“Rachel, gue pindah belakang. Lu baik-baik ya,” pamit Mila sembari menenteng tas, berlalu menuju bangku belakang. Digantikan Jonathan yang menempati bangku Mila, di sebelah Rachel.
Meski niatnya ingin fokus pada buku di hadapannya, namun dengan kehadiran Jonathan, Rachel mendadak kehilangan fokus. Apalagi Jonathan sengaja mengetuk-ngetuk pulpen di atas meja. “Hay, bisa diam gak?” hardik Rachel, tentunya dengan berbisik. Dia tidak ingin ditegur pak Supri, namun tidak bisa mengabaikan tingkah Jonathan yang mengganggu konsentrasi. Bukannya berhenti, ucapan Rachel justru membuat Jonathan terpancing untuk berbuat lebih usil. Jonathan mengangkat satu kakinya dan diletakkan pada kaki yang lain, lalu mengayun-ayunkan kakinya hingga mengenai kaki Rachel. Hal itu memantik amarah Rachel yang sudah berada di ubun-ubun. Tangannya terkepal menahan amarah. Bibirnya sudah siap memaki pemuda tengil yang begitu mengganggu. Namun suara pak Supri membuyarkan niatnya. “Simpan buku LKS kalian. Keluarkan satu lembar kertas," ucap pak Supri. Tak terasa 15 menit sudah berlalu, Rachel merasa belum puas karena Jonathan mengganggu waktu berharganya. Pak Supri menulis beberapa soal di papan tulis. Kumpulan rumus dan angka yang tentunya Rachel sangat paham dan bisa menyelesaikannya. Beda halnya dengan Jonathan yang tampak pusing memikirkan jawaban. Kepintaran Jonathan memang di bawah rata-rata, namun dia ahli menyalin jawaban milik temannya. Dan suatu keberuntungan dia duduk bersebelahan dengan si kutu buku yang jago matematika. Ketika Rachel sedang fokus mengerjakan soal, Jonathan berusaha melirik jawaban Rachel lalu menyalin di kertas miliknya. Jonathan tersenyum puas ketika sudah menyalin seluruh jawaban Rachel. Hingga saat guru menilai, pak Supri tampak syok dengan hasil nilai yang didapat Jonathan. Seratus sempurna, bahkan dari dua puluh soal jawaban Jonathan tidak ada yang salah. Ketika hasil nilai dibagikan, pak Supri kembali memanggil Jonathan. “Jonathan maju ke depan!” ucap pak Supri dengan aura galak. Rachel yang mendengar nama teman sebangkunya dipanggil, ikut menoleh. Sedari tadi Rachel tak menyadari jika Jonathan telah menyontek jawabannya. Jonathan beranjak dari bangku, dan berjalan ke depan, berdiri di samping pak Supri yang tengah menulis sesuatu di papan tulis. “Kerjakan ini! Aku lihat nilaimu bagus. Kerjakan satu soal ini dan terangkan pada teman-temanmu yang lain,” ucap Supri berusaha memendam rasa ketidakpercayaannya pada murid bandel itu. Rachel memandang pada ekspresi Jonathan yang terlihat frustasi. Pemuda itu menyugar rambut sembari menghembuskan nafasnya dengan berat. Pak Supri kembali duduk di depan mejanya, melanjutkan menilai lembar jawaban para murid. Sambil sesekali melirik pada Jonathan untuk memastikan murid itu mengerjakan sendiri. Jo melihat keadaan sekitar, melirik ke arah pak Supri yang tengah fokus. Lalu tatapannya tertuju pada Rachel yang tengah menatap ke arahnya dengan tatapan mengejek. Salah satu sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum sinis setengah mengejek ke arah Jo. “Bantuin gue, please!” ucap Jo dengan gerakan bibir tanpa suara. Rachel mengedikkan bahunya lalu menoleh ke arah lain, pura-pura acuh. Membuat Jo menyerah, tak ada jalan lain selain menulis asal jawaban. “Bagaimana Jonathan? Apa kamu bisa menyelesaikan soal itu? Bukankah tadi kamu bisa menyelesaikan soal ulangan dengan nilai sempurna?” Pak Supri melihat pada jawaban Jo yang tertulis di depan papan tulis. Tentunya jawaban itu salah, semakin membuat pak Supri yakin jika Jo telah menyontek. Jonathan menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Tersenyum dengan wajah tak bersalah. “Apa kau menyontek lagi?” imbuh pak Supri. Disambut anggukan oleh Jonathan. “Berdiri di depan kelas, sampai pelajaran selesai!” perintah Supri memberi hukuman pada Jo. Hanya beliau yang tidak takut menghukum Jonathan, anak dari Nicholas yang menjadi donatur di sekolah. Bagi Supri, dia tidak akan segan menghukum anak seorang bos jika mendapati kesalahan. Rachel tersenyum puas, melihat si Biang Kerok dihukum. Menatap pada Jonathan sembari menjulurkan lidahnya, mengejek. ‘Awas lo! Bakal gue balas!’ ucap Jonathan dengan gerakan bibir tanpa bersuara. Satu jam kemudian bel istirahat berbunyi, setelah guru meninggalkan kelas, Jonathan baru berani duduk. Berdiri satu jam lebih, cukup membuat kakinya pegal. *** Sore hari di kediaman keluarga Lesham. Rachel turun dari mobil bersama kedua orangtuanya. Hatinya berdebar ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kediaman keluarga Lesham. Meskipun Rachel merasa belum siap untuk bertemu dengan cucu laki-laki opa Anthoni, namun dia sudah terlanjur menerima perjodohan ini, sesuai dengan keinginan Jacob, papa Rachel. Rachel tidak bisa mundur lagi, karena jika dia melakukannya akan mencoreng nama baik keluarga Shaquille. Memasuki pintu utama, mereka di sambut oleh keluarga Lesham yang ramah. “Hay, apa kabarmu Jacob?” sapa Nicholas pada pria yang seumuran dengannya, sambil menjabat tangan Jacob. “Baik. Akhirnya keluarga kita bisa bertemu lagi," ucap Jacob menimpali. “Tentu, duduklah!” Nicholas memberi arahan agar Jacob dan keluarganya menduduki kursi yang sudah disediakan. Setelah mencium tangan sang pemilik rumah, Rachel hanya duduk diam dengan tatapan merotasi ke seluruh ruangan yang tampak luas dan megah. “Perkenalkan, putri kesayangan saya Rachel Shaquille," ucap Jacob dengan lantang memperkenalkan putri kebanggaannya. Debora melihat pada gadis yang nantinya akan menjadi calon menantu. Gadis mungil yang mengenakan dress panjang yang tampak kebesaran. Debora sempat menilai jika Rachel memiliki kecantikan yang tertutup karena penampilannya yang tidak modis. Apalagi kacamata dengan bingkai tebal, juga rambut panjang yang dikepang dua. Sungguh penampilan Rachel seperti gadis desa. Membuat Debora ragu, apakah putranya akan tertarik pada gadis seperti ini? "Baiklah kita tinggal menunggu Lim datang, dia sudah dalam perjalanan dan sebentar lagi akan sampai," ujar Nicholas memberitahu. Lim adalah pengacara opa Anthoni yang nantinya akan membacakan surat wasiat secara resmi di hadapan kedua keluarga. "Dimana putramu, Nicho?" tanya Jacob yang sedari tadi tampak penasaran dengan wajah calon menantunya. "Dia lagi bersiap-siap di kamarnya, sebentar lagi juga akan turun," jelas Nicholas, lalu menoleh pada istrinya. "Mi, dimana anakmu?" tanya Nicholas sembari berbisik, agar tamunya tidak mendengar. Sebelum sempat menjawab, orang yang dibicarakan muncul dari anak tangga. Namun yang membuat Nicholas terkejut adalah penampilan putranya masih mengenakan baju Jersey. Sungguh tidak sopan, padahal Nicholas sudah memintanya untuk mengenakan baju formal. Posisi duduk Rachel membelakangi anak tangga, sehingga dia tidak menyadari kehadiran pemuda yang akan menjadi calon suaminya. "Jo, kemarilah. Papi akan mengenalkanmu dengan teman baik papi," ucap Nicholas sembari mengisyaratkan putranya agar mendekat. Jo? panggilan yang tak asing di telinga Rachel. Namun mengapa dia merasa jika Jo yang dimaksud adalah teman sekelasnya? Dengan hati berdebar, Rachel mengalihkan pandangannya mengikuti arah Nicholas memandang. Seketika membuat bola matanya melebar, hingga kacamatanya ikut melorot. "Jo?" ucap Rachel tanpa sadar. ***“Elo? Ngapain lo kesini?” ujar Jonathan yang tampak terkejut dengan kehadiran teman sekelasnya. Rachel terdiam tak menjawab, bukan karena dia tidak tahu jawaban atas pertanyaan Jonathan padanya, melainkan lidahnya terasa kelu untuk menjelaskan. Dengan cepat Rachel pun menduga jika Jonathan adalah cucu Anthoni yang dimaksud Jacob kemarin. Namun bukankah Jacob berkata jika cucu Anthoni adalah pemuda baik? Hal ini sungguh bertolak belakang dengan kenyataan yang dia tahu. Mungkin Jacob belum tahu bagaimana perilaku Jonathan selama di sekolah. Sang pembuat onar yang selalu mencari masalah. Andai Rachel tahu jika cucu Anthoni adalah Jonathan, maka Rachel tidak akan menyetujuinya. Sungguh Rachel ingin menarik kembali ucapannya, dia tidak ingin menerima perjodohan ini. Namun ketika akan membicarakannya pada Jacob, kehadiran seorang pria tua menarik atensi semua orang. “Selamat sore, maaf sudah membuat kalian menunggu,” sapa Lim, pengacara opa Anthoni. Lalu melangkah dan menyalami se
Tak terasa hari Sabtu datang begitu cepat. Nicholas sudah mempersiapkan sebuah pesta kecil untuk melangsungkan pertunangan putra tunggalnya. Namun hingga sore tiba, Jonathan tak juga pulang ke rumah. “Dimana anak itu? Mami sudah menghubungi Jo? Bukankah seharusnya anak itu sudah pulang dari tadi?” ucap Nicholas pada istrinya. “Telepon mami tidak diangkat, Pi,” jawab Debora. “Benar-benar anak gak bisa diajak kerjasama," ujar Nicholas geram. Semakin bertambah umur, Jonathan semakin susah menurut. Hingga tak lama, yang dinanti-nanti akhirnya datang. Mobil Rubicon putih memasuki pekarangan rumah, Jonathan keluar dari balik kemudi. Lalu tanpa menyapa orangtuanya, dia berlalu menaiki anak tangga. “Jo, hari ini hari pertunanganmu dengan Rachel. Kau tidak lupa kan?” ucap Nicholas membuat langkah Jo terhenti. Jo menatap ke arah orang tuanya. “Memang Jo masih bisa menolak? Tidak kan?” jawab Jo ketus, lalu segera melanjutkan langkahnya. “Pakailah baju yang sudah dipersiapkan, Jo!
“Rachel, ambil cincin dan sematkan di jari calon tunangan mu nak,” ucap Jacob selanjutnya yang langsung dituruti oleh anak gadisnya. Jo sudah menyodorkan tangan kirinya untuk menerima cincin itu. Kini jari manis Jo dan Rachel sudah tersemat cincin pertunangan. Yang masing-masing telah terukir nama calonnya. Cincin Jo dengan nama Rachel, cincin Rachel dengan nama Jonathan. Semenjak acara pertunangan itu, Rachel tak hentinya memikirkan Jonathan. Entah semenjak melihat Jo mode serius, hati Rachel tertarik namun dia selalu menepis perasaannya. Jonathan tidak pernah memandangi seserius itu, bahkan Rachel merasa senam jantung melihat tatapan Jo kala itu. Hari Senin, Rachel berangkat sekolah diantar oleh ayahnya. Memang sudah menjadi kebiasaan, pulang pergi, Jacob yang akan mengantar jemput Rachel. Di dalam kelas, entah mengapa Rachel merasa sedikit grogi, tidak seperti biasanya. Melihat pada bangku kosong di sebelahnya. Jonathan belum datang, tentu bocah tengil itu akan datang pa
Rachel memandang pada cincin emas putih yang terpasang di jari manisnya. Teringat kembali saat Jonathan memasangkan cincin itu di jarinya. Sungguh rasanya seperti mimpi, mengingat itu membuat wajah Rachel memanas. Hingga tepukan Mila membuyarkan lamunan. “Hai, Rachel yuk kita ke kantin," ajak Mila, yang merupakan sahabat satu-satunya Rachel. “Muka lo kok merah, Chel? Lo sakit?” tanya Mila lagi. “Hum, gak Mil, cuma pusing sedikit," jawab Rachel yang seratus persen bohong, sembari menyembunyikan jari manisnya agar cincin itu tak terlihat Mila. Rachel belum menyiapkan jawaban jika sahabatnya bertanya tentang cincin itu. Keduanya berjalan beriringan menuju kantin sekolah yang letaknya lumayan jauh. Harus melewati lapangan basket. Dimana Jonathan dan yang lain tengah bermain di sana. Rachel tampak gugup ketika melewati tepi lapangan basket. Jika ada jalan lain, mungkin dia akan melaluinya. Namun hanya ini jalan pintas menuju kantin. Rachel bisa melihat saat Jonathan memandang
"Lo baik-baik saja? Tu kan udah gue bilang, wajah lo merah. Lo pasti masih pusing,” ujar Jo, lalu memaksa Rachel untuk berbaring kembali. “Tapi gue baik-baik aja, Jo. Gue mau balik ke kelas," ujar Rachel masih bersikeras. Tak pernah seumur hidupnya melewati pelajaran di kelas. Bahkan dalam keadaan sakit, Rachel selalu memaksa dirinya untuk mengikuti pelajaran. Jo terlihat menghembuskan nafas pelan, lalu diraihnya kacamata dari wajah Rachel dan meletakkannya di atas nakas. “Istirahatlah, gue tunggu di sana jika lo merasa sungkan.” Jo mengambil selimut tipis lalu menutup tubuh Rachel hingga batas leher. Kemudian melangkah menuju ranjang lain, dan duduk di sana. Entah mengapa Jo merasa senang melihat Rachel tanpa kacamatanya. Setidaknya lebih enak dipandang mata. Jo mengambil ponselnya dan mulai bermain dengan benda pipih itu. Sementara Rachel berusaha untuk mengistirahatkan matanya. Memang kepalanya masih terasa pusing, namun dia tidak bisa tidur di tempat asing. Sungguh tid
Jonathan panik, dan segera membungkam mulut berisik Rachel dengan telapak tangannya. “Apaan sih Lo, norak! Gue bukan nyulik Lo, gue cuma nganterin Lo. Lagian sebenarnya gak sudi juga gue nganter cewek aneh kayak Lo.” Jo menatap tajam ke arah Rachel, yang terdiam takut. Sementara tangan Jo masih membungkam mulutnya. Tak sadar Jonathan melepas kacamata dari wajah Rachel dan menyimpannya di saku seragam. ‘Nah kalau lihat Lo gini jauh lebih menarik.’ batin Jonathan. “Gue lepasin tapi Lo berhenti teriak. Ngerti? Atau kalau nggak—” wajah Jo terlihat memerah, entah mengapa melihat mata bulat Rachel membuat wajahnya memanas. Hingga tanpa melanjutkan ucapannya, Jo melepaskan tangannya dari mulut Rachel. Menghidupkan mesin mobil dan mulai memacunyas menuju rumah Rachel. Selama diperjalanan keduanya saling terdiam. Rachel ingin mengenakan kacamatanya, namun kacamata itu kini berada di saku seragam Jonathan. Rachel malu memintanya. “Dimana rumahmu?” Tanya Jonathan menghapus kesunyian. Rach
“Kalau boleh tahu, Rachel sakit apa?” Jo kembali melangkah mendekat. “Saya kurang tahu, hanya tadi pagi dokter dipanggil tuan kemari untuk memeriksa non Rachel,” jelas sekuriti. Jonathan terdiam untuk beberapa saat, hingga panggilan seorang wanita membuat keduanya menoleh ke sumber suara. “Pras, siapa itu?” suara nenek Maria terdengar dari dalam. Dan tak lama, wanita sepuh itu berjalan mendekat menuju gerbang. “Nyonya, ini teman nona Rachel,” beritahu Prasetyo sembari menggeser tubuhnya. Sehingga sosok Jonathan terlihat di pandangan nenek Maria. “Jonathan?” wajah nenek Maria terlihat berbinar melihat tunangan cucunya. Dia kembali melangkah mendekati Jonathan. Jonathan tersenyum kikuk, sembari mengusap tengkuknya. “Apa kabar nek?” sapa Jonathan sembari meraih tangan nenek Maria. Namun justru nenek Maria membalasnya dengan memeluk tubuh jangkung Jonathan. “Apa kamu datang kemari untuk menjenguk Rachel?” ucap nenek Maria sembari tersenyum hangat. “Ayo masuk ke dalam! Rachel pasti
“Jonathan!!” nyaringnya suara Rachel, membuat nenek Maria pun ikut mendengarnya. Berjalan tergopoh-gopoh menghampiri cucunya. “Ada apa Rachel? Apa yang terjadi?” ucap nenek Maria dengan raut wajah cemas. “Nek, Jonathan.. Mpphhh,” belum Rachel menyelesaikan ucapannya, tangan besar Jonathan membungkam mulutnya sembari mulutnya mendesis ‘Sstt’. Mengisyaratkan Rachel untuk menutup mulutnya. Wajah Jonathan terlihat memerah dan panik. Dia kembali menatap ke arah nenek Maria. “Tidak nek, bukan masalah besar. Tadi Jo tidak sengaja menginjak kaki Rachel,” ujar Jo dengan garis bibir melengkung. Bukan masalah besar dia bilang? Dasar pembuat onar tak tahu diri! Bahkan Jo tidak mengucapkan permintaan maafnya, telah menyentuh miliknya yang sangat pribadi. Rachel menggigit telapak tangan Jonathan yang masih menutupi mulutnya. “Auwwww..” teriak Jonathan mengaduh, merasakan kuatnya gigitan Rachel. Menarik tangannya dan menatap pada telapak tangan yang merah dengan bekas gigi Rachel yang masih te
Sebuah truk dengan muatan bahan bangunan terlihat dari kejauhan, Rachel melambaikan kedua tangan untuk mengisyaratkan pengemudi truk agar berhenti. Berharap mendapatkan pertolongan dari orang itu.Dan sesuai harapan, truk berwarna kuning itu berhenti. Rachel segera berjalan menghampiri. Sang supir truk mengeluarkan kepalanya lewat jendela.“Ada apa, dik? Ada yang bisa bapak bantu?” teriak sang supir truk berusia empat puluhan dengan wajah mengerut. Melihat gadis seusia putrinya berjalan sendirian di jalanan sepi, membuat rasa iba muncul dalam hatinya.Rachel mendongakkan kepala ke atas. “Pak tolong saya, saya tersesat. Bisakah bapak mengantar saya?”“Dimana rumahnya dik?” tanya pak supir sembari melihat ke sekeliling. Tak ada satu orangpun terlihat di sepanjang jalan yang sudah gelap.“Rumah saya jauh pak, saya bukan orang sini. Tadinya saya sedang ikut kegiatan study tour. Tapi entah apa yang membuat saya tersesat, saya masih mengingatnya.”Melihat wajah gadis yang memelas itu, membu
"Jo, Rachel gak ada di bus. Gue udah bilang ke Bu Lastri," ucap Mila pada panggilan yang terhubung.Berita menghilangnya Rachel mulai tersebar di kalangan guru dan murid-murid.Setiap peserta ditanya satu persatu oleh Bu Lastri selaku wali kelas, juga guru pembimbing di bus 12B.Tak ada satu orang pun yang mengetahui kemana perginya Rachel. Selain dari pengakuan Mila dan teman-teman satu mejanya, jika terakhir kalinya Rachel berpamitan ke toilet sebelum gadis itu menghilang.Perjalanan terpaksa ditunda. Bu Lastri menyampaikan hal ini pada guru-guru yang lain. Mereka pun segera berpencar untuk mencari keberadaan muridnya.Jonathan tampak panik, sedari tadi dia mengelilingi bangunan resto hingga berkali-kali. Namun tak juga menemukan keberadaan Rachel.Hari sudah semakin gelap, matahari pun sudah tenggelam di peraduan. Rasa khawatir dalam hati Jonathan pun semakin menjadi-jadi.Saat tengah berpikir, dua temannya menghampiri Jonathan yang tengah berjalan mondar-mandir.“Jo?” suara Ray te
Jonathan merasakan bahagia yang teramat sangat. Meskipun dia tak mendengar jawaban dari bibir Rachel secara langsung, namun cukup dengan anggukan Rachel sudah mampu meyakinkan diri jika perasaan cintanya telah disambut.Hari ini Jonathan akan mencatat dalam memorinya, hari dan tanggal mereka jadian.Rachel kini adalah kekasihnya, status itu tentu akan memperkuat hubungan mereka sebelum menuju ke jenjang yang lebih serius.Tak ada lagi yang berani mengganggu Rachel, termasuk Jessi. Jonathan akan berada di garda terdepan melindungi Rachel dari para pengganggu.Saat langkah mereka tiba di ambang pintu resto, Rachel menarik tangannya dari genggaman Jonathan. Membuat pemuda itu menoleh dengan raut bingung.“Kenapa Beb?”Deg, Rachel terkesiap mendengar panggilan Jonathan padanya. Apakah semua orang akan memanggil dengan sebutan itu, ketika sudah berpacaran? Seperti Mila dan Rayjendra.“A-aku mau makan sama Mila,” jawab Rachel sembari menundukkan pandangan. Baru kali ini dia merasa sangat ma
Jessi dibuat melongo dengan kata-kata yang keluar dari mulut Jonathan. Bagaimana tidak, jika dia mendengar langsung pengakuan dari pemuda itu?“Apa lu bilang, Jo? Calon istri?” tanya Jessi dengan tatapan tak percaya. Berusaha menarik lengan pemuda itu agar mau melihat ke arahnya, namun Jonathan justru membantu gadis Cupu itu.“Lu gak apa, Chel? Ada yang luka?” tanya Jonathan dengan tatapan menelisik pada baju Rachel yang sedikit kotor terkena rumput kering.Mila yang lebih dulu berdiri menatap ke arah Jessi dengan remeh sembari berkata, “tuh kan apa gue bilang. Lu gak budeg kan? Telinga lu masih bisa mendengar? Ngapain lu masih di sini?” tanya Mila ketus.Wajah Jessi tampak memerah. Pertanyaannya bahkan belum sepenuhnya dijawab oleh Jonathan, justru kini dia diserang oleh gadis gembel yang dia benci.“Gue gak percaya, gue gak akan percaya sampai gue melihat bukti itu sendiri!” tukas Jessi berusaha menutupi rasa kecewanya.Mila tersenyum sinis, “bukti apa lagi? Lu kan udah denger sendi
Rachel segera beranjak dari ranjang menghampiri Jonathan dan segera mengunci pintu.“Gawat, terus gimana Jo? Bisa gawat kalau yang lain tahu lu ada di sini!”Rachel tampak panik, namun segera memikirkan langkah yang tepat. Hingga akhirnya tercetus satu ide untuk mengeluarkan Jonathan dari kamarnya tanpa diketahui orang lain.“Jo, sini deh! Lu keluar lewat sini,” perintah Rachel sembari membuka lebar kaca jendela.Jonathan tampak masih bingung, tak berpindah dari posisinya. Hingga terdengar ketukan pintu dari luar. Suara Mila terdengar memanggil nama Rachel.Karena tak sabar, Rachel segera menghampiri Jonathan dan menarik tangannya.“Buruan Jo! Cepetan, kalau gak mau kena masalah!” Rachel berusaha mendorong tubuh jangkung itu agar mau menaiki jendela yang tingginya hanya sebatas paha.“Tapi Chel, jendelanya kecil. Mana muat badan gue?” “Dicoba dulu!” Rachel kembali mendorong tubuh Jonathan.“Aduh, batang gue nyangkut Chel!” seru Jonathan ketika setengah tubuhnya keluar, namun miliknya
“Chel, akhirnya lu..” Ucapan Jonathan mengambang di udara, ketika yang dilihatnya justru seorang wanita aneh dengan pakaian seksi. Wanita dengan riasan menor, dengan bulu mata palsu berlapis. Juga bibir tebal dengan lipstik merah menyala. Mata Jonathan terbelalak mengawasi wanita yang seperti makhluk jadi-jadian itu. Mulai melangkah mundur, selangkah demi selangkah tatkala wanita itu berjalan gemulai ke arahnya. “Hay ganteng! Butuh kehangatan?” ucap wanita itu dengan suara bariton yang sengaja dibuat mendayu. Jonathan bergidik ngeri melihat sosok yang sama menakutkannya dengan hantu di film horor. “Tidak Om, eh.. Tante. Saya mau cari pacar, eh.. maksudnya istri saya,” jawab Jonathan dengan senyum yang terlihat kaku. Dadanya semakin berdegup kencang, kala wanita aneh itu terus melangkah maju ke arahnya. “Jangan panggil Tante dong, eike masih muda keles.” “Eit! Tante mau ngapain?” tanya Jonathan dengan sikap siaga. Meletakkan kedua tangannya menyilang di depan dada. “Bener, you
Rachel menekan dada Jonathan untuk menjauhkan tubuhnya, namun supir bus mengerem mendadak. Membuat tubuh Rachel malah semakin melekat, hingga pipinya menempel pada dada Jonathan.Dag, Dig, Dug!Bunyi detak jantung Jonathan begitu jelas terdengar di telinganya. Rachel sedikit mendongakkan kepala, terlihat pemuda itu menahan nafas dengan wajah memerah.Terdengar beberapa murid perempuan yang berteriak histeris, bahkan ada beberapa yang beranjak dari bangku untuk melihat ke depan. Untuk melihat, hal apa yang membuat bus berhenti mendadak.Tangan Jonathan terulur memegang kedua bahu Rachel, lalu mendorong agar gadis itu kembali duduk di posisinya. Tentunya dengan gerakan lembut dan sangat hati-hati.“Gue bisa kehilangan akal sehat, kalau posisi lu terlalu dekat,” ujarnya setengah berbisik, membuat Rachel tersadar dan segera membuang pandangannya ke samping.Jonathan pun beranjak dari kursi, melihat ke depan. Ternyata bus berhenti karena ada seekor anjing melintas. Setelah hewan berkaki em
“Ya, gue cemburu, Chel!”Mata Rachel melebar setelah mendengar ucapan Jonathan dengan wajahnya yang serius itu. Lidahnya mendadak kelu, tak mampu berkata-kata.“Lu milik gue, dan gue gak ijinin siapapun deketin lu! Gue harap lu paham,” lanjut Jonathan. Diraihnya tangan Rachel yang terkulai di atas meja. Lalu menggenggamnya erat, seraya mengusapnya dengan kedua ibu jarinya.Rachel menelan salivanya dengan susah payah, mendadak tenggorokannya terasa kering. Degup jantungnya terus berpacu.“Kalau gue gak boleh dekat sama Nolan, lalu lu sendiri kenapa masih dekat sama Jessi,” balas Rachel sembari membuang pandangannya ke samping.“Lu kan tahu sendiri, bukan gue yang deketin Jessi. Tapi dia yang terus deketin gue.” Jonathan coba menjelaskan.“Tapi kalian cocok kok, sama-sama tinggi dan idola,” sahut Rachel dengan suara lirih. Wajahnya terlihat kesal, bibirnya pun mengerucut. Hal itu terlihat di pandangan Jonathan, meskipun gadis itu berusaha menghindari kontak mata dengannya.“Lu cemburu?”
Begitu tiba di kantin, Jonathan segera menghampiri meja Rachel, lalu mencengkram kerah seragam Nolan.“Ikut gue!!”“Jonathan, tapi makananku..” Nolan berusaha menolak karena makanannya masih tersisa banyak.Jonathan pun mengambil mangkuk soto milik Nolan, dan membawanya ke meja yang lebih jauh.“Lu duduk di sini! Jangan genit deh lu! Sok jadi playboy, gak pantes tahu!!” sentak Jonathan memaksa Nolan untuk duduk di kursi lain. “Lanjutin makannya! Selesai ini, lu cabut dari sini! Paham?”Nolan yang sedikit takut melihat perangai Jonathan, hanya bisa mengangguk. Lalu segera melanjutkan acara makannya.Sementara itu, Rachel masih terkesiap melihat kedatangan Jonathan yang tiba-tiba. Matanya terus menatap ke arah Jonathan dan Nolan berada.Sedangkan Mila tampak senang melihat kehadiran kekasihnya di sana.“Kok lu susulin kita ke sini sih, Ray?” tanya Mila, lalu meminta Ray untuk duduk di sebelahnya.“Gue ngikutin Jonathan. Tadinya kita ke perpus, gue kira kalian di sana. Ternyata di sini,”