"Lo baik-baik saja? Tu kan udah gue bilang, wajah lo merah. Lo pasti masih pusing,” ujar Jo, lalu memaksa Rachel untuk berbaring kembali.
“Tapi gue baik-baik aja, Jo. Gue mau balik ke kelas," ujar Rachel masih bersikeras. Tak pernah seumur hidupnya melewati pelajaran di kelas. Bahkan dalam keadaan sakit, Rachel selalu memaksa dirinya untuk mengikuti pelajaran. Jo terlihat menghembuskan nafas pelan, lalu diraihnya kacamata dari wajah Rachel dan meletakkannya di atas nakas. “Istirahatlah, gue tunggu di sana jika lo merasa sungkan.” Jo mengambil selimut tipis lalu menutup tubuh Rachel hingga batas leher. Kemudian melangkah menuju ranjang lain, dan duduk di sana. Entah mengapa Jo merasa senang melihat Rachel tanpa kacamatanya. Setidaknya lebih enak dipandang mata. Jo mengambil ponselnya dan mulai bermain dengan benda pipih itu. Sementara Rachel berusaha untuk mengistirahatkan matanya. Memang kepalanya masih terasa pusing, namun dia tidak bisa tidur di tempat asing. Sungguh tidak nyaman, apalagi bersama seorang pemuda. Rachel bergerak menghadap ke tembok. Dirinya masih berusaha untuk menormalkan detak jantungnya. Meskipun pandangannya buram, Rachel merasa Jo terus memperhatikannya. Apa yang ada di pikiran bocah tengil itu, Rachel pun tak mengerti. Hingga tak lama Rachel mulai tertidur tanpa sadar. Sementara Jonathan merasa bosan, hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun. Perutnya mendadak lapar, hingga Jo memutuskan untuk ke kantin membeli beberapa cemilan yang bisa dijadikan pengganjal perut. Jo melangkah santai melewati kantor guru. Meski ada beberapa guru yang melihatnya berjalan-jalan di jam pelajaran, tak ada satu guru pun yang berani menegurnya. Hingga tak lama, Jo kembali ke UKS membawa beberapa cemilan dan minuman. Dia bahkan sengaja membeli masing-masing dua untuk dirinya dan Rachel. Ya, hanya sebagai bentuk permintaan maaf, tak lebih. Jo terus saja memandangi gadis yang tidur meringkuk dengan posisi memunggunginya. Hingga dering telepon membuat Jo segera mengangkat panggilan, agar tidak mengganggu tidur Rachel. Jo kini sudah berada di depan UKS. “Ya, halo.” Jo tak sempat melihat ke layar ponsel, entah siapa yang menelpon. “Halo, Jonathan. Papa Rachel memintamu untuk mengantarkan Rachel pulang, karena dia ada pekerjaan mendadak. Tolong Jo, nanti kamu antar Rachel pulang ke rumahnya. Ingat jangan kau berbuat aneh-aneh!” Tentu itu telepon dari Nicholas. Siapa lagi yang berbicara tanpa jeda, lalu menutup telepon tanpa mendengar komentar putranya. Tak perlu menjawab, Jo sudah mengetahui kebiasaan papanya. Berbicara tanpa meminta pendapat. Baiklah, Jo akan mengantarkan Rachel. Toh hanya mengantarnya saja, tidak repot. Anggap saja permintaan maaf karena sudah membuat Rachel pingsan. Jo menaruh kembali ponselnya lalu berjalan masuk. Kini ia sengaja duduk di kursi samping ranjang Rachel. Hanya berdiam diri hingga bel istirahat kedua berbunyi. Rachel masih tenggelam dalam mimpi, Jo juga tidak enak hati membangunkan Rachel. Tak lama, Mila datang memasuki UKS. Membuat Jo beranjak dari kursinya. “Mil, gantian lo yang jaga. Eh, nanti bilang ke Rachel kalau pulangnya sama gue. Papinya gak jemput," ucap Jo sebelum menghilang di balik pintu. Mila terlihat bingung dan aneh, menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Lalu menghampiri Rachel yang masih tertidur. “Chel, bangun!" ucap Mila menepuk bahu Rachel. Rachel sontak bangun dan menatap Mila. “Gawat, gue ketiduran. Udah jam berapa ini, Mil?” Wajah Rachel terlihat begitu cemas. “Istirahat kedua, Chel. Lu mau balik ke kelas atau mau di sini sampai jam pulang nanti?” tanya Mila. “Kita balik ke kelas, Mil. Gue udah bolos mapel seni budaya.” Rachel menuruni ranjang. Lalu menarik tangan Mila dengan tergesa-gesa. Dia sengaja tidak melewati lapangan basket, trauma kena lemparan bola. Meski sedikit tidak nyaman, Rachel masih terus memakai kacamatanya yang retak hingga pelajaran sekolah usai. Rachel dan Jo sama-sama diam meskipun mereka duduk bersebelahan. Hingga guru keluar dari kelas, Rachel hendak berkemas. “Eh cupu, papi tadi telepon gue, katanya lu pulang gue yang anter. Papi lu ada kerjaan mendadak gak bisa jemput," ucap Jo memberitahu. Namun tak juga ditanggapi Rachel. Gadis itu masih terdiam, entah mendengar atau memang sengaja mengabaikannya. Sudahlah, yang penting Jo sudah memberitahu. Mau tidaknya itu terserah Rachel. Rachel keluar mendahului Jo, berjalan bersama Mila menuju gerbang sekolah. Sementara Jo sudah berada di dalam mobil bersama Jessi yang duduk di sebelahnya. Ketika hendak memacu mobilnya, ponsel Jo kembali berdering. Jo segera mengangkat telepon tanpa melihat pada layar. “Halo Jo, kamu sudah sama Rachel? Papinya Rachel nanyain papa,” suara seseorang dari seberang telepon. ‘Mampus gue, sekarang kemana gue harus nyari si kutu buku itu,’ batin Jo. “Halo Jonathan, Rachel sudah sama kamu kan? Coba kasih ponselmu ke Rachel, papa mau ngomong,” ucapan Nicholas semakin membuat Jonathan panik. ‘Mati gue! Bagaimana mungkin bisa papa bicara dengan gadis cupu itu, sementara Rachel sedang tidak bersamanya.’ Sementara itu Rachel tengah berjalan seorang diri, setelah berpisah dengan Mila di gerbang sekolah. Entah apa yang dipikirannya, padahal tadi Jo sudah menawarinya untuk pulang bersama, namun justru Rachel yang keluar mendahului. “Hey, Cupu! Tunggu, berhenti di situ!” teriakan Jo cukup nyaring, hingga membuat Rachel menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya. Ketika melihat yang memanggilnya tak lain adalah rivalnya sendiri, Rachel kembali melangkah. Bahkan lebih cepat dari yang tadi. Namun langkah panjang Jo mampu menyusul langkah Rachel. Jo meraih tangan Rachel, memaksanya untuk berhenti. “Hey cewek aneh! Gue bilang berhenti, ngapain lo nyelonong aja, hah?” ucap Jo dengan nafas memburu. Meskipun Rachel pendek, namun kecepatan berlarinya boleh diadu. Tadinya Jo sudah membuat Jessi marah karena tidak jadi pulang bersama. Masih mending Jessi yang marah, daripada Nicholas yang marah nantinya. “Apa sih, Jo. Lepasin gue!” ucap Rachel berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Jonathan. “Lo ngapain jalan sendiri? Hah? Gue udah bilang tadi sama lo, gue anterin lo pulang. Bukan gue yang pengen, tapi papi lu yang nyuruh,” ucap Jo menjelaskan tanpa berniat melepaskan cengkraman tangannya pada Rachel. Jo takut jika Rachel kembali melarikan diri. “Gue bisa pulang sendiri Jo," ujar Rachel sembari menatap tajam Jonathan. “Udah Lo jangan ribet deh, Lo harus pulang sama gue.” Jo menarik paksa Rachel agar mengikuti langkahnya menuju mobil. Jo tidak peduli meskipun gadis itu terus memberontak. Hingga langkah mereka telah berada di depan pintu mobil. Jo membuka pintu depan dan memaksa Rachel agar masuk. Lalu Jo segera duduk di balik kemudi dan mengunci semua pintu. Jo bernafas lega, kini sudah aman. Target sudah didapatkan. Jika nantinya papa menelepon lagi, Jo tidak akan panik. Baru mau menghidupkan mesin mobil, Rachel berteriak dengan mengeluarkan kepalanya dari jendela. “Tolong.. tolong aku diculik!” Teriakan Rachel terdengar sangat nyaring. ***Jonathan panik, dan segera membungkam mulut berisik Rachel dengan telapak tangannya. “Apaan sih Lo, norak! Gue bukan nyulik Lo, gue cuma nganterin Lo. Lagian sebenarnya gak sudi juga gue nganter cewek aneh kayak Lo.” Jo menatap tajam ke arah Rachel, yang terdiam takut. Sementara tangan Jo masih membungkam mulutnya. Tak sadar Jonathan melepas kacamata dari wajah Rachel dan menyimpannya di saku seragam. ‘Nah kalau lihat Lo gini jauh lebih menarik.’ batin Jonathan. “Gue lepasin tapi Lo berhenti teriak. Ngerti? Atau kalau nggak—” wajah Jo terlihat memerah, entah mengapa melihat mata bulat Rachel membuat wajahnya memanas. Hingga tanpa melanjutkan ucapannya, Jo melepaskan tangannya dari mulut Rachel. Menghidupkan mesin mobil dan mulai memacunyas menuju rumah Rachel. Selama diperjalanan keduanya saling terdiam. Rachel ingin mengenakan kacamatanya, namun kacamata itu kini berada di saku seragam Jonathan. Rachel malu memintanya. “Dimana rumahmu?” Tanya Jonathan menghapus kesunyian. Rach
“Kalau boleh tahu, Rachel sakit apa?” Jo kembali melangkah mendekat. “Saya kurang tahu, hanya tadi pagi dokter dipanggil tuan kemari untuk memeriksa non Rachel,” jelas sekuriti. Jonathan terdiam untuk beberapa saat, hingga panggilan seorang wanita membuat keduanya menoleh ke sumber suara. “Pras, siapa itu?” suara nenek Maria terdengar dari dalam. Dan tak lama, wanita sepuh itu berjalan mendekat menuju gerbang. “Nyonya, ini teman nona Rachel,” beritahu Prasetyo sembari menggeser tubuhnya. Sehingga sosok Jonathan terlihat di pandangan nenek Maria. “Jonathan?” wajah nenek Maria terlihat berbinar melihat tunangan cucunya. Dia kembali melangkah mendekati Jonathan. Jonathan tersenyum kikuk, sembari mengusap tengkuknya. “Apa kabar nek?” sapa Jonathan sembari meraih tangan nenek Maria. Namun justru nenek Maria membalasnya dengan memeluk tubuh jangkung Jonathan. “Apa kamu datang kemari untuk menjenguk Rachel?” ucap nenek Maria sembari tersenyum hangat. “Ayo masuk ke dalam! Rachel pasti
“Jonathan!!” nyaringnya suara Rachel, membuat nenek Maria pun ikut mendengarnya. Berjalan tergopoh-gopoh menghampiri cucunya. “Ada apa Rachel? Apa yang terjadi?” ucap nenek Maria dengan raut wajah cemas. “Nek, Jonathan.. Mpphhh,” belum Rachel menyelesaikan ucapannya, tangan besar Jonathan membungkam mulutnya sembari mulutnya mendesis ‘Sstt’. Mengisyaratkan Rachel untuk menutup mulutnya. Wajah Jonathan terlihat memerah dan panik. Dia kembali menatap ke arah nenek Maria. “Tidak nek, bukan masalah besar. Tadi Jo tidak sengaja menginjak kaki Rachel,” ujar Jo dengan garis bibir melengkung. Bukan masalah besar dia bilang? Dasar pembuat onar tak tahu diri! Bahkan Jo tidak mengucapkan permintaan maafnya, telah menyentuh miliknya yang sangat pribadi. Rachel menggigit telapak tangan Jonathan yang masih menutupi mulutnya. “Auwwww..” teriak Jonathan mengaduh, merasakan kuatnya gigitan Rachel. Menarik tangannya dan menatap pada telapak tangan yang merah dengan bekas gigi Rachel yang masih te
Pagi itu setelah menyelesaikan sarapannya, Rachel bersiap untuk berangkat ke sekolah. “Apa benar, Jonathan yang akan menjemputmu?” tanya Jacob pada putrinya. Rachel terdiam, tadinya dia lupa namun kini diingatkan kembali dengan ucapan ayahnya. “Tentu, kemarin Jonathan sudah berjanji akan mengantarkan Rachel. Iya kan, Chel?” justru nenek Maria yang terlihat antusias menjawab. Rachel tersenyum kaku mendengar jawaban nenek Maria. “Baguslah, papa hanya berharap semoga hubungan kalian semakin dekat. Karena dalam waktu satu tahun ke depan, kamu akan jadi istrinya Jonathan,” ucap Jacob dengan senyum simpul. “Waktu satu tahun, tentu cukup untuk kalian saling mengenal,” timpal Natasya. Rachel bergeming, bingung bagaimana menanggapi obrolan orang-orang dewasa itu. “Baiklah papa, mama, nenek, Rachel berangkat dulu,” pamit Rachel sembari mencium tangan mereka secara bergantian. Rachel pun melangkah keluar rumah, memutuskan untuk menunggu Jonathan di depan pintu gerbang. Sudah sepuluh men
Keliling lapangan bola yang begitu luas, tentu sangat mudah dilakukan oleh Jonathan. Apalagi mempunyai tungkai kaki yang panjang, sehingga membuatnya dengan cepat menyelesaikan sepuluh kali putaran.Berbeda halnya dengan Rachel yang tampak merasa kelelahan, bahkan di putaran yang ke empat energinya terkuras habis.Nafasnya tersengal, keringat membanjiri dahi dan pelipisnya.Jonathan akan melakukan putaran yang ke delapan, Namun saat berpapasan dengan Rachel, langkahnya terhenti di samping gadis itu.“Makanya, manusia itu gak cuma butuh buku. Kita juga butuh olahraga biar badan gak loyo,” ucap Jonathan terdengar meremehkan Rachel.Rachel mengusap peluh dari dahinya, menatap tajam ke arah Jonathan.“Heh, ini semua gara-gara lu! Coba lu jemputnya gak telat, gue gak akan dihukum seperti ini! Huh!” sentak Rachel, lalu segera memacu langkahnya kembali. Berlari melewati Jonathan.Jonathan sengaja memperlambat langkah kakinya agar sejajar dengan langkah Rachel.“Dasar siput! Kalau larimu sepe
Bel jam istirahat berbunyi, pak Supri mulai meninggalkan kelas. Rachel menutup bukunya, kini dia ingin melihat kondisi lututnya. “Lu jatuh tadi?” tanya Jonathan yang ikut melihat ke arah lutut Rachel. Namun Rachel masih mengacuhkan Jonathan, bahkan sekedar menjawab pun tidak. Rachel meniup lukanya agar rasa perih itu sedikit hilang. Sungguh sial nasibnya hari ini. Gara-gara berangkat sekolah dengan Jo, seharian ini keberuntungan seakan tak berpihak padanya. Hal yang mengejutkan terjadi, tatkala Jo berjongkok di depan Rachel. Dan tanpa kata-kata, membungkus luka Rachel menggunakan sapu tangan. Mata Rachel sampai membelalak melihat sikap Jo yang diluar dari dugaan. “Sorry, gara-gara gue lu jadi harus dihukum,” ucap Jo dengan serius, mampu menggetarkan hati Rachel. Sontak Rachel merasakan hawa panas di kedua pipinya. Jika ada cermin di depan, pasti Rachel bisa melihat bagaimana meronanya pipinya kini. Jo menyatukan kedua ujung sapu tangan lalu mengikatnya. “Selesai!” ucap Jonatha
“Cincin warisan dari opa,” jawab Jonathan seadanya. Dia berusaha keras untuk bersikap tenang agar temannya tidak curiga.“Oh cincin warisan. Gue kira cincin tunangan.”Deg, tebakan Ray tidak salah. Membuat hati Jonathan dibuat ketar-ketir.Tidak mungkin jika Jonathan berkata dia telah bertunangan, apalagi tunangannya adalah gadis cupu di kelas. Mau ditaruh dimana harga diri Jo yang merupakan siswa paling kece di sekolah?“Ayo masuk Ray, tuh gurunya udah mau jalan kesini,” ajak Jonathan beranjak dari tempat duduk, lalu mendahului Ray memasuki kelas.Tak lama, suasana kelas yang tadinya ramai mendadak hening ketika guru mata pelajaran sejarah masuk dalam kelas.Pak Mamik segera memulai pelajaran. Seperti biasa jika guru sejarah mengajar, maka para siswa yang duduk di bangku belakang mulai mencari cara agar tidak mengantuk.Ada beberapa yang sengaja mengunyah permen karet, dan bahkan ada yang memainkan game online. Tentunya hanya siswa yang duduk di barisan belakang yang berani melakukan
“Eh pak Supri,” ucap Jo sembari nyengir. Dia malu karena tindakannya tertangkap basah oleh sang guru killer. “Kalau mau baca ya tinggal masuk, ngapain kamu malah berdiri di depan? Mau ngintip siapa kamu?” tanya pak Supri lagi dengan tatapan memicing. “Nanti dulu deh pak, mendadak perut saya lapar. Saya mau ke kantin dulu,” jawab Jo mengelak, lalu segera menunduk hormat dan melangkah cepat meninggalkan teras perpustakaan. “Dasar anak bandel!” omel Supri. Lalu segera melanjutkan niatnya untuk memasuki perpustakaan. Sementara itu saat Rachel tengah sibuk memilih buku yang hendak dia pinjam. Sapaan seseorang membuat atensinya teralihkan. “Rachel? Kamu disini juga?” tanya Nolan dengan senyum yang tersungging di bibir tipisnya. “Eh Nolan? Ya, aku mau nyari buku. Besok kan udah weekend, jadi biar ada bacaan di rumah,” jawab Rachel dengan senyum tipis. “Sendiri?” tanya Nolan lagi sembari melihat di sekeliling Rachel. “Hum, tadinya sama Mila. Tapi dia mau ke toilet sebentar, nanti juga
Jonathan mengendap-endap berjalan menuju lemari pendingin yang berada di dalam dapur. Pandangannya merotasi ke seluruh penjuru ruangan guna memastikan keadaan di sekitar sepi.Hari sudah lewat tengah malam, namun demi mengambilkan air minum untuk istrinya, dia pun rela keluar kamar.Selama setahun sering mengunjungi rumah ini, Jonathan sudah mengenal tata letak ruangan juga tempat penyimpanan.Hingga langkahnya tiba di depan lemari pendingin, tangannya sudah siap membuka pintu lemari. Namun sebuah suara mengejutkannya.“Ehm.. ehm..” Suara deheman dari seseorang yang membuat jantung Jonathan hampir saja melompat keluar.Segera dia mengalihkan pandangannya ke belakang untuk melihat ke sumber suara.“Nenek? Kok udah bangun? Bukannya masih malam?”Wanita paruh baya itu melangkah mendekati pemuda yang sudah dianggap seperti cucunya sendiri.“Nenek haus, memang gak boleh ambil minum?” Tanpa membalas tatapan Jonathan, nenek Maria melangkah ke arah dispenser air. Mengambil satu gelas kosong d
Takut jika istrinya akan berteriak histeris, Jonathan semakin memperdalam ciuman seiring pergerakannya menekan pinggulnya ke bawah untuk membenamkan seluruh miliknya dalam tubuh sang istri. Tidak sama seperti malam pertama, meski rasa perih itu masih tersisa namun jujur Rachel mulai merasa enak. Mungkin benar apa yang diucapkan neneknya tadi, jika melakukannya yang kedua akan jauh lebih nikmat.Didorong oleh keinginan yang tiba-tiba muncul, kedua tangan Rachel bergerak memeluk leher Jonathan. Wanita itu pun tak malu-malu lagi membalas ciuman panas suaminya.Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa mencium bibir Jonathan yang sudah menjadi candu baginya.Seulas senyum tersungging di bibir Jonathan, hatinya pun terasa menghangat ketika menyadari sikap istrinya yang sudah tak lagi menolak.Perlahan Jonathan menggerakkan pinggulnya dan mulai memompa liang kewanitaan sang istri, tanpa melepaskan tautan bibir mereka.Suara ranjang berdecit, erangan Rachel ketika mencapai pelepasan, m
“Auwwwhh.. sakit, Bae!” ucap Jonathan dengan wajah meringis sembari menatap lengannya yang terdapat bekas gigitan Rachel.“Jangan ngomong yang enggak-enggak deh, Jo! Mana ada nenek bilang gitu?” elak Rachel seraya membuang pandangannya agar Jonathan tak melihat wajahnya yang sudah memerah itu.“Masak sih nenek gak bilang gitu? Apa gue salah denger ya?”‘Astaga, nenek! Kenapa sih pakai acara ngomong yang enggak-enggak?’ gerutu Rachel dalam hati.“Jangan mikir yang enggak-enggak deh. Buruan ganti baju!” perintah Rachel seraya mendorong punggung Jonathan menuju kamar mandi.Blam!Rachel sendiri yang menutup pintu kamar mandi. Mengalihkan perhatian Jonathan agar tak lagi membicarakan sesuatu yang bisa memancing hal yang mengancam ketenangannya.Selama Jonathan berada di kamar mandi, Rachel segera menyelesaikan rutinitasnya. Membersihkan wajah dan mengoleskan skincare di wajahnya. Lalu segera berbaring di atas ranjang dengan selimut yang menutup seluruh tubuhnya.Rasa was-was masih menggan
“Uhuukkk.. uhuukkk..!” Jonathan bergegas mengambil air mineral dan memberikannya pada Rachel. Merasa bersalah telah membuat istrinya itu tersedak karena kata-kata yang keluar dari mulutnya. Suara bel pintu terdengar menyentak perhatian Rachel dan Jonathan. Sontak keduanya pun menoleh ke arah pintu. “Ck, siapa sih?! Ganggu aja!” gerutu Jonathan sebelum akhirnya melangkah ke arah pintu. Membuka pintu untuk melihat siapa yang datang. Salah satu staf hotel membawakan koper milik Rachel. “Maaf mengganggu, tuan Jonathan. Kami hanya mengantarkan barang milik nona Rachel,” ucap staf hotel seraya menyerahkan koper itu. Setelah staf hotel pamit pergi, Jonathan segera menutup kembali pintu kamar. Menarik koper ke lemari penyimpanan. Lalu kembali melangkah menuju meja makan. Rachel beranjak dari kursi. Meskipun makanan di piringnya masih tersisa setengah, namun perutnya sudah terasa kenyang. “Mau kemana, Bae? Kok gak dihabisin makanannya?” tanya Jonathan dengan raut bingung. “Gue mau gant
Rachel melangkah mundur kala menyadari langkah Jonathan semakin mendekat. Namun baru beberapa langkah ke belakang, punggungnya sudah membentur dinding membuat langkahnya terhenti di tempat. Pengaruh alkohol itu sudah hilang sejak Rachel bangun tidur tadi. Jadi dalam keadaan sadar seperti ini, akal sehat Rachel kembali bekerja. Rachel menyilangkan kedua tangan di depan dada, sebagai isyarat agar Jonathan jangan mendekat. Namun sepertinya suaminya itu tak memahami maksudnya. Langkah Jonathan semakin mendekat, mengunci tubuh mungil istrinya di antara kedua tangannya yang diletakkan di sisi tubuh Rachel. Lagi dan lagi Rachel dibuat diam tak berkutik. Wajah tampan sang kapten basket yang telah berstatus menjadi suaminya, begitu membuat gadis cupu itu terpesona. Dalam jarak sedekat ini, Rachel bisa merasakan hembusan nafas Jonathan yang beraroma mint. Tatapan Jonathan yang begitu tajam namun ada kelembutan di dalamnya, membuat Rachel semakin hanyut dalam rasa nyaman. Bibir merah Jonath
“Mohon maaf tuan Jonathan, mengganggu waktu istirahat anda. Saya diminta nyonya Debora untuk membawakan sarapan ini,” ucap seorang wanita yang merupakan staf hotel. “Astaga mami! Ngapain sih pakai suruh orang buat bawa sarapan segala. Mengganggu aja!” gerutu Jonathan dengan suara kecil, namun masih bisa didengar oleh staf wanita yang masih berdiri di hadapannya dengan membawa nampan berisi sarapan. “Maaf tuan Jonathan, bolehkah saya masuk untuk menaruh makanan ini?” “Gak perlu, biar aku sendiri yang menaruhnya!” Jonathan meraih paksa nampan itu. “Sekarang pergilah!” perintah Jonathan lalu kembali masuk. Menutup pintu dengan kakinya. Meletakkan nampan di atas meja, kemudian melangkah menuju kamar. Berdiri di sisi ranjang dengan pandangan tertuju pada wanita yang masih tertidur lelap. Jonathan sedikit membungkukkan badan. Tangannya terulur memindahkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik Rachel. Garis bibir Jonathan melengkung, membentuk sebuah senyuman. Pagi pertama yang menj
Jonathan kembali memagut bibir manis sang istri. Tangannya bergerak mengusap lembut dada Rachel sebelum memulai permainan inti. Rasa takut yang sempat bersarang di hati Rachel saat melihat milik Jonathan yang panjang dan keras itu, kini perlahan memudar. Desahan tertahan dari bibir Rachel, kembali terdengar. Mengiringi permainan yang akan Jonathan mulai, sesaat lagi. Jonathan mengusap lembut ujung miliknya sebelum mempertemukannya pada milik sang istri. Mata Rachel terpejam, bibirnya terus mengeluarkan suara yang semakin memancing hasrat sang suami. “Can I come in?” Suara Jonathan menyentak kesadaran Rachel. Perlahan mata lentik itu terbuka. Sorot mata Rachel terlihat sayu. Ada rasa ingin, penasaran, juga rasa takut yang bercampur aduk dalam hatinya. Namun sudah kepalang tanggung. Pengaruh alkohol masih menguasai tubuh Rachel dan keinginan Jonathan pun sudah tidak bisa ditahan lagi. Tanpa mendengar dahulu jawaban dari mulut sang istri, Jonathan memasukkan miliknya ke dalam liang
Posisi Rachel kini berada di atas tubuh Jonathan. Kedua kakinya diletakkan di kedua sisi pinggang Jonathan. Posisi yang sama seperti sedang naik kuda. Jonathan menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk menghindari ciuman Rachel. Karena dia tahu, jika istrinya itu sedang mabuk. “Astaga, Bae.. mphhhh..” Posisi Jonathan yang terjepit, membuatnya sulit untuk menghindar. Apalagi kedua tangan Rachel kini mencengkeram erat pipinya, hingga membuat Jo tak bisa menghindar lagi. Ciuman yang tak pernah Jonathan rasakan sebelumnya. Jika dalam keadaan sadar, istrinya itu sangatlah pasif. Beda halnya dalam keadaan mabuk, ciuman Rachel terasa begitu liar dan panas. Jo bisa merasakan lidah basah Rachel yang mulai membasahi permukaan bibirnya yang tertutup. Dengan mata terpejam, Jo berusaha mempertahankan diri agar tidak tergoda. Sungguh istrinya ini benar-benar menguji pertahanannya. Haruskah Jo meladeni Rachel dalam keadaannya yang setengah sadar? Jonathan tak ingin dianggap sengaja mema
Jonathan meraih cardlock dari dalam dompet. Membuka pintu kamar dengan perasaan campur aduk. Mengingat kondisi Rachel terakhir kali ditinggal dalam keadaan takut. Mana mungkin dia bisa melakukan keinginan papi untuk membuatkan cucu? “Bae, udah tidur?” Jonathan menutup kembali pintu. Ruangan masih dalam keadaan setengah redup, sama persis dengan yang terakhir kali dia lihat. Dia tak menyadari akan keberadaan Rachel di ruang tamu, hingga melewatinya menuju kamar tidur. Kondisi ranjang yang masih rapi, namun selimut terlihat sedikit berantakan. Jonathan tak menemukan keberadaan istrinya di dalam kamar. Menduga jika istrinya masih mandi atau mungkin melanjutkan acara berendam. Tetapi, bukankah ini sudah terlalu lama? Jonathan menghitung sudah sejam lebih dia meninggalkan Rachel. Mendadak rasa takut bersarang dalam pikiran Jonathan. Takut akan hal buruk terjadi pada istrinya ketika berada di kamar mandi. Bergegas Jonathan melangkah ke kamar mandi guna memastikan. Namun di sana, juga t