Tok.. Tok.. Tok..
Pintu kamar diketuk, tak lama terdengar namanya dipanggil. “Rachel, apa papa bisa masuk?” Ya, itu suara Jacob, ayahnya. Rachel segera menutup buku LKS, dan beranjak dari meja belajarnya untuk membukakan pintu. “Apa kamu sedang sibuk, nak? Ada satu hal yang ingin papa bicarakan, ini sangat penting,” ujar Jacob, setelah melihat wajah putri kesayangan muncul dari balik pintu. Wajah Rachel terlihat mengerut, membuat kacamata tebalnya sedikit melorot dari batang hidung. “Ada hal penting apa, pa?” tangan Rachel bergerak untuk membenarkan posisi kacamatanya. Meskipun Rachel masih bingung, namun dia tetap membuka lebar pintu kamar agar Jacob bisa masuk. Jacob mengulas senyum, tak menjawab pertanyaan putrinya namun dia tahu kabar ini mungkin akan mengejutkan putrinya. Jacob menuntun Rachel untuk duduk di tepi ranjang. Kamar Rachel terlihat sangat bersih dengan warna putih yang mendominasi. Rachel masih menunggu kata-kata yang keluar dari mulut Jacob. “Ini mengenai masa depanmu nanti nak,” ujar Jacob memulai pembicaraan. Masa depan? Usia Rachel masih sangat muda, namun ayahnya sudah merencanakan masa depan untuknya. Tentu Rachel menduga jika ini berkaitan dengan universitas yang nantinya akan dimasuki, setelah lulus SMA. Dugaan ini membuat Rachel begitu antusias mendengarkan. “Apa papa menyetujui permintaanku, tentang universitas yang Rachel inginkan?” senyum merekah di bibir Rachel. “Tentu sayang, hal itu juga sedang papa diskusikan dengan mamamu. Tapi bukan itu yang ingin papa katakan, ada hal lain yang juga menyangkut masa depanmu,” ucapan Jacob membuat senyum Rachel sedikit menghilang. Wajahnya kembali mengerut bingung. Dalam pikiran Rachel hanya ingin mengejar pendidikan setinggi-tingginya, itu sudah menjadi tujuan hidupnya. “Papa mempunyai teman bernama Nicholas, mungkin papa belum sempat mengenalkannya padamu. Tapi mungkin sebentar lagi keluarga kita akan bertemu dengan keluarga om Nicholas,” ucap Jacob. Hal itu membuat Rachel semakin bingung. Bukankah papa tadi akan membicarakan tentang masa depannya? Lalu apa hubungan om Nicholas dengan masa depannya? Rachel masih berdiam, menunggu hingga Jacob melanjutkan ucapannya. “Papa memiliki perjanjian dengan opa Anthoni, jika papa memiliki anak perempuan maka harus siap dijodohkan dengan cucu laki-laki dari keluarga Lesham,” lanjut Jacob sembari membelai rambut putrinya. Jacob tahu jika keputusannya ini tentu tidak adil untuk putrinya. Namun perjanjian sudah dibuat, dia pun tidak bisa melanggarnya. Opa Anthoni? Siapa lagi ini? Tentu nama yang asing di pendengaran Rachel yang tak pernah mengetahui tentang orang-orang yang Jacob sebutkan tadi. Namun mendengar nama keluarga Lesham, dia seperti tidak asing dengan nama itu, “Maksud papa? Rachel tak mengerti, pa.” Jacob terlihat menghirup nafas panjang, sebelum kembali menjelaskan. “Dulunya hubungan papa dengan opa Anthoni Lesham terjalin sangat dekat. Papa pun ikut menjenguk ketika cucu pertamanya lahir. Saat itu opa Anthoni menyatakan keinginannya. Kelak cucu laki-lakinya akan berjodoh dengan anak papa, tentu jika papa memiliki anak perempuan. Saat itu papa belum mengenal mamamu,” ucap Jacob kembali menceritakan masa lalunya, agar putrinya mengetahui cerita di balik perjodohan yang nantinya harus dijalani. “Apa itu artinya jodoh Rachel adalah cucu opa Anthoni?” Rachel memang pintar dan cepat mengerti ke arah mana pembicaraan papanya. Jacob mengangguk seraya menjawab, “Iya sayang, maafkan papa jika hal ini mungkin membuatmu merasa tidak adil. Tapi papa tidak bisa melanggar perjanjian yang papa buat dengan opa Anthoni.” Wajah Rachel menggambarkan kekecewaan, hal itu tertangkap dalam penglihatan Jacob. Dia pun mendekap tubuh Rachel sembari mengelus kepala Rachel penuh kasih sayang. “Papa yakin jika cucu opa Anthoni adalah pemuda yang baik. Besok sore papa akan mengajakmu untuk mengunjungi keluarga Lesham. Apa kamu bersedia, nak?” Perasaan Rachel terlalu rumit untuk dijelaskan, hal ini sungguh diluar prediksinya. Seumur hidup bahkan Rachel tidak pernah menjalin hubungan dengan lawan jenis. Sehingga kabar perjodohan ini membuatnya takut. Takut jika masa depannya akan terhenti. “Maaf ya nak, papa sudah membuat hidupmu seperti ini. Tapi papa akan sangat senang kalau kamu mau menerima perjodohan ini. Papa yakin anak laki-laki keluarga Lesham adalah pemuda yang baik, sama seperti Anthoni yang selalu baik ke papa. Dan kamu masih bisa meraih cita-citamu kelak, jika kamu menginginkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi sesuai keinginanmu." Pikiran Rachel masih tak bisa menerima keputusan Jacob. Namun mendengar ucapan Jacob yang terakhir, membuat Rachel berpikir kembali. Haruskah dia menuruti keinginan papa? Jika perjodohan itu tak mengganggu keinginannya untuk bersekolah, mungkin Rachel akan menerimanya. Tentu Jacob sudah mempersiapkan sesuatu yang terbaik untuknya. Rachel mengurai pelukan, lalu memandang wajah Jacob dengan senyum tipisnya. “Rachel tahu papa akan memberikan yang terbaik untukku. Rachel setuju pa,” jawab Rachel akhirnya, disambut senyum lebar Jacob yang begitu bangga memiliki putri yang selalu pengertian dan penurut. “Terima kasih nak. Besok sore setelah kamu pulang sekolah, kita akan mengunjungi rumah keluarga Lesham." *** Keesokan harinya di sekolah Prashanti Bhineka. Lima belas menit sebelum bel sekolah berbunyi, Rachel sudah berada di kelas. Duduk di bangku paling depan, tepat di depan meja guru. Kebanyakan dari murid berprestasi akan duduk di barisan terdepan. Sementara murid yang sering bermasalah, memilih duduk di barisan belakang. Rachel membaca buku pelajaran selagi menunggu guru mata pelajaran matematika datang. Bangku kosong mulai terisi, setelah bel sekolah berbunyi. Para murid yang tadinya di luar, kini mulai masuk ke dalam kelas, menempati bangkunya masing-masing. Tak lama guru matematika masuk dalam kelas. Suasana yang tadinya ribut mendadak hening. Pak Supri dikenal sebagai salah satu guru paling galak di antara guru yang lain. Bahkan tak segan menghukum murid yang melanggar peraturan kelas. “Keluarkan buku LKS kalian! Buka halaman 83, pelajari itu dalam waktu 15 menit!” ucap pak Supri dengan nada tegas. Seperti biasa, jika beliau sudah berkata demikian maka para siswa harus bersiap menghadapi ulangan mendadak. Terdengar suara mengeluh dari murid yang duduk di barisan belakang. Dan suara itu tertangkap di pendengaran pak Supri. “Jonathan! Maju ke depan!” perintah pak Supri, meskipun hanya mendengar tanpa melihat langsung, beliau sangat hafal pemilik suara itu. Rachel menoleh ke belakang, menatap pada Jonathan dengan senyum sinis. ‘Sukurin dah lu, Jo. Habis dah lu!’ batin Rachel dalam hati. Tentu hatinya bersorak melihat rivalnya kena semprot sang Guru Killer. Rachel tak sabar menunggu hukuman apa yang akan didapatkan si Biang Kerok. Jonathan beranjak dari tempat duduknya, dengan langkah percaya diri berjalan ke depan. Berdiri di samping meja guru, dengan wajah terlihat tenang. Jonathan seperti sudah terbiasa menghadapi situasi ini. Garis bibir Rachel terangkat, memperlihatkan senyum sinis. Hal itu tertangkap di pandangan Jonathan, yang posisinya menghadap persis ke arah Rachel. “Apa lo?” bentuk bibir Jonathan mengatakan itu, meski tanpa suara. Rachel mengedikkan bahu bersikap acuh. Lalu kembali menatap pada angka dan kumpulan huruf pada buku di hadapannya. “Jonathan, ambil tas dan peralatan tulismu! Mulai sekarang kamu duduk di depan! Mila pindah ke belakang, dan Jonathan duduklah di samping Rachel!” perintah pak Supri, tentu membuat Jonathan terkejut juga Rachel. Bagaimana mungkin pak Supri memberikan hukuman seperti itu? Justru Rachel yang merasa dihukum jika harus duduk sebangku dengan sang Pembuat Onar. ***“Rachel, gue pindah belakang. Lu baik-baik ya,” pamit Mila sembari menenteng tas, berlalu menuju bangku belakang. Digantikan Jonathan yang menempati bangku Mila, di sebelah Rachel. Meski niatnya ingin fokus pada buku di hadapannya, namun dengan kehadiran Jonathan, Rachel mendadak kehilangan fokus. Apalagi Jonathan sengaja mengetuk-ngetuk pulpen di atas meja. “Hay, bisa diam gak?” hardik Rachel, tentunya dengan berbisik. Dia tidak ingin ditegur pak Supri, namun tidak bisa mengabaikan tingkah Jonathan yang mengganggu konsentrasi. Bukannya berhenti, ucapan Rachel justru membuat Jonathan terpancing untuk berbuat lebih usil. Jonathan mengangkat satu kakinya dan diletakkan pada kaki yang lain, lalu mengayun-ayunkan kakinya hingga mengenai kaki Rachel. Hal itu memantik amarah Rachel yang sudah berada di ubun-ubun. Tangannya terkepal menahan amarah. Bibirnya sudah siap memaki pemuda tengil yang begitu mengganggu. Namun suara pak Supri membuyarkan niatnya. “Simpan buku LKS kalian
“Elo? Ngapain lo kesini?” ujar Jonathan yang tampak terkejut dengan kehadiran teman sekelasnya. Rachel terdiam tak menjawab, bukan karena dia tidak tahu jawaban atas pertanyaan Jonathan padanya, melainkan lidahnya terasa kelu untuk menjelaskan. Dengan cepat Rachel pun menduga jika Jonathan adalah cucu Anthoni yang dimaksud Jacob kemarin. Namun bukankah Jacob berkata jika cucu Anthoni adalah pemuda baik? Hal ini sungguh bertolak belakang dengan kenyataan yang dia tahu. Mungkin Jacob belum tahu bagaimana perilaku Jonathan selama di sekolah. Sang pembuat onar yang selalu mencari masalah. Andai Rachel tahu jika cucu Anthoni adalah Jonathan, maka Rachel tidak akan menyetujuinya. Sungguh Rachel ingin menarik kembali ucapannya, dia tidak ingin menerima perjodohan ini. Namun ketika akan membicarakannya pada Jacob, kehadiran seorang pria tua menarik atensi semua orang. “Selamat sore, maaf sudah membuat kalian menunggu,” sapa Lim, pengacara opa Anthoni. Lalu melangkah dan menyalami se
Tak terasa hari Sabtu datang begitu cepat. Nicholas sudah mempersiapkan sebuah pesta kecil untuk melangsungkan pertunangan putra tunggalnya. Namun hingga sore tiba, Jonathan tak juga pulang ke rumah. “Dimana anak itu? Mami sudah menghubungi Jo? Bukankah seharusnya anak itu sudah pulang dari tadi?” ucap Nicholas pada istrinya. “Telepon mami tidak diangkat, Pi,” jawab Debora. “Benar-benar anak gak bisa diajak kerjasama," ujar Nicholas geram. Semakin bertambah umur, Jonathan semakin susah menurut. Hingga tak lama, yang dinanti-nanti akhirnya datang. Mobil Rubicon putih memasuki pekarangan rumah, Jonathan keluar dari balik kemudi. Lalu tanpa menyapa orangtuanya, dia berlalu menaiki anak tangga. “Jo, hari ini hari pertunanganmu dengan Rachel. Kau tidak lupa kan?” ucap Nicholas membuat langkah Jo terhenti. Jo menatap ke arah orang tuanya. “Memang Jo masih bisa menolak? Tidak kan?” jawab Jo ketus, lalu segera melanjutkan langkahnya. “Pakailah baju yang sudah dipersiapkan, Jo!
“Rachel, ambil cincin dan sematkan di jari calon tunangan mu nak,” ucap Jacob selanjutnya yang langsung dituruti oleh anak gadisnya. Jo sudah menyodorkan tangan kirinya untuk menerima cincin itu. Kini jari manis Jo dan Rachel sudah tersemat cincin pertunangan. Yang masing-masing telah terukir nama calonnya. Cincin Jo dengan nama Rachel, cincin Rachel dengan nama Jonathan. Semenjak acara pertunangan itu, Rachel tak hentinya memikirkan Jonathan. Entah semenjak melihat Jo mode serius, hati Rachel tertarik namun dia selalu menepis perasaannya. Jonathan tidak pernah memandangi seserius itu, bahkan Rachel merasa senam jantung melihat tatapan Jo kala itu. Hari Senin, Rachel berangkat sekolah diantar oleh ayahnya. Memang sudah menjadi kebiasaan, pulang pergi, Jacob yang akan mengantar jemput Rachel. Di dalam kelas, entah mengapa Rachel merasa sedikit grogi, tidak seperti biasanya. Melihat pada bangku kosong di sebelahnya. Jonathan belum datang, tentu bocah tengil itu akan datang pa
Rachel memandang pada cincin emas putih yang terpasang di jari manisnya. Teringat kembali saat Jonathan memasangkan cincin itu di jarinya. Sungguh rasanya seperti mimpi, mengingat itu membuat wajah Rachel memanas. Hingga tepukan Mila membuyarkan lamunan. “Hai, Rachel yuk kita ke kantin," ajak Mila, yang merupakan sahabat satu-satunya Rachel. “Muka lo kok merah, Chel? Lo sakit?” tanya Mila lagi. “Hum, gak Mil, cuma pusing sedikit," jawab Rachel yang seratus persen bohong, sembari menyembunyikan jari manisnya agar cincin itu tak terlihat Mila. Rachel belum menyiapkan jawaban jika sahabatnya bertanya tentang cincin itu. Keduanya berjalan beriringan menuju kantin sekolah yang letaknya lumayan jauh. Harus melewati lapangan basket. Dimana Jonathan dan yang lain tengah bermain di sana. Rachel tampak gugup ketika melewati tepi lapangan basket. Jika ada jalan lain, mungkin dia akan melaluinya. Namun hanya ini jalan pintas menuju kantin. Rachel bisa melihat saat Jonathan memandang
"Lo baik-baik saja? Tu kan udah gue bilang, wajah lo merah. Lo pasti masih pusing,” ujar Jo, lalu memaksa Rachel untuk berbaring kembali. “Tapi gue baik-baik aja, Jo. Gue mau balik ke kelas," ujar Rachel masih bersikeras. Tak pernah seumur hidupnya melewati pelajaran di kelas. Bahkan dalam keadaan sakit, Rachel selalu memaksa dirinya untuk mengikuti pelajaran. Jo terlihat menghembuskan nafas pelan, lalu diraihnya kacamata dari wajah Rachel dan meletakkannya di atas nakas. “Istirahatlah, gue tunggu di sana jika lo merasa sungkan.” Jo mengambil selimut tipis lalu menutup tubuh Rachel hingga batas leher. Kemudian melangkah menuju ranjang lain, dan duduk di sana. Entah mengapa Jo merasa senang melihat Rachel tanpa kacamatanya. Setidaknya lebih enak dipandang mata. Jo mengambil ponselnya dan mulai bermain dengan benda pipih itu. Sementara Rachel berusaha untuk mengistirahatkan matanya. Memang kepalanya masih terasa pusing, namun dia tidak bisa tidur di tempat asing. Sungguh tid
Jonathan panik, dan segera membungkam mulut berisik Rachel dengan telapak tangannya.“Apaan sih Lo, norak! Gue bukan nyulik Lo, gue cuma nganterin Lo. Lagian sebenarnya gak sudi juga gue nganter cewek aneh kayak Lo.” Jo menatap tajam ke arah Rachel, yang terdiam takut. Sementara tangan Jo masih membungkam mulutnya.Tak sadar Jonathan melepas kacamata dari wajah Rachel dan menyimpannya di saku seragam.‘Nah kalau lihat Lo gini jauh lebih menarik.’ batin Jonathan.“Gue lepasin tapi Lo berhenti teriak. Ngerti? Atau kalau nggak—” wajah Jo terlihat memerah, entah mengapa melihat mata bulat Rachel membuat wajahnya memanas. Hingga tanpa melanjutkan ucapannya, Jo melepaskan tangannya dari mulut Rachel.Menghidupkan mesin mobil dan mulai memacunyas menuju rumah Rachel.Selama diperjalanan keduanya saling terdiam. Rachel ingin mengenakan kacamatanya, namun kacamata itu kini berada di saku seragam Jonathan. Rachel malu memintanya.“Dimana rumahmu?” Tanya Jonathan menghapus kesunyian.Rachel meny