"Nggak usah ngapa - ngapain." jawab Iman santai. Kok gitu? "Tapi Kita 'kan harus makan, Pah. Masa' mau ngandelin Abang terus?" abang Hasby yang Nisa maksud. "Nanti Kita beli aja.""Tapi bagaimana dengan yang lain? Kita nggak mungkin makan sendirian, Pah. Kita juga nggak mungkin beliin mereka semua. Uang Kita nggak banyak." "Ya beli masing - masing, lah." sesantai itu. Semudah itu. Itulah Iman. Ia tidak pernah mau berpikiran panjang. "Mamah belanja, ya? Biar yang lain juga bisa makan.""Bagaimana keluar dari sini? Mamah mau berenang?" Nisa tersadar. Rumah ini terkepung banjir. "Kalau beli gimana? Kan harus keluar juga.""Nanti. Kalau airnya udah turun sedikit."Nisa menghela nafas. Kalau airnya surut, mereka baru bisa membeli makanan. Kapan itu terjadi? Sedang langit masih terlihat gelap karena awan kelabunya. Mendung. Dari gelapnya langit di atas mereka, sepertinya akan ada hujan susulan. Matahari hanya menunjukkan kalau hari sudah semakin siang. "Mamaaah!" ada suara sayup -
Sreeett! Sari memejamkan matanya saat Pak Kyai itu menggoreskan silet di bagian payudaranya yang terbuka. Silet? Ya, silet. Bukan pisau bedah atau sejenisnya. Sari merasa tenang karena ia tidak merasakan apa - apa. Sari merasa ada yang ditarik keluar dari dalam dadanya. Tapi ia tidak merasakan sakit sama sekali. "Tinggal di lem." kata Pak Kyai halus. Di lem?Sari yang tidak mengerti maksud perkataan Pak Kyai hanya dapat berdoa dalam hati. 'Ya Allah! Tolong angkat penyakitku ini.'"Sudah selesai ya, Bu?" terdengar suara Pak Kyai beberapa saat kemudian. "Terimakasih, Pak Kyai." Sari menganggukkan kepalanya sebelum ada orang yang mendorong tempat tidurnya keluar dari ruang operasi itu. "Mamah nggak papa?" suara Mona menyambutnya. Ia heran melihat Sari masih dalam keadaan sadar. Mona dan yang lainnya mengikuti Sari yang di bawa ke dalam sebuah ruangan. Mungkin ini adalah kamar rawatnya. Dan orang yang membawanya itu adalah perawatnya. "Ini obat yang harus Ibu minum sekarang." Per
"Dioperasi? Katanya istrimu itu nggak mau dioperasi tapi kenapa sekarang mau padahal bukan sama dokter?" Edi tidak mampu membalas tatapan tajam adik perempuan satu - satunya ini. Ia mengalihkan tatapannya pada Hasby untuk meminta bantuan. "Kamu bagaimana sih, Bang? Kamu lagi main - main sama nyawa istrimu?" sembur Yanah lagi. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran abangnya yang satu ini. Edi berani memutuskan sesuatu yang belum jelas kebenarannya. Dan akibatnya nanti bukan main - main! "Ini.. Itu.." Edi terbata - bata. Semula ia ingin mengabarkan 'kehebatan' pak Kyai yang sudah 'menyembuhkan' istrinya. Tapi tak disangka adiknya ini justru meradang. Hasby juga hanya dapat menggelengkan kepalanya. Berharap yang sudah Edi putuskan bukanlah sebuah kesalahan. Mereka saat ini sedang berkumpul di depan rumah Yanah. Mereka ingin membezoek Sari dan menanyakan keadaannya setelah kepulangan mereka semalam. Edi yang ingin pergi ke warung dipanggil oleh Hasby. Saat itulah Edi menceritaka
Tak di sangka, Ijay berbaik hati menawarkan bantuan meski hanya menawarkan cara untuk menambah modal dengan meminjam pada Bank simpan pinjam langganannya. "Bagaimana kalau banjir lagi? Habis semua!" teriak Iman.Mereka terdiam. Iman benar. Bagaimana kalau banjir lagi sementara hutang mereka bertumpuk? Nisa bergidik. Akhirnya Nisa dan Deni menyerah. Siapa bilang suara terbanyak itu menang? Setelah lantai mereka terlihat, mereka mulai membenahi semuanya. Nisa dan Wiwi membenahi rumah mereka yang berantakan dibantu Nino dan Doni. Deni membantu Iman membereskan Empang mereka yang rusak di sana sini. Iman juga memanggil tukang untuk membuat kolam untuk ikan mas di depan empang. Juga membeli blowernya. Semua memakai uang yang diberikan mama Wida. Nisa merasa kesal karena Iman sama sekali bergantung pada uang itu. Ia sama sekali tidak mau mencari tambahan dengan servis mobil, misalnya. Semua itu ditolak dengan alasan sibuk.'Sibuk apanya, padahal semua itu bisa ditinggal.' Nisa menjadi
"Itu lomba, Na. Bukan judi." "Kalian yang ngadain lomba, tapi mereka yang ikut lomba niatnya bagaimana?" kebanyakan dari mereka memang berambisi untuk menang. Apa itu namanya? "Ya itu tergantung niatnya, sih." Ina mencoba menghibur saat melihat Nisa ingin menangis. Nisa tercenung. Mungkin Ina benar. Pantas saja Allah menimpakan banjir ini untuk mereka. Allah sedang menegur mereka. "Ampuni Aku, Ya Allah." tangis Nisa dalam sujudnya. Ia mulai ikhlas menerima keadaan ini. Pemancing mulai bertambah dengan senyuman di bibir Nisa. Ia mulai dapat melaksanakan ibadahnya tanpa terburu - buru karena ia tau para pemancing itu akan dengan sabar menunggunya. Nisa bahkan meminta maaf pada Iman. "Maafin Mamah ya, Pah." Nisa memeluk Iman dari belakang. Iman melepas palukan Nisa dan berbalik memeluk Nisa. "Mamah cuma capek. Mamah kaget tiba - tiba semua jadi begini. Mamah jadi stress." Nisa membenamkan wajahnya di dada Iman yang langsung membelai rambutnya. "Kok Papah diem aja? P
"Bikin lombanya setiap hari aja, Man. Ramai, Teteh senang lihatnya." celetuk Yanah. Mereka seperti melupakan masa sebelum banjir yang mengubah pemancingan galatama lele menjadi pemancingan ikan mas seperti sekarang ini. Dulu Yanah tidak suka empang ramai karena rasa julidnya pada Nisa. Ia tidak ingin Nisa mendapat banyak keuntungan dari warungnya. Tetapi setelah banjir melanda dan empang Iman berubah menjadi pemancingan ikan mas, malam - malam mereka jadi selalu sepi dan gelap karena pemancing - pemancing ikan mas tidak suka lampu dinyalaka . Mereka ingin suasana gelap. Konon katanya ikan - ikan mas tidak suka suasana terang. Mereka tidak akan naik untuk memakan umpannya. "Bagaimana kalau siang hari? Kan terang juga, tuh." tanya Nisa kala mereka baru membuka pemancingan ikan mas ini."Sinar matahari 'kan beda sama sinar lampu.""Ikannya kok pinter - pinter banget, ya? Bisa mbedain sinar lampu sama sinar matahari." komentar Nisa takjub.Ada - ada saja. Sebenarnya Nisa justru senang
Ancaman Yanah akan melabraknya tidak membuat Nisa gentar. "Semua saudaramu boleh nyerang Aku, Aku nggak takut, Pah. Ini empang Aku, apa hak mereka ikut campur!" suara Nisa meninggi. Ini memang empang Nisa karena Iman tidak kunjung membayar hutangnya pada Wida. Dari awal mula membuat pemancingan ini sepenuhnya memakai uang Wida yang berarti adalah uang Nisa juga. Dan Iman bukan melunasinya justru selalu menambah hutangnya, bahkan saat banjir kemarin mereka lagi - lagi 'meminjam' uang Wida. Pinjaman tak berbayar. Iman lupa kalau sebenarnya bos empang itu adalah Nisa, bukan dirinya. Nisa juga tidak pernah mengatakan itu sebelumnya. Kali ini ia merasa didesak untuk mengatakan itu. Semua orang selain saudara - saudara Iman juga tidak mengetahui itu. Termasuk Arga. Bos empang yang sebenarnya adalah Nisa, bukan Iman. "Cukup lomba ini sekali aja." putus Nisa. Iman menyerah, tapi Arga tidak. Ia tetap mengajak pemancing untuk mengikuti lomba untuk minggu depan."Lampak full, Bu." lapornya. N
Arga tertawa. Ia geli melihat wajah Nisa yang memerah karena marah. Belum lagi bibirnya yang lebih mancung dari biasanya. "Saya 'kan cuma cerita, Bu. Ibu sensi amat, sih." katanya mencoba meredakan emosi Nisa. Nisa menghela nafas. Anak - anaknya sangat suka ayam goreng buatannya tapi semua orang itu seperti Arga ini. Mempertanyakan dirinya yang selalu menyediakan ungkep ayam di kulkasnya. Apa tidak bosan? Masbulloh? Masalah buat Loh? "Nggak usah banyak komentar." nada suara Nisa melunak. Ia meletakkan ayam yang sudah selesai diungkep itu ke dalam sebuah wadah dan meletakkannya di atas meja warung. Setelah dingin baru akan dimasukkan ke dalam kulkasrd. Ia menoleh pada Arga. "Mau?" tawarnya. Arga menelan salivanya. Meskipun ia bilang anak - anaknya tidak suka ayam, tapi ia sangat menyukainya. Di rumah karena anak - anaknya lebih memilih ikan maka ibu mereka atau istrinya lebih memilih memasak ikan daripada ayam.'Aduhh, mana wangi banget ayamnya. Pasti enak.' keluhnya dalam hati.