Begitu juga Eman. Wajah baby face nya membuat ia selalu terlihat muda. Dan yang jelas, mereka sangat suka mencandai Iman."Ini buat Abang dan Kang Mas. Ini buat Bapak." Anto dan Eman tertawa karena Anet menyambut kelakar mereka."Kesannya jadi Aku yang paling tua!" sungut Iman seraya mengambil mie nya. Anto dan Eman juga mengambil mie mereka masing - masing. "Emang Kamu paling tua, Man!" cengir Anto. Iman membelalakkan netranya. Apa nggak salah? "Muka Kamu sering ditekuk gitu, jadi lecek, butek,.." "Makanya mukanya jangan ditekuk mulu, jadi boros 'kan?" tambah Eman. "Boros apanya?" Iman mendesis karena menyuap mie yang masih panas. "Muka Kamu, boros!" Anto dan Eman tertawa. "Sialan!" tapi Iman ikut tertawa saat mengatakannya. Sahabat - sahabatnya ini bisa lebih parah lagi mengatainya. "Anet, mana minumnya? Makan kok nggak dikasih minum, sih? Kang Mas seret, nih!""Kang Mas kepalamu!" Iman menjebik. Bibirnya jadi seperti Donald bebek yang tukang ngomel itu. "Minumnya apa?" tany
Hujan seharian membuat air sungai di samping rumah mereka meluap. "Anet, tagih para pemancing itu sekarang." Anet segera melaksanakan perintah Nisa padahal lomba baru setengah jalan pada season 2 ini. "Rima, angkatin gelas - gelas. Yang sempet di cuci ya di cuci. Kalau nggak, tumpukkin aja di sana." titah Nisa menunjuk bak westafel.Anet dan Rima bergerak cepat. Nisa menerima uang yang diberikan Anet dan catatannya ia letakkan di atas etalase rokok."Kalian cepat pulang, sebelum air semakin tinggi." titah Nisa lagi. "Iya, Bu." sebelum pulang Anet mengambil beberapa photo dengan kamera hpnya."Tanggul Cibeureum jebol!"Air melimpah naik saat lomba masih berlangsung. Lomba berhenti dengan sendirinya. Banyak yang langsung pulang tanpa banyak bicara. Ada yang sempat berpamitan tapi terkesan tergesa - gesa."Istri lagi sendirian, Bos!""Mau Kamu kekepin?""Bukan. Takut banjir!"Pemancing banyak yang terjebak karena mereka menunggu hujan reda sementara hujan bukannya berhenti justru t
"Doni makan dulu aja, ah" Doni langsung duduk di dekat kaki Nisa seraya meraih nasi goreng itu."Baju Kamu basah, Don. Ganti dulu sana!""Tapi Doni lapar, Mah." "Mana enak makan pakai baju basah?" komentar Deni. "Enak aja, lah!" Doni cuek dan langsung menyuap nasinya. Yang lainnya pergi ke dalam untuk berganti pakaian. "Habis semua, Mah." keluh Iman saat ia kembali ke tempat Nisa duduk. Kaosnya kering, sekering hatinya. "7 ton ikan nggak bersisa sama sekali.""Lalu bagaimana?" Nisa nyaris menangis. Itu juga menjadi pertanyaan Iman. Bagaimana? Bagaimana cara mereka menghidupkan lagi pemancingan ini? Pemancingan yang menjadi tempat bergantung mereka. Mereka menatap empang mereka yang tertutup air sejauh mata memandang. Tembok - tembok lampak sama sekali tidak terlihat padahal saat renovasi pada banjir pertama sekian tahun yang lalu mereka sudah merancangnya sedemikian rupa. Mereka membuat tembok yang lebih tinggi."Kalau banjir lagi, tinggal di tarik jaring dari sana ke sini. Ikan
"Nggak usah ngapa - ngapain." jawab Iman santai. Kok gitu? "Tapi Kita 'kan harus makan, Pah. Masa' mau ngandelin Abang terus?" abang Hasby yang Nisa maksud. "Nanti Kita beli aja.""Tapi bagaimana dengan yang lain? Kita nggak mungkin makan sendirian, Pah. Kita juga nggak mungkin beliin mereka semua. Uang Kita nggak banyak." "Ya beli masing - masing, lah." sesantai itu. Semudah itu. Itulah Iman. Ia tidak pernah mau berpikiran panjang. "Mamah belanja, ya? Biar yang lain juga bisa makan.""Bagaimana keluar dari sini? Mamah mau berenang?" Nisa tersadar. Rumah ini terkepung banjir. "Kalau beli gimana? Kan harus keluar juga.""Nanti. Kalau airnya udah turun sedikit."Nisa menghela nafas. Kalau airnya surut, mereka baru bisa membeli makanan. Kapan itu terjadi? Sedang langit masih terlihat gelap karena awan kelabunya. Mendung. Dari gelapnya langit di atas mereka, sepertinya akan ada hujan susulan. Matahari hanya menunjukkan kalau hari sudah semakin siang. "Mamaaah!" ada suara sayup -
Sreeett! Sari memejamkan matanya saat Pak Kyai itu menggoreskan silet di bagian payudaranya yang terbuka. Silet? Ya, silet. Bukan pisau bedah atau sejenisnya. Sari merasa tenang karena ia tidak merasakan apa - apa. Sari merasa ada yang ditarik keluar dari dalam dadanya. Tapi ia tidak merasakan sakit sama sekali. "Tinggal di lem." kata Pak Kyai halus. Di lem?Sari yang tidak mengerti maksud perkataan Pak Kyai hanya dapat berdoa dalam hati. 'Ya Allah! Tolong angkat penyakitku ini.'"Sudah selesai ya, Bu?" terdengar suara Pak Kyai beberapa saat kemudian. "Terimakasih, Pak Kyai." Sari menganggukkan kepalanya sebelum ada orang yang mendorong tempat tidurnya keluar dari ruang operasi itu. "Mamah nggak papa?" suara Mona menyambutnya. Ia heran melihat Sari masih dalam keadaan sadar. Mona dan yang lainnya mengikuti Sari yang di bawa ke dalam sebuah ruangan. Mungkin ini adalah kamar rawatnya. Dan orang yang membawanya itu adalah perawatnya. "Ini obat yang harus Ibu minum sekarang." Per
"Dioperasi? Katanya istrimu itu nggak mau dioperasi tapi kenapa sekarang mau padahal bukan sama dokter?" Edi tidak mampu membalas tatapan tajam adik perempuan satu - satunya ini. Ia mengalihkan tatapannya pada Hasby untuk meminta bantuan. "Kamu bagaimana sih, Bang? Kamu lagi main - main sama nyawa istrimu?" sembur Yanah lagi. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran abangnya yang satu ini. Edi berani memutuskan sesuatu yang belum jelas kebenarannya. Dan akibatnya nanti bukan main - main! "Ini.. Itu.." Edi terbata - bata. Semula ia ingin mengabarkan 'kehebatan' pak Kyai yang sudah 'menyembuhkan' istrinya. Tapi tak disangka adiknya ini justru meradang. Hasby juga hanya dapat menggelengkan kepalanya. Berharap yang sudah Edi putuskan bukanlah sebuah kesalahan. Mereka saat ini sedang berkumpul di depan rumah Yanah. Mereka ingin membezoek Sari dan menanyakan keadaannya setelah kepulangan mereka semalam. Edi yang ingin pergi ke warung dipanggil oleh Hasby. Saat itulah Edi menceritaka
Tak di sangka, Ijay berbaik hati menawarkan bantuan meski hanya menawarkan cara untuk menambah modal dengan meminjam pada Bank simpan pinjam langganannya. "Bagaimana kalau banjir lagi? Habis semua!" teriak Iman.Mereka terdiam. Iman benar. Bagaimana kalau banjir lagi sementara hutang mereka bertumpuk? Nisa bergidik. Akhirnya Nisa dan Deni menyerah. Siapa bilang suara terbanyak itu menang? Setelah lantai mereka terlihat, mereka mulai membenahi semuanya. Nisa dan Wiwi membenahi rumah mereka yang berantakan dibantu Nino dan Doni. Deni membantu Iman membereskan Empang mereka yang rusak di sana sini. Iman juga memanggil tukang untuk membuat kolam untuk ikan mas di depan empang. Juga membeli blowernya. Semua memakai uang yang diberikan mama Wida. Nisa merasa kesal karena Iman sama sekali bergantung pada uang itu. Ia sama sekali tidak mau mencari tambahan dengan servis mobil, misalnya. Semua itu ditolak dengan alasan sibuk.'Sibuk apanya, padahal semua itu bisa ditinggal.' Nisa menjadi
"Itu lomba, Na. Bukan judi." "Kalian yang ngadain lomba, tapi mereka yang ikut lomba niatnya bagaimana?" kebanyakan dari mereka memang berambisi untuk menang. Apa itu namanya? "Ya itu tergantung niatnya, sih." Ina mencoba menghibur saat melihat Nisa ingin menangis. Nisa tercenung. Mungkin Ina benar. Pantas saja Allah menimpakan banjir ini untuk mereka. Allah sedang menegur mereka. "Ampuni Aku, Ya Allah." tangis Nisa dalam sujudnya. Ia mulai ikhlas menerima keadaan ini. Pemancing mulai bertambah dengan senyuman di bibir Nisa. Ia mulai dapat melaksanakan ibadahnya tanpa terburu - buru karena ia tau para pemancing itu akan dengan sabar menunggunya. Nisa bahkan meminta maaf pada Iman. "Maafin Mamah ya, Pah." Nisa memeluk Iman dari belakang. Iman melepas palukan Nisa dan berbalik memeluk Nisa. "Mamah cuma capek. Mamah kaget tiba - tiba semua jadi begini. Mamah jadi stress." Nisa membenamkan wajahnya di dada Iman yang langsung membelai rambutnya. "Kok Papah diem aja? P