Tak terasa hari Sabtu datang begitu cepat. Nicholas sudah mempersiapkan sebuah pesta kecil untuk melangsungkan pertunangan putra tunggalnya. Namun hingga sore tiba, Jonathan tak juga pulang ke rumah.
“Dimana anak itu? Mami sudah menghubungi Jo? Bukankah seharusnya anak itu sudah pulang dari tadi?” ucap Nicholas pada istrinya. “Telepon mami tidak diangkat, Pi,” jawab Debora. “Benar-benar anak gak bisa diajak kerjasama," ujar Nicholas geram. Semakin bertambah umur, Jonathan semakin susah menurut. Hingga tak lama, yang dinanti-nanti akhirnya datang. Mobil Rubicon putih memasuki pekarangan rumah, Jonathan keluar dari balik kemudi. Lalu tanpa menyapa orangtuanya, dia berlalu menaiki anak tangga. “Jo, hari ini hari pertunanganmu dengan Rachel. Kau tidak lupa kan?” ucap Nicholas membuat langkah Jo terhenti. Jo menatap ke arah orang tuanya. “Memang Jo masih bisa menolak? Tidak kan?” jawab Jo ketus, lalu segera melanjutkan langkahnya. “Pakailah baju yang sudah dipersiapkan, Jo!” lanjut Nicholas lagi, dia tidak ingin putranya mempermalukan keluarga Lesham di acara yang akan diadakan sebentar lagi. Meskipun hanya sebuah pesta kecil, dihadiri oleh keluarga inti dari keluarga Lesham dan Shaquille. Namun Nicholas tidak ingin merusak citranya di depan calon besan dengan kelakuan putranya yang sedikit sulit diatur. Satu jam kemudian, Rachel dan keluarga tiba di rumah Lesham. Rachel ditemani kedua orangtua, serta neneknya. Setelan kebaya modern dengan make up minimalis, membuat penampilan Rachel terlihat lebih cantik dan modis. Tentu setelah ibunya memaksa dengan usaha keras, agar putrinya mau didandani. Bahkan Natasya telah mengganti kacamata tebal milik putrinya dengan softlens natural yang senada dengan warna iris mata Rachel. Penampilan Rachel begitu berubah, membuat Debora sejenak tak mengenali calon menantunya. Rachel meraih tangan Debora dengan santun. Debora dan Nicholas tidak bisa menutupi kekagumannya, kecantikan Rachel begitu natural. Bahkan mata bulat lentik Rachel mampu membuat orang terkagum. “Apa kabar Nak Rachel?” sapa Debora terlihat ramah. “Baik Tante,” jawab Rachel dengan senyum tipis. Setelah menyalami seluruh keluarga Lesham yang hadir, Rachel segera duduk di samping neneknya. “Mana calon tunangan cucuku?” ucap nenek Maria yang ditujukan pada sang pemilik rumah. “Sebentar nyonya Maria, Jonathan masih bersiap-siap. Mungkin sebentar lagi putra kami akan segera turun,” jelas Debora dengan ramah. Matanya masih menatap kagum pada gadis di samping nenek Maria. Tentu Jonathan akan terkejut dengan perubahan Rachel nantinya, Debora tidak sabar menanti kedatangan putranya. “Mi, mana putramu? Kenapa lama sekali si Jo,” ucap Nicholas yang merasa cemas, putranya tak kunjung turun. Padahal satu jam sudah berlalu. Anak laki-laki biasanya lebih cepat menghabiskan waktunya di kamar mandi, dibanding anak perempuan. Tapi mengapa si Jo bahkan lebih lama? “Tunggulah sebentar Pi. Kita tunggu lima menit lagi, nanti mami yang akan cari ke kamarnya,” jawab Debora setengah berbisik. Tak lama, pemuda yang dinanti-nanti datang. Jonathan memakai kemeja juga celana panjang kain. Warna kemeja yang senada dengan warna kebaya yang dipakai Rachel, biru langit. Jonathan terlihat malas dengan muka ditekuk. Acara yang membuat hidupnya tidak bebas, mana mungkin Jo menyukainya? Jonathan melangkah dengan wajah tak bersahabat, menghampiri orang tuanya. Tanpa melihat ke arah Rachel. Dia tak berniat memandang gadis kutu buku itu, bahkan memusuhi Rachel karena sudah menolak membantunya. “Jo, sapalah keluarga Shaquille!” perintah Nicholas. Dengan malas Jo mulai menyalami satu persatu keluarga Shaquille. Dari Jacob, Natasya, beralih pada nenek Maria. “Nenek Maria, perkenalkan ini Jonathan putra kami. Calon tunangan cucu nenek," ucap Debora pada nenek Maria yang sedari tadi tampak penasaran dengan calon tunangan Rachel. Mata Jonathan terpaku pada sosok gadis yang duduk di samping nenek Maria. “Rachel? Lo—” ucapan Jonathan mengambang. Hingga lidahnya terasa kelu untuk melanjutkan ucapannya. Bibir Jo masih membentuk huruf O. “Cantik, ya Rachel sangat cantik kan, Jo?” timpal Debora sembari menyenggol lengan putranya yang masih terpaku memandang Rachel. Nenek Maria yang melihat Jonathan segera memeluk Jonathan. “Wah, calonnya Rachel tampan,” ucap nenek Maria dengan polosnya. Jonathan diam tak berkutik dalam pelukan nenek Maria. Matanya menatap pada Rachel si gadis kutu buku dari balik bahu nenek Maria. Membuat orang yang ditatap tersipu malu, hingga mukanya memerah. “Baiklah sepertinya acara pertunangan ini bisa segera kita mulai," ucapan Nicholas membuat nenek Maria segera mengurai pelukannya. Debora menarik lengan putranya agar duduk di sisinya. Kini posisi duduk Rachel dan Jo sangat dekat, hanya terhalang oleh Debora yang duduk di antara mereka. Nicholas menjadi perwakilan keluarga Lesham, dan Jacob sendiri mewakili keluarga Shaquille. Mereka terlibat obrolan antara dua keluarga. Hingga tiba saatnya kedua calon tunangan bertukar cincin. Sepasang cincin emas putih yang sudah dipersiapkan Nicholas, telah dipegang Debora. Debora beranjak dari tempat duduknya, membuat Jonathan dan Rachel duduk berdampingan dengan jarak hanya beberapa centi. Rachel menundukkan pandangannya. Entah mengapa ketika di sekolah dia merasa Jo adalah orang yang tak menarik. Hanya tukang pembuat onar. Namun ketika melihatnya sekarang, Rachel baru menyadari jika calon tunangannya sangatlah menarik. Melihat Jonathan yang duduk dengan tenang, tak banyak bicara, sungguh terlihat tampan. Namun Rachel segera menepis anggapan itu, baginya Jonathan bukanlah kriteria idamannya. Meski tampan, namun jika kepintarannya di bawah standar maka sungguh tidak menarik. Obrolan mereka selama di sekolah, hanya saling mengejek satu sama lain. Bahkan Jo hanyalah seorang pengganggu yang begitu dibenci Rachel. “Jo ambil cincin ini dan sematkan pada jari manis Rachel," perintah Nicholas pada putranya. Jo mengangguk, lalu meraih cincin yang ukurannya lebih kecil. “Heh, mana tangan lo?” ucap Jonathan dengan raut wajah menyebalkan. Rachel menatap Jo dengan tajam. Apa-apaan si Jo ini, berucap tanpa etika? Nenek Maria yang masih berdiri di sisi Rachel, meraih tangan Rachel dan membawanya ke hadapan Jonathan. Untuk pertama kalinya jari jemari Jo menyentuh Rachel. Ada perasaan yang sulit diungkapkan, mengisi relung hati Rachel yang tidak pernah disentuh oleh lawan jenis selain ayahnya. ***“Rachel, ambil cincin dan sematkan di jari calon tunangan mu nak,” ucap Jacob selanjutnya yang langsung dituruti oleh anak gadisnya. Jo sudah menyodorkan tangan kirinya untuk menerima cincin itu. Kini jari manis Jo dan Rachel sudah tersemat cincin pertunangan. Yang masing-masing telah terukir nama calonnya. Cincin Jo dengan nama Rachel, cincin Rachel dengan nama Jonathan. Semenjak acara pertunangan itu, Rachel tak hentinya memikirkan Jonathan. Entah semenjak melihat Jo mode serius, hati Rachel tertarik namun dia selalu menepis perasaannya. Jonathan tidak pernah memandangi seserius itu, bahkan Rachel merasa senam jantung melihat tatapan Jo kala itu. Hari Senin, Rachel berangkat sekolah diantar oleh ayahnya. Memang sudah menjadi kebiasaan, pulang pergi, Jacob yang akan mengantar jemput Rachel. Di dalam kelas, entah mengapa Rachel merasa sedikit grogi, tidak seperti biasanya. Melihat pada bangku kosong di sebelahnya. Jonathan belum datang, tentu bocah tengil itu akan datang pa
Rachel memandang pada cincin emas putih yang terpasang di jari manisnya. Teringat kembali saat Jonathan memasangkan cincin itu di jarinya. Sungguh rasanya seperti mimpi, mengingat itu membuat wajah Rachel memanas. Hingga tepukan Mila membuyarkan lamunan. “Hai, Rachel yuk kita ke kantin," ajak Mila, yang merupakan sahabat satu-satunya Rachel. “Muka lo kok merah, Chel? Lo sakit?” tanya Mila lagi. “Hum, gak Mil, cuma pusing sedikit," jawab Rachel yang seratus persen bohong, sembari menyembunyikan jari manisnya agar cincin itu tak terlihat Mila. Rachel belum menyiapkan jawaban jika sahabatnya bertanya tentang cincin itu. Keduanya berjalan beriringan menuju kantin sekolah yang letaknya lumayan jauh. Harus melewati lapangan basket. Dimana Jonathan dan yang lain tengah bermain di sana. Rachel tampak gugup ketika melewati tepi lapangan basket. Jika ada jalan lain, mungkin dia akan melaluinya. Namun hanya ini jalan pintas menuju kantin. Rachel bisa melihat saat Jonathan memandang
"Lo baik-baik saja? Tu kan udah gue bilang, wajah lo merah. Lo pasti masih pusing,” ujar Jo, lalu memaksa Rachel untuk berbaring kembali. “Tapi gue baik-baik aja, Jo. Gue mau balik ke kelas," ujar Rachel masih bersikeras. Tak pernah seumur hidupnya melewati pelajaran di kelas. Bahkan dalam keadaan sakit, Rachel selalu memaksa dirinya untuk mengikuti pelajaran. Jo terlihat menghembuskan nafas pelan, lalu diraihnya kacamata dari wajah Rachel dan meletakkannya di atas nakas. “Istirahatlah, gue tunggu di sana jika lo merasa sungkan.” Jo mengambil selimut tipis lalu menutup tubuh Rachel hingga batas leher. Kemudian melangkah menuju ranjang lain, dan duduk di sana. Entah mengapa Jo merasa senang melihat Rachel tanpa kacamatanya. Setidaknya lebih enak dipandang mata. Jo mengambil ponselnya dan mulai bermain dengan benda pipih itu. Sementara Rachel berusaha untuk mengistirahatkan matanya. Memang kepalanya masih terasa pusing, namun dia tidak bisa tidur di tempat asing. Sungguh tid
Jonathan panik, dan segera membungkam mulut berisik Rachel dengan telapak tangannya. “Apaan sih Lo, norak! Gue bukan nyulik Lo, gue cuma nganterin Lo. Lagian sebenarnya gak sudi juga gue nganter cewek aneh kayak Lo.” Jo menatap tajam ke arah Rachel, yang terdiam takut. Sementara tangan Jo masih membungkam mulutnya. Tak sadar Jonathan melepas kacamata dari wajah Rachel dan menyimpannya di saku seragam. ‘Nah kalau lihat Lo gini jauh lebih menarik.’ batin Jonathan. “Gue lepasin tapi Lo berhenti teriak. Ngerti? Atau kalau nggak—” wajah Jo terlihat memerah, entah mengapa melihat mata bulat Rachel membuat wajahnya memanas. Hingga tanpa melanjutkan ucapannya, Jo melepaskan tangannya dari mulut Rachel. Menghidupkan mesin mobil dan mulai memacunyas menuju rumah Rachel. Selama diperjalanan keduanya saling terdiam. Rachel ingin mengenakan kacamatanya, namun kacamata itu kini berada di saku seragam Jonathan. Rachel malu memintanya. “Dimana rumahmu?” Tanya Jonathan menghapus kesunyian. Rach
“Kalau boleh tahu, Rachel sakit apa?” Jo kembali melangkah mendekat. “Saya kurang tahu, hanya tadi pagi dokter dipanggil tuan kemari untuk memeriksa non Rachel,” jelas sekuriti. Jonathan terdiam untuk beberapa saat, hingga panggilan seorang wanita membuat keduanya menoleh ke sumber suara. “Pras, siapa itu?” suara nenek Maria terdengar dari dalam. Dan tak lama, wanita sepuh itu berjalan mendekat menuju gerbang. “Nyonya, ini teman nona Rachel,” beritahu Prasetyo sembari menggeser tubuhnya. Sehingga sosok Jonathan terlihat di pandangan nenek Maria. “Jonathan?” wajah nenek Maria terlihat berbinar melihat tunangan cucunya. Dia kembali melangkah mendekati Jonathan. Jonathan tersenyum kikuk, sembari mengusap tengkuknya. “Apa kabar nek?” sapa Jonathan sembari meraih tangan nenek Maria. Namun justru nenek Maria membalasnya dengan memeluk tubuh jangkung Jonathan. “Apa kamu datang kemari untuk menjenguk Rachel?” ucap nenek Maria sembari tersenyum hangat. “Ayo masuk ke dalam! Rachel pasti
“Jonathan!!” nyaringnya suara Rachel, membuat nenek Maria pun ikut mendengarnya. Berjalan tergopoh-gopoh menghampiri cucunya. “Ada apa Rachel? Apa yang terjadi?” ucap nenek Maria dengan raut wajah cemas. “Nek, Jonathan.. Mpphhh,” belum Rachel menyelesaikan ucapannya, tangan besar Jonathan membungkam mulutnya sembari mulutnya mendesis ‘Sstt’. Mengisyaratkan Rachel untuk menutup mulutnya. Wajah Jonathan terlihat memerah dan panik. Dia kembali menatap ke arah nenek Maria. “Tidak nek, bukan masalah besar. Tadi Jo tidak sengaja menginjak kaki Rachel,” ujar Jo dengan garis bibir melengkung. Bukan masalah besar dia bilang? Dasar pembuat onar tak tahu diri! Bahkan Jo tidak mengucapkan permintaan maafnya, telah menyentuh miliknya yang sangat pribadi. Rachel menggigit telapak tangan Jonathan yang masih menutupi mulutnya. “Auwwww..” teriak Jonathan mengaduh, merasakan kuatnya gigitan Rachel. Menarik tangannya dan menatap pada telapak tangan yang merah dengan bekas gigi Rachel yang masih te
Pagi itu setelah menyelesaikan sarapannya, Rachel bersiap untuk berangkat ke sekolah. “Apa benar, Jonathan yang akan menjemputmu?” tanya Jacob pada putrinya. Rachel terdiam, tadinya dia lupa namun kini diingatkan kembali dengan ucapan ayahnya. “Tentu, kemarin Jonathan sudah berjanji akan mengantarkan Rachel. Iya kan, Chel?” justru nenek Maria yang terlihat antusias menjawab. Rachel tersenyum kaku mendengar jawaban nenek Maria. “Baguslah, papa hanya berharap semoga hubungan kalian semakin dekat. Karena dalam waktu satu tahun ke depan, kamu akan jadi istrinya Jonathan,” ucap Jacob dengan senyum simpul. “Waktu satu tahun, tentu cukup untuk kalian saling mengenal,” timpal Natasya. Rachel bergeming, bingung bagaimana menanggapi obrolan orang-orang dewasa itu. “Baiklah papa, mama, nenek, Rachel berangkat dulu,” pamit Rachel sembari mencium tangan mereka secara bergantian. Rachel pun melangkah keluar rumah, memutuskan untuk menunggu Jonathan di depan pintu gerbang. Sudah sepuluh men
Keliling lapangan bola yang begitu luas, tentu sangat mudah dilakukan oleh Jonathan. Apalagi mempunyai tungkai kaki yang panjang, sehingga membuatnya dengan cepat menyelesaikan sepuluh kali putaran.Berbeda halnya dengan Rachel yang tampak merasa kelelahan, bahkan di putaran yang ke empat energinya terkuras habis.Nafasnya tersengal, keringat membanjiri dahi dan pelipisnya.Jonathan akan melakukan putaran yang ke delapan, Namun saat berpapasan dengan Rachel, langkahnya terhenti di samping gadis itu.“Makanya, manusia itu gak cuma butuh buku. Kita juga butuh olahraga biar badan gak loyo,” ucap Jonathan terdengar meremehkan Rachel.Rachel mengusap peluh dari dahinya, menatap tajam ke arah Jonathan.“Heh, ini semua gara-gara lu! Coba lu jemputnya gak telat, gue gak akan dihukum seperti ini! Huh!” sentak Rachel, lalu segera memacu langkahnya kembali. Berlari melewati Jonathan.Jonathan sengaja memperlambat langkah kakinya agar sejajar dengan langkah Rachel.“Dasar siput! Kalau larimu sepe
Pandangan Jonathan mengikuti langkah Rachel, salah satu alisnya terangkat.“Mau kemana, Beb?” panggil Jonathan sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk kecil.“Lu mau ganti baju, kan? Mending gue tunggu di luar,” jawab Rachel tanpa berani memandang ke belakang. Tangan kanannya masih mencengkram handle pintu.“Tunggu aja di dalam, ngapain di luar?”“Jo, mana lu taruh cardlock?” tanya Rachel tak mengindahkan ucapan Jonathan.“Tuh, di samping pintu.” Jonathan melempar handuk basahnya ke atas meja. Lalu melangkah ke arah pintu.Tanpa menunggu lama, Rachel segera meraih kartu persegi itu dan hendak membuka pintu. Namun kembali ditahan oleh tangan Jonathan.“Mau kemana? Tungguin gue! Nanti kita turun barengan. Gue takut lu hilang lagi,” ucap Jonathan.“Ta-tapi Jo, lu telanjang..”“Gue bisa ganti di kamar mandi. Udah, lu tungguin gue di sini aja!” Jonathan menutup kembali pintu yang sudah setengah terbuka. Lalu mengambil kartu dari tangan Rachel, mengembalikan ke tempat semula.Rachel
Kring!Suara ponsel Jonathan berdering, membuat keduanya berpaling menatap ke sumber suara.“Pasti papa yang nelpon,” tebak Rachel sembari mendorong dada Jonathan yang menghalanginya.Dia pun segera melangkah untuk memeriksa. Namun sebelum tiba di tempat, suara ponsel berhenti.Rachel melirik pada layar ponsel yang masih menyala. Terlihat panggilan tak terjawab dari nenek Maria.“Papa Jacob?” tanya Jonathan yang sudah berdiri di belakang Rachel. Memanjangkan lehernya untuk melihat ke arah ponsel melalui pundak kiri Rachel. Akan tetapi layar ponsel sudah berubah gelap.Jonathan mengulurkan tangan kanannya, sengaja membuat posisi Rachel terhimpit.“Ih.. ngapain deket-deket sih Jo? Jauhin dikit!” ucap Rachel ketus sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada.“Awas aja, nanti gue bakal bikin lu gak bisa jauh dari gue!” balas Jonathan. Setelah meraih ponselnya, gadis itu sengaja mendorong tubuhnya ke belakang.“Coba aja kalau bisa!” tantang Rachel yang kini sudah berhasil lolos dari
Mata Rachel terbelalak mendengar ucapan Jonathan yang sangat frontal. Sontak dia memalingkan wajahnya hingga terlepas dari tangan Jonathan.“Dasar mesum!” ucapnya ketus.“Tapi lu suka, kan?” goda Jonathan sembari mengulum senyum.“Ih.. gue gak suka sama cowok mesum ya!” balas Rachel dengan bibir mengerucut.Garis bibir Jonathan semakin melengkung, melihat pada wajah Rachel yang semakin hari terlihat cantik dan menggemaskan.Dia masih tak menyangka, jika akan memiliki perasaan sayang pada gadis berkacamata tebal, yang pernah dijadikan bahan ejekan. Namun justru sekarang Jonathan yang tergila-gila.Tatapan Jonathan beralih pada tangan Rachel yang masih berada dalam genggamannya. Meskipun bibir Rachel mengucap tidak suka, namun gadis itu tak menolak perlakuannya. Sungguh menggemaskan bukan?“Chel..” panggil Jonathan dengan suara lembut.Rachel hanya menggerakkan netranya ke samping tanpa mengubah arah pandangnya.“Dua hari lagi, hari spesial buat gue. Nanti gue mau ngajak lu jalan-jalan
Rachel terkesiap, pipinya semakin merona merah ketika pandangannya bertemu dengan tatapan lembut Jonathan. Tatapan yang membuatnya hanyut dalam perasaan nyaman, hingga rasanya enggan untuk berpaling.Kedua tangannya berada di depan dada Jonathan, menjadi satu-satunya penghalang agar dadanya tidak terlalu menempel di dada pemuda itu.Jonathan sengaja mengunci tubuh Rachel dengan menahan punggung Rachel menggunakan satu tangannya, sementara tangan yang lain menahan tubuh mereka agar tidak jatuh ke belakang.Tak ada kata-kata terucap, namun Rachel bisa merasakan getaran di dada Jonathan yang sama dengan miliknya.Detik waktu seakan berhenti, kala Jonathan semakin mencondongkan wajahnya ke depan. Rachel pun memejamkan mata dengan nafas tertahan.Cup!Bibir Jonathan mendarat di permukaan pipi Rachel, sontak membuat kelopak mata Rachel kembali terbuka perlahan.“Selamat malam! Selamat tidur, sayang.” Suara Jonathan terdengar sangat lembut, hembusan nafasnya pun menggelitik pipi Rachel. Tang
Tak hanya dadanya yang berdegup kencang, pergerakan Rachel pun sontak terhenti. Malu rasanya ketika tindakannya diketahui oleh pemuda itu. Hingga rasanya Rachel tak ingin bertatap muka dengan Jonathan. Mendadak tenggorokannya terasa kering, Rachel berusaha menelan ludahnya dengan susah payah. Terdengar olehnya, langkah Jonathan yang semakin mendekat. “Laper?” Suara Jonathan terdengar sangat dekat. Langkah pemuda itu terhenti di belakang Rachel. Berdiri dengan posisi membungkuk. Rachel pun mengangguk perlahan sebagai jawaban. Tangan Jonathan bergerak dari kedua sisi tubuh Rachel, membuka bungkusan kotak styrofoam yang masih tertutup. Jika dilihat, mungkin posisi Jonathan seperti tengah memeluk Rachel dari belakang. Jantung Rachel mendadak tidak aman. Dalam jarak sedekat ini, tentu Rachel bisa mencium aroma maskulin yang menguar dari tubuh pemuda itu. Apalagi nafas Jonathan yang berbau mint, sungguh membuat tangannya berkeringat karena rasa gugup yang tiba-tiba muncul. Setelah tanga
Setelah berpamitan pada para petugas di kantor polisi, Jonathan pun kembali memesan taksi online.Tujuannya kini mencari penginapan untuk mereka bermalam, tentunya seperti yang Jonathan katakan sebelumnya. Penginapan yang letaknya tak jauh dari bandara, agar papa Rachel mudah mencari mereka.Selama di perjalanan, Jonathan membuka aplikasi untuk pemesanan kamar. Namun saat tengah mencari, ponselnya justru kehabisan daya. Seharian ini Jonathan memang tak mengisi daya pada ponselnya.“Mas, di depan bandaranya. Ini tujuannya kemana?” tanya sang sopir taksi sembari melirik ke arah belakang lewat kaca spion di atasnya.“Pak, tolong antarkan saya ke hotel atau penginapan yang dekat-dekat sini,” jawab Jonathan.“Hotel yang gimana ya, mas? Hotel biasa atau yang bagus?”“Sedapatnya aja pak, yang penting bukan hotel angker,” kelakar Jonathan disertai senyum simpul.Supir taksi ikut tersenyum lalu mengangguk paham. Akhirnya dia mengantarkan penumpangnya ke salah satu hotel kelas menengah.Setelah
Detik-detik terasa begitu lambat, Jonathan tak sabar ingin segera bertemu dengan Rachel. Bisa dia bayangkan, bagaimana ketakutannya Rachel saat dirinya tersesat di tempat asing. Mungkin saja gadis itu kini sedang menangis karena ketakutan, apalagi hari sudah cukup larut.Berulang kali Jonathan menghirup nafas dalam-dalam, mencoba untuk menahan gejolak emosi yang terus menyeruak di dalam dada.“Pak, masih jauh?” tanya Jonathan pada supir taksi.“Tidak mas, mungkin sepuluh menit lagi.”Ponsel Jonathan kembali berdering. Kini terlihat nama papa Jacob di layar.“Halo, om?”“Jo, dimana kamu? Sudah bertemu Rachel?” tanya pria dari seberang telepon.“Sebentar lagi Jo sampai, Om. Ini masih dalam perjalanan. Mungkin sekitar sepuluh menit lagi sampai.”“Jo, tolong hubungi papa jika sudah ketemu Rachel.”Panggilan pun berakhir, Jonathan kembali menyimpan ponselnya. Melirik ke arah tas ransel milik Rachel di sebelahnya.Tangannya terulur mengambil tas itu untuk diletakkan di atas paha. Jarinya be
Sebuah truk dengan muatan bahan bangunan terlihat dari kejauhan, Rachel melambaikan kedua tangan untuk mengisyaratkan pengemudi truk agar berhenti. Berharap mendapatkan pertolongan dari orang itu. Dan sesuai harapan, truk berwarna kuning itu berhenti. Rachel segera berjalan menghampiri. Sang supir truk mengeluarkan kepalanya lewat jendela. “Ada apa, dik? Ada yang bisa bapak bantu?” teriak sang supir truk berusia empat puluhan dengan wajah mengerut. Melihat gadis seusia putrinya berjalan sendirian di jalanan sepi, membuat rasa iba muncul dalam hatinya. Rachel mendongakkan kepala ke atas. “Pak tolong saya, saya tersesat. Bisakah bapak mengantar saya?” “Dimana rumahnya dik?” tanya pak supir sembari melihat ke sekeliling. Tak ada satu orangpun terlihat di sepanjang jalan yang sudah gelap. “Rumah saya jauh pak, saya bukan orang sini. Tadinya saya sedang ikut kegiatan study tour. Tapi entah apa yang membuat saya tersesat, saya masih mengingatnya.” Melihat wajah gadis yang memelas itu,
"Jo, Rachel gak ada di bus. Gue udah bilang ke Bu Lastri," ucap Mila saat panggilan terhubung. Berita menghilangnya Rachel mulai tersebar di kalangan guru dan murid-murid. Setiap peserta ditanya satu persatu oleh Bu Lastri selaku wali kelas, juga guru pembimbing di bus 12B. Tak ada satu orang pun yang mengetahui kemana perginya Rachel. Selain dari pengakuan Mila dan teman-teman satu mejanya, jika terakhir kalinya Rachel berpamitan ke toilet sebelum gadis itu menghilang. Perjalanan terpaksa ditunda. Bu Lastri menyampaikan hal ini pada guru-guru yang lain. Mereka pun segera berpencar untuk mencari keberadaan muridnya. Jonathan tampak panik, sedari tadi dia mengelilingi bangunan resto hingga berkali-kali. Namun tak juga menemukan keberadaan Rachel. Hari sudah semakin gelap, matahari pun sudah tenggelam di peraduan. Rasa khawatir dalam hati Jonathan pun semakin menjadi-jadi. Saat tengah berpikir, dua temannya menghampiri Jonathan yang tengah berjalan mondar-mandir. “Jo?” su