Tak di sangka, Ijay berbaik hati menawarkan bantuan meski hanya menawarkan cara untuk menambah modal dengan meminjam pada Bank simpan pinjam langganannya. "Bagaimana kalau banjir lagi? Habis semua!" teriak Iman.Mereka terdiam. Iman benar. Bagaimana kalau banjir lagi sementara hutang mereka bertumpuk? Nisa bergidik. Akhirnya Nisa dan Deni menyerah. Siapa bilang suara terbanyak itu menang? Setelah lantai mereka terlihat, mereka mulai membenahi semuanya. Nisa dan Wiwi membenahi rumah mereka yang berantakan dibantu Nino dan Doni. Deni membantu Iman membereskan Empang mereka yang rusak di sana sini. Iman juga memanggil tukang untuk membuat kolam untuk ikan mas di depan empang. Juga membeli blowernya. Semua memakai uang yang diberikan mama Wida. Nisa merasa kesal karena Iman sama sekali bergantung pada uang itu. Ia sama sekali tidak mau mencari tambahan dengan servis mobil, misalnya. Semua itu ditolak dengan alasan sibuk.'Sibuk apanya, padahal semua itu bisa ditinggal.' Nisa menjadi
"Itu lomba, Na. Bukan judi." "Kalian yang ngadain lomba, tapi mereka yang ikut lomba niatnya bagaimana?" kebanyakan dari mereka memang berambisi untuk menang. Apa itu namanya? "Ya itu tergantung niatnya, sih." Ina mencoba menghibur saat melihat Nisa ingin menangis. Nisa tercenung. Mungkin Ina benar. Pantas saja Allah menimpakan banjir ini untuk mereka. Allah sedang menegur mereka. "Ampuni Aku, Ya Allah." tangis Nisa dalam sujudnya. Ia mulai ikhlas menerima keadaan ini. Pemancing mulai bertambah dengan senyuman di bibir Nisa. Ia mulai dapat melaksanakan ibadahnya tanpa terburu - buru karena ia tau para pemancing itu akan dengan sabar menunggunya. Nisa bahkan meminta maaf pada Iman. "Maafin Mamah ya, Pah." Nisa memeluk Iman dari belakang. Iman melepas palukan Nisa dan berbalik memeluk Nisa. "Mamah cuma capek. Mamah kaget tiba - tiba semua jadi begini. Mamah jadi stress." Nisa membenamkan wajahnya di dada Iman yang langsung membelai rambutnya. "Kok Papah diem aja? P
"Bikin lombanya setiap hari aja, Man. Ramai, Teteh senang lihatnya." celetuk Yanah. Mereka seperti melupakan masa sebelum banjir yang mengubah pemancingan galatama lele menjadi pemancingan ikan mas seperti sekarang ini. Dulu Yanah tidak suka empang ramai karena rasa julidnya pada Nisa. Ia tidak ingin Nisa mendapat banyak keuntungan dari warungnya. Tetapi setelah banjir melanda dan empang Iman berubah menjadi pemancingan ikan mas, malam - malam mereka jadi selalu sepi dan gelap karena pemancing - pemancing ikan mas tidak suka lampu dinyalaka . Mereka ingin suasana gelap. Konon katanya ikan - ikan mas tidak suka suasana terang. Mereka tidak akan naik untuk memakan umpannya. "Bagaimana kalau siang hari? Kan terang juga, tuh." tanya Nisa kala mereka baru membuka pemancingan ikan mas ini."Sinar matahari 'kan beda sama sinar lampu.""Ikannya kok pinter - pinter banget, ya? Bisa mbedain sinar lampu sama sinar matahari." komentar Nisa takjub.Ada - ada saja. Sebenarnya Nisa justru senang
Ancaman Yanah akan melabraknya tidak membuat Nisa gentar. "Semua saudaramu boleh nyerang Aku, Aku nggak takut, Pah. Ini empang Aku, apa hak mereka ikut campur!" suara Nisa meninggi. Ini memang empang Nisa karena Iman tidak kunjung membayar hutangnya pada Wida. Dari awal mula membuat pemancingan ini sepenuhnya memakai uang Wida yang berarti adalah uang Nisa juga. Dan Iman bukan melunasinya justru selalu menambah hutangnya, bahkan saat banjir kemarin mereka lagi - lagi 'meminjam' uang Wida. Pinjaman tak berbayar. Iman lupa kalau sebenarnya bos empang itu adalah Nisa, bukan dirinya. Nisa juga tidak pernah mengatakan itu sebelumnya. Kali ini ia merasa didesak untuk mengatakan itu. Semua orang selain saudara - saudara Iman juga tidak mengetahui itu. Termasuk Arga. Bos empang yang sebenarnya adalah Nisa, bukan Iman. "Cukup lomba ini sekali aja." putus Nisa. Iman menyerah, tapi Arga tidak. Ia tetap mengajak pemancing untuk mengikuti lomba untuk minggu depan."Lampak full, Bu." lapornya. N
Arga tertawa. Ia geli melihat wajah Nisa yang memerah karena marah. Belum lagi bibirnya yang lebih mancung dari biasanya. "Saya 'kan cuma cerita, Bu. Ibu sensi amat, sih." katanya mencoba meredakan emosi Nisa. Nisa menghela nafas. Anak - anaknya sangat suka ayam goreng buatannya tapi semua orang itu seperti Arga ini. Mempertanyakan dirinya yang selalu menyediakan ungkep ayam di kulkasnya. Apa tidak bosan? Masbulloh? Masalah buat Loh? "Nggak usah banyak komentar." nada suara Nisa melunak. Ia meletakkan ayam yang sudah selesai diungkep itu ke dalam sebuah wadah dan meletakkannya di atas meja warung. Setelah dingin baru akan dimasukkan ke dalam kulkasrd. Ia menoleh pada Arga. "Mau?" tawarnya. Arga menelan salivanya. Meskipun ia bilang anak - anaknya tidak suka ayam, tapi ia sangat menyukainya. Di rumah karena anak - anaknya lebih memilih ikan maka ibu mereka atau istrinya lebih memilih memasak ikan daripada ayam.'Aduhh, mana wangi banget ayamnya. Pasti enak.' keluhnya dalam hati.
"Teh Sari kelihatannya sih baik - baik saja. Mudah - mudahan memang benar begitu.""Kita lihat saja nanti." timpal Iman tak yakin, meskipun ia tetap mengharapkan yang terbaik untuk kakak iparnya itu. Nisa hanya dapat menghela nafas. Berdoa agar Sari memang sembuh seperti yang mereka harapkan.'Mudah - mudahan Pak Kyai itu memang benar - benar sakti. Jangan mencoreng nama baik orang muslim karena gelar Kyainya kalau ternyata Ia cuma seorang penipu.' harap Nisa dalam hati.Sudah seminggu berlalu. Sepertinya yang mereka khawatirkan tidak terbukti sampai Yanah mengabarkan perkembangan dari kesehatan Sari. "Ada bintik - bintik merah." di sekitar luka operasinya.""Bintik merah seperti alergi. Ada gelembung - gelembung airnya." tanpa sadar mereka bergidik ngeri. Bintik - bintik di sekitar luka operasi? "Apa gatal? Atau sakit?""Belum nanya. Lupa." Yanah menggeleng - geleng. "Kok bisa begitu, ya?""Itu karena Sari makan ikan asin!" timpal Edi gemas. Ia sudah melarang istrinya itu untuk
Cup! Iman mendaratkan kecupan kecil pada kening Nisa di depan semua mata memandang. Di dalam mobil Yanti membuang mukanya melihat adegan itu. 'Perasaan Bang Mumu nggak pernah seromantis itu.' hatinya tiba - tiba menjadi hambar. Pandangannya jadi bersirobok dengan Ijay yang duduk di sebelahnya."Apa?!" Ijay manyun. "Idih! Abang yang kenapa?!" Yanti ikut manyun. Ijay juga memperhatikan semua adegan Nisa memukul lengan Iman dengan manja dan berakhir dengan kecupan di keningnya itu dengan hati meletup - letup. 'Masih di sini aja udah romantis - romantisan gitu. Gimana nanti? Bisa - bisa tensiku langsung melonjak naik!' maki Ijay dalam hati. Ia misah misuh sendiri, membuat Yanah yang duduk di depannya merasa iba. "Kenapa, Pah? Papah kesal duduk di belakang?" ia salah menebak. Ijay mendengus seperti seekor banteng yang dikibarkan kain berwarna merah. "Kok Kita nggak jalan - jalan, sih? Masih nungguin siapa? Lama Amir!""Amir kepalamu peyang! Sabar dikit kenapa, sih?" jeplak Yanah
Nisa merapikan rumah Sari, membereskan tempat tidur dan mengganti spreinya dengan yang bersih agar jika pulang nanti Sari dapat langsung berustirahat. Setelah selesai menyapu dan mengepel Nisa menutup pintunya. Ia pulang ke rumahnya karena tidak ada lagi yang harus ia kerjakan. "Kira - kira kapan mereka pulang ya, Pah?" tanyanya ketika ia sudah berada di rumahnya. "Mungkin besok. Yang dulu juga begitu, 'kan?""Tapi waktu itu 'kan, Teh Sari operasi, jadi harus menginap?" Iman mengangkat bahunya. Ia seperti tidak terlalu perduli. Sementara Nisa berharap ada kabar baik dari mereka, mereka ribut di dalam mobil saat mereka terbangun. "Kenapa pada tidur semua, sih?" umpat Yanah. Ia menyesali kenapa ia juga tertidur begitu lama padahal ia ingin membeli oleh - oleh. "Kamu kan juga tidur!" semprot Edi."Aku 'kan cewek, bisa apa Aku?""Apa hubungannya cewek sama cowok? Ngantuk ya ngantuk aja!" kali ini Edi tidak mau mengalah. Sari yang duduk di antara mereka menutup kedua telinganya. Mata