Rachel memandang pada cincin emas putih yang terpasang di jari manisnya. Teringat kembali saat Jonathan memasangkan cincin itu di jarinya. Sungguh rasanya seperti mimpi, mengingat itu membuat wajah Rachel memanas.
Hingga tepukan Mila membuyarkan lamunan. “Hai, Rachel yuk kita ke kantin," ajak Mila, yang merupakan sahabat satu-satunya Rachel. “Muka lo kok merah, Chel? Lo sakit?” tanya Mila lagi. “Hum, gak Mil, cuma pusing sedikit," jawab Rachel yang seratus persen bohong, sembari menyembunyikan jari manisnya agar cincin itu tak terlihat Mila. Rachel belum menyiapkan jawaban jika sahabatnya bertanya tentang cincin itu. Keduanya berjalan beriringan menuju kantin sekolah yang letaknya lumayan jauh. Harus melewati lapangan basket. Dimana Jonathan dan yang lain tengah bermain di sana. Rachel tampak gugup ketika melewati tepi lapangan basket. Jika ada jalan lain, mungkin dia akan melaluinya. Namun hanya ini jalan pintas menuju kantin. Rachel bisa melihat saat Jonathan memandang ke arahnya. Namun Rachel tak ada niat untuk membalas. Dia berusaha berjalan cepat hingga Mila ikut berjalan terburu-buru. “Chel, pelan-pelan aja jalannya. Masih lama juga waktu istirahat," ucap Mila sembari mengimbangi langkah Rachel yang setengah berlari. “Gue laper Mil," jawab Rachel seadanya. Hingga akhirnya mereka sampai di kantin. Memesan makanan dan minuman sembari mengobrol ringan. Mila banyak bercerita tentang keluarganya, Rachel menanggapinya dengan anggukan dan jawaban singkat. Memang seperti itulah cara Rachel berteman, tidak banyak bercerita dan lebih banyak mendengar. Hingga makanan dan minuman mereka tandas, keduanya berniat kembali ke kelas. Lima menit lagi bel sekolah berbunyi. Tentu Rachel harus berada di kelas, sebelum bel berbunyi. “Mil, kita lewat depan kantor guru aja ya. Gue males lewat lapangan basket," ucap Rachel mengusulkan. “Kejauhan lagi, Chel. Masak iya kita harus muter. Udah lewat lapangan basket aja biar cepet. Lagian bel masuk lima menit lagi," tolak Mila lalu berjalan mendahului Rachel. Meski malas kembali melewati Jonathan, Rachel tak bisa berbuat apa selain mengikuti Mila dari belakang. Pandangan Rachel lurus ke depan, dengan pikiran yang entah kemana. Hingga teriakan orang tak dia dengar. “Minggir.. Awas!!!” ‘Bughhhh’ Tubuh Rachel terhuyung, setelah bola basket itu mengenai kepalanya. Hingga kacamatanya ikut terlempar ke tanah. Rachel merasa melihat banyak bintang di atas kepalanya, hingga akhirnya tubuhnya jatuh tak sadarkan diri. “Rachel.. Rachel,” teriak orang-orang yang mulai mengerumuni gadis yang baru saja pingsan. “Minggir-minggir," ucap Jonathan membelah kerumunan siswa yang mengelilingi tubuh Rachel tanpa berniat menolong. Jonathan mengangkat tubuh Rachel, setelah mengambil kacamata Rachel yang sedikit retak di beberapa sisi. Dia merasa bersalah karena akibat lemparan bola yang dia lakukan, tak sengaja mengenai Rachel. Jonathan melangkahkan kakinya menuju UKS yang letaknya bersebelahan dengan kantor guru. Beberapa murid mengikutinya, Mila dan juga Jessi. Mila begitu khawatir akan kondisi sahabatnya. Sementara hati Jessi begitu panas melihat Jonathan justru menolong gadis cupu itu. Jessi berjalan sembari menghentakkan kakinya dengan kasar, wajahnya terlihat berlipat karena rasa cemburu. Baru kali ini Jessi melihat Jonathan menggendong seorang gadis. Sesampainya di UKS, Jonathan segera meletakkan tubuh Rachel di atas kasur. Lalu menoleh pada Mila. “Mil, lo tahu gak cara bikin orang sadar?” tanya Jonathan dengan wajah khawatir. Mila menggeleng, karena dia memang tidak pernah menolong orang pingsan. “Jes, tolong ambil minyak kayu putih dari kotak p3k," pinta Jo pada Jessi yang berdiri di sisinya. “Hah kok gue? Ogah, ngapain juga gue," tolak Jessi sembari bersedekap. “Biar gue aja Jo, yang ambilin," ucap Mila kemudian, dia melangkah menuju kotak p3k yang tergantung di sudut ruangan. Jessi melirik pada Mila, lalu segera menghampiri Mila. Ketika Mila membuka kotak, Jessi mengambil balsem paling panas. Lalu membawanya pada Jonathan. “Nih pakai ini saja, Jo. Biar si cupu cepet sadarnya," ucap Jessi. “Lo apaan sih Jes,” Jo mengambil balsem itu tapi meletakkannya di atas nakas samping ranjang. Lalu menoleh pada Mila. Mila menyodorkan minyak kayu putih pada Jonathan, dan segera Jonathan membuka penutup minyak kayu putih. Lalu mendekatkan pada hidung Rachel. Tak lama suara bel berbunyi. “Ayolah Jo, kita harus masuk kelas. Biarin aja si cupu sama Mila. Kita balik ke kelas ya,” ucap Jessi sembari melingkarkan tangannya di lengan Jo. Namun Jo segera menepisnya. “Gue merasa bersalah Jes, gara-gara gue Rachel jadi pingsan. Lo balik duluan gih, nanti gue nyusul.” “Tapi—,” “Udah gak apa, ntar juga gue balik kelas. Lagian habis ini kelas gue pelajaran seni budaya, jadi agak santai gurunya," ujar Jo memotong ucapan Jessi. Meski berat meninggalkan Jo, tapi Jessi harus segera menuju kelas sebelum pak Supri sang guru killer memasuki kelasnya. “Mil, lu juga kalau mau balik kelas gak apa. Biar gue yang jaga Rachel,” ucap Jonathan tanpa menoleh ke arah Mila. Tatapan Jo fokus pada mata Rachel yang tak kunjung terbuka. “Baik, Jo.” Karena sudah ada Jo yang menemani Rachel, Mila sedikit lega. Tidak mungkin jika dirinya dan Jo ijin dari mata pelajaran seni. Tentu tak diizinkan. Jo terus mengusap dahi Rachel dengan minyak kayu putih, dimana ada sedikit bekas memar akibat lemparan bola basket tadi. Tangan yang lain terus memegang botol minyak kayu putih, dan mempertahankan posisinya di bawah lubang hidung Rachel. Hingga tak lama mata Rachel terbuka perlahan. Membuat Jo terkejut. “Jonathan?” Kedua pasang mata saling menatap beberapa detik. Jo tertegun memandang mata indah yang selalu ditutupi kacamata. Mata bulat dengan bulu mata panjang dan lentik, sungguh wajah Rachel terlihat berbeda ketika tanpa kacamata. “Lo sudah sadar? Gue minta maaf, tadi gue gak sengaja," ujar Jo dengan perasaan bersalah. “Gue dimana Jo?” Rachel bangkit dari posisinya, mengamati keadaan di sekitarnya. Pandangannya begitu buram tanpa kacamata. “Lo di UKS. Gue udah minta Mila buat ngizinin ke guru," jawab Jonathan. “Kacamata gue mana?” tanya Rachel merasa tak nyaman tanpa kacamata. Jo segera mengambil kacamata yang disimpan di kantong seragamnya. Lalu menyerahkannya pada Rachel. “Sorry, gara-gara gue kacamata lo rusak, Chel.” Mendengar ucapan Jonathan, membuat dada Rachel kembali berdebar. Baru kali ini Jo memanggil namanya. Biasanya pemuda tengil itu selalu memanggilnya kutu buku. Dan memang benar, kacamata itu sedikit retak di bagian lensanya. Namun gagang kacamata masih normal dan bisa dipakai. “Gue harus balik ke kelas, gue gak mau ketinggalan pelajaran.” Rachel hendak beranjak turun dari ranjang. Namun tangan Jo meraih lengannya. “Gue kan udah bilang tadi. Mila udah izinin kita. Jadi lo bisa istirahat dulu di sini. Setidaknya sampai jam istirahat kedua,” jawab Jo memberi saran. Namun fokus Rachel justru pada tangan Jo yang mencengkram lengannya. Sungguh membuat jantungnya semakin tidak aman. Hingga wajahnya memerah. ***"Lo baik-baik saja? Tu kan udah gue bilang, wajah lo merah. Lo pasti masih pusing,” ujar Jo, lalu memaksa Rachel untuk berbaring kembali. “Tapi gue baik-baik aja, Jo. Gue mau balik ke kelas," ujar Rachel masih bersikeras. Tak pernah seumur hidupnya melewati pelajaran di kelas. Bahkan dalam keadaan sakit, Rachel selalu memaksa dirinya untuk mengikuti pelajaran. Jo terlihat menghembuskan nafas pelan, lalu diraihnya kacamata dari wajah Rachel dan meletakkannya di atas nakas. “Istirahatlah, gue tunggu di sana jika lo merasa sungkan.” Jo mengambil selimut tipis lalu menutup tubuh Rachel hingga batas leher. Kemudian melangkah menuju ranjang lain, dan duduk di sana. Entah mengapa Jo merasa senang melihat Rachel tanpa kacamatanya. Setidaknya lebih enak dipandang mata. Jo mengambil ponselnya dan mulai bermain dengan benda pipih itu. Sementara Rachel berusaha untuk mengistirahatkan matanya. Memang kepalanya masih terasa pusing, namun dia tidak bisa tidur di tempat asing. Sungguh tid
Jonathan panik, dan segera membungkam mulut berisik Rachel dengan telapak tangannya.“Apaan sih Lo, norak! Gue bukan nyulik Lo, gue cuma nganterin Lo. Lagian sebenarnya gak sudi juga gue nganter cewek aneh kayak Lo.” Jo menatap tajam ke arah Rachel, yang terdiam takut. Sementara tangan Jo masih membungkam mulutnya.Tak sadar Jonathan melepas kacamata dari wajah Rachel dan menyimpannya di saku seragam.‘Nah kalau lihat Lo gini jauh lebih menarik.’ batin Jonathan.“Gue lepasin tapi Lo berhenti teriak. Ngerti? Atau kalau nggak—” wajah Jo terlihat memerah, entah mengapa melihat mata bulat Rachel membuat wajahnya memanas. Hingga tanpa melanjutkan ucapannya, Jo melepaskan tangannya dari mulut Rachel.Menghidupkan mesin mobil dan mulai memacunyas menuju rumah Rachel.Selama diperjalanan keduanya saling terdiam. Rachel ingin mengenakan kacamatanya, namun kacamata itu kini berada di saku seragam Jonathan. Rachel malu memintanya.“Dimana rumahmu?” Tanya Jonathan menghapus kesunyian.Rachel meny
Tok.. Tok.. Tok.. Pintu kamar diketuk, tak lama terdengar namanya dipanggil. “Rachel, apa papa bisa masuk?” Ya, itu suara Jacob, ayahnya. Rachel segera menutup buku LKS, dan beranjak dari meja belajarnya untuk membukakan pintu. “Apa kamu sedang sibuk, nak? Ada satu hal yang ingin papa bicarakan, ini sangat penting,” ujar Jacob, setelah melihat wajah putri kesayangan muncul dari balik pintu. Wajah Rachel terlihat mengerut, membuat kacamata tebalnya sedikit melorot dari batang hidung. “Ada hal penting apa, pa?” tangan Rachel bergerak untuk membenarkan posisi kacamatanya. Meskipun Rachel masih bingung, namun dia tetap membuka lebar pintu kamar agar Jacob bisa masuk. Jacob mengulas senyum, tak menjawab pertanyaan putrinya namun dia tahu kabar ini mungkin akan mengejutkan putrinya. Jacob menuntun Rachel untuk duduk di tepi ranjang. Kamar Rachel terlihat sangat bersih dengan warna putih yang mendominasi. Rachel masih menunggu kata-kata yang keluar dari mulut Jacob. “In
“Rachel, gue pindah belakang. Lu baik-baik ya,” pamit Mila sembari menenteng tas, berlalu menuju bangku belakang. Digantikan Jonathan yang menempati bangku Mila, di sebelah Rachel. Meski niatnya ingin fokus pada buku di hadapannya, namun dengan kehadiran Jonathan, Rachel mendadak kehilangan fokus. Apalagi Jonathan sengaja mengetuk-ngetuk pulpen di atas meja. “Hay, bisa diam gak?” hardik Rachel, tentunya dengan berbisik. Dia tidak ingin ditegur pak Supri, namun tidak bisa mengabaikan tingkah Jonathan yang mengganggu konsentrasi. Bukannya berhenti, ucapan Rachel justru membuat Jonathan terpancing untuk berbuat lebih usil. Jonathan mengangkat satu kakinya dan diletakkan pada kaki yang lain, lalu mengayun-ayunkan kakinya hingga mengenai kaki Rachel. Hal itu memantik amarah Rachel yang sudah berada di ubun-ubun. Tangannya terkepal menahan amarah. Bibirnya sudah siap memaki pemuda tengil yang begitu mengganggu. Namun suara pak Supri membuyarkan niatnya. “Simpan buku LKS kalian
“Elo? Ngapain lo kesini?” ujar Jonathan yang tampak terkejut dengan kehadiran teman sekelasnya. Rachel terdiam tak menjawab, bukan karena dia tidak tahu jawaban atas pertanyaan Jonathan padanya, melainkan lidahnya terasa kelu untuk menjelaskan. Dengan cepat Rachel pun menduga jika Jonathan adalah cucu Anthoni yang dimaksud Jacob kemarin. Namun bukankah Jacob berkata jika cucu Anthoni adalah pemuda baik? Hal ini sungguh bertolak belakang dengan kenyataan yang dia tahu. Mungkin Jacob belum tahu bagaimana perilaku Jonathan selama di sekolah. Sang pembuat onar yang selalu mencari masalah. Andai Rachel tahu jika cucu Anthoni adalah Jonathan, maka Rachel tidak akan menyetujuinya. Sungguh Rachel ingin menarik kembali ucapannya, dia tidak ingin menerima perjodohan ini. Namun ketika akan membicarakannya pada Jacob, kehadiran seorang pria tua menarik atensi semua orang. “Selamat sore, maaf sudah membuat kalian menunggu,” sapa Lim, pengacara opa Anthoni. Lalu melangkah dan menyalami se
Tak terasa hari Sabtu datang begitu cepat. Nicholas sudah mempersiapkan sebuah pesta kecil untuk melangsungkan pertunangan putra tunggalnya. Namun hingga sore tiba, Jonathan tak juga pulang ke rumah. “Dimana anak itu? Mami sudah menghubungi Jo? Bukankah seharusnya anak itu sudah pulang dari tadi?” ucap Nicholas pada istrinya. “Telepon mami tidak diangkat, Pi,” jawab Debora. “Benar-benar anak gak bisa diajak kerjasama," ujar Nicholas geram. Semakin bertambah umur, Jonathan semakin susah menurut. Hingga tak lama, yang dinanti-nanti akhirnya datang. Mobil Rubicon putih memasuki pekarangan rumah, Jonathan keluar dari balik kemudi. Lalu tanpa menyapa orangtuanya, dia berlalu menaiki anak tangga. “Jo, hari ini hari pertunanganmu dengan Rachel. Kau tidak lupa kan?” ucap Nicholas membuat langkah Jo terhenti. Jo menatap ke arah orang tuanya. “Memang Jo masih bisa menolak? Tidak kan?” jawab Jo ketus, lalu segera melanjutkan langkahnya. “Pakailah baju yang sudah dipersiapkan, Jo!
“Rachel, ambil cincin dan sematkan di jari calon tunangan mu nak,” ucap Jacob selanjutnya yang langsung dituruti oleh anak gadisnya. Jo sudah menyodorkan tangan kirinya untuk menerima cincin itu. Kini jari manis Jo dan Rachel sudah tersemat cincin pertunangan. Yang masing-masing telah terukir nama calonnya. Cincin Jo dengan nama Rachel, cincin Rachel dengan nama Jonathan. Semenjak acara pertunangan itu, Rachel tak hentinya memikirkan Jonathan. Entah semenjak melihat Jo mode serius, hati Rachel tertarik namun dia selalu menepis perasaannya. Jonathan tidak pernah memandangi seserius itu, bahkan Rachel merasa senam jantung melihat tatapan Jo kala itu. Hari Senin, Rachel berangkat sekolah diantar oleh ayahnya. Memang sudah menjadi kebiasaan, pulang pergi, Jacob yang akan mengantar jemput Rachel. Di dalam kelas, entah mengapa Rachel merasa sedikit grogi, tidak seperti biasanya. Melihat pada bangku kosong di sebelahnya. Jonathan belum datang, tentu bocah tengil itu akan datang pa