[Kenapa kamu pergi tanpa bilang Tante, Sydney?]
Sydney menatap layar ponselnya cukup lama. Ibu jarinya menggantung di atas layar, menimbang-nimbang jawaban yang pantas diberikan untuk wanita paruh baya yang selalu baik padanya itu.
Morgan sudah membayar lunas tagihan rumah sakit Sydney, jadi sesuai kesepakatan wanita itu akan menjadi ibu susu si kembar. Itu sebabnya sekarang mereka duduk bersebelahan di kursi belakang mobil yang sedang melaju menuju kediaman Morgan.
Sementara Jade dan Jane yang dinyatakan bisa meninggalkan ruang NICU pagi ini, ada di mobil lain yang ada di belakang.
"Maaf, Tante. Aku harus mencari uang untuk membayar utang Lucas." Sydney membalas pesan Ghina.
Pesan terkirim. Hanya beberapa detik berselang, ponsel Sydney kembali bergetar dengan balasan lain.
[Setidaknya beri tahu Tante ke mana kamu pergi. Tante khawatir, Sayang.]
Sydney menggigit bibir. Jari-jarinya mengetik jawaban lain.
"Aku akan memberi tahu Tante, tapi tidak sekarang. Jangan khawatir."
Kali ini, Ghina tidak langsung membalas. Beberapa menit berlalu, dan Sydney mengira wanita itu menyerah. Namun, tiba-tiba pesan baru muncul.
[Tidak bisa sekarang? Tante bisa mati penasaran!]
Sydney memejamkan mata sejenak. Ghina sangat peduli padanya sejak dulu, tetapi terkadang kepeduliannya sedikit berlebihan. Seperti sekarang, Ghina akan terus mengejar Sydney jika belum merasa puas.
Sydney membalas lagi. "Aku sudah terlalu banyak berhutang budi pada Tante dan Om Fred. Selain itu, kembali ke tempat Tante hanya akan mengingatkanku pada beberapa memori yang menyakitkan, terutama kepergian Mama dan Papa."
Kali ini, balasan dari Ghina tidak langsung datang. Titik-titik tanda seseorang sedang mengetik muncul di layar, lalu menghilang. Muncul lagi, lalu menghilang lagi.
Sydney bisa membayangkan Ghina yang sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk membalasnya, tetapi akhirnya tidak ada satu pun pesan yang masuk.
Wanita paruh baya itu mungkin ingin membantah, tetapi apa pun yang akan dikatakannya tidak akan mengubah keputusan Sydney.
Sydney menurunkan ponselnya dan menghela napas.
Hal itu mengalihkan perhatian Morgan.
"Apa yang terjadi?" Suara Morgan rendah dan tajam.
Sydney mengetik dengan cepat sebelum menunjukkan layar ponselnya kepada Morgan.
"Tante Ghina. Beliau khawatir aku pergi tanpa memberitahunya."
Morgan mendengkus. "Lalu? Apa kamu berniat kembali?"
Sydney menggeleng. Jemarinya kembali menari di atas layar ponselnya.
"Aku sudah terlalu sering merepotkan mereka. Selain itu, aku harus membayar utang mantan suamiku."
Morgan membaca kalimat itu dengan wajah datar.
“Utang, huh?" Morgan menyeringai tipis. "Kau tahu, aku heran bagaimana seseorang bisa menanggung utang sebesar 275 miliar begitu saja tanpa protes."
Sydney merasakan dadanya mencengkeram sesaat. Dia memberi tahu Morgan tentang jumlah utangnya untuk menghindari kesalahpahaman. Namun, pria itu menggunakannya sebagai bahan ejekan.
"Aku tidak punya pilihan lain," balas Sydney melalui ketikannya.
Morgan menatap Sydney lama. "Benarkah? Atau kau hanya tidak tahu bagaimana cara melawan?"
Sydney menghela napas. Tangannya kembali bergerak di atas layar ponsel.
"Terserah kau saja!”
Morgan tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suara itu. "Kau begitu bodoh hingga membiarkan dirimu dihancurkan oleh pria sepertinya. Siapa mantan suamimu?"
Sydney menggertakkan giginya. Jari-jarinya kembali mengetik dengan cepat, kali ini lebih keras dari sebelumnya.
"Bukan urusanmu!"
Morgan membuang napas kasar dan mencibir pelan, “Nona Keras Kepala!”
"Tawaranku adalah satu-satunya yang kau punya saat ini, jadi jangan bersikap labil jika mantan suamimu datang dan memintamu kembali," lanjut Morgan sebelum Sydney sempat membalas cibirannya.
Meskipun hatinya masih penuh keraguan, Sydney akhirnya mengetik satu kalimat lagi.
"Aku mengerti."
"Bagus," puji Morgan sambil menepuk pelan puncak kepala Sydney.
Sydney mengernyit, tetapi Morgan segera membuang wajah dan melihat keluar jendela di sisinya.
Mobil berhenti di depan gerbang besi tinggi yang terbuka otomatis. Sydney menegang, menatap mansion megah di yang dikelilingi hutan.
Bangunan klasik itu berdiri anggun dengan halaman luas, air mancur kecil, dan penjaga berseragam hitam berjaga di berbagai sudut. Suasananya sunyi, nyaris mengintimidasi.
Morgan turun lebih dulu.
"Turun!" perintah Morgan.
Sydney baru saja melangkah keluar ketika sesuatu di sudut halaman menarik perhatiannya. Seorang pria babak belur tergeletak di tanah, tubuhnya penuh luka dan lebam. Dua pria berbadan tegap menyeretnya menuju mansion.
Sydney menahan napas. Jantungnya berdegup kencang.
‘Siapa dia?! Apa yang mereka lakukan padanya?!’ batin Sydney meremas tangannya sendiri.
Ketakutan merayapi tubuh Sydney. Jika Morgan bisa melakukan ini pada seseorang, bagaimana jika suatu hari Sydney juga dianggap tidak berguna?
Sydney harus pergi. Sekarang!
Wanita itu mundur perlahan, bersiap kabur ke arah gerbang. Namun, suara Morgan menghentikannya.
"Kau mau ke mana?"
Sydney membeku. Morgan berdiri di tidak jauh di depan, tengah menatapnya tajam.
Tangan Sydney gemetar saat mengetik cepat di ponselnya. "Aku lupa mengambil sesuatu di mobil."
Morgan melirik anak buahnya yang masih menyeret pria babak belur itu. Ekspresinya datar, seolah hal seperti itu sudah sering terjadi.
Morgan melangkah mendekat, lalu dengan satu jari dia mengangkat dagu Sydney, memaksa wanita itu menatap langsung ke mata elangnya.
"Apa yang kau lihat tadi?" tanya Morgan penuh penekanan.
Sydney menelan ludah. Dia segera menggeleng.
Morgan menatap manik Sydney lekat, berusaha membaca kebohongan dalam sorot mata wanita itu. Kemudian, bibir Morgan melengkung samar.
"Ambil barangmu yang tertinggal. Lalu, segera masuk ke dalam!” perintah Morgan. “Jangan membuatku menunggu lama, jika kau tidak siap menanggung akibatnya.”
Sydney spontan merinding mendengar kata-kata penuh ancaman itu.
Di hari ulang tahun putranya, bukan pesta atau kado yang Sydney siapkan, melainkan peti mati dan doa perpisahan.Isaac, putra Sydney yang seharusnya meniup lilin pertamanya, kini hanya nama di batu nisan setelah meninggal akibat penyakit imun yang dideritanya."Kudengar bocah itu bisa selamat kalau mendapatkan transplantasi sumsum. Dengan kekayaan keluarganya, kenapa operasi itu tidak dilakukan saja?" ujar salah satu kerabat yang menghadiri pemakaman. “Kamu tidak tahu? Kata dokter, satu-satunya yang bisa mendonorkan sumsum itu adalah sang ayah, tapi karena hubungan Sydney dan suaminya buruk, sampai anak itu mati, tidak ada transplantasi yang dilakukan.”“Astaga, malangnya. Karena ibu dan ayahnya yang tidak bertanggung jawab, jadi anak yang menjadi korban.”Sydney tersenyum pahit mendengar gosip kerabat di sekelilingnya.Orang-orang ini tidak tahu mengenai apa yang benar-benar terjadi, tapi dengan mudah memperbincangkan keluarganya.Seperti yang dikatakan, penyakit langka yang Isaac d
“Dokter! Pasien ruang 187 sudah sadar!”Seruan bersemangat itu menembus kesadaran Sydney yang masih samar. Dia membuka matanya perlahan, mencoba membiasakan diri dengan cahaya yang menusuk mata.“Telepon keluarganya! Kabarkan Nona Sydney akhirnya terbangun.”Setelah dokter dan suster menjalankan pemeriksaan terhadap dirinya, pintu bangsal Sydney terbuka.“Sydney!”Sydney menoleh, mengira yang tiba adalah orang tua atau suaminya, tapi … dia harus berakhir kecewa karena yang dia lihat malah bibi dan pamannya, Ghina dan Fred. Ghina memeluk Sydney erat. “Syukurlah kau sudah bangun, Nak,” suara Ghina terdengar lega. Namun, dalam hitungan detik, nada suaranya berubah menjadi isakan tertahan. “Kenapa, Nak? Kenapa kamu berniat bunuh diri seperti itu?!”Sydney mengerutkan kening, rasa pening menyelimuti kepalanya seiring kebingungan menyelimutinya.Bunuh diri? Apa maksud bibinya? Walau kepalanya sempat terbentur, tapi Sydney ingat ada yang telah mendorongnya! Sydney mendudukkan diri perlahan
Melihat Sydney tidak bereaksi, pria asing itu menghela napas dan berkata, “Walau aku senang kita berada dalam posisi seperti ini, tapi tolong bangun dari tubuhku, Nona.” Dia mendorong Sydney menjauh sebelum akhirnya membantu wanita itu berdiri.Morgan Draxus melihat Sydney hanya menatapnya dalam diam. Sepasang manik hitam indah wanita tersebut seperti mempertanyakan kenapa pria itu memedulikannya, dan hal itu membuat tatapan Morgan yang tadi tajam mulai melunak.“Sekali lagi, aku akan mengingatkanmu. Jangan merepotkan orang lain jika ingin mengakhiri hidup,” ucap Morgan. “Aku orang yang sibuk, jadi aku tidak punya waktu untuk menjadi saksi kasus bunuh diri seorang wanita yang tidak kukenal.”Sydney mengerjapkan mata beberapa kali dan memindai Morgan. Walau wajahnya terpahat dengan begitu sempurna, tapi tubuh besarnya yang penuh tato dan bekas luka membuat Morgan begitu cocok menjadi kambing hitam bagi para polisi.Sydney mengerti keresahan pria itu. Namun, alih-alih membuat gestur mem
“Bagaimana jika saya tidak menemukannya dalam dua hari?” tanya Morgan, lebih terdengar seperti ancaman.“Jika tidak, kami terpaksa menggunakan susu formula dari kedelai, tapi saya tidak bisa menjamin hasilnya akan sebaik ASI,” jawab dokter hati-hati.“Tidak ada cara lain?” tanya Morgan menyelidik.Dokter menggeleng dan berkata, “Keadaan mereka sangat mendesak, Tuan. Atau mungkin, Tuan dapat membawa ibu mereka ke sini untuk memberi susu.”Morgan menyipitkan mata ke arah dokter. Seketika hawa dingin menerpa sekitarnya dan membuat lawan bicaranya menutup mulut.“Mereka tidak punya ibu. Hanya ada saya seorang,” jawab Morgan penuh penekanan.Dokter menunduk, memutus tatapan Morgan yang mampu menembus matanya itu. Dia sudah menyinggung pria itu.Sydney yang sejak tadi bersembunyi di balik tembok, menggigit bibirnya. Sekilas, dia menangkap ekspresi Morgan yang terlihat frustasi.‘Anak mana yang tidak punya ibu?’ Sydney tertegun dalam hati.Satu-satunya kemungkinan yang bisa Sydney pikirkan a
[Kenapa kamu pergi tanpa bilang Tante, Sydney?]Sydney menatap layar ponselnya cukup lama. Ibu jarinya menggantung di atas layar, menimbang-nimbang jawaban yang pantas diberikan untuk wanita paruh baya yang selalu baik padanya itu.Morgan sudah membayar lunas tagihan rumah sakit Sydney, jadi sesuai kesepakatan wanita itu akan menjadi ibu susu si kembar. Itu sebabnya sekarang mereka duduk bersebelahan di kursi belakang mobil yang sedang melaju menuju kediaman Morgan.Sementara Jade dan Jane yang dinyatakan bisa meninggalkan ruang NICU pagi ini, ada di mobil lain yang ada di belakang."Maaf, Tante. Aku harus mencari uang untuk membayar utang Lucas." Sydney membalas pesan Ghina.Pesan terkirim. Hanya beberapa detik berselang, ponsel Sydney kembali bergetar dengan balasan lain.[Setidaknya beri tahu Tante ke mana kamu pergi. Tante khawatir, Sayang.]Sydney menggigit bibir. Jari-jarinya mengetik jawaban lain."Aku akan memberi tahu Tante, tapi tidak sekarang. Jangan khawatir."Kali ini, Gh
“Bagaimana jika saya tidak menemukannya dalam dua hari?” tanya Morgan, lebih terdengar seperti ancaman.“Jika tidak, kami terpaksa menggunakan susu formula dari kedelai, tapi saya tidak bisa menjamin hasilnya akan sebaik ASI,” jawab dokter hati-hati.“Tidak ada cara lain?” tanya Morgan menyelidik.Dokter menggeleng dan berkata, “Keadaan mereka sangat mendesak, Tuan. Atau mungkin, Tuan dapat membawa ibu mereka ke sini untuk memberi susu.”Morgan menyipitkan mata ke arah dokter. Seketika hawa dingin menerpa sekitarnya dan membuat lawan bicaranya menutup mulut.“Mereka tidak punya ibu. Hanya ada saya seorang,” jawab Morgan penuh penekanan.Dokter menunduk, memutus tatapan Morgan yang mampu menembus matanya itu. Dia sudah menyinggung pria itu.Sydney yang sejak tadi bersembunyi di balik tembok, menggigit bibirnya. Sekilas, dia menangkap ekspresi Morgan yang terlihat frustasi.‘Anak mana yang tidak punya ibu?’ Sydney tertegun dalam hati.Satu-satunya kemungkinan yang bisa Sydney pikirkan a
Melihat Sydney tidak bereaksi, pria asing itu menghela napas dan berkata, “Walau aku senang kita berada dalam posisi seperti ini, tapi tolong bangun dari tubuhku, Nona.” Dia mendorong Sydney menjauh sebelum akhirnya membantu wanita itu berdiri.Morgan Draxus melihat Sydney hanya menatapnya dalam diam. Sepasang manik hitam indah wanita tersebut seperti mempertanyakan kenapa pria itu memedulikannya, dan hal itu membuat tatapan Morgan yang tadi tajam mulai melunak.“Sekali lagi, aku akan mengingatkanmu. Jangan merepotkan orang lain jika ingin mengakhiri hidup,” ucap Morgan. “Aku orang yang sibuk, jadi aku tidak punya waktu untuk menjadi saksi kasus bunuh diri seorang wanita yang tidak kukenal.”Sydney mengerjapkan mata beberapa kali dan memindai Morgan. Walau wajahnya terpahat dengan begitu sempurna, tapi tubuh besarnya yang penuh tato dan bekas luka membuat Morgan begitu cocok menjadi kambing hitam bagi para polisi.Sydney mengerti keresahan pria itu. Namun, alih-alih membuat gestur mem
“Dokter! Pasien ruang 187 sudah sadar!”Seruan bersemangat itu menembus kesadaran Sydney yang masih samar. Dia membuka matanya perlahan, mencoba membiasakan diri dengan cahaya yang menusuk mata.“Telepon keluarganya! Kabarkan Nona Sydney akhirnya terbangun.”Setelah dokter dan suster menjalankan pemeriksaan terhadap dirinya, pintu bangsal Sydney terbuka.“Sydney!”Sydney menoleh, mengira yang tiba adalah orang tua atau suaminya, tapi … dia harus berakhir kecewa karena yang dia lihat malah bibi dan pamannya, Ghina dan Fred. Ghina memeluk Sydney erat. “Syukurlah kau sudah bangun, Nak,” suara Ghina terdengar lega. Namun, dalam hitungan detik, nada suaranya berubah menjadi isakan tertahan. “Kenapa, Nak? Kenapa kamu berniat bunuh diri seperti itu?!”Sydney mengerutkan kening, rasa pening menyelimuti kepalanya seiring kebingungan menyelimutinya.Bunuh diri? Apa maksud bibinya? Walau kepalanya sempat terbentur, tapi Sydney ingat ada yang telah mendorongnya! Sydney mendudukkan diri perlahan
Di hari ulang tahun putranya, bukan pesta atau kado yang Sydney siapkan, melainkan peti mati dan doa perpisahan.Isaac, putra Sydney yang seharusnya meniup lilin pertamanya, kini hanya nama di batu nisan setelah meninggal akibat penyakit imun yang dideritanya."Kudengar bocah itu bisa selamat kalau mendapatkan transplantasi sumsum. Dengan kekayaan keluarganya, kenapa operasi itu tidak dilakukan saja?" ujar salah satu kerabat yang menghadiri pemakaman. “Kamu tidak tahu? Kata dokter, satu-satunya yang bisa mendonorkan sumsum itu adalah sang ayah, tapi karena hubungan Sydney dan suaminya buruk, sampai anak itu mati, tidak ada transplantasi yang dilakukan.”“Astaga, malangnya. Karena ibu dan ayahnya yang tidak bertanggung jawab, jadi anak yang menjadi korban.”Sydney tersenyum pahit mendengar gosip kerabat di sekelilingnya.Orang-orang ini tidak tahu mengenai apa yang benar-benar terjadi, tapi dengan mudah memperbincangkan keluarganya.Seperti yang dikatakan, penyakit langka yang Isaac d