Dua puluh menit berikutnya, Kemal sudah ada di rumah sang sepupu jauh. Dia langsung menghampiri pria asing yang berdiri di teras. "Nunggu siapa, Bang?" tanya Kemal saat turun dari motornya, tepat di hadapan si preman."Yang punya rumah!" "Ada urusan apa?" sahut putra Khadijah sembari memasukkan kunci ke saku jaket. "Bukannya sudah lunas semua, ya?!" Lelaki berwajah sangar itu mendelik sinis, melihat Kemal dari atas ke bawah. "Bukan urusan lu, pergi sana!" sentaknya menunjuk lurus ke wajah Kemal."Lu yang pergi, gue bisa tuntut lu karena mengganggu privasi. Ini rumah gue!" ujar Kemal tak kalah menatap tajam. Dia meludah ke sembarang arah. "Cuh, sisa utang ke bos gue belum kelar!""Apalagi?" kata Kemal sambil bersedekap. "Eru utang budi waktu mak bapaknya mau mokat di rumkit. Darah bos gue diambil dua labu gegara Eru minta tolong ke beliau. Eru bilang akan bayar itu di lain waktu!" jelasnya dengan suara sangar.Sesungguhnya Kemal paham akan kemana kelanjutan obrolan ini. Tapi, dia
Farhan tergesa, dia berjalan pincang sebab sepatunya belum terpasang dengan benar. "Han, kelarin dulu ngapa," tegur Kemal masih mendekap Farshad. "Buru-buru, Bang. Bye, duo ponakan," kata Farhan gegas berlari ke mobilnya. "Han, suster siapa tadi?" tanya Kemal sedikit lantang membuat Gauri yang sedang melihat video Vlad and Niki di yutub pun teralihkan. "Suster anakan, Bii," sambar Gauri memancing kekehan Kemal.Sayang, Farhan tak mendengar pertanyaan Kemal. Lelaki itu sudah menutup pintu mobil dan kendaraannya mulai menjauhi halaman rumah.Farshad akhirnya lelap dalam gendongan Kemal. Dia ingin menidurkan ponakannya ini tapi tak menemukan siapapun di ruang tamu. "Yai?" panggil Kemal melongokkan kepalanya ke dalam.Bisa saja dia langsung masuk ke dalam, tapi dirinya cemas bertemu Farhana. Ini adalah area pribadi sang guru, kuatir jika tanpa sengaja melihat aurat penghuninya.Kebiasaan para wanita jika di rumah, mereka tak memasang hijab dengan rapi. Sehingga berpotensi terlihat ol
Farhan menegakkan posisi berdiri, manik matanya melebar saat mendengar ucapan Kemal. Bukan hanya dia, Gauri pun tak kalah terkejut. Dia menggoyangkan lengan sang paman, menuntut penjelasan dengan sorot matanya.Delia tak kalah melongo. Dia menggeleng kepala pelan, menyangkal pernyataan sepupu pujaannya ini."Jangan bercanda, Kang!" ujarnya tersenyum miring menatap Kemal. "Eru nggak masuk dalam typemu," tutur Delia mencibir tak percaya."Lantas, apa kamu masuk dalam typeku?" balas Kemal menatap datar saudara jauhnya ini. "Jangan terlalu kontras, Delia. Pria tidak suka itu," lanjutnya sembari menggandeng Gauri dan mengajak Farhan pergi dari sana.Delia mencelos. Kali ini penolakan Kemal sangat jelas. Biasanya lelaki itu hanya diam membiarkan dia melakukan apapun yang disukai di rumah ini.Hati Delia sakit, kebencian pada Mehru kian membuncah. Setelah kepergian Kemal, Sahrul menghampirinya. Lelaki ini memang sangat rese, karena sering membatasi ruang geraknya."Del, gih, balik. Nggak pa
Ahmad langsung menggendong Farshad tapi cucunya tak mau diam. Tak lama, Dewiq pun melakukan hal serupa dan hasilnya sama nihil. Pada akhirnya, setelah setengah jam. Hanya Hana yang bisa sedikit menenangkannya meski rengekan-rengekan kecil Farshad kerap terdengar.Setiap kali Hana berbisik tentang Kayshan, putranya diam. Tapi jika mengungkit soal jangan mencari Kemal lagi, bayi itu kembali menangis."Arsha itu salehnya ibun dan daddy. Tapi ... daddy udah enggak ada jadi harus nurut sama ibun, oke?" Suaranya tercekat di tenggorokan. Dia masih berat kehilangan Kayshan terlebih di saat sekarang. Hening. Setiap terjaga menyusui Farshad di tengah malam, dia masih berharap Kayshan ada disampingnya menemani. Tak jarang, air matanya masih menetes setiap kali merasa lelah mengurus Farshad. Meskipun sang mama memberikan dua suster untuk membantu, tatap saja rasanya lain. Ada hal yang hanya bisa ditenangkan oleh suami.Dukungan sepuluh orang akan kalah dengan kata-kata sederhana bernada lemb
Untung kendaraan itu sempat mengerem meski tidak berhenti total. Mehru tetap terpental jatuh hingga beberapa meter."Awh!" keluhnya meringis saat badannya membentur aspal.Warga sekitar berdatangan menolong Mehru dan membawanya ke sisi jalan. Sementara pengendara motor itu ditahan warga agar tak kabur. Peristiwa tersebut memicu kemacetan jalan raya karena sepatu, kunci motor dan isi tas Mehru tercecer di tengah jalan. Farhan yang melintas di ruas jalan itu ikut terkena imbas. Mobilnya melaju pelan, dia lalu menurunkan kaca pintu, bertanya pada warga yang mengatur arus lalu lintas. Saat mendekati titik kejadian, Farhan terkejut melihat gadis korban lakalantas tersebut. Dia pun menepikan mobil ke bahu jalan lalu menghampiri Mehru yang sedang berusaha berdiri."El?" sebutnya sembari melepas kacamata hitam yang menggantung di hidung bangir Farhan. "Kamu bisa jalan?" tanyanya cemas sebab melihat kaki Mehru luka dan membiru. Tak cuma itu, lengannya juga baret sampai bajunya robek.Gadis
"Teh?" lirih Wira melihat wajah Mehru yang datar. Dia lalu beralih pandang pada si pemesan.Muna baru selesai memindahkan tumpukan tampah basah dari kukusan ke peniris, ikut menoleh ke arah dua pria yang berdiri di ambang di pintu pabrik."Aku nggak buru-buru, kok. Kapan saja digarapnya, yang penting booking duluan," balas sang pria tak kalah alasan. Dia lalu melihat pada Wira. "Pakai DP dulu, 'kan?" imbuhnya.Pemuda SMA itu mengangguk. Tapi dia takut ketika melihat ke arah Mehru yang menggeleng samar padanya. Sorot mata sang kakak pun kian menajam.Sang pemesan mengeluarkan dompet dari waist-bag dan langsung menyodorkan satu ikat uang pecahan 50 ribu ke tangan Wira. "Terima kasih, aku akan ke sini lagi bulan depan." Sang pria lalu berbalik badan dan melenggang pergi dari sana."Dok!" seru Mehru. Tapi, lelaki itu hanya melambaikan tangan ke atas. "Argh!" geramnya sambil mengepalkan tangan.Deru napas Mehru memburu, dia berjalan terseret-seret mendekati Wira dan memintanya mengembalik
Farhan ikut tertawa renyah mendengar celotehan para suster tadi. Dia memang selalu tampil apa adanya. Rapi tapi terkesan santai. Bermimik dingin, eh ternyata ramah. Sang dokter juga dikenal humble. Tak ragu apalagi malu duduk makan siang di kantin dengan para staf dari berbagai divisi. No jaim-jaim meskipun kedudukannya sebagai calon pewaris klan Hermana.Dia mengikis tembok besar kekakuan antara atasan dan bawahan. Tak heran, para suster kerap merasa nyaman bila berpapasan dengannya, karena sang dokter merespon sekitar secara bijak sampai-sampai Farhan dijuluki dokter slay. Farhan masih bertugas di IGD, tahun depan dirinya akan memulai studi lanjutan spesialis. Dalam rentang masa itu, Dewiq memintanya untuk tak menikah lebih dulu agar fokus terhadap pendidikan, karena waktu yang dia miliki sangat sedikit untuk keluarga."Semoga bisa nikah dulu sebelum lanjut," lirihnya saat membaca identitas pasien muda di IGD yang ternyata pengantin baru. "Jangan sampai anak gue masih TK sementara
Kemal menoleh dan tersenyum melihat sosok yang berdiri di ambang pintu. Dia lalu meminta lelaki itu masuk. Mehru sudah gelisah, duduknya tak lagi tenang. Tidak pernah terlintas dalam benak bahwa Kemal mengenal atasannya, dan tampak akrab jika melihat dari cara mereka berinteraksi."Masuk, Han. Oyi barusan tidur," kata Kemal menunjuk dengan jempolnya ke arah belakang.Farhan mengangguk, sembari menunjukkan gestur cacarakan. "Sorry, Bang. Sepatunya ane pakai sebab nggak ada tulisan ~batas suci," timpalnya sembari melangkah menuju ranjang Gauri.~Berjalan sedikit membungkuk untuk menunjukkan rasa hormat pada seseorang yang lebih tua.Kemal terkekeh kecil mendengar celotehan Farhan. Kembaran Hana itu selalu punya cara untuk membuat orang-orang didekatnya melukis senyum.Farhan melihat Mehru sekilas tadi. Dia tahu gadis itu sedikit tak nyaman. Mungkin karena merasa terkejut mengetahui fakta bahwa dirinya mengenal Kemal. Setelah beberapa saat melihat Gauri dan membaca laporan suster ruang
Farhan langsung mendekat dan mengusap tengkuk Mehru. Dia lalu menuntun istrinya kembali duduk di sebelah Dewiq yang juga terlihat cemas."Tolong ambilkan itu," kata Dewiq pada Farhan, menunjuk ke box putih berisi peralatannya di bawah meja sofa.Lelaki itu gegas meraih benda yang dimaksud dan langsung menyodorkan pada sang mama. Dewiq lantas memeriksa menantunya seksama. Setelah beberapa menit, dia melihat pada Farhan, bergantian dengan Mehru. "Beli testpack, deh. Coba kalian hitung sendiri," katanya sembari bangun meninggalkan mereka.Farhan melihat ke arah istrinya lalu menoleh memanggil sang mama. "Lah, Nyak?" "Masa dokter dan suster nggak peka, hadeuh!" kekeh Dewiq sembari melambaikan tangan."Mas?""Kayaknya sih iya, Yang." Farhan meraih ponselnya dari saku celana. Dia lalu duduk disamping istrinya sambil mengingat dan menghitung masa subur Mehru. "Palingan baru sepekan lebih deh. Pas private party di spa itu 'kan aku haid hari pertama," ujar Mehru mengingat acara satu bulan
Setelah semua dokumen selesai dirapikan, Farhan di ajak Kemal masuk ke dalam untuk menemui Mehru. Debaran jantungnya mulai tak normal ketika nyaris mencapai ambang pintu. Meski dilakukan serba mendadak, tapi dirinya yakin bahwa Dewiq pasti memberikan segala yang terbaik.Langkah kaki Farhan terhenti ketika melihat wanita cantik dalam balutan kebaya serba putih, berdiri dan menunduk malu-malu. Tidak ada singer seperti Hana. Hanya Tiara mungil sebagai penghias sekaligus penahan agar hijab panjangnya tak mudah bergeser."Neng Eru, suaminya datang," bisik Khuzaemah, mengusap lembut punggung Mehru agar mendongakkan kepalanya.Lengan Farhan ditarik Dewiq agar dia melangkah masuk. Tapi lelaki itu malah menahan tangan ibunya."Nyak, bentaran ngapah. Kagak paham amat ni bunyi jantung dah kek bedug lebaran," sungutnya sambil mengusap dada."Tandanya idup brati. Ayo, waktunya mepet ... kamu 'kan harus kuliah nanti malam," balas sang mama tersenyum lebar.Farhan menepuk wajahnya. "Etdah ... kek
Kemal tak henti menciumi pipi Farhana dan merangkulnya mesra sejak keluar dari ruangan dokter obgyn. Dia masih setengah tak percaya jika saat ini Hana mengandung buah hati mereka. "Baru tiga pekan." Hana melingkarkan lengannya pada pinggang sang suami. "Alhamdulillah. Kita sementara pindah ke rumah ibu atau mama aja gimana, Za. Biar aku tenang kalau ke toko," ujar Kemal sembari menarik tuas pintu mobil di basement."Nggak mau. Aku pengen di Parung. Kuliah sudah online lagi ... ada mbak yang bantu ngasuh Arsha, bibi pun pasti sering ke rumah liat aku," pinta Hana ketika suaminya sudah duduk di belakang kemudi."Tapi, Sayang ...."Farhana menggenggam jemari kiri Kemal lalu mengecupnya. "Aku tenang dan betah karena di sana ada bau Kakak. Please, nggak mau pindah," tuturnya lembut sambil memandangi wajah teduh sang suami.Putra Khadijah terdiam sesaat, lalu tersenyum mengangguk. "Kalah dah kalau ibun sudah begini," balasnya seraya mengusap pipi Hana yang mulai chubby.Perjalanan mereka
Farhan gegas ke tangga belakang. Dia menggantikan Hana memapah Kemal naik ke atas."Kenapa, Bang?" "Entah, tiba-tiba pusing banget sampai muter-muter gini," tuturnya lirih sambil menahan kepala.Mehru yang sedang menggendong Farshad, buru-buru merapikan bale di teras belakang. Tapi Hana langsung berlari masuk dan membuka kamar mereka. Dia meminta Farhan memapah suaminya masuk, dan memeriksanya.Kembaran Hana itu gegas turun ke bawah mengambil tas kerja darurat yang ada di bagasi mobilnya.Farhan memeriksa iparnya ini, kemudian meminta Mehru mengambil cairan infus di mobilnya."Pusingnya range berapa, Bang? 1-10," tanya Farhan."7, bukan pusing sakit kepala tapi semua berputar-putar cepat." Kemal masih memejam, sambil memijat tengkuknya."Kalau nyeri parah di bagian tertentu, bilang ya, Bang. Nanti kuresepkan pereda nyeri sebelum cek lab.""Kayaknya Kakak kecapean deh. Pergi pulang antar aku ngampus, ke kantor, ke toko parfum ... ikut ngasuh Arsha, kadang kebangun malam beberapa kali
Segimanapun lelahnya, Kemal takkan tidur sebelum Hana kembali rileks. Seperti saat ini, dia mengusap lembut pundak mulus istrinya sembari membicarakan tentang rencana Hana.Deep talk mulai jadwal kuliah, kegiatan Kemal, sikon Arsha juga hal lain yang saling berkaitan.Hana serasa menemukan teman sebaya, yang membuatnya bebas mengeluarkan pendapat. Sekaligus figur seperti sang ayah, penyabar juga memiliki visi ke depan.Dengan Kemal dia merasa menjadi dirinya sendiri. Farhana mulai manja, kekanakan meskipun sikap anggunnya sebagai keturunan Tazkiya tetap melekat. Ibun menduselkan kepalanya di dada sang suami. Mendengar detak jantung Kemal sebelum tidur kini bagai candu, selalu membuatnya mudah masuk ke alam mimpi.Rengekan Farshad terdengar oleh Kemal satu jam ke depan. Dia juga lelah tapi tak tega membangunkan Hana.Kemal perlahan melepaskan dekapannya lalu turun dari ranjang mendekati box Arsha. "Hai boy, sama abi, ya. Jangan ganggu ibun, oke?" ucapnya lirih seraya menggendong kepo
Kemal menjawab Kamala hanya dengan gelengan kepala, dia mengejar Hana yang masuk ke kamar mandi belakang.Tok. Tok."Zaa, buka bentar," pinta Kemal mengetuk pintu, saat mendengar suara mual muntah dari dalam kamar mandi. "Sayang ...."Beberapa detik kemudian, panel itu terbuka. Hana menyembulkan kepalanya di celah pintu.Kemal mendorong pelan, kuatir istrinya kenapa-napa di dalam. "Buka, Sayang."Hana menggeleng sembari menahan pintu. "Kak, bawa daleman aku nggak di mobil?"Dia ingat, pernah melihat satu kontainer di bagasi Innova Zenix milik suaminya. Ketika Hana tanya apa isinya, sang suami menjawab itu adalah pakaian mereka.Untuk berjaga-jaga jika mendadak menginap di suatu tempat. Semua perlengkapan pribadi sudah tertata rapi dalam satu box."Bawa, kenapa?" tanyanya sembari merapikan rambut Hana yang menyembul dari ujung pashmina.Hana menarik lengan sang suami agar mendekat. "Ada pembalut juga?" bisiknya.Kemal mengernyit, sedang mengingat apakah dirinya sudah membeli barang sa
Farhan menarik kaca spion dalam. Dia memastikan penampilannya sudah rapi. "Apeeeee?" sambar Dewiq kali ini tak kalah judes. Farhan menunjuk ke arah saudaranya juga keluarga Kusuma yang hadir. Mereka tampak membawa kotak hias berisi beberapa barang."Itu apaan?" cicit Farhan. Jantungnya sudah berdebar kencang tapi Dewiq malah keluar dari mobil tanpa menjawab pertanyaannya, begitupun dengan sang ayah.Ahmad hanya menaik-turunkan alisnya ketika Farhan turun dari mobil. Sang ayah menepuk pundak putranya lalu menggamit lengan Farhan.Farhan bertanya pada Mahendra dan Aiswa tapi mereka bilang tidak tahu apa-apa. Hanya diminta datang ke sini pagi ini.Sang dokter mulai gugup ketika melihat kediaman Mehru. Teras rumah gadis itu dipenuhi pria sepuh yang menyambut kedatangan keluarganya.Netra jeli putra Ahmad sibuk melihat sana sini, barangkali ada sosok yang bisa memberi penjelasan singkat, tapi harapannya kosong. Bahkan kembarannya pun entah kemana.Rombongan dipersilakan masuk hunian. Set
Ahmad keluar dari ruang baca dan langsung diberondong pertanyaan oleh Farhan."Dalem, Kak, daleeeeemmmm ...." kata Ahmad, menyahuti panggilan putranya yang terlihat gusar. (Dalem bentuk sangat halus dari iya, selain nggih, dalam budaya Jawa)Farhan menarik lengan Ahmad untuk duduk di ruang tengah. "Babeh ingkar janji?" Dahi sang yai mengernyit. "Janji apa?""Janjiku kepadamu, kek lagu lawas." Farhan merengut sebal, entah kemana larinya emosi tadi. Begitu melihat wajah teduh Ahmad semua seketika sirna. "Yang tentang jodohin itu, loh!" "Enggak. Ayah memang masih menerima beberapa proposal baru. Tapi semuanya dikembalikan ... termasuk milik donatur Banten itu," beber Ahmad sambil menunjuk ke arah meja console tempat biasa dia menaruh map-map proposal. "Tuh, kosong."Farhan mendadak termenung. Jadi, penolakan Mehru tadi apakah dia sedang menyembunyikan sesuatu? Ucapan Dewiq yang mengatakan pada Mehru bahwa dirinya akan menggelar lamaran ... jadi ditujukan pada gadis mana? Pikir Farhan.
Mehru melangkah tegap meninggalkan taman penghubung antar cluster itu. Kepalanya menunduk, menyembunyikan senyum getir.Dia mawas diri. Mehru sempat mencari tahu silsilah keluarga Reezi dari Mifyaz. Pemuda itu memang tak bercerita banyak, dia hanya mengatakan bahwa sang dokter adalah cucu dari tokoh terpandang nan alim di daerahnya.Habrizi juga merupakan putra pertama Raden Hasbi, seorang pebisnis ulung di Singapura. Ibunya adalah putri pemilik salah satu perusahaan penyuplai obat-obatan dan alat medis. Posisi dokter itu terlalu tinggi untuknya. Bahkan jika Reezi menunduk pun, belum tentu keluarga besarnya setuju.Jika saja ayahnya masih hidup, mungkin Mehru bisa sedikit menegakkan kepala. Dulu, saat pabrik kerupuk mereka masih berjaya, keluarganya dipandang mampu lagi disegani. Namun, semua itu cuma masa lalu. Mehru buru-buru menepis kekecewaannya dengan menggeleng kepala sembari terus melangkah ke suster station.Satu pekan berlalu begitu saja. Sikap Farhan masih sama. Dan sudah