“Rachel, ambil cincin dan sematkan di jari calon tunangan mu nak,” ucap Jacob selanjutnya yang langsung dituruti oleh anak gadisnya.
Jo sudah menyodorkan tangan kirinya untuk menerima cincin itu. Kini jari manis Jo dan Rachel sudah tersemat cincin pertunangan. Yang masing-masing telah terukir nama calonnya. Cincin Jo dengan nama Rachel, cincin Rachel dengan nama Jonathan. Semenjak acara pertunangan itu, Rachel tak hentinya memikirkan Jonathan. Entah semenjak melihat Jo mode serius, hati Rachel tertarik namun dia selalu menepis perasaannya. Jonathan tidak pernah memandangi seserius itu, bahkan Rachel merasa senam jantung melihat tatapan Jo kala itu. Hari Senin, Rachel berangkat sekolah diantar oleh ayahnya. Memang sudah menjadi kebiasaan, pulang pergi, Jacob yang akan mengantar jemput Rachel. Di dalam kelas, entah mengapa Rachel merasa sedikit grogi, tidak seperti biasanya. Melihat pada bangku kosong di sebelahnya. Jonathan belum datang, tentu bocah tengil itu akan datang paling akhir. Detik-detik terakhir sebelum bel sekolah berbunyi. Rachel menghembuskan nafas panjang, ‘Sudahlah, ngapain juga mikirin bocah tengil, mending aku baca buku.’ ujarnya dalam hati. Sepuluh menit kemudian bel sekolah berbunyi, bangku-bangku kelas mulai terisi. Tak lama guru bahasa Indonesia datang. Bu Lastri, guru yang terkenal baik dan pengertian. Rachel sempat melupakan Jonathan yang belum juga menampakkan batang hidungnya. Hingga saat Bu Lastri mengajar di depan, ketukan pintu membuat semua mata tertuju pada siswa yang berdiri di ambang pintu. Ya, Jonathan datang terlambat. “Selamat pagi, Bu Lastri. Maaf saya datang terlambat. Bangun kesiangan,” ucap Jonathan sembari nyengir, seakan tak merasa takut sama sekali. Untung hari ini bukan pak Supri yang mengajar. Jika pak Supri, sudah pasti Jonathan harus keliling lapangan bola. “Masuklah Jonathan, duduklah! Lain kali jangan ulangi lagi. Pasang alarmmu biar bisa berangkat tepat waktu," ucap Bu Lastri ramah. Tentunya dia tidak akan menghukum siswa yang orang tuanya sangat berpengaruh di sekolah. Jonathan dengan santai melangkah menuju bangku di samping Rachel. Hari ini Jonathan bisa bersikap jumawa, karena Bu Lastri yang mengajar. “Buka buku LKS kalian, buka halaman 65. Ibu akan membahas tentang Karya Ilmiah,” ucap Bu Lastri lalu menjelaskan beberapa materi yang telah ia rangkum, dan meminta para siswa untuk mencatat bagian-bagian penting. Rachel terlihat fokus pada buku LKS di hadapannya. Meskipun degup jantung kembali terpacu semenjak kedatangan Jo. Namun dia berusaha konsentrasi dan mengabaikan Jo yang terlihat kebingungan. Mencari buku dari dalam tasnya. “Sial, gue lupa bawa buku LKS. Hei, kutu buku bisa bagi dikit bukunya? Maksud gue, baca barengan," ucap Jo berbisik. Hembusan nafas Jo menggelitik permukaan pipinya. Membuat Rachel dengan malas menoleh ke arah Jonathan. “Apa lo? Gitu amat liatin gue," ucap Jo yang merasa tidak nyaman ditatap tajam Rachel. Jo menarik buku LKS Rachel, namun Rachel berusaha menjauhkan bukunya dari Jo. Hingga terjadi tarik-menarik antar keduanya. ‘Kreekkk’ Dan hasilnya, buku terbelah menjadi dua bagian. Membuat Rachel marah dan hendak mendamprat Jonathan. Dengan muka merah padam hingga kacamata tebalnya melorot. “Jo, apaan sih! Buku gue rusak jadinya," ucap Rachel sembari menaikkan kacamatanya. “Lagian lu pelit amat! Rusak kan jadinya," ucap Jonathan dengan entengnya, tanpa perasaan bersalah sedikitpun. Bahkan Rachel tak mendengar ucapan permintaan maaf yang keluar dari mulut pemuda tengil itu. Mendengar perdebatan antara kedua muridnya, membuat Bu Lastri menghentikan penjelasan. “Rachel Jonathan? Kenapa kalian ribut sendiri?” ucap Bu Lastri sambil menghampiri bangku keduanya. “Ini Bu, Jo merobek buku saya," jelas Rachel dengan muka cemberut. “Lagian Rachel pelit Bu, gak mau berbagi. Saya lupa bawa LKS," timpal Jo tak mau kalah. “Sudahlah, nanti perbaiki buku itu Rachel. Hanya terbelah di bagian tengahnya, bukan masalah besar. Baiklah kita lanjut lagi.” Apa? Bukan masalah besar? Tentu menjadi masalah besar bagi Rachel, yang selalu memastikan kerapian pada peralatan sekolah juga bukunya. Namun Rachel hanya terdiam, mendengar Bu Lastri yang bersikap tidak adil. Bukannya menghukum Jonathan, justru mengatakan jika itu bukan masalah besar. Namun Rachel bisa apa? Sepanjang pelajaran, Rachel tak memberi ijin Jonathan melihat pada buku LKS miliknya. Rachel sangat marah pada Jonathan yang sama sekali tidak merasa bersalah. Hingga bel sekolah berbunyi, menandakan jam istirahat. Bu Lastri mulai meninggalkan kelas, setelah menyuruh para murid istirahat. “Hei kutu buku? Ngapain lo masih marah, hah? Coba aja lo gak tarik bukunya, gak bakal rusak kan bukunya. Artinya Lo yang sudah bikin buku itu rusak, bukan gue,” ucap Jo dengan entengnya. Membuat Rachel tak terima karena terus disalahkan. Rachel mengangkat jari telunjuknya ke depan wajah Jonathan. Namun sebelum berucap, suara seorang gadis menghentikan niatnya. “Jonathan.” Mendengar suara gadis di ambang pintu, membuat keduanya menoleh ke sumber suara. Jessi Aurora melangkah menghampiri meja Jonathan dengan senyum manis dan tubuh meliuk-liuk. Membuat Rachel terlihat jijik melihat Jessi yang begitu ganjen. “Hay, Jessi. Kok tumben ke sini?” ucap Jo yang langsung bangkit berdiri. Melihat siswi cantik yang sangat populer itu sampai datang ke kelasnya. “Gue, tunggu lo dari tadi kali, Jo. Lama sekali," jelas Jessi terdengar merajuk. Matanya menatap sejenak ke arah Rachel, dengan sebelah alis terangkat. Menatap dengan remeh pada gadis yang terlihat cupu. “Sorry, Jes gue lagi ada masalah sedikit. Ni juga udah kelar. Ayo, kita keluar!” balas Jonathan, lalu segera beranjak dari bangkunya. Berjalan beriringan dengan Jessi. Namun sebelum menghilang dari balik pintu, Jo sempat menoleh ke belakang dengan menjulurkan lidahnya pada Rachel. Membuat Rachel syok hingga mulutnya terbuka lebar. “Apaan sih, dasar bocah tengil! Biang kerok! Playboy kutu kupret!” ujar Rachel bermonolog. Dia mengungkapkan amarahnya pada Jonathan. Jessi Aurora adalah kapten basket cewek, sedangkan Jonathan adalah kapten basket cowok. Tentu keduanya memiliki postur tubuh yang sama-sama tinggi dan begitu serasi ketika berjalan bersama. Berbeda dengan Rachel yang mempunyai ukuran tubuh lebih pendek. Namun entah mengapa ketika Jo justru pergi meninggalkan Rachel, ada sesuatu dalam hati Rachel yang terasa nyeri? ***Rachel memandang pada cincin emas putih yang terpasang di jari manisnya. Teringat kembali saat Jonathan memasangkan cincin itu di jarinya. Sungguh rasanya seperti mimpi, mengingat itu membuat wajah Rachel memanas. Hingga tepukan Mila membuyarkan lamunan. “Hai, Rachel yuk kita ke kantin," ajak Mila, yang merupakan sahabat satu-satunya Rachel. “Muka lo kok merah, Chel? Lo sakit?” tanya Mila lagi. “Hum, gak Mil, cuma pusing sedikit," jawab Rachel yang seratus persen bohong, sembari menyembunyikan jari manisnya agar cincin itu tak terlihat Mila. Rachel belum menyiapkan jawaban jika sahabatnya bertanya tentang cincin itu. Keduanya berjalan beriringan menuju kantin sekolah yang letaknya lumayan jauh. Harus melewati lapangan basket. Dimana Jonathan dan yang lain tengah bermain di sana. Rachel tampak gugup ketika melewati tepi lapangan basket. Jika ada jalan lain, mungkin dia akan melaluinya. Namun hanya ini jalan pintas menuju kantin. Rachel bisa melihat saat Jonathan memandang
"Lo baik-baik saja? Tu kan udah gue bilang, wajah lo merah. Lo pasti masih pusing,” ujar Jo, lalu memaksa Rachel untuk berbaring kembali. “Tapi gue baik-baik aja, Jo. Gue mau balik ke kelas," ujar Rachel masih bersikeras. Tak pernah seumur hidupnya melewati pelajaran di kelas. Bahkan dalam keadaan sakit, Rachel selalu memaksa dirinya untuk mengikuti pelajaran. Jo terlihat menghembuskan nafas pelan, lalu diraihnya kacamata dari wajah Rachel dan meletakkannya di atas nakas. “Istirahatlah, gue tunggu di sana jika lo merasa sungkan.” Jo mengambil selimut tipis lalu menutup tubuh Rachel hingga batas leher. Kemudian melangkah menuju ranjang lain, dan duduk di sana. Entah mengapa Jo merasa senang melihat Rachel tanpa kacamatanya. Setidaknya lebih enak dipandang mata. Jo mengambil ponselnya dan mulai bermain dengan benda pipih itu. Sementara Rachel berusaha untuk mengistirahatkan matanya. Memang kepalanya masih terasa pusing, namun dia tidak bisa tidur di tempat asing. Sungguh tid
Jonathan panik, dan segera membungkam mulut berisik Rachel dengan telapak tangannya. “Apaan sih Lo, norak! Gue bukan nyulik Lo, gue cuma nganterin Lo. Lagian sebenarnya gak sudi juga gue nganter cewek aneh kayak Lo.” Jo menatap tajam ke arah Rachel, yang terdiam takut. Sementara tangan Jo masih membungkam mulutnya. Tak sadar Jonathan melepas kacamata dari wajah Rachel dan menyimpannya di saku seragam. ‘Nah kalau lihat Lo gini jauh lebih menarik.’ batin Jonathan. “Gue lepasin tapi Lo berhenti teriak. Ngerti? Atau kalau nggak—” wajah Jo terlihat memerah, entah mengapa melihat mata bulat Rachel membuat wajahnya memanas. Hingga tanpa melanjutkan ucapannya, Jo melepaskan tangannya dari mulut Rachel. Menghidupkan mesin mobil dan mulai memacunyas menuju rumah Rachel. Selama diperjalanan keduanya saling terdiam. Rachel ingin mengenakan kacamatanya, namun kacamata itu kini berada di saku seragam Jonathan. Rachel malu memintanya. “Dimana rumahmu?” Tanya Jonathan menghapus kesunyian. Rach
“Kalau boleh tahu, Rachel sakit apa?” Jo kembali melangkah mendekat. “Saya kurang tahu, hanya tadi pagi dokter dipanggil tuan kemari untuk memeriksa non Rachel,” jelas sekuriti. Jonathan terdiam untuk beberapa saat, hingga panggilan seorang wanita membuat keduanya menoleh ke sumber suara. “Pras, siapa itu?” suara nenek Maria terdengar dari dalam. Dan tak lama, wanita sepuh itu berjalan mendekat menuju gerbang. “Nyonya, ini teman nona Rachel,” beritahu Prasetyo sembari menggeser tubuhnya. Sehingga sosok Jonathan terlihat di pandangan nenek Maria. “Jonathan?” wajah nenek Maria terlihat berbinar melihat tunangan cucunya. Dia kembali melangkah mendekati Jonathan. Jonathan tersenyum kikuk, sembari mengusap tengkuknya. “Apa kabar nek?” sapa Jonathan sembari meraih tangan nenek Maria. Namun justru nenek Maria membalasnya dengan memeluk tubuh jangkung Jonathan. “Apa kamu datang kemari untuk menjenguk Rachel?” ucap nenek Maria sembari tersenyum hangat. “Ayo masuk ke dalam! Rachel pasti
“Jonathan!!” nyaringnya suara Rachel, membuat nenek Maria pun ikut mendengarnya. Berjalan tergopoh-gopoh menghampiri cucunya. “Ada apa Rachel? Apa yang terjadi?” ucap nenek Maria dengan raut wajah cemas. “Nek, Jonathan.. Mpphhh,” belum Rachel menyelesaikan ucapannya, tangan besar Jonathan membungkam mulutnya sembari mulutnya mendesis ‘Sstt’. Mengisyaratkan Rachel untuk menutup mulutnya. Wajah Jonathan terlihat memerah dan panik. Dia kembali menatap ke arah nenek Maria. “Tidak nek, bukan masalah besar. Tadi Jo tidak sengaja menginjak kaki Rachel,” ujar Jo dengan garis bibir melengkung. Bukan masalah besar dia bilang? Dasar pembuat onar tak tahu diri! Bahkan Jo tidak mengucapkan permintaan maafnya, telah menyentuh miliknya yang sangat pribadi. Rachel menggigit telapak tangan Jonathan yang masih menutupi mulutnya. “Auwwww..” teriak Jonathan mengaduh, merasakan kuatnya gigitan Rachel. Menarik tangannya dan menatap pada telapak tangan yang merah dengan bekas gigi Rachel yang masih te
Pagi itu setelah menyelesaikan sarapannya, Rachel bersiap untuk berangkat ke sekolah. “Apa benar, Jonathan yang akan menjemputmu?” tanya Jacob pada putrinya. Rachel terdiam, tadinya dia lupa namun kini diingatkan kembali dengan ucapan ayahnya. “Tentu, kemarin Jonathan sudah berjanji akan mengantarkan Rachel. Iya kan, Chel?” justru nenek Maria yang terlihat antusias menjawab. Rachel tersenyum kaku mendengar jawaban nenek Maria. “Baguslah, papa hanya berharap semoga hubungan kalian semakin dekat. Karena dalam waktu satu tahun ke depan, kamu akan jadi istrinya Jonathan,” ucap Jacob dengan senyum simpul. “Waktu satu tahun, tentu cukup untuk kalian saling mengenal,” timpal Natasya. Rachel bergeming, bingung bagaimana menanggapi obrolan orang-orang dewasa itu. “Baiklah papa, mama, nenek, Rachel berangkat dulu,” pamit Rachel sembari mencium tangan mereka secara bergantian. Rachel pun melangkah keluar rumah, memutuskan untuk menunggu Jonathan di depan pintu gerbang. Sudah sepuluh men
Keliling lapangan bola yang begitu luas, tentu sangat mudah dilakukan oleh Jonathan. Apalagi mempunyai tungkai kaki yang panjang, sehingga membuatnya dengan cepat menyelesaikan sepuluh kali putaran.Berbeda halnya dengan Rachel yang tampak merasa kelelahan, bahkan di putaran yang ke empat energinya terkuras habis.Nafasnya tersengal, keringat membanjiri dahi dan pelipisnya.Jonathan akan melakukan putaran yang ke delapan, Namun saat berpapasan dengan Rachel, langkahnya terhenti di samping gadis itu.“Makanya, manusia itu gak cuma butuh buku. Kita juga butuh olahraga biar badan gak loyo,” ucap Jonathan terdengar meremehkan Rachel.Rachel mengusap peluh dari dahinya, menatap tajam ke arah Jonathan.“Heh, ini semua gara-gara lu! Coba lu jemputnya gak telat, gue gak akan dihukum seperti ini! Huh!” sentak Rachel, lalu segera memacu langkahnya kembali. Berlari melewati Jonathan.Jonathan sengaja memperlambat langkah kakinya agar sejajar dengan langkah Rachel.“Dasar siput! Kalau larimu sepe
Bel jam istirahat berbunyi, pak Supri mulai meninggalkan kelas. Rachel menutup bukunya, kini dia ingin melihat kondisi lututnya. “Lu jatuh tadi?” tanya Jonathan yang ikut melihat ke arah lutut Rachel. Namun Rachel masih mengacuhkan Jonathan, bahkan sekedar menjawab pun tidak. Rachel meniup lukanya agar rasa perih itu sedikit hilang. Sungguh sial nasibnya hari ini. Gara-gara berangkat sekolah dengan Jo, seharian ini keberuntungan seakan tak berpihak padanya. Hal yang mengejutkan terjadi, tatkala Jo berjongkok di depan Rachel. Dan tanpa kata-kata, membungkus luka Rachel menggunakan sapu tangan. Mata Rachel sampai membelalak melihat sikap Jo yang diluar dari dugaan. “Sorry, gara-gara gue lu jadi harus dihukum,” ucap Jo dengan serius, mampu menggetarkan hati Rachel. Sontak Rachel merasakan hawa panas di kedua pipinya. Jika ada cermin di depan, pasti Rachel bisa melihat bagaimana meronanya pipinya kini. Jo menyatukan kedua ujung sapu tangan lalu mengikatnya. “Selesai!” ucap Jonatha
“Ish.. gak usah kali Jo pake dijelasin segala kita mau nikah. Kan malu!” gerutu Rachel saat mereka keluar dari ruang terapi dan sedang berada di apotik, menunggu obat yang diresepkan.“Loh, harus dong Chel! Masak iya kamu nikah tapi calon suamimu cacat gini.”“Hush.. jangan bilang gitu! Kamu gak cacat, tapi sedang kurang baik. Dalam waktu dekat juga pasti sembuh tangannya,” balas Rachel dengan tatapan tak suka.Jonathan menghela nafas panjang.“Dengan kondisi tangan gue seperti ini, kira-kira masih bisa gak ya gue main basket?” gumam Jonathan dengan tatapan menerawang.Rachel berpaling menatap ke samping. Terlihat raut wajah Jonathan yang muram dengan pandangan kosong. Diraihnya tangan Jonathan, lalu menautkan dengan tangannya.“Gue yakin lu bisa sembuh, dan tangan lu akan kembali kayak dulu!” tegas Rachel untuk menyemangati.Mendadak suasana hening, Jo tak lagi berucap. Tenggelam dalam pikirannya sendiri. Rachel merasa iba melihat raut wajah Jo yang murung. Walau bagaimanapun tangan
Rachel yang tak mendengar ocehan Jonathan lagi, sontak melihat ke arah pemuda di sisinya.“Jo, kenapa lu?” tanyanya, namun diabaikan oleh pemuda itu. Membuatnya tambah bertanya-tanya saat melihat wajah Jonathan yang berubah serius.Rachel penasaran dengan apa yang dilihat pemuda itu. Sehingga Rachel mengikuti arah pandang Jonathan.Terjawab sudah rasa penasaran Rachel, ketika pandangannya menangkap sosok Bara dan Jessi.Ketika dirasa genggaman tangan Jonathan yang semakin menguat di tangan kanannya, Rachel pun mengulurkan tangan kirinya untuk mengusap lembut lengan pemuda itu.“Jo, kita tunggu di sana,” ucap Rachel sembari menuntun langkah mereka menjauh dari pintu masuk. Dia tahu Jessi, Bara dan Pak Jeremy akan melewati jalan itu nantinya.Jonathan mengikuti kemana Rachel membawanya. Duduk menjauh di depan pos sekuriti.Sementara itu Nicholas yang baru saja menyelesaikan panggilan, hendak menghampiri putranya untuk pamit kerja. Namun justru dirinya berpapasan dengan Jeremy. Pria yang
Setelah memastikan kekasihnya masuk ke dalam rumah serta berpamitan pada semua keluarga Rachel, Jonathan pun segera keluar dari gerbang. Menghampiri supir yang sudah berdiri menunggu di sisi mobil. Selama melangkah, mata Jonathan terus mengawasi keberadaan mobil Bara. Hingga akhirnya terlihat jendela mobil terbuka dan wajah Bara pun terlihat. Jonathan membalas tatapan sinis dari pemuda yang menjadi musuh bebuyutannya selama ini. “Silahkan tuan Jonathan,” ucap supir yang telah membukakan pintu depan. “Tunggu dulu, pak! Saya masih ada sedikit urusan,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari Bara. Terlihat pemuda itu membuka pintu mobil, lalu keluar dengan senyum misteriusnya. Melangkah menghampiri Jonathan yang sudah mengetahui keberadaannya. “Hay, kawan lama! Apa kabar?” sapa Bara seraya mengulurkan tangannya ke arah Jonathan. Namun Jo hanya memandang tangan Bara yang terulur. Tak ada niat untuk menyambutnya. Lalu kembali menatap wajah Bara. “Gak usah basa-basi! Ada keperlua
“Wah enak masakanmu, Rachel!” puji Nicholas saat tengah menikmati makan malam dengan sup ayam buatan Rachel. “Tuh kan, apa gue bilang. Masakan lu memang terbaik,” timpal Jonathan sembari menunjukkan jempol tangannya ke depan. Rachel tersenyum senang mendengar pujian dari calon mertuanya. “Syukurlah, kalau om menyukai masakan saya,” ucap Rachel seraya menundukkan pandangan. “Sering-seringlah main ke sini, biar hubungan kalian semakin dekat. Mulai bulan depan kita sudah harus mulai mempersiapkan rencana pernikahan untuk kalian,” tutur Debora yang ikut mencicipi sup ayam buatan Rachel. Rachel menelan ludah, tak menyangka jika pernikahannya dengan Jonathan sudah dekat. Hanya tinggal beberapa bulan lagi setelah pengumuman kelulusan. “Nanti bilang aja kalau mau sini, aku yang jemput kamu!” ujar Jonathan menimpali ucapan maminya. “Idih, tangan kamu aja masih sakit. Gimana mau jemput, Jo?” balas Rachel dengan suara setengah berbisik, agar orang tua Jonathan tak mendengar. “Bisalah! La
“Luna? Ngapain lu ke sini?” tanya Jonathan dengan raut wajah bingung. “Aku mau jenguk kamu. Tadinya sempet ketemu sama mami, dia bilang kamu sedang sakit di rumah.” Aluna melangkah semakin dekat. Tanpa basa-basi segera duduk di kursi samping Jonathan, kursi bekas Rachel duduk tadi. “Astaga, dasar mami!” gerutu Jonathan dengan suara kecil. Kehadiran Aluna yang tak diharapkan itu tentu mengganggu momen romantisnya dengan Rachel. Jonathan melirik ke arah Rachel, tepat saat gadis itu melihat ke arahnya. Namun tak lama Rachel pun melanjutkan langkahnya memasuki dapur. Jonathan menghela nafas kesal. Kesal pada Aluna yang selalu datang mengganggu. Padahal gadis itu tahu jika sekarang Jonathan sudah memiliki kekasih, calon istri. “Kok bisa sih Jo, sampai seperti ini? Kamu jatuh? Dimana jatuh?” Aluna mencecarnya dengan pertanyaan. Namun Jonathan sudah terlanjur malas menjawab, dan tak ingin membuat kekasihnya salah paham. “Lun, gue udah baikan kok. Ada pacar gue yang ngerawat. Jadi mendi
Jonathan kembali duduk di tepi ranjang, meraih air dalam gelas yang masih tersisa setengah. Setelah menuntaskan dahaga, Jonathan berniat untuk menghubungi Rachel. Memastikan keberadaan kekasihnya itu. Namun kembali Jo dibuat bingung karena ponselnya masih terbawa oleh maminya. Jonathan melenguh frustasi. Tanpa ponsel dia tak bisa menghubungi Rachel, tetapi bukankah dia bisa menelpon lewat telepon rumah? Jonathan bergegas melangkah keluar kamar. Dengan langkah buru-buru menuruni anak tangga, menuju ruang keluarga dimana telepon rumah berada di sana. Setelah melihat pada buku telepon dan menekan nomor telepon rumah Rachel, Jonathan pun menunggu hingga panggilan terhubung. “Jonathan? Udah bangun?” Terdengar suara gadis yang sedari tadi dia cari. Sontak Jonathan menoleh ke belakang. Jo terkesiap, matanya melebar. Namun detik berikutnya senyum menghiasi bibirnya. “Halo, selamat sore!” Terdengar suara nenek Maria dari seberang telepon. “Halo nek, apa kabar?” jawab Jonathan tanpa menga
Bola mata Rachel melebar untuk beberapa saat. Otaknya menyuruh untuk menjauh, namun hatinya meminta untuk tak menjauh. Rachel memejamkan mata dan mulai menikmati kehangatan yang mulai menjalar di hatinya. Sebuah ciuman ringan, hanya pertemuan dua bibir namun begitu membekas dalam hati Jonathan. Baru kali ini dia tak melihat penolakan Rachel. Namun suara ketukan pintu mengalihkan atensi mereka. Secepatnya Rachel mendorong dada Jonathan menjauh. Nafasnya tampak terengah-engah, wajahnya merah padam. “M-mungkin mbak. Gue bukain pintu dulu,” ucap Rachel terbata, lalu segera beranjak melangkah ke arah pintu. Jonathan tersenyum penuh kemenangan. Menjilat bibir bawahnya, dimana rasa manis dengan aroma buah ceri tersisa di sana. Setelah menerima peralatan makan juga segelas air putih dari asisten yang mengantar, Rachel melangkah ke arah meja. Membuka satu persatu rantang, lalu memindahkan sebagian makanan ke atas piring. Debaran di dadanya tak kunjung berhenti, meskipun Rachel berusaha m
Perlahan Rachel memutar kepalanya ke belakang. “L-lu udah bangun? Tadinya gue mau nunggu di bawah,” jawab Rachel gugup. Jonathan beranjak dari posisinya, namun wajahnya tampak meringis. Mulutnya mendesis kesakitan. “Ssshhhh… duhhhh!” Rachel terkesiap, bergegas menghampiri Jonathan yang tampak kesakitan. “Masih sakit Jo? Pelan-pelan!” ucap Rachel sembari membantu Jonathan untuk duduk. Tangan kanannya melingkari pundak pemuda itu, sementara yang kiri menggenggam erat pergelangan tangan Jo yang tak tertutup gips. “Sakit banget, Chel! Shhhh…” balas Jonathan dengan wajah meringis. “Hati-hati! Lu duduk aja, biar gue bantu!” Rachel mengambil satu bantal dan meletakkannya di punggung Jo. Lalu membantu pemuda itu untuk duduk bersandar. “Thank you, udah mau datang ke sini. Lu udah makan?” tanya Jonathan dengan suara lembut. Wajahnya tampak berseri-seri. Padahal baru beberapa detik lalu terlihat kesakitan, namun sudah berubah dalam waktu cepat. “Udah. Tadi habis masak gue langsung makan
Rachel menoleh ke sumber suara. Terlihat seorang pemuda berbadan tinggi yang menutupi tubuh juga kepalanya dengan jaket putih. “Kak Bara?” Mata Rachel membulat ketika mengenali pemuda yang tak lain adalah mantan kakak kelasnya dulu. Meski setengah wajah Bara tertutup masker, namun Rachel masih mengingat sorot mata dari pemuda itu. Bara tersenyum senang saat Rachel mengenalinya. Dia pun segera melepaskan penutup masker dari wajahnya. “Sudah selesai bayarnya?” tanya Bara ketika melihat kasir masih menunggu Rachel untuk memasukkan pin di mesin EDC. Segera Rachel kembali fokus melakukan transaksi pembayaran. Lalu meraih kantong belanjaan yang cukup berat itu. “Perlu gue bantu?” tanya Bara menawarkan bantuan. Padahal niatnya tadi hendak membeli minuman, namun urung dilakukan. Melihat wajah bening Rachel, tak mungkin Bara menyia-nyiakan kesempatan emas ini. “Gak perlu kak, aku..” Bara mengambil alih kantong belanjaan dari tangan Rachel. “Cewek secantik lu, jangan bawa yang berat-be