Segimanapun lelahnya, Kemal takkan tidur sebelum Hana kembali rileks. Seperti saat ini, dia mengusap lembut pundak mulus istrinya sembari membicarakan tentang rencana Hana.Deep talk mulai jadwal kuliah, kegiatan Kemal, sikon Arsha juga hal lain yang saling berkaitan.Hana serasa menemukan teman sebaya, yang membuatnya bebas mengeluarkan pendapat. Sekaligus figur seperti sang ayah, penyabar juga memiliki visi ke depan.Dengan Kemal dia merasa menjadi dirinya sendiri. Farhana mulai manja, kekanakan meskipun sikap anggunnya sebagai keturunan Tazkiya tetap melekat. Ibun menduselkan kepalanya di dada sang suami. Mendengar detak jantung Kemal sebelum tidur kini bagai candu, selalu membuatnya mudah masuk ke alam mimpi.Rengekan Farshad terdengar oleh Kemal satu jam ke depan. Dia juga lelah tapi tak tega membangunkan Hana.Kemal perlahan melepaskan dekapannya lalu turun dari ranjang mendekati box Arsha. "Hai boy, sama abi, ya. Jangan ganggu ibun, oke?" ucapnya lirih seraya menggendong kepo
Farhan gegas ke tangga belakang. Dia menggantikan Hana memapah Kemal naik ke atas."Kenapa, Bang?" "Entah, tiba-tiba pusing banget sampai muter-muter gini," tuturnya lirih sambil menahan kepala.Mehru yang sedang menggendong Farshad, buru-buru merapikan bale di teras belakang. Tapi Hana langsung berlari masuk dan membuka kamar mereka. Dia meminta Farhan memapah suaminya masuk, dan memeriksanya.Kembaran Hana itu gegas turun ke bawah mengambil tas kerja darurat yang ada di bagasi mobilnya.Farhan memeriksa iparnya ini, kemudian meminta Mehru mengambil cairan infus di mobilnya."Pusingnya range berapa, Bang? 1-10," tanya Farhan."7, bukan pusing sakit kepala tapi semua berputar-putar cepat." Kemal masih memejam, sambil memijat tengkuknya."Kalau nyeri parah di bagian tertentu, bilang ya, Bang. Nanti kuresepkan pereda nyeri sebelum cek lab.""Kayaknya Kakak kecapean deh. Pergi pulang antar aku ngampus, ke kantor, ke toko parfum ... ikut ngasuh Arsha, kadang kebangun malam beberapa kali
Kemal tak henti menciumi pipi Farhana dan merangkulnya mesra sejak keluar dari ruangan dokter obgyn. Dia masih setengah tak percaya jika saat ini Hana mengandung buah hati mereka. "Baru tiga pekan." Hana melingkarkan lengannya pada pinggang sang suami. "Alhamdulillah. Kita sementara pindah ke rumah ibu atau mama aja gimana, Za. Biar aku tenang kalau ke toko," ujar Kemal sembari menarik tuas pintu mobil di basement."Nggak mau. Aku pengen di Parung. Kuliah sudah online lagi ... ada mbak yang bantu ngasuh Arsha, bibi pun pasti sering ke rumah liat aku," pinta Hana ketika suaminya sudah duduk di belakang kemudi."Tapi, Sayang ...."Farhana menggenggam jemari kiri Kemal lalu mengecupnya. "Aku tenang dan betah karena di sana ada bau Kakak. Please, nggak mau pindah," tuturnya lembut sambil memandangi wajah teduh sang suami.Putra Khadijah terdiam sesaat, lalu tersenyum mengangguk. "Kalah dah kalau ibun sudah begini," balasnya seraya mengusap pipi Hana yang mulai chubby.Perjalanan mereka
Setelah semua dokumen selesai dirapikan, Farhan di ajak Kemal masuk ke dalam untuk menemui Mehru. Debaran jantungnya mulai tak normal ketika nyaris mencapai ambang pintu. Meski dilakukan serba mendadak, tapi dirinya yakin bahwa Dewiq pasti memberikan segala yang terbaik.Langkah kaki Farhan terhenti ketika melihat wanita cantik dalam balutan kebaya serba putih, berdiri dan menunduk malu-malu. Tidak ada singer seperti Hana. Hanya Tiara mungil sebagai penghias sekaligus penahan agar hijab panjangnya tak mudah bergeser."Neng Eru, suaminya datang," bisik Khuzaemah, mengusap lembut punggung Mehru agar mendongakkan kepalanya.Lengan Farhan ditarik Dewiq agar dia melangkah masuk. Tapi lelaki itu malah menahan tangan ibunya."Nyak, bentaran ngapah. Kagak paham amat ni bunyi jantung dah kek bedug lebaran," sungutnya sambil mengusap dada."Tandanya idup brati. Ayo, waktunya mepet ... kamu 'kan harus kuliah nanti malam," balas sang mama tersenyum lebar.Farhan menepuk wajahnya. "Etdah ... kek
Farhan langsung mendekat dan mengusap tengkuk Mehru. Dia lalu menuntun istrinya kembali duduk di sebelah Dewiq yang juga terlihat cemas."Tolong ambilkan itu," kata Dewiq pada Farhan, menunjuk ke box putih berisi peralatannya di bawah meja sofa.Lelaki itu gegas meraih benda yang dimaksud dan langsung menyodorkan pada sang mama. Dewiq lantas memeriksa menantunya seksama. Setelah beberapa menit, dia melihat pada Farhan, bergantian dengan Mehru. "Beli testpack, deh. Coba kalian hitung sendiri," katanya sembari bangun meninggalkan mereka.Farhan melihat ke arah istrinya lalu menoleh memanggil sang mama. "Lah, Nyak?" "Masa dokter dan suster nggak peka, hadeuh!" kekeh Dewiq sembari melambaikan tangan."Mas?""Kayaknya sih iya, Yang." Farhan meraih ponselnya dari saku celana. Dia lalu duduk disamping istrinya sambil mengingat dan menghitung masa subur Mehru. "Palingan baru sepekan lebih deh. Pas private party di spa itu 'kan aku haid hari pertama," ujar Mehru mengingat acara satu bulan
“A-abang, tunggu.” Pria yang dipanggilnya berhenti saat akan menaiki tangga.Namun, tanpa berbalik badan, pria itu berujar dengan nada dingin, “Apalagi?! Aku malas bicara denganmu.”Hanya berjarak beberapa jengkal darinya, suara bariton sang suami yang baru menikahinya hari ini terdengar tajam menusuk gendang telinga. Sekadar menelan ludah pun terasa sulit.“Kenapa pisah kamar?” tanya Farhana pelan sambil menelengkan kepala memandang punggung Kayshan. “Harusnya ‘kan—“Farhana sang gadis alim menunduk, tersenyum samar. Dia terlalu malu melanjutkan perkataannya yang menjurus pada keintiman hubungan suami istri.Namun, di luar dugaan, Kay justru menengadah, kemudian mendengus kasar sebelum berbalik badan.Tatapan benci dilayangkan untuk gadis yang baru saja dia peristri. “Apa yang kamu harapkan, hah?!” ucapnya sinis sambil melangkah maju.Farhana mengangkat kepala, terkesiap ketika mendapat delikan menusuk. Dia ketakutan dan mundur perlahan, mencari celah untuk menghindar. Tapi, jarak rua
Bruk!Pintu pun menutup, selaras dengan melorotnya tubuh Farhana menyentuh lantai. Kata-kata Kayshan teramat dingin untuk seorang yang berpenampilan hangat sepertinya.“Kenapa jadi begini,” gumam Farhana. Tanpa dia sadari, setetes air matanya jatuh menyentuh pipi.Farhana terduduk lumayan lama di ruang tamu. Dia kira hatinya siap menerima risiko menikahi pria berkubang masa lalu. Tapi, ternyata dia tak mampu mengendalikan rasa sakit yang merejam dadanya.Hela napas berat terhempas. Farhana bangun berdiri, memilih menghampar sajadah menyapa waktu duha di kamar. Petang nanti, dia akan coba mengajukan permohonan kuliah online pada Kayshan.“Ya Robb, apa keputusanku salah dan ini adalah teguran sebab aku tidak menuruti ibu?” Farhana lirih berdoa seraya memejam.Dia teringat pertengkaran dengan ibunya sesaat sebelum menikah. Sang bunda dengan tegas melarang sebab melihat Kayshan terpaksa melakukan pernikahan lantaran pesan Elea.Beliau kuatir Farhana akan diabaikan. Yang lebih parah lagi, p
“Dia ....” Kayshan melihat manik mata Farhana, lalu membuang muka sambil berkata, “Sepupuku.”Farhana mencelos. Selain karena ucapan semalam, pengakuan sarkas Kayshan barusan menambah luka hatinya dan membuat Katrin besar kepala.“Oh, cuma sepupu.” Wanita itu memandang remeh sembari menyunggingkan senyum sinis pada Farhana. “Benalu, ya!” kekehnya sambil bersedekap menyandar pada tiang tangga.Farhana melotot, tangannya mengepal sambil menghentakkan kaki. “Mau lagi, huh?!” gertaknya ke arah wanita tak tahu malu itu sampai membuatnya menutupi kepala dengan kedua lengan.Melihat lawannya ketakutan, Farhana tertawa. Tidak lama, dia masuk ke kamarnya dan membanting pintu untuk meluapkan emosi. Brak!Punggung keturunan alim itu bersandar di balik panel. Beberapa bagian tubuhnya sakit akibat berkelahi tadi. Namun, hatinya lebih berdenyut nyeri. Dia melorot terduduk di lantai sambil memukuli dada yang mulai sesak, berharap bisa mengurangi kadar perihnya.“Nggak boleh cengeng, Hana. Masa sarj