Tak terasa hari Sabtu datang begitu cepat. Nicholas sudah mempersiapkan sebuah pesta kecil untuk melangsungkan pertunangan putra tunggalnya. Namun hingga sore tiba, Jonathan tak juga pulang ke rumah.
“Dimana anak itu? Mami sudah menghubungi Jo? Bukankah seharusnya anak itu sudah pulang dari tadi?” ucap Nicholas pada istrinya. “Telepon mami tidak diangkat, Pi,” jawab Debora. “Benar-benar anak gak bisa diajak kerjasama," ujar Nicholas geram. Semakin bertambah umur, Jonathan semakin susah menurut. Hingga tak lama, yang dinanti-nanti akhirnya datang. Mobil Rubicon putih memasuki pekarangan rumah, Jonathan keluar dari balik kemudi. Lalu tanpa menyapa orangtuanya, dia berlalu menaiki anak tangga. “Jo, hari ini hari pertunanganmu dengan Rachel. Kau tidak lupa kan?” ucap Nicholas membuat langkah Jo terhenti. Jo menatap ke arah orang tuanya. “Memang Jo masih bisa menolak? Tidak kan?” jawab Jo ketus, lalu segera melanjutkan langkahnya. “Pakailah baju yang sudah dipersiapkan, Jo!” lanjut Nicholas lagi, dia tidak ingin putranya mempermalukan keluarga Lesham di acara yang akan diadakan sebentar lagi. Meskipun hanya sebuah pesta kecil, dihadiri oleh keluarga inti dari keluarga Lesham dan Shaquille. Namun Nicholas tidak ingin merusak citranya di depan calon besan dengan kelakuan putranya yang sedikit sulit diatur. Satu jam kemudian, Rachel dan keluarga tiba di rumah Lesham. Rachel ditemani kedua orangtua, serta neneknya. Setelan kebaya modern dengan make up minimalis, membuat penampilan Rachel terlihat lebih cantik dan modis. Tentu setelah ibunya memaksa dengan usaha keras, agar putrinya mau didandani. Bahkan Natasya telah mengganti kacamata tebal milik putrinya dengan softlens natural yang senada dengan warna iris mata Rachel. Penampilan Rachel begitu berubah, membuat Debora sejenak tak mengenali calon menantunya. Rachel meraih tangan Debora dengan santun. Debora dan Nicholas tidak bisa menutupi kekagumannya, kecantikan Rachel begitu natural. Bahkan mata bulat lentik Rachel mampu membuat orang terkagum. “Apa kabar Nak Rachel?” sapa Debora terlihat ramah. “Baik Tante,” jawab Rachel dengan senyum tipis. Setelah menyalami seluruh keluarga Lesham yang hadir, Rachel segera duduk di samping neneknya. “Mana calon tunangan cucuku?” ucap nenek Maria yang ditujukan pada sang pemilik rumah. “Sebentar nyonya Maria, Jonathan masih bersiap-siap. Mungkin sebentar lagi putra kami akan segera turun,” jelas Debora dengan ramah. Matanya masih menatap kagum pada gadis di samping nenek Maria. Tentu Jonathan akan terkejut dengan perubahan Rachel nantinya, Debora tidak sabar menanti kedatangan putranya. “Mi, mana putramu? Kenapa lama sekali si Jo,” ucap Nicholas yang merasa cemas, putranya tak kunjung turun. Padahal satu jam sudah berlalu. Anak laki-laki biasanya lebih cepat menghabiskan waktunya di kamar mandi, dibanding anak perempuan. Tapi mengapa si Jo bahkan lebih lama? “Tunggulah sebentar Pi. Kita tunggu lima menit lagi, nanti mami yang akan cari ke kamarnya,” jawab Debora setengah berbisik. Tak lama, pemuda yang dinanti-nanti datang. Jonathan memakai kemeja juga celana panjang kain. Warna kemeja yang senada dengan warna kebaya yang dipakai Rachel, biru langit. Jonathan terlihat malas dengan muka ditekuk. Acara yang membuat hidupnya tidak bebas, mana mungkin Jo menyukainya? Jonathan melangkah dengan wajah tak bersahabat, menghampiri orang tuanya. Tanpa melihat ke arah Rachel. Dia tak berniat memandang gadis kutu buku itu, bahkan memusuhi Rachel karena sudah menolak membantunya. “Jo, sapalah keluarga Shaquille!” perintah Nicholas. Dengan malas Jo mulai menyalami satu persatu keluarga Shaquille. Dari Jacob, Natasya, beralih pada nenek Maria. “Nenek Maria, perkenalkan ini Jonathan putra kami. Calon tunangan cucu nenek," ucap Debora pada nenek Maria yang sedari tadi tampak penasaran dengan calon tunangan Rachel. Mata Jonathan terpaku pada sosok gadis yang duduk di samping nenek Maria. “Rachel? Lo—” ucapan Jonathan mengambang. Hingga lidahnya terasa kelu untuk melanjutkan ucapannya. Bibir Jo masih membentuk huruf O. “Cantik, ya Rachel sangat cantik kan, Jo?” timpal Debora sembari menyenggol lengan putranya yang masih terpaku memandang Rachel. Nenek Maria yang melihat Jonathan segera memeluk Jonathan. “Wah, calonnya Rachel tampan,” ucap nenek Maria dengan polosnya. Jonathan diam tak berkutik dalam pelukan nenek Maria. Matanya menatap pada Rachel si gadis kutu buku dari balik bahu nenek Maria. Membuat orang yang ditatap tersipu malu, hingga mukanya memerah. “Baiklah sepertinya acara pertunangan ini bisa segera kita mulai," ucapan Nicholas membuat nenek Maria segera mengurai pelukannya. Debora menarik lengan putranya agar duduk di sisinya. Kini posisi duduk Rachel dan Jo sangat dekat, hanya terhalang oleh Debora yang duduk di antara mereka. Nicholas menjadi perwakilan keluarga Lesham, dan Jacob sendiri mewakili keluarga Shaquille. Mereka terlibat obrolan antara dua keluarga. Hingga tiba saatnya kedua calon tunangan bertukar cincin. Sepasang cincin emas putih yang sudah dipersiapkan Nicholas, telah dipegang Debora. Debora beranjak dari tempat duduknya, membuat Jonathan dan Rachel duduk berdampingan dengan jarak hanya beberapa centi. Rachel menundukkan pandangannya. Entah mengapa ketika di sekolah dia merasa Jo adalah orang yang tak menarik. Hanya tukang pembuat onar. Namun ketika melihatnya sekarang, Rachel baru menyadari jika calon tunangannya sangatlah menarik. Melihat Jonathan yang duduk dengan tenang, tak banyak bicara, sungguh terlihat tampan. Namun Rachel segera menepis anggapan itu, baginya Jonathan bukanlah kriteria idamannya. Meski tampan, namun jika kepintarannya di bawah standar maka sungguh tidak menarik. Obrolan mereka selama di sekolah, hanya saling mengejek satu sama lain. Bahkan Jo hanyalah seorang pengganggu yang begitu dibenci Rachel. “Jo ambil cincin ini dan sematkan pada jari manis Rachel," perintah Nicholas pada putranya. Jo mengangguk, lalu meraih cincin yang ukurannya lebih kecil. “Heh, mana tangan lo?” ucap Jonathan dengan raut wajah menyebalkan. Rachel menatap Jo dengan tajam. Apa-apaan si Jo ini, berucap tanpa etika? Nenek Maria yang masih berdiri di sisi Rachel, meraih tangan Rachel dan membawanya ke hadapan Jonathan. Untuk pertama kalinya jari jemari Jo menyentuh Rachel. Ada perasaan yang sulit diungkapkan, mengisi relung hati Rachel yang tidak pernah disentuh oleh lawan jenis selain ayahnya. ***“Rachel, ambil cincin dan sematkan di jari calon tunangan mu nak,” ucap Jacob selanjutnya yang langsung dituruti oleh anak gadisnya. Jo sudah menyodorkan tangan kirinya untuk menerima cincin itu. Kini jari manis Jo dan Rachel sudah tersemat cincin pertunangan. Yang masing-masing telah terukir nama calonnya. Cincin Jo dengan nama Rachel, cincin Rachel dengan nama Jonathan. Semenjak acara pertunangan itu, Rachel tak hentinya memikirkan Jonathan. Entah semenjak melihat Jo mode serius, hati Rachel tertarik namun dia selalu menepis perasaannya. Jonathan tidak pernah memandangi seserius itu, bahkan Rachel merasa senam jantung melihat tatapan Jo kala itu. Hari Senin, Rachel berangkat sekolah diantar oleh ayahnya. Memang sudah menjadi kebiasaan, pulang pergi, Jacob yang akan mengantar jemput Rachel. Di dalam kelas, entah mengapa Rachel merasa sedikit grogi, tidak seperti biasanya. Melihat pada bangku kosong di sebelahnya. Jonathan belum datang, tentu bocah tengil itu akan datang pa
Rachel memandang pada cincin emas putih yang terpasang di jari manisnya. Teringat kembali saat Jonathan memasangkan cincin itu di jarinya. Sungguh rasanya seperti mimpi, mengingat itu membuat wajah Rachel memanas. Hingga tepukan Mila membuyarkan lamunan. “Hai, Rachel yuk kita ke kantin," ajak Mila, yang merupakan sahabat satu-satunya Rachel. “Muka lo kok merah, Chel? Lo sakit?” tanya Mila lagi. “Hum, gak Mil, cuma pusing sedikit," jawab Rachel yang seratus persen bohong, sembari menyembunyikan jari manisnya agar cincin itu tak terlihat Mila. Rachel belum menyiapkan jawaban jika sahabatnya bertanya tentang cincin itu. Keduanya berjalan beriringan menuju kantin sekolah yang letaknya lumayan jauh. Harus melewati lapangan basket. Dimana Jonathan dan yang lain tengah bermain di sana. Rachel tampak gugup ketika melewati tepi lapangan basket. Jika ada jalan lain, mungkin dia akan melaluinya. Namun hanya ini jalan pintas menuju kantin. Rachel bisa melihat saat Jonathan memandang
"Lo baik-baik saja? Tu kan udah gue bilang, wajah lo merah. Lo pasti masih pusing,” ujar Jo, lalu memaksa Rachel untuk berbaring kembali. “Tapi gue baik-baik aja, Jo. Gue mau balik ke kelas," ujar Rachel masih bersikeras. Tak pernah seumur hidupnya melewati pelajaran di kelas. Bahkan dalam keadaan sakit, Rachel selalu memaksa dirinya untuk mengikuti pelajaran. Jo terlihat menghembuskan nafas pelan, lalu diraihnya kacamata dari wajah Rachel dan meletakkannya di atas nakas. “Istirahatlah, gue tunggu di sana jika lo merasa sungkan.” Jo mengambil selimut tipis lalu menutup tubuh Rachel hingga batas leher. Kemudian melangkah menuju ranjang lain, dan duduk di sana. Entah mengapa Jo merasa senang melihat Rachel tanpa kacamatanya. Setidaknya lebih enak dipandang mata. Jo mengambil ponselnya dan mulai bermain dengan benda pipih itu. Sementara Rachel berusaha untuk mengistirahatkan matanya. Memang kepalanya masih terasa pusing, namun dia tidak bisa tidur di tempat asing. Sungguh tid
Jonathan panik, dan segera membungkam mulut berisik Rachel dengan telapak tangannya.“Apaan sih Lo, norak! Gue bukan nyulik Lo, gue cuma nganterin Lo. Lagian sebenarnya gak sudi juga gue nganter cewek aneh kayak Lo.” Jo menatap tajam ke arah Rachel, yang terdiam takut. Sementara tangan Jo masih membungkam mulutnya.Tak sadar Jonathan melepas kacamata dari wajah Rachel dan menyimpannya di saku seragam.‘Nah kalau lihat Lo gini jauh lebih menarik.’ batin Jonathan.“Gue lepasin tapi Lo berhenti teriak. Ngerti? Atau kalau nggak—” wajah Jo terlihat memerah, entah mengapa melihat mata bulat Rachel membuat wajahnya memanas. Hingga tanpa melanjutkan ucapannya, Jo melepaskan tangannya dari mulut Rachel.Menghidupkan mesin mobil dan mulai memacunyas menuju rumah Rachel.Selama diperjalanan keduanya saling terdiam. Rachel ingin mengenakan kacamatanya, namun kacamata itu kini berada di saku seragam Jonathan. Rachel malu memintanya.“Dimana rumahmu?” Tanya Jonathan menghapus kesunyian.Rachel meny
Tok.. Tok.. Tok.. Pintu kamar diketuk, tak lama terdengar namanya dipanggil. “Rachel, apa papa bisa masuk?” Ya, itu suara Jacob, ayahnya. Rachel segera menutup buku LKS, dan beranjak dari meja belajarnya untuk membukakan pintu. “Apa kamu sedang sibuk, nak? Ada satu hal yang ingin papa bicarakan, ini sangat penting,” ujar Jacob, setelah melihat wajah putri kesayangan muncul dari balik pintu. Wajah Rachel terlihat mengerut, membuat kacamata tebalnya sedikit melorot dari batang hidung. “Ada hal penting apa, pa?” tangan Rachel bergerak untuk membenarkan posisi kacamatanya. Meskipun Rachel masih bingung, namun dia tetap membuka lebar pintu kamar agar Jacob bisa masuk. Jacob mengulas senyum, tak menjawab pertanyaan putrinya namun dia tahu kabar ini mungkin akan mengejutkan putrinya. Jacob menuntun Rachel untuk duduk di tepi ranjang. Kamar Rachel terlihat sangat bersih dengan warna putih yang mendominasi. Rachel masih menunggu kata-kata yang keluar dari mulut Jacob. “In
“Rachel, gue pindah belakang. Lu baik-baik ya,” pamit Mila sembari menenteng tas, berlalu menuju bangku belakang. Digantikan Jonathan yang menempati bangku Mila, di sebelah Rachel. Meski niatnya ingin fokus pada buku di hadapannya, namun dengan kehadiran Jonathan, Rachel mendadak kehilangan fokus. Apalagi Jonathan sengaja mengetuk-ngetuk pulpen di atas meja. “Hay, bisa diam gak?” hardik Rachel, tentunya dengan berbisik. Dia tidak ingin ditegur pak Supri, namun tidak bisa mengabaikan tingkah Jonathan yang mengganggu konsentrasi. Bukannya berhenti, ucapan Rachel justru membuat Jonathan terpancing untuk berbuat lebih usil. Jonathan mengangkat satu kakinya dan diletakkan pada kaki yang lain, lalu mengayun-ayunkan kakinya hingga mengenai kaki Rachel. Hal itu memantik amarah Rachel yang sudah berada di ubun-ubun. Tangannya terkepal menahan amarah. Bibirnya sudah siap memaki pemuda tengil yang begitu mengganggu. Namun suara pak Supri membuyarkan niatnya. “Simpan buku LKS kalian
“Elo? Ngapain lo kesini?” ujar Jonathan yang tampak terkejut dengan kehadiran teman sekelasnya. Rachel terdiam tak menjawab, bukan karena dia tidak tahu jawaban atas pertanyaan Jonathan padanya, melainkan lidahnya terasa kelu untuk menjelaskan. Dengan cepat Rachel pun menduga jika Jonathan adalah cucu Anthoni yang dimaksud Jacob kemarin. Namun bukankah Jacob berkata jika cucu Anthoni adalah pemuda baik? Hal ini sungguh bertolak belakang dengan kenyataan yang dia tahu. Mungkin Jacob belum tahu bagaimana perilaku Jonathan selama di sekolah. Sang pembuat onar yang selalu mencari masalah. Andai Rachel tahu jika cucu Anthoni adalah Jonathan, maka Rachel tidak akan menyetujuinya. Sungguh Rachel ingin menarik kembali ucapannya, dia tidak ingin menerima perjodohan ini. Namun ketika akan membicarakannya pada Jacob, kehadiran seorang pria tua menarik atensi semua orang. “Selamat sore, maaf sudah membuat kalian menunggu,” sapa Lim, pengacara opa Anthoni. Lalu melangkah dan menyalami se