantar kepergian Morgan perlahan kembali ke dalam rumah, meninggalkan Sydney yang masih diam. Udara pagi terasa sedikit lebih dingin tanpa keberadaan pria itu. Entah kenapa, kali ini kepergian Morgan terasa lebih berat dibanding biasanya untuk Sydney. Sydney menghela napas pelan. Dia hendak berbalik menuju mansion ketika dua pelayan muda tiba-tiba mendekatinya dengan raut penasaran. “Sydney,” panggil salah satu dari mereka—seorang wanita muda dengan rambut dikucir kuda. “Tuan Morgan tadi di kamar si kembar bersamamu?” Sydney meng
"Susuku sudah habis." Sydney buru-buru memutar tubuh untuk menghindari tatapan Morgan yang terlalu intens. Jawaban itu meluncur begitu saja dari gerakan tangan Sydney tanpa sempat dipikirkan lebih dulu. Wanita itu membatu. Mata Sydney melebar saat menyadari betapa bodohnya alasan yang baru saja dia rangkai. Namun, setelah mimpi buruk semalam, Sydney belum siap melakukan sesuatu lebih jauh dengan Morgan. Setidaknya dengan alasan bodoh itu, Morgan akan mengurungkan niatnya. ‘Semoga saja,’ batin Sydney berharap. Sekejap ruangan menjadi hening. Morgan yang masih berdiri di belakang Sydney, berkedip sekali, lalu kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Pria itu menatap punggung Sydney dalam diam, sebelum akhirnya tertawa pelan. Sydney tidak perlu menoleh untuk tahu bahwa pria itu pasti sedang menyeringai. "Sydney," panggil Morgan, nada suaranya masih dipenuhi tawa tertahan. "Kau sadar betapa lucunya alasanmu barusan?" Morgan mencoba melihat wajah Sydney, tetapi wanita itu segera mem
Sydney terbangun dengan napas memburu. Keringat dingin membasahi pelipis dan dadanya naik-turun dengan cepat. Dia menelan ludah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu liar. Suara tangisan si kembar menggema di kamar, menarik Sydney kembali ke realitas. Sydney memejamkan mata sejenak, berusaha mengendalikan napasnya yang masih tersengal. Bayangan mimpi buruk itu masih terlalu nyata di kepalanya. Terlalu hidup. Terlalu menyakitkan. Lucas. Sydney melihat pria itu lagi dalam tidurnya. Dalam mimpi itu, Sydney tengah duduk di dalam kamar tidur mereka di kediaman Lucas. Perut Sydney tengah membesar. Sydney dengan lembut membelai Isaac yang masih ada dalam kandungannya. Dia tersenyum saat merasakan tendangan lembut dari dalam, Isaac membalas sentuhannya. Namun, detik berikutnya, Sydney merasakan sesuatu yang lain. Lucas berlutut di hadapannya, lalu menyentuh perut Sydney yang membuncit. Tatapan mata pria itu begitu lembut dan penuh kasih sayang, membuat Sy
Sydney tertegun, jemarinya menggenggam ponsel dengan erat. Tinggal bersama Timothy? Pergi dari tempat ini? Jari-jari Sydney bergerak di atas layar, ragu-ragu sebelum akhirnya mengetik balasan. "Itu hebat! Aku senang mendengarnya. Hanya saja, sekarang aku sudah bersama seseorang yang bisa melindungiku, Tim. Jika sudah waktunya, kau akan tahu dia siapa." Saat mengetik itu, Sydney memikirkan Morgan. Dia menekan tombol kirim, lalu meletakkan ponsel di samping bantal. Sydney menatap langit-langit, pikiran wanita itu masih berputar-putar memikirkan percakapannya dengan Morgan beberapa saat lalu. Detak jantung Sydney belum sepenuhnya normal. Tubuh Sydney pun masih terasa panas, bukan karena suhu kamar, melainkan karena kejadian di ruang kerja Morgan tadi. Ingatan tentang sentuhan pria itu masih melekat di kulit Sydney. Betapa mudahnya Morgan membuat Sydney kehilangan kendali. Sydney menggigit bibir, berusaha mengusir bayangan tadi. Dia harus tidur. Tepat ketika kelopak mata Sydney m
Sydney mengetuk jemarinya ke udara, mencoba menenangkan diri, tetapi rona merah tetap bertahan di pipinya. Dia akhirnya mengangkat tangan dan mulai berbahasa isyarat, "Aku akan tidur di kamar si kembar, Tuan." “Tuan lagi?” Morgan menyeringai, matanya menyipit penuh ketertarikan. “Kau tidak menandatangani kontrak apa pun kali ini.” Sydney terdiam sejenak, menimbang kata-kata Morgan. Pria itu bersandar di kursinya menatap wanita berbalut gaun tidur seksi di hadapannya lekat-lekat. “Lalu, untuk apa kau datang ke sini, Darling?” tanya Morgan. Sydney menarik napas dalam, berusaha mengabaikan detak jantungnya yang tidak beraturan. Dia duduk di kursi di seberang meja kerja Morgan, menyamankan diri sebelum akhirnya bicara lagi. "Mengapa masih ada CCTV di kamarku? Apa yang kau lihat?" tanya Sydney. “Dirimu,” jawab Morgan cepat, manik cokelatnya menatap Sydney. Sydney merasakan darahnya berdesir. Morgan selalu tahu bagaimana memilih kata-kata yang bisa membuat Sydney kehilangan keseimb
Sydney menghela napas panjang, mata wanita itu menatap lurus ke arah Morgan yang berdiri tegak di hadapannya. Pria itu tidak mengatakan apa pun, tetapi dari sorot matanya yang kelam dan tajam, Sydney tahu Morgan tidak menerima penolakan. Sydney baru akan mengangkat tangan untuk memberi isyarat ketika suara langkah kaki mendekat dari arah mansion. Sosok Layla muncul sambil mendorong dua kereta bayi kembar yang di dalamnya ada Jade dan Jane. Sydney tersentak. Mata wanita itu refleks berkaca-kaca saat melihat si kembar yang tampak lebih besar dibanding terakhir kali Sydney melihat mereka. Pipi mereka lebih berisi, rambut mereka mulai tumbuh lebih tebal, dan mata mereka yang bening kini menatapnya penuh rasa ingin tahu. Layla berhenti beberapa langkah di depan mereka. Bibirnya bergetar, jelas Layla juga menahan perasaan yang membuncah. Namun, tatapan tajam Morgan membuatnya mengurungkan niat untuk bicara lebih dulu. Morgan melirik Sydney dan berkata pelan, "Lihat mata mereka, Sydney.
"Siap, Tuan," sahut Ronald tanpa ragu. Morgan hanya mengangguk, sementara Sydney duduk membeku di sampingnya. Perutnya terasa mual, bukan karena guncangan mobil, tetapi karena dinginnya keputusan Morgan. Seakan nyawa orang lain tidak lebih dari pion dalam permainan catur yang bisa dia singkirkan kapan saja. Sydney menelan ludah, lalu menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Namun, semakin lama dia berada di dekat Morgan, semakin sulit baginya untuk mengabaikan kenyataan bahwa pria ini hidup di dunia yang berbeda dengannya. Dia tidak bisa. Dia tidak ingin terjebak lebih dalam. Sydney menarik napas dalam, lalu mengangkat tangannya. “Berhenti. Aku ingin turun.” Tatapan tajam Morgan segera tertuju pada Sydney. Dia seperti sedang menilai seberapa jauh keberanian Sydney untuk menantangnya. Sydney kembali mengisyaratkan, lebih tegas kali ini. “Hentikan mobilnya!” Morgan menghela napas pelan sebelum mencondongkan tubuhnya, mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa se