Tok.. Tok.. Tok..
Pintu kamar diketuk, tak lama terdengar namanya dipanggil. “Rachel, apa papa bisa masuk?” Ya, itu suara Jacob, ayahnya. Rachel segera menutup buku LKS, dan beranjak dari meja belajarnya untuk membukakan pintu. “Apa kamu sedang sibuk, nak? Ada satu hal yang ingin papa bicarakan, ini sangat penting,” ujar Jacob, setelah melihat wajah putri kesayangan muncul dari balik pintu. Wajah Rachel terlihat mengerut, membuat kacamata tebalnya sedikit melorot dari batang hidung. “Ada hal penting apa, pa?” tangan Rachel bergerak untuk membenarkan posisi kacamatanya. Meskipun Rachel masih bingung, namun dia tetap membuka lebar pintu kamar agar Jacob bisa masuk. Jacob mengulas senyum, tak menjawab pertanyaan putrinya namun dia tahu kabar ini mungkin akan mengejutkan putrinya. Jacob menuntun Rachel untuk duduk di tepi ranjang. Kamar Rachel terlihat sangat bersih dengan warna putih yang mendominasi. Rachel masih menunggu kata-kata yang keluar dari mulut Jacob. “Ini mengenai masa depanmu nanti nak,” ujar Jacob memulai pembicaraan. Masa depan? Usia Rachel masih sangat muda, namun ayahnya sudah merencanakan masa depan untuknya. Tentu Rachel menduga jika ini berkaitan dengan universitas yang nantinya akan dimasuki, setelah lulus SMA. Dugaan ini membuat Rachel begitu antusias mendengarkan. “Apa papa menyetujui permintaanku, tentang universitas yang Rachel inginkan?” senyum merekah di bibir Rachel. “Tentu sayang, hal itu juga sedang papa diskusikan dengan mamamu. Tapi bukan itu yang ingin papa katakan, ada hal lain yang juga menyangkut masa depanmu,” ucapan Jacob membuat senyum Rachel sedikit menghilang. Wajahnya kembali mengerut bingung. Dalam pikiran Rachel hanya ingin mengejar pendidikan setinggi-tingginya, itu sudah menjadi tujuan hidupnya. “Papa mempunyai teman bernama Nicholas, mungkin papa belum sempat mengenalkannya padamu. Tapi mungkin sebentar lagi keluarga kita akan bertemu dengan keluarga om Nicholas,” ucap Jacob. Hal itu membuat Rachel semakin bingung. Bukankah papa tadi akan membicarakan tentang masa depannya? Lalu apa hubungan om Nicholas dengan masa depannya? Rachel masih berdiam, menunggu hingga Jacob melanjutkan ucapannya. “Papa memiliki perjanjian dengan opa Anthoni, jika papa memiliki anak perempuan maka harus siap dijodohkan dengan cucu laki-laki dari keluarga Lesham,” lanjut Jacob sembari membelai rambut putrinya. Jacob tahu jika keputusannya ini tentu tidak adil untuk putrinya. Namun perjanjian sudah dibuat, dia pun tidak bisa melanggarnya. Opa Anthoni? Siapa lagi ini? Tentu nama yang asing di pendengaran Rachel yang tak pernah mengetahui tentang orang-orang yang Jacob sebutkan tadi. Namun mendengar nama keluarga Lesham, dia seperti tidak asing dengan nama itu, “Maksud papa? Rachel tak mengerti, pa.” Jacob terlihat menghirup nafas panjang, sebelum kembali menjelaskan. “Dulunya hubungan papa dengan opa Anthoni Lesham terjalin sangat dekat. Papa pun ikut menjenguk ketika cucu pertamanya lahir. Saat itu opa Anthoni menyatakan keinginannya. Kelak cucu laki-lakinya akan berjodoh dengan anak papa, tentu jika papa memiliki anak perempuan. Saat itu papa belum mengenal mamamu,” ucap Jacob kembali menceritakan masa lalunya, agar putrinya mengetahui cerita di balik perjodohan yang nantinya harus dijalani. “Apa itu artinya jodoh Rachel adalah cucu opa Anthoni?” Rachel memang pintar dan cepat mengerti ke arah mana pembicaraan papanya. Jacob mengangguk seraya menjawab, “Iya sayang, maafkan papa jika hal ini mungkin membuatmu merasa tidak adil. Tapi papa tidak bisa melanggar perjanjian yang papa buat dengan opa Anthoni.” Wajah Rachel menggambarkan kekecewaan, hal itu tertangkap dalam penglihatan Jacob. Dia pun mendekap tubuh Rachel sembari mengelus kepala Rachel penuh kasih sayang. “Papa yakin jika cucu opa Anthoni adalah pemuda yang baik. Besok sore papa akan mengajakmu untuk mengunjungi keluarga Lesham. Apa kamu bersedia, nak?” Perasaan Rachel terlalu rumit untuk dijelaskan, hal ini sungguh diluar prediksinya. Seumur hidup bahkan Rachel tidak pernah menjalin hubungan dengan lawan jenis. Sehingga kabar perjodohan ini membuatnya takut. Takut jika masa depannya akan terhenti. “Maaf ya nak, papa sudah membuat hidupmu seperti ini. Tapi papa akan sangat senang kalau kamu mau menerima perjodohan ini. Papa yakin anak laki-laki keluarga Lesham adalah pemuda yang baik, sama seperti Anthoni yang selalu baik ke papa. Dan kamu masih bisa meraih cita-citamu kelak, jika kamu menginginkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi sesuai keinginanmu." Pikiran Rachel masih tak bisa menerima keputusan Jacob. Namun mendengar ucapan Jacob yang terakhir, membuat Rachel berpikir kembali. Haruskah dia menuruti keinginan papa? Jika perjodohan itu tak mengganggu keinginannya untuk bersekolah, mungkin Rachel akan menerimanya. Tentu Jacob sudah mempersiapkan sesuatu yang terbaik untuknya. Rachel mengurai pelukan, lalu memandang wajah Jacob dengan senyum tipisnya. “Rachel tahu papa akan memberikan yang terbaik untukku. Rachel setuju pa,” jawab Rachel akhirnya, disambut senyum lebar Jacob yang begitu bangga memiliki putri yang selalu pengertian dan penurut. “Terima kasih nak. Besok sore setelah kamu pulang sekolah, kita akan mengunjungi rumah keluarga Lesham." *** Keesokan harinya di sekolah Prashanti Bhineka. Lima belas menit sebelum bel sekolah berbunyi, Rachel sudah berada di kelas. Duduk di bangku paling depan, tepat di depan meja guru. Kebanyakan dari murid berprestasi akan duduk di barisan terdepan. Sementara murid yang sering bermasalah, memilih duduk di barisan belakang. Rachel membaca buku pelajaran selagi menunggu guru mata pelajaran matematika datang. Bangku kosong mulai terisi, setelah bel sekolah berbunyi. Para murid yang tadinya di luar, kini mulai masuk ke dalam kelas, menempati bangkunya masing-masing. Tak lama guru matematika masuk dalam kelas. Suasana yang tadinya ribut mendadak hening. Pak Supri dikenal sebagai salah satu guru paling galak di antara guru yang lain. Bahkan tak segan menghukum murid yang melanggar peraturan kelas. “Keluarkan buku LKS kalian! Buka halaman 83, pelajari itu dalam waktu 15 menit!” ucap pak Supri dengan nada tegas. Seperti biasa, jika beliau sudah berkata demikian maka para siswa harus bersiap menghadapi ulangan mendadak. Terdengar suara mengeluh dari murid yang duduk di barisan belakang. Dan suara itu tertangkap di pendengaran pak Supri. “Jonathan! Maju ke depan!” perintah pak Supri, meskipun hanya mendengar tanpa melihat langsung, beliau sangat hafal pemilik suara itu. Rachel menoleh ke belakang, menatap pada Jonathan dengan senyum sinis. ‘Sukurin dah lu, Jo. Habis dah lu!’ batin Rachel dalam hati. Tentu hatinya bersorak melihat rivalnya kena semprot sang Guru Killer. Rachel tak sabar menunggu hukuman apa yang akan didapatkan si Biang Kerok. Jonathan beranjak dari tempat duduknya, dengan langkah percaya diri berjalan ke depan. Berdiri di samping meja guru, dengan wajah terlihat tenang. Jonathan seperti sudah terbiasa menghadapi situasi ini. Garis bibir Rachel terangkat, memperlihatkan senyum sinis. Hal itu tertangkap di pandangan Jonathan, yang posisinya menghadap persis ke arah Rachel. “Apa lo?” bentuk bibir Jonathan mengatakan itu, meski tanpa suara. Rachel mengedikkan bahu bersikap acuh. Lalu kembali menatap pada angka dan kumpulan huruf pada buku di hadapannya. “Jonathan, ambil tas dan peralatan tulismu! Mulai sekarang kamu duduk di depan! Mila pindah ke belakang, dan Jonathan duduklah di samping Rachel!” perintah pak Supri, tentu membuat Jonathan terkejut juga Rachel. Bagaimana mungkin pak Supri memberikan hukuman seperti itu? Justru Rachel yang merasa dihukum jika harus duduk sebangku dengan sang Pembuat Onar. ***“Rachel, gue pindah belakang. Lu baik-baik ya,” pamit Mila sembari menenteng tas, berlalu menuju bangku belakang. Digantikan Jonathan yang menempati bangku Mila, di sebelah Rachel. Meski niatnya ingin fokus pada buku di hadapannya, namun dengan kehadiran Jonathan, Rachel mendadak kehilangan fokus. Apalagi Jonathan sengaja mengetuk-ngetuk pulpen di atas meja. “Hay, bisa diam gak?” hardik Rachel, tentunya dengan berbisik. Dia tidak ingin ditegur pak Supri, namun tidak bisa mengabaikan tingkah Jonathan yang mengganggu konsentrasi. Bukannya berhenti, ucapan Rachel justru membuat Jonathan terpancing untuk berbuat lebih usil. Jonathan mengangkat satu kakinya dan diletakkan pada kaki yang lain, lalu mengayun-ayunkan kakinya hingga mengenai kaki Rachel. Hal itu memantik amarah Rachel yang sudah berada di ubun-ubun. Tangannya terkepal menahan amarah. Bibirnya sudah siap memaki pemuda tengil yang begitu mengganggu. Namun suara pak Supri membuyarkan niatnya. “Simpan buku LKS kalian
“Elo? Ngapain lo kesini?” ujar Jonathan yang tampak terkejut dengan kehadiran teman sekelasnya. Rachel terdiam tak menjawab, bukan karena dia tidak tahu jawaban atas pertanyaan Jonathan padanya, melainkan lidahnya terasa kelu untuk menjelaskan. Dengan cepat Rachel pun menduga jika Jonathan adalah cucu Anthoni yang dimaksud Jacob kemarin. Namun bukankah Jacob berkata jika cucu Anthoni adalah pemuda baik? Hal ini sungguh bertolak belakang dengan kenyataan yang dia tahu. Mungkin Jacob belum tahu bagaimana perilaku Jonathan selama di sekolah. Sang pembuat onar yang selalu mencari masalah. Andai Rachel tahu jika cucu Anthoni adalah Jonathan, maka Rachel tidak akan menyetujuinya. Sungguh Rachel ingin menarik kembali ucapannya, dia tidak ingin menerima perjodohan ini. Namun ketika akan membicarakannya pada Jacob, kehadiran seorang pria tua menarik atensi semua orang. “Selamat sore, maaf sudah membuat kalian menunggu,” sapa Lim, pengacara opa Anthoni. Lalu melangkah dan menyalami se
Tak terasa hari Sabtu datang begitu cepat. Nicholas sudah mempersiapkan sebuah pesta kecil untuk melangsungkan pertunangan putra tunggalnya. Namun hingga sore tiba, Jonathan tak juga pulang ke rumah. “Dimana anak itu? Mami sudah menghubungi Jo? Bukankah seharusnya anak itu sudah pulang dari tadi?” ucap Nicholas pada istrinya. “Telepon mami tidak diangkat, Pi,” jawab Debora. “Benar-benar anak gak bisa diajak kerjasama," ujar Nicholas geram. Semakin bertambah umur, Jonathan semakin susah menurut. Hingga tak lama, yang dinanti-nanti akhirnya datang. Mobil Rubicon putih memasuki pekarangan rumah, Jonathan keluar dari balik kemudi. Lalu tanpa menyapa orangtuanya, dia berlalu menaiki anak tangga. “Jo, hari ini hari pertunanganmu dengan Rachel. Kau tidak lupa kan?” ucap Nicholas membuat langkah Jo terhenti. Jo menatap ke arah orang tuanya. “Memang Jo masih bisa menolak? Tidak kan?” jawab Jo ketus, lalu segera melanjutkan langkahnya. “Pakailah baju yang sudah dipersiapkan, Jo!
“Rachel, ambil cincin dan sematkan di jari calon tunangan mu nak,” ucap Jacob selanjutnya yang langsung dituruti oleh anak gadisnya. Jo sudah menyodorkan tangan kirinya untuk menerima cincin itu. Kini jari manis Jo dan Rachel sudah tersemat cincin pertunangan. Yang masing-masing telah terukir nama calonnya. Cincin Jo dengan nama Rachel, cincin Rachel dengan nama Jonathan. Semenjak acara pertunangan itu, Rachel tak hentinya memikirkan Jonathan. Entah semenjak melihat Jo mode serius, hati Rachel tertarik namun dia selalu menepis perasaannya. Jonathan tidak pernah memandangi seserius itu, bahkan Rachel merasa senam jantung melihat tatapan Jo kala itu. Hari Senin, Rachel berangkat sekolah diantar oleh ayahnya. Memang sudah menjadi kebiasaan, pulang pergi, Jacob yang akan mengantar jemput Rachel. Di dalam kelas, entah mengapa Rachel merasa sedikit grogi, tidak seperti biasanya. Melihat pada bangku kosong di sebelahnya. Jonathan belum datang, tentu bocah tengil itu akan datang pa
Rachel memandang pada cincin emas putih yang terpasang di jari manisnya. Teringat kembali saat Jonathan memasangkan cincin itu di jarinya. Sungguh rasanya seperti mimpi, mengingat itu membuat wajah Rachel memanas. Hingga tepukan Mila membuyarkan lamunan. “Hai, Rachel yuk kita ke kantin," ajak Mila, yang merupakan sahabat satu-satunya Rachel. “Muka lo kok merah, Chel? Lo sakit?” tanya Mila lagi. “Hum, gak Mil, cuma pusing sedikit," jawab Rachel yang seratus persen bohong, sembari menyembunyikan jari manisnya agar cincin itu tak terlihat Mila. Rachel belum menyiapkan jawaban jika sahabatnya bertanya tentang cincin itu. Keduanya berjalan beriringan menuju kantin sekolah yang letaknya lumayan jauh. Harus melewati lapangan basket. Dimana Jonathan dan yang lain tengah bermain di sana. Rachel tampak gugup ketika melewati tepi lapangan basket. Jika ada jalan lain, mungkin dia akan melaluinya. Namun hanya ini jalan pintas menuju kantin. Rachel bisa melihat saat Jonathan memandang
"Lo baik-baik saja? Tu kan udah gue bilang, wajah lo merah. Lo pasti masih pusing,” ujar Jo, lalu memaksa Rachel untuk berbaring kembali. “Tapi gue baik-baik aja, Jo. Gue mau balik ke kelas," ujar Rachel masih bersikeras. Tak pernah seumur hidupnya melewati pelajaran di kelas. Bahkan dalam keadaan sakit, Rachel selalu memaksa dirinya untuk mengikuti pelajaran. Jo terlihat menghembuskan nafas pelan, lalu diraihnya kacamata dari wajah Rachel dan meletakkannya di atas nakas. “Istirahatlah, gue tunggu di sana jika lo merasa sungkan.” Jo mengambil selimut tipis lalu menutup tubuh Rachel hingga batas leher. Kemudian melangkah menuju ranjang lain, dan duduk di sana. Entah mengapa Jo merasa senang melihat Rachel tanpa kacamatanya. Setidaknya lebih enak dipandang mata. Jo mengambil ponselnya dan mulai bermain dengan benda pipih itu. Sementara Rachel berusaha untuk mengistirahatkan matanya. Memang kepalanya masih terasa pusing, namun dia tidak bisa tidur di tempat asing. Sungguh tid
Jonathan panik, dan segera membungkam mulut berisik Rachel dengan telapak tangannya. “Apaan sih Lo, norak! Gue bukan nyulik Lo, gue cuma nganterin Lo. Lagian sebenarnya gak sudi juga gue nganter cewek aneh kayak Lo.” Jo menatap tajam ke arah Rachel, yang terdiam takut. Sementara tangan Jo masih membungkam mulutnya. Tak sadar Jonathan melepas kacamata dari wajah Rachel dan menyimpannya di saku seragam. ‘Nah kalau lihat Lo gini jauh lebih menarik.’ batin Jonathan. “Gue lepasin tapi Lo berhenti teriak. Ngerti? Atau kalau nggak—” wajah Jo terlihat memerah, entah mengapa melihat mata bulat Rachel membuat wajahnya memanas. Hingga tanpa melanjutkan ucapannya, Jo melepaskan tangannya dari mulut Rachel. Menghidupkan mesin mobil dan mulai memacunyas menuju rumah Rachel. Selama diperjalanan keduanya saling terdiam. Rachel ingin mengenakan kacamatanya, namun kacamata itu kini berada di saku seragam Jonathan. Rachel malu memintanya. “Dimana rumahmu?” Tanya Jonathan menghapus kesunyian. Rach
“Kalau boleh tahu, Rachel sakit apa?” Jo kembali melangkah mendekat. “Saya kurang tahu, hanya tadi pagi dokter dipanggil tuan kemari untuk memeriksa non Rachel,” jelas sekuriti. Jonathan terdiam untuk beberapa saat, hingga panggilan seorang wanita membuat keduanya menoleh ke sumber suara. “Pras, siapa itu?” suara nenek Maria terdengar dari dalam. Dan tak lama, wanita sepuh itu berjalan mendekat menuju gerbang. “Nyonya, ini teman nona Rachel,” beritahu Prasetyo sembari menggeser tubuhnya. Sehingga sosok Jonathan terlihat di pandangan nenek Maria. “Jonathan?” wajah nenek Maria terlihat berbinar melihat tunangan cucunya. Dia kembali melangkah mendekati Jonathan. Jonathan tersenyum kikuk, sembari mengusap tengkuknya. “Apa kabar nek?” sapa Jonathan sembari meraih tangan nenek Maria. Namun justru nenek Maria membalasnya dengan memeluk tubuh jangkung Jonathan. “Apa kamu datang kemari untuk menjenguk Rachel?” ucap nenek Maria sembari tersenyum hangat. “Ayo masuk ke dalam! Rachel pasti
“Bagaimana, dok? Bagaimana keadaan suami saya?” tanya Natasya mendahului.Dokter terlihat mengambil nafas panjang, sebelum menjawab, “operasi sudah kami lakukan. Dan berjalan dengan lancar. Namun ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan pada nyonya. Apa saya bisa minta waktunya?” Natasya beralih memandang pada ibu mertua, Rachel dan Jonathan secara bergantian. Meskipun operasi berjalan lancar, namun ucapan dokter masih menyisakan rasa takut.“Silahkan ikut saya!” ucap dokter setelah melihat anggukan Natasya, lalu melangkah menuju ruang di samping kamar operasi. Pintu kamar operasi kembali ditutup. Natasya dan nenek Maria berjalan mengikuti sang dokter.Rachel menelan ludah yang tercekat di tenggorokan. Meskipun tak melihat secara langsung karena sebagian wajah dokter yang tertutup masker. Namun Rachel bisa menangkap ekspresi dokter hanya dengan melihat sorot matanya. Kabar baik sudah dia dengar barusan, namun mengapa rasa takut masih saja bersarang dalam hatinya? Ada sesuatu yang
“Mas, kami sudah di sini. Lekaslah bangun! Ayo kita pulang!” Nada suara Natasya terdengar pilu bercampur isak tangis, membuat batin Rachel semakin tersayat perih.Harusnya hari ini dia merayakan kebahagiaan atas kelulusannya mendapat nilai tertinggi. Namun justru keadaan berubah. Pria yang begitu disayanginya kini terbaring tak berdaya di ranjang, tengah berjuang antara hidup dan mati.Rachel melangkah mendekat, berdiri di samping mama Natasya. Dari jarak sedekat ini, dia bisa melihat ritme nafas papa Jacob yang tak normal. Dadanya naik turun seirama dengan bunyi monitor yang terdengar cepat.“Kami sudah melakukan CT scan pada kepala pasien. Akibat benturan keras terlebih di bagian kepala, membuat kondisi tulang tengkoraknya mengalami kerusakan,” jelas dokter yang menangani.“Lakukan apapun yang bisa menyelamatkan papa Jacob, dok!” jawab Jonathan penuh harap. Tak ada perbedaan antara Jacob dan Nicholas, baginya Jacob adalah orang penting yang sudah dianggap sebagai ayahnya sendiri.“K
Bola mata Rachel membola sempurna. Perasaan tak percaya dan terkejut setelah mendengar jawaban dari nenek Maria, bercampur aduk di hatinya. Seperti ada beban berat yang menekan dadanya, membuatnya sulit untuk bernafas. Mata Rachel mulai terlihat memerah dan berair, tanpa terasa bulir bening pun jatuh dari pelupuk mata. Ketiga wanita beda usia itu saling berpelukan, mencurahkan rasa takut dan kekhawatiran yang teramat sangat. Tanpa kata, hanya isak tangis yang terdengar memenuhi seluruh penjuru ruangan. Jonathan yang sedari tadi berdiri di ambang pintu, ikut mendengar berita buruk yang disampaikan nenek Maria. Diapun sama terkejutnya. “Papa dimana? Rachel mau temenin papa,” suara Rachel terdengar lirih dan serak. Namun keinginan untuk bertemu dengan papanya, tak bisa ditunda lagi. “Papamu masih ada di rumah sakit di Bali, Chel. Nenek sudah suruh asisten untuk memesankan tiket pesawat untuk hari ini, tapi sayangnya penerbangan untuk siang ini penuh. Nanti malam..” “Bolehkah Jo memb
Kini Rachel, Mila dan Jonathan berada dalam satu mobil. Mila memutuskan untuk pulang setelah tadi melihat kehadiran Bella. Gadis gila yang tak tahu malu. Mila segera beranjak dan menghampiri Rachel dan Jonathan. Dia sudah tak peduli dengan tanggapan Ray nantinya. Apakah pemuda itu akan menuruti permintaan Bella atau menolak? Toh, itu bukan urusannya lagi karena mereka sudah putus, begitu pikir Mila. Jonathan sudah menghubungi supir sedari tadi, ketika mereka baru saja sampai di pantai. Meminta supir untuk menunggunya di parkiran. Kini dia meminta supirnya untuk membawa motor Mila, sementara sang pemilik motor berada di dalam mobil. Tanpa diminta, Rachel pun berinisiatif untuk mengambil alih kemudi dengan Jonathan yang duduk di sisinya. Sesekali melihat pada spion di atas kepalanya untuk memantau keadaan Mila setelah tadi sempat melihat sahabatnya menangis. “Udah jangan terlalu dipikirin, Mil! Masih banyak cowok baik di luaran sana. Tapi kalau lu nyari yang kayak gue, udah
Rachel yang mendengar pertanyaan Alisha terlihat gugup. Memilih untuk diam, dan menunggu Jonathan yang menjawab pertanyaan Alisha. “Udah lama kali, Lis. Lu aja yang gak sadar,” jawab Jonathan dengan santai. “Eh, apa iya gue yang gak sadar ya. Lagian Rachel juga jarang cerita sih,” balas Alisha seraya melirik ke arah Rachel. “Hum, buruan fotoin gue!” Jonathan pun kembali menyodorkan ponselnya ke Alisha, lalu beralih menghampiri Rachel. “Bae, kita foto ya! Anggap aja salah satu foto prewed.” Astaga, kenapa mulut Jonathan tak bisa dikontrol? Rachel menatap tajam pada pemuda jangkung itu. Namun justru Jonathan mengerlingkan satu mata ke arahnya. Menarik tangan Rachel sebelum gadis itu protes. Berdiri berdampingan dengan latar belakang pemandangan pantai. “Merapat dikit dong!” seru Alisha memberi aba-aba dengan tangan kirinya. Rachel tak berpindah dari posisinya. Berdiri dengan gaya kaku, dengan posisi kedua tangan saling bertaut di depan. Sedangkan Jonathan yang memutuskan untuk
Jonathan menarik Rachel menjauh dari perkumpulan teman-temannya. Membawa ke tempat yang lebih sepi.“Ada apa, Jo? Ada yang sakit?” tanya Rachel dengan dahi mengerut. Arah pandangnya tertuju pada tangan kanan Jonathan yang tertutup kain penyangga lengan. Kain hitam yang sudah terkena cat semprot warna-warni.Sama halnya dengan keadaan baju seragam Jonathan yang sudah dipenuhi oleh coretan spidol dan cat warna-warni di segala sisi.Jonathan mengulas senyum tipis, tak langsung menjawab pertanyaan Rachel. Pertanyaan singkat dari sang kekasih yang terdengar seperti sebuah perhatian.Tangan Jonathan terulur mengusap pipi Rachel. Tepatnya di bagian yang terkena cat semprot. Membuat gadis itu tertegun dan menegakkan pandangannya ke depan. Membalas tatapan Jonathan yang terlihat begitu lembut.Jonathan menarik tangannya kembali. Berusaha melepaskan tali penyangga lengan yang melekat di pundak kirinya.“Jo, ngapain? Kok dilepas?” tanya Rachel sedikit terkejut. Tangannya menahan tangan kiri Jo,
Rachel berjinjit seraya memanjangkan lehernya untuk berusaha melihat ke depan. Bukannya tak mempercayai ucapan Jonathan, namun dia belum lega jika tak melihatnya secara langsung. Saat tengah berusaha, tiba-tiba Jonathan menunduk dan tangan kirinya melingkari kedua paha Rachel dari belakang. Ketika hendak protes, pemuda itu justru mengangkat tubuh Rachel, menggendong dengan satu tangannya. Rachel yang sangat terkejut sontak melingkarkan lengan kanannya di pundak Jonathan. “J-jo turunin..” “Lu mau lihat langsung, kan? Gue cuma bantu lu biar bisa lihat!” “Ta-tapi.. malu kan dilihat yang lain,” ucap Rachel setengah berbisik dengan wajah yang mulai memerah. Melihat pada beberapa teman-teman sekelasnya yang begitu terkejut melihat ke arahnya. Memang di posisinya yang sekarang, Rachel bisa dengan jelas melihat ke arah mading. “Ciye, pasangan baru nih!” Terdengar salah satu suara siswa yang berdiri di samping mereka. “Ah.. sweet benget sih kalian! Bikin gue ngiri,” timpal Mila yang tam
“Nanti pulang sekolah kita barengan ya. Please, jangan marah lagi!” Ucapan terakhir Jonathan saat di kantin tadi, begitu terngiang di dalam otak Rachel. Rasa kesal yang tersisa pun mulai terkikis. Ketika kembali ke kelas, Rachel tak melihat pemuda itu di bangku belakang. Mungkin saja Jonathan sudah kembali ke kelas 12A. Ada sedikit rasa kehilangan dalam hati Rachel karena tak bisa satu kelas lagi dengan Jonathan. Saat di kelas, acara perencanaan pun dilanjutkan kembali. Rio memilih beberapa temannya untuk menjadi pemeran dalam drama musikal. Rachel pun ikut terlibat. Jika Mila memilih untuk menunjukkan bakatnya menari, beda halnya dengan Rachel yang tak menyukai musik ataupun tarian. “Chel, mending lu aja yang jadi pemeran utamanya!” celetuk Alisha. “Hah? Kok gue? Gue gak bisa..” “Lagian pas kok karakter pemain utamanya sama elu. Ayolah Chel terima aja!” timpal Mila yang ikut mendukung. “Ta-tapi gue kan..” Rachel masih berpikir untuk mencari alasan yang tepat untuk menolak. “Ud
Mila kini berada di antara sepasang kekasih yang tengah bersitegang. Dia pun bingung harus bagaimana. Kembali menatap Jonathan untuk meminta pendapat. “Hum, gak masalah. Gue bisa tunggu sampai nanti pulang sekolah aja,” ucap Jonathan seraya mengulas senyum pada Rachel dan Mila. Lalu segera melangkah menuju bangku belakang. Kini Mila tak tahan lagi untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi antara sahabatnya dan si Kapten Basket itu. “Chel, ada apa sih? Apa yang sebenarnya terjadi? Cerita deh sama gue!” tanya Mila berbisik dengan raut penasaran. Padahal di depan kelas, ketua kelas tengah mengajak teman-temannya untuk berdiskusi tentang pertunjukan pentas seni. Rachel hanya melirik Mila sekilas, lalu kembali fokus ke depan. “Gak ada apa-apa, Mil. Lu yang harusnya cerita ke gue, kok bisa putus sih dari Ray?” Mila menoleh ke bangku belakang untuk mencari sosok Ray. Namun tak melihat keberadaan pemuda itu. Mila pun menghela nafas lega. Kembali menatap ke arah Rachel. “Ray seling