Seorang pria 30 tahunan yang sedang memikul dua keranjang berisi sayur-sayuran menghentikan langkahnya, tepat di jalan tanah di depan rumah Asman.“Siapa yang menjerit barusan?” gumamnya seraya memandang ke sana kemari. “Tidak mungkin hantu. Mana ada hantu di siang hari seperti ini!”Dia mereguk ludah.Tapi dia tidak salah mendengar, jeritan barusan yang dia dengar adalah jeritan Rusniar ketika menyaksikan Zhou Hoaren dengan sadis mencabut jantung suaminya, Asman.Tepat ketika tatapannya tertuju ke pintu depan rumah Asman yang terbuka, dia menemukan seorang Pria Tiongkok berpakaian serbabiru sedang berdiri di ambang pintu.“He-Hei!” serunya dengan mengangkat satu tangan. “Siapa yang berteriak barusan? Apakah kau mendengarnya?”Sang pria mengernyit dan semakin mendekati pagar depan dari halaman depan yang luas.“Hei, Bung,” katanya, lagi. “Apakah kau tamu Pak Asman dan istrinya?”Sosok yang tak lain adalah Hoaren sendiri itu melirik dengan tatapan tajam pada si pedagang sayur, dan sepa
Kirat baru saja keluar dari Balai Pertemuan― aula Kerajaan Minangatamvan―dan menyusuri satu lorong yang akan menuntunkan ke arah halaman belakang istana.Dia menghentikan langkah ketika matanya menemukan Dangmudo Basa sedang berdiri tenang di tepi sebuah kolam besar, di tengah-tengah taman belakang.Dia mendesah panjang sebelum memutuskan untuk menghampiri sang Putra Mahkota.“Anda tahu bahwa kondisi Anda yang sekarang ini sangat terbuka untuk diserang dari mana saja, bukan?”Dangmudo Basa tersenyum dan menjatuhkan pandangannya ke permukaan kolam yang beriak kecil.Kolam besar yang berisi berbagai ikan hias itu mendapatkan airnya dari aliran sebuah anak sungai di balik tembok istana, dan akan terus kembali ke aliran itu sendiri demi menjaga kesegaran dan kebersihan air kolam itu sendiri.“Angku Mudo.”“Kirat,” sang Putra Mahkota menghela napas lebih dalam.Dia mendongak, menatap langit pagi yang begitu cerah, seolah menjanjikan pada semua makhluk di Bumi bahwa kehidupan akan baik-baik
Setiap beberapa langkah, dalam jarak tertentu, seorang di tengah keramaian melirik dan bertemu pandang dengan dua pria yang melangkah di tengah-tengah mereka, seolah berbaur menjadi penduduk tempatan.Kawasan ramai itu berada di luar tembok Kotaraja, sisi barat dan selatan, berdekatan langsung dengan Sungai Batang Kuantan yang besar dan sangat sibuk dengan beragam aktifitas.Dua orang itu meneruskan langkah mereka. Seorang dengan memikul sebuah karung yang terlihat penuh padahal sangat ringan. Seorang lainnya pula terlihat menjinjing sebuah keranjang yang berisi sayuran.Di ujung keramaian kawasan tersebut ke arah barat, keduanya menyeberangi sungai dengan memanfaatkan sebuah jembatan lengkung yang terlihat sangat kokoh.Di kawasan yang lebih didominasi oleh hutan rimba, sisi selatan Batang Kuantan, keduanya tiba di depan sebuah penginapan usang yang cukup terlihat sunyi.Karung dan keranjang itu mereka buang begitu saja, dan seterusnya, memasuki bangunan penginapan tersebut.Penjaga
Saliah baru berhenti melangkah dan bergumam ketika dia menyadari bahwa ada dua prajurit yang melintangkan tombak mereka hingga membentuk angka X besar di hadapannya, dan dua prajurit lainnya berada di belakang masing-masing yang menghalanginya.“Maaf dunsanak,” ujar prajurit yang di kiri dengan mengernyit menatap pemuda di hadapannya. “Hari sudah rembang petang, ada keperluan apa engkau memasuki Kotaraja?”“Maaf,” kata prajurit yang di kanan pula. “Bukan kami hendak mencurigai engkau. Akan tetapi, kami tidak pernah melihat engkau di sini sebelumnya. Jadi, bisakah engkau sebutkan kepentinganmu, dunsanak?”Saliah mereguk ludah. Tatapannya beralih dari kedua prajurit yang menghalanginya pada gerbang besar di belakang para prajurit.“Ge-Gerbang Barat …”Prajurit di kiri tersenyum lebar. “Kau benar, dunsanak. Ini adalah Gerbang Barat. Maaf, jika engkau tiada kepentingan di sini sama sekali, lebih baik engkau memutar langkah!”Saliah mengangguk dengan gugup dan terus menunduk sehingga membu
Datuak Rajo Tuo mengunyah makanan di dalam mulutnya, menelan makanan itu, lalu meminum seteguk air.Dan barulah dia melirik putranya yang duduk di seberang meja.“Apakah engkau tidak berpikir bahwa negeri ini membutuhkanmu, Ananda?” tanyanya dengan pelan saja, tapi cukup mengena di hati sang anak. “Kerajaan ini? Atau ayahmu ini, hmm?”Sang Putra Mahkota menghela napas dalam-dalam. “Ayahanda …”“Takhta kerajaan memerlukan pewarisnya, Putraku.”Dangmudo Basa tersenyum.Alasan makan malam bersama kali ini sudah cukup bisa ia telaah sebagai sebuah upaya sang ayah untuk membuatnya tetap terikat dengan garis keturunannya sebagai penerus darah, raja berikutnya saat hari itu tiba, nanti.Dan dia sama sekali tidak membenci ataupun menentang hal ini.“Bagaimana bila kematian mendatangiku lebih cepat dari apa yang pernah engkau pikirkan?”“Ayahanda…” sang Putra Mahkota mengangkat sedikit wajahnya, menghadirkan senyuman pada sang ayah di depan. “Janganlah berkata hal yang tak elok.”“Itu bisa saj
“Aku menempatkan kalian berdua dalam satu kamar tahanan, kupikir itu akan lebih baik bagi kalian berdua sebab kalian suami-istri.”“Komandan,” ujar seorang prajurit. “Bagaimana dengan pedang mereka?”Sang Komandan menghela napas lebih dalam sebelum akhirnya kembali beralih pada Feng dan Huang.“Yaah,” lanjutnya. “Maaf, kami harus menyita pedang kalian.”“Kakak!”Feng mencoba menenangkan istrinya yang keberatan dengan para prajurit yang meminta pedang di tangannya.“Tidak mengapa,” bisiknya.“Jangan khawatir, Nona Huang,” kata sang Komandan. “Ini hanya untuk sementara,” lanjutnya dengan mengendikkan bahu. “Yaah, jika kalian berdua nanti terbukti tidak bersalah. Maka, pedang-pedang itu akan kami kembalikan pada kalian.”“Tidak apa-apa,” Feng mengangguk pada istrinya seraya meraih pedang di tangan sang istri. “Aku percaya padanya.”Feng menyerahkan pedang bersarung biru miliknya dan pedang bersarung merah milik istrinya pada sang Komandan.“Anda sangat baik, Komandan,” kata Feng. “Kami p
“Guru,” Daiyun beringsut semakin mendekati Guru Ma. “Murid hanya mengatakan apa yang murid dengar di pasar tadi, bukan satu perkara yang dibuat-buat!”Guru Ma tersenyum tipis menanggapi si Biksu Muda yang terkesan berapi-api.“Orang-orang berbicara tentang muda-mudi dari Tiongkok yang ditangkap oleh Prajurit Sriwijaya.”“Amitabha …” Guru Ma menghela napas dalam-dalam. “Daiyun,” ucapnya penuh kelembutan.“Guru?”“Apakah menurutmu hanya engkau dan aku saja yang berasal dari Tiongkok dan datang ke negeri ini?” tanya Guru Ma. “Hanya Tuan Muda Feng dan Nona Huang saja?”“Bagaimana dengan pedang bersarung merah dan biru?” susul Daiyun sebab dia sangat yakin bahwa hal ini memang mengenai pasangan muda tersohor itu.Cahaya di bola mata Guru Ma sedikit berubah.“Guru,” kata Daiyun, lagi. “Murid ragu jika ada dua orang yang juga datang dari Tiongkok dengan masing-masing membawa pedang yang ciri-cirinya sama persis dengan pedang milik Tuan Muda Feng dan Nona Huang. Ini pasti bukan sebuah kebetul
“Betul, Yang Mulia,” Datu Panglima menundukkan lagi kepalanya.Dapunta Hyang tersenyum seakan tahu dengan baik ke mana arah ucapan sang Panglima Besar yang telah mengabdi kepadanya semenjak mereka meninggalkan Tanah Minangatamvan.“Oh, Agung Sarta …” sang raja menggeleng-geleng kecil.“Yang Mulia?”“Jangan katakan padaku bahwa kau berpikir keduanya berkaitan dengan dua Biksu Budha itu!”Datu Panglima yang bernama asli Agung Sarta menghela napas lebih dalam.“Hamba tidak akan menyembunyikan apa pun dari mata Anda, Yang Mulia,” ujarnya. “Tapi benar, itulah yang hamba khawatirkan.”“Baiklah …” sang raja mengangguk kecil.Bagaimanapun, ada alasan khusus mengapa Daputa Hyang memahami kekhawatiran sang Datu Panglima.Dia meyakini insting panglimanya.Lagi pula, selama ini, semenjak Kerajaan Sriwijaya berdiri, Agung Sarta selalu dapat mengantisipasi berbagai hal yang menjurus pada keselamatan kerajaan hingga ke rakyat mereka.Itulah sebabnya dia mampu dan diangkat oleh Dapunta Hyang sebagai
“Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan
“Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J
“Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan
Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke
“Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan
Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,
“Tidak ada hal yang bisa kita lakukan lagi jika Datu Telinga Utara berhasil membawa seseorang yang mengetahui segalanya ke sini.”Daiyun terlihat sedikit panik demi mendengar ucapan dari Feng barusan.Sementara, Guru Ma mengangguk-angguk kecil.“Guru Ma?” Huang berharap pria tua bersahaja yang satu itu punya jalan keluar yang baik bagi keduanya.Atas izin dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Guru Ma dan Daiyun diperbolehkan menjenguk Feng dan Huang di dalam penjara.“Amitabha …” ujar Guru Ma. “Jika Tuan Muda sudah berkata demikian, saya khawatir apa yang saya takutkan benar-benar terjadi.”Feng dan Huang saling pandang, sedangkan Daiyu sedikit bingung sebab tidak begitu memahami apa yang sedang dibahas oleh Guru Ma dengan dua sejoli bersama mereka.“Adik,” ujar Feng pada Huang, “kurasa, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.”“Aku tahu,” Huang mengangguk. “Lagi pula, kita membutuhkan Guru Ma untuk saat sekarang ini.”“Shan cai, shan cai …” seakan memahami apa yang perah dialami oleh Fe
Datu Telinga Utara berlalu dengan pandangan dingin dan seringai lebar di wajah terhadap Feng dan Huang.Seolah-olah, tatapan itu menegaskan bahwa pasangan muda itu tidak akan bisa kemana-mana.“Tunggu saja hari kalian!”Hanya kalimat itu yang didengar oleh Feng maupun Huang seiring sosok sang datu berlalu dari ruang besar. Kalimat tidak menyenangkan yang dipenuhi ancaman besar.“Maafkan aku, Tuan Muda Feng, Nona Huang.”Perhatian suami-istri muda beralih pada sosok yang baru saja berujar, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.“Tapi kami telah menebus kesalahan tak berniat di Batu Limau ketika itu!”Sang raja mengernyit menanggapi ucapan Huang yang sedikit dibalut emosi.“Adik!” Feng lekas merangkul bahu sang istri.“Kami memperlihatkan itikad baik selama ini, Tuan Raja,” lanjut Huang dengan mata memerah. “Tanyakan saja pada komandan bernama Galang di sana!”Galang mereguk ludah. Tatapannya berpindah dari Huang ke sang raja, lalu kepada Datu Panglima.“Adik tenanglah!” pinta Feng dengan lembut.
“Jika Yang Mulia mengizinkan,” kata Datu Arrumanda, “maka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.”Dapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.“Yang Mulia?”Sementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n