“Elo? Ngapain lo kesini?” ujar Jonathan yang tampak terkejut dengan kehadiran teman sekelasnya.
Rachel terdiam tak menjawab, bukan karena dia tidak tahu jawaban atas pertanyaan Jonathan padanya, melainkan lidahnya terasa kelu untuk menjelaskan. Dengan cepat Rachel pun menduga jika Jonathan adalah cucu Anthoni yang dimaksud Jacob kemarin. Namun bukankah Jacob berkata jika cucu Anthoni adalah pemuda baik? Hal ini sungguh bertolak belakang dengan kenyataan yang dia tahu. Mungkin Jacob belum tahu bagaimana perilaku Jonathan selama di sekolah. Sang pembuat onar yang selalu mencari masalah. Andai Rachel tahu jika cucu Anthoni adalah Jonathan, maka Rachel tidak akan menyetujuinya. Sungguh Rachel ingin menarik kembali ucapannya, dia tidak ingin menerima perjodohan ini. Namun ketika akan membicarakannya pada Jacob, kehadiran seorang pria tua menarik atensi semua orang. “Selamat sore, maaf sudah membuat kalian menunggu,” sapa Lim, pengacara opa Anthoni. Lalu melangkah dan menyalami semua orang yang tengah berkumpul. “Baiklah kedua keluarga telah berkumpul, apa kita bisa memulainya sekarang?” ujar Lim yang kini duduk di kursi tengah, di antara keluarga Lesham dan Shaquille. “Lim, kau sudah bisa memulainya sekarang!” perintah Nicholas pada sang pengacara. “Baiklah saya akan membacakan surat wasiat dari Tuan Anthoni Lesham.” Lim membuka dokumen yang tersimpan pada tas kotak hitam. Memasukkan kode beberapa digit, hingga akhirnya kotak hitam itu terbuka. Ada beberapa lembar kertas yang nantinya akan dibacakan di depan seluruh anggota keluarga Lesham dan Shaquille. “Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Anthoni Lesham, dengan ini menyatakan bahwa seluruh harta benda yang saya miliki selama hidup, akan saya wariskan seluruhnya untuk Jonathan Attaya Lesham, cucu kesayangan saya dari anak saya yang bernama Nicholas Lesham. Berikut syarat yang saya minta. Jonathan harus menikahi anak perempuan dari kerabat saya, Jacob Shaquille,” ucap Lim membacakan kalimat yang tertera pada lembaran kertas pertama. Jonathan yang merasa namanya disebut, sontak terkejut dengan mata terbelalak. “Hah? Menikah? Om Lim jangan sembarangan. Mana mungkin Opa memberi syarat seperti itu. Sungguh tidak masuk akal," ucap Jonathan gusar. Mendengar ucapan yang terlontar di mulut Jonathan, mengundang reaksi Rachel yang sama-sama tidak setuju dengan isi surat wasiat tersebut. “Maaf tuan Jo, ini sudah sesuai dengan isi wasiat tuan Anthoni. Dan di sini juga tertulis, bahwa jika selama setahun ini tuan Jo belum menikahi putri dari tuan Jacob Shaquille maka tuan Anthoni akan mencabut hak warisan untuk tuan Jo. Dan menyumbangkan sepenuhnya bagian tuan Jo pada sebuah yayasan,” ucap Lim sembari memandang pada Jonathan dari balik kacamata kotaknya. “Pi, apa ini artinya jodohku sudah diatur sama opa Anthoni?” Kini Jo menatap ke arah Nicholas yang tengah berpikir dan mendalami isi dari wasiat itu. Tentu isi wasiat itu menguntungkan dirinya, Jonathan adalah putranya. Selama Jonathan menyelesaikan pendidikan, maka dialah yang memegang kendali atas perusahaan Lesham Corp. “Tentu, lakukan sesuai isi wasiat itu. Papi sangat mendukung,” jawab Nicholas dengan entengnya, membuat Jonathan geram. Bagaimana mungkin dia tidak bisa menentukan sendiri siapa jodohnya kelak? “Lalu bagaimana jika Jo menolak perjodohan ini?” ucap Jonathan yang membuat Rachel menoleh ke arahnya. Bagaimana mungkin ayahnya menjodohkan dengan pemuda biang kerok macam Jonathan? Rachel ingin protes, dia pun tidak setuju dengan perjodohan ini. Jonathan bukanlah tipenya, meskipun mempunyai wajah tampan dan tubuh atletis. Rachel lebih menyukai pemuda alim yang pintar, bukan macam Jonathan, murid yang dua kali tidak naik kelas dan banyak membuat keonaran. Rachel terus menahan dirinya untuk tidak berkata apapun. Walau bagaimanapun dia menghormati Jacob dan tidak ingin mencoreng nama baik keluarga Shaquille dengan sikapnya yang tidak sopan. “Sesuai dengan persyaratan tuan Anthoni, maka tuan Jo tidak berhak atas warisan,” jawab Lim dengan wajah tenang. “Sebaiknya kita mengadakan acara pertunangan untuk anak kita. Bagaimana Jacob apa kau setuju?” bukannya mengerti perasaan putranya, Nicholas berucap seolah tak membutuhkan pendapat Jonathan. “Saya setuju dan putriku juga sudah menyetujuinya. Tentu pertunangan itu diperlukan untuk mengikat hubungan mereka,” jawaban Jacob membuat Rachel melenguh frustasi. Seketika dia menyesali tindakannya yang sudah menerima keinginan Jacob, tanpa mengetahui dahulu siapa pemuda yang dijodohkan untuknya. “Papi serius? Jo harus bertunangan sama cewek seperti ini?” celetuk Jonathan yang masih merasa tidak terima dengan perjodohan ini. “Tentu Jo. Bukankah kalian sudah saling mengenal? Tentu kalian harus mengikat hubungan terlebih dahulu dengan sebuah pertunangan. Satu tahun lagi setelah kalian lulus, kita akan membuat acara pernikahan untuk kalian. Bagaimana?” ujar Nicholas dengan entengnya. Tentu dia tahu perasaan Jonathan, namun dia tidak peduli. Baginya hak warisan itu harus jatuh ke tangan Jonathan. “Tapi Pi, Jo tidak menyukai si kutu buku ini?” “Jo, jaga bicaramu! Kau harus menghargai keberadaan keluarga Shaquille. Pertunangan ini akan tetap terjadi. Apa kau ingin membuat opa Anthoni bersedih?” Ucapan Nicholas membungkam Jonathan, kini dia hanya bisa menerima. Wajahnya terlihat ditekuk karena merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Rachel bisa melihat raut kekecewaan yang tergambar di wajah Jonathan. Dia pun sama kecewanya dengan Jonathan, namun dia sudah terlanjur menyetujui, sehingga Rachel pun harus menerima. “Bagaimana kalau kita adakan acara pertunangan di hari Sabtu?” saran Nicholas. “Tentu, semakin cepat semakin baik. Kami setuju!” jawab Jacob sembari mengangguk. Apa? Hari Sabtu? Itu artinya seminggu lagi dirinya akan bertunangan dengan Jonathan? Rachel tidak habis pikir dengan takdir yang membuat hidupnya harus berurusan dengan pemuda urakan seperti Jonathan. Tatapan Rachel mengarah pada Jonathan yang sedari tadi menatapnya penuh dendam. Dia membalas tatapan itu tak kalah sengit. Tatapan penuh permusuhan yang hanya mereka berdua yang tahu. Hingga acara pertemuan itu usai, baik Jonathan ataupun Rachel tak ada salah satu dari mereka yang saling menyapa. ***Tak terasa hari Sabtu datang begitu cepat. Nicholas sudah mempersiapkan sebuah pesta kecil untuk melangsungkan pertunangan putra tunggalnya. Namun hingga sore tiba, Jonathan tak juga pulang ke rumah. “Dimana anak itu? Mami sudah menghubungi Jo? Bukankah seharusnya anak itu sudah pulang dari tadi?” ucap Nicholas pada istrinya. “Telepon mami tidak diangkat, Pi,” jawab Debora. “Benar-benar anak gak bisa diajak kerjasama," ujar Nicholas geram. Semakin bertambah umur, Jonathan semakin susah menurut. Hingga tak lama, yang dinanti-nanti akhirnya datang. Mobil Rubicon putih memasuki pekarangan rumah, Jonathan keluar dari balik kemudi. Lalu tanpa menyapa orangtuanya, dia berlalu menaiki anak tangga. “Jo, hari ini hari pertunanganmu dengan Rachel. Kau tidak lupa kan?” ucap Nicholas membuat langkah Jo terhenti. Jo menatap ke arah orang tuanya. “Memang Jo masih bisa menolak? Tidak kan?” jawab Jo ketus, lalu segera melanjutkan langkahnya. “Pakailah baju yang sudah dipersiapkan, Jo!
“Rachel, ambil cincin dan sematkan di jari calon tunangan mu nak,” ucap Jacob selanjutnya yang langsung dituruti oleh anak gadisnya. Jo sudah menyodorkan tangan kirinya untuk menerima cincin itu. Kini jari manis Jo dan Rachel sudah tersemat cincin pertunangan. Yang masing-masing telah terukir nama calonnya. Cincin Jo dengan nama Rachel, cincin Rachel dengan nama Jonathan. Semenjak acara pertunangan itu, Rachel tak hentinya memikirkan Jonathan. Entah semenjak melihat Jo mode serius, hati Rachel tertarik namun dia selalu menepis perasaannya. Jonathan tidak pernah memandangi seserius itu, bahkan Rachel merasa senam jantung melihat tatapan Jo kala itu. Hari Senin, Rachel berangkat sekolah diantar oleh ayahnya. Memang sudah menjadi kebiasaan, pulang pergi, Jacob yang akan mengantar jemput Rachel. Di dalam kelas, entah mengapa Rachel merasa sedikit grogi, tidak seperti biasanya. Melihat pada bangku kosong di sebelahnya. Jonathan belum datang, tentu bocah tengil itu akan datang pa
Rachel memandang pada cincin emas putih yang terpasang di jari manisnya. Teringat kembali saat Jonathan memasangkan cincin itu di jarinya. Sungguh rasanya seperti mimpi, mengingat itu membuat wajah Rachel memanas. Hingga tepukan Mila membuyarkan lamunan. “Hai, Rachel yuk kita ke kantin," ajak Mila, yang merupakan sahabat satu-satunya Rachel. “Muka lo kok merah, Chel? Lo sakit?” tanya Mila lagi. “Hum, gak Mil, cuma pusing sedikit," jawab Rachel yang seratus persen bohong, sembari menyembunyikan jari manisnya agar cincin itu tak terlihat Mila. Rachel belum menyiapkan jawaban jika sahabatnya bertanya tentang cincin itu. Keduanya berjalan beriringan menuju kantin sekolah yang letaknya lumayan jauh. Harus melewati lapangan basket. Dimana Jonathan dan yang lain tengah bermain di sana. Rachel tampak gugup ketika melewati tepi lapangan basket. Jika ada jalan lain, mungkin dia akan melaluinya. Namun hanya ini jalan pintas menuju kantin. Rachel bisa melihat saat Jonathan memandang
"Lo baik-baik saja? Tu kan udah gue bilang, wajah lo merah. Lo pasti masih pusing,” ujar Jo, lalu memaksa Rachel untuk berbaring kembali. “Tapi gue baik-baik aja, Jo. Gue mau balik ke kelas," ujar Rachel masih bersikeras. Tak pernah seumur hidupnya melewati pelajaran di kelas. Bahkan dalam keadaan sakit, Rachel selalu memaksa dirinya untuk mengikuti pelajaran. Jo terlihat menghembuskan nafas pelan, lalu diraihnya kacamata dari wajah Rachel dan meletakkannya di atas nakas. “Istirahatlah, gue tunggu di sana jika lo merasa sungkan.” Jo mengambil selimut tipis lalu menutup tubuh Rachel hingga batas leher. Kemudian melangkah menuju ranjang lain, dan duduk di sana. Entah mengapa Jo merasa senang melihat Rachel tanpa kacamatanya. Setidaknya lebih enak dipandang mata. Jo mengambil ponselnya dan mulai bermain dengan benda pipih itu. Sementara Rachel berusaha untuk mengistirahatkan matanya. Memang kepalanya masih terasa pusing, namun dia tidak bisa tidur di tempat asing. Sungguh tid
Jonathan panik, dan segera membungkam mulut berisik Rachel dengan telapak tangannya.“Apaan sih Lo, norak! Gue bukan nyulik Lo, gue cuma nganterin Lo. Lagian sebenarnya gak sudi juga gue nganter cewek aneh kayak Lo.” Jo menatap tajam ke arah Rachel, yang terdiam takut. Sementara tangan Jo masih membungkam mulutnya.Tak sadar Jonathan melepas kacamata dari wajah Rachel dan menyimpannya di saku seragam.‘Nah kalau lihat Lo gini jauh lebih menarik.’ batin Jonathan.“Gue lepasin tapi Lo berhenti teriak. Ngerti? Atau kalau nggak—” wajah Jo terlihat memerah, entah mengapa melihat mata bulat Rachel membuat wajahnya memanas. Hingga tanpa melanjutkan ucapannya, Jo melepaskan tangannya dari mulut Rachel.Menghidupkan mesin mobil dan mulai memacunyas menuju rumah Rachel.Selama diperjalanan keduanya saling terdiam. Rachel ingin mengenakan kacamatanya, namun kacamata itu kini berada di saku seragam Jonathan. Rachel malu memintanya.“Dimana rumahmu?” Tanya Jonathan menghapus kesunyian.Rachel meny
Tok.. Tok.. Tok.. Pintu kamar diketuk, tak lama terdengar namanya dipanggil. “Rachel, apa papa bisa masuk?” Ya, itu suara Jacob, ayahnya. Rachel segera menutup buku LKS, dan beranjak dari meja belajarnya untuk membukakan pintu. “Apa kamu sedang sibuk, nak? Ada satu hal yang ingin papa bicarakan, ini sangat penting,” ujar Jacob, setelah melihat wajah putri kesayangan muncul dari balik pintu. Wajah Rachel terlihat mengerut, membuat kacamata tebalnya sedikit melorot dari batang hidung. “Ada hal penting apa, pa?” tangan Rachel bergerak untuk membenarkan posisi kacamatanya. Meskipun Rachel masih bingung, namun dia tetap membuka lebar pintu kamar agar Jacob bisa masuk. Jacob mengulas senyum, tak menjawab pertanyaan putrinya namun dia tahu kabar ini mungkin akan mengejutkan putrinya. Jacob menuntun Rachel untuk duduk di tepi ranjang. Kamar Rachel terlihat sangat bersih dengan warna putih yang mendominasi. Rachel masih menunggu kata-kata yang keluar dari mulut Jacob. “In
“Rachel, gue pindah belakang. Lu baik-baik ya,” pamit Mila sembari menenteng tas, berlalu menuju bangku belakang. Digantikan Jonathan yang menempati bangku Mila, di sebelah Rachel. Meski niatnya ingin fokus pada buku di hadapannya, namun dengan kehadiran Jonathan, Rachel mendadak kehilangan fokus. Apalagi Jonathan sengaja mengetuk-ngetuk pulpen di atas meja. “Hay, bisa diam gak?” hardik Rachel, tentunya dengan berbisik. Dia tidak ingin ditegur pak Supri, namun tidak bisa mengabaikan tingkah Jonathan yang mengganggu konsentrasi. Bukannya berhenti, ucapan Rachel justru membuat Jonathan terpancing untuk berbuat lebih usil. Jonathan mengangkat satu kakinya dan diletakkan pada kaki yang lain, lalu mengayun-ayunkan kakinya hingga mengenai kaki Rachel. Hal itu memantik amarah Rachel yang sudah berada di ubun-ubun. Tangannya terkepal menahan amarah. Bibirnya sudah siap memaki pemuda tengil yang begitu mengganggu. Namun suara pak Supri membuyarkan niatnya. “Simpan buku LKS kalian