Sang pemuda terkejut dan seketika merasa sedikit khawatir. Pun begitu terhadap sang adik yang langsung merapat ke belakangnya.“Uda …”Sang kakak memberikan isyarat dengan rentangan tangannya dan pandangan yang tak beranjak dari Feng dan Huang.Feng dan Huang saling pandang. Sikap kakak beradik di hadapan mereka mengindikasikan sesuatu. Sesuatu yang berkaitan dengan orang yang mereka cari.Huang tampil ke depan. “Kalian mengetahui sesuatu, bukan?”“Menjauhlah dari kami!” seru si pemuda. “Kami tidak ada urusan dengan kalian!”Kembali suami-istri itu saling pandang. Sikap pemuda itu menjadi bertolak belakang dengan sesaat sebelumnya.“Yaah,” bisik Huang pada suaminya. “Mereka pasti mengetahui sesuatu!”Feng menghela napas lebih dalam untuk tetap terlihat tenang, lalu tersenyum pada kakak beradik di hadapannya.“Dengar,” ucapnya. “Kami berdua bukanlah orang jahat. Tapi, orang yang kami cari ini, dia sangat berbahaya. Seorang buronan, dan kami berdua bertugas untuk menangkap, lalu membawa
Zhou Hoaren langsung turun untuk menemui Dainar, gadis yang sedang memasak sesuatu di halaman belakang rumahnya.Sang gadis tersenyum manis ketika mendapati si Pria Tiongkok menghampirinya, berpikir bahwa sang pria telah benar-benar jatuh ke pelukannya.“Tuan,” sapanya dengan lembut.Sang pria berdeham, dua tangan berada di pinggang, dan memandangi sesuatu di dalam kuali hitam di hadapan sang gadis.“Apa yang engkau masak, Dainar?”“Ahh, bukan hal yang istimewa,” ucap sang gadis dan kembali menggunakan sendok besar untuk membalikkan potongan daging ikan di dalam kuali. “Hanya menggoreng bebera ekor ikan saja.”“Begitu, ya?” Hoaren menyeringai tipis.“Hmm, ngomong-ngomong,” kata sang gadis dengan tatapan malu-malu pada sang pria. “Apakah engkau suka ikan goreng, Tuan?”Sang pria terkekeh dan semakin menghampiri sang gadis. Dia meraih tangannya dan menariknya ke dalam pelukannya.“Tu-Tuan, jangan …” Dainar tertunduk. “Ki-Kita sedang berada di luar. Takutnya orang-orang melihat―”“Bagaim
Seorang pria 30 tahunan yang sedang memikul dua keranjang berisi sayur-sayuran menghentikan langkahnya, tepat di jalan tanah di depan rumah Asman.“Siapa yang menjerit barusan?” gumamnya seraya memandang ke sana kemari. “Tidak mungkin hantu. Mana ada hantu di siang hari seperti ini!”Dia mereguk ludah.Tapi dia tidak salah mendengar, jeritan barusan yang dia dengar adalah jeritan Rusniar ketika menyaksikan Zhou Hoaren dengan sadis mencabut jantung suaminya, Asman.Tepat ketika tatapannya tertuju ke pintu depan rumah Asman yang terbuka, dia menemukan seorang Pria Tiongkok berpakaian serbabiru sedang berdiri di ambang pintu.“He-Hei!” serunya dengan mengangkat satu tangan. “Siapa yang berteriak barusan? Apakah kau mendengarnya?”Sang pria mengernyit dan semakin mendekati pagar depan dari halaman depan yang luas.“Hei, Bung,” katanya, lagi. “Apakah kau tamu Pak Asman dan istrinya?”Sosok yang tak lain adalah Hoaren sendiri itu melirik dengan tatapan tajam pada si pedagang sayur, dan sepa
Kirat baru saja keluar dari Balai Pertemuan― aula Kerajaan Minangatamvan―dan menyusuri satu lorong yang akan menuntunkan ke arah halaman belakang istana.Dia menghentikan langkah ketika matanya menemukan Dangmudo Basa sedang berdiri tenang di tepi sebuah kolam besar, di tengah-tengah taman belakang.Dia mendesah panjang sebelum memutuskan untuk menghampiri sang Putra Mahkota.“Anda tahu bahwa kondisi Anda yang sekarang ini sangat terbuka untuk diserang dari mana saja, bukan?”Dangmudo Basa tersenyum dan menjatuhkan pandangannya ke permukaan kolam yang beriak kecil.Kolam besar yang berisi berbagai ikan hias itu mendapatkan airnya dari aliran sebuah anak sungai di balik tembok istana, dan akan terus kembali ke aliran itu sendiri demi menjaga kesegaran dan kebersihan air kolam itu sendiri.“Angku Mudo.”“Kirat,” sang Putra Mahkota menghela napas lebih dalam.Dia mendongak, menatap langit pagi yang begitu cerah, seolah menjanjikan pada semua makhluk di Bumi bahwa kehidupan akan baik-baik
Setiap beberapa langkah, dalam jarak tertentu, seorang di tengah keramaian melirik dan bertemu pandang dengan dua pria yang melangkah di tengah-tengah mereka, seolah berbaur menjadi penduduk tempatan.Kawasan ramai itu berada di luar tembok Kotaraja, sisi barat dan selatan, berdekatan langsung dengan Sungai Batang Kuantan yang besar dan sangat sibuk dengan beragam aktifitas.Dua orang itu meneruskan langkah mereka. Seorang dengan memikul sebuah karung yang terlihat penuh padahal sangat ringan. Seorang lainnya pula terlihat menjinjing sebuah keranjang yang berisi sayuran.Di ujung keramaian kawasan tersebut ke arah barat, keduanya menyeberangi sungai dengan memanfaatkan sebuah jembatan lengkung yang terlihat sangat kokoh.Di kawasan yang lebih didominasi oleh hutan rimba, sisi selatan Batang Kuantan, keduanya tiba di depan sebuah penginapan usang yang cukup terlihat sunyi.Karung dan keranjang itu mereka buang begitu saja, dan seterusnya, memasuki bangunan penginapan tersebut.Penjaga
Saliah baru berhenti melangkah dan bergumam ketika dia menyadari bahwa ada dua prajurit yang melintangkan tombak mereka hingga membentuk angka X besar di hadapannya, dan dua prajurit lainnya berada di belakang masing-masing yang menghalanginya.“Maaf dunsanak,” ujar prajurit yang di kiri dengan mengernyit menatap pemuda di hadapannya. “Hari sudah rembang petang, ada keperluan apa engkau memasuki Kotaraja?”“Maaf,” kata prajurit yang di kanan pula. “Bukan kami hendak mencurigai engkau. Akan tetapi, kami tidak pernah melihat engkau di sini sebelumnya. Jadi, bisakah engkau sebutkan kepentinganmu, dunsanak?”Saliah mereguk ludah. Tatapannya beralih dari kedua prajurit yang menghalanginya pada gerbang besar di belakang para prajurit.“Ge-Gerbang Barat …”Prajurit di kiri tersenyum lebar. “Kau benar, dunsanak. Ini adalah Gerbang Barat. Maaf, jika engkau tiada kepentingan di sini sama sekali, lebih baik engkau memutar langkah!”Saliah mengangguk dengan gugup dan terus menunduk sehingga membu
Datuak Rajo Tuo mengunyah makanan di dalam mulutnya, menelan makanan itu, lalu meminum seteguk air.Dan barulah dia melirik putranya yang duduk di seberang meja.“Apakah engkau tidak berpikir bahwa negeri ini membutuhkanmu, Ananda?” tanyanya dengan pelan saja, tapi cukup mengena di hati sang anak. “Kerajaan ini? Atau ayahmu ini, hmm?”Sang Putra Mahkota menghela napas dalam-dalam. “Ayahanda …”“Takhta kerajaan memerlukan pewarisnya, Putraku.”Dangmudo Basa tersenyum.Alasan makan malam bersama kali ini sudah cukup bisa ia telaah sebagai sebuah upaya sang ayah untuk membuatnya tetap terikat dengan garis keturunannya sebagai penerus darah, raja berikutnya saat hari itu tiba, nanti.Dan dia sama sekali tidak membenci ataupun menentang hal ini.“Bagaimana bila kematian mendatangiku lebih cepat dari apa yang pernah engkau pikirkan?”“Ayahanda…” sang Putra Mahkota mengangkat sedikit wajahnya, menghadirkan senyuman pada sang ayah di depan. “Janganlah berkata hal yang tak elok.”“Itu bisa saj
“Aku menempatkan kalian berdua dalam satu kamar tahanan, kupikir itu akan lebih baik bagi kalian berdua sebab kalian suami-istri.”“Komandan,” ujar seorang prajurit. “Bagaimana dengan pedang mereka?”Sang Komandan menghela napas lebih dalam sebelum akhirnya kembali beralih pada Feng dan Huang.“Yaah,” lanjutnya. “Maaf, kami harus menyita pedang kalian.”“Kakak!”Feng mencoba menenangkan istrinya yang keberatan dengan para prajurit yang meminta pedang di tangannya.“Tidak mengapa,” bisiknya.“Jangan khawatir, Nona Huang,” kata sang Komandan. “Ini hanya untuk sementara,” lanjutnya dengan mengendikkan bahu. “Yaah, jika kalian berdua nanti terbukti tidak bersalah. Maka, pedang-pedang itu akan kami kembalikan pada kalian.”“Tidak apa-apa,” Feng mengangguk pada istrinya seraya meraih pedang di tangan sang istri. “Aku percaya padanya.”Feng menyerahkan pedang bersarung biru miliknya dan pedang bersarung merah milik istrinya pada sang Komandan.“Anda sangat baik, Komandan,” kata Feng. “Kami p