“Betul, Yang Mulia,” Datu Panglima menundukkan lagi kepalanya.Dapunta Hyang tersenyum seakan tahu dengan baik ke mana arah ucapan sang Panglima Besar yang telah mengabdi kepadanya semenjak mereka meninggalkan Tanah Minangatamvan.“Oh, Agung Sarta …” sang raja menggeleng-geleng kecil.“Yang Mulia?”“Jangan katakan padaku bahwa kau berpikir keduanya berkaitan dengan dua Biksu Budha itu!”Datu Panglima yang bernama asli Agung Sarta menghela napas lebih dalam.“Hamba tidak akan menyembunyikan apa pun dari mata Anda, Yang Mulia,” ujarnya. “Tapi benar, itulah yang hamba khawatirkan.”“Baiklah …” sang raja mengangguk kecil.Bagaimanapun, ada alasan khusus mengapa Daputa Hyang memahami kekhawatiran sang Datu Panglima.Dia meyakini insting panglimanya.Lagi pula, selama ini, semenjak Kerajaan Sriwijaya berdiri, Agung Sarta selalu dapat mengantisipasi berbagai hal yang menjurus pada keselamatan kerajaan hingga ke rakyat mereka.Itulah sebabnya dia mampu dan diangkat oleh Dapunta Hyang sebagai
“Ada ribuan pulau kecil di Laut Timur,” ucap Arrumanda pada istri dan anak-anaknya saat mereka bersantap di malam itu. “Dan setiap pulau punya kehidupan dan kebudayaan yang berbeda-beda.”“Pasti sangat menyenangkan jika aku bisa ikut,” ucap si anak sulung yang adalah laki-laki. “Melihat banyak pulau, bertemu banyak orang pasti sangat menyenangkan.”Sang ibu tersenyum dan mengusap kepalanya.“Kau masih dua belas tahun, Sayang,” ujarnya. “Tunggu saat engkau dewasa nanti, lalu mengikuti jejak ayahmu, dan kau akan mendapatkan apa yang engkau inginkan.”Arrumanda terkekeh pelan. “Ibumu benar. Kau masih terlalu kecil untuk mengarungi lautan, Nak.”“Bagaimana denganku, Ayah?” tanya si kecil pula, gadis delapan tahun.Sang ayah tersenyum dan mengangguk.“Sama,” ucapnya. “Kamu juga bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan setelah dewasa nanti.”“Ayo!” pinta sang ibu. “Cepat habiskan makanan kalian, setelah itu, pergilah istirahat, tidur!”Malam semakin beranjak naik dan sang rembulan semakin me
Si sulung muntah-muntah di atas dermaga dengan tubuh bayah kuyup.“Kau baik-baik saja, Nak?”Dia mengangguk sembari menatap sang ayah. “I-Ikannya,” ucapnya dengan napas terengah-engah. “A-Aku melepaskan ikannya, Ayah!”“Tidak apa-apa,” Arrumanda memeluk putranya dengan erat. “Tidak apa-apa. Kau jauh lebih berharga daripada seekor ikan, Sayang.”Si kecil datang dan mereka saling berpelukan.Arrumanda menatap pria asing yang barusan telah menyelamatkan putranya.“Terima kasih.”“Tidak, jangan dipikirkan,” jawab Hoaren dengan senyuman dan tubuh yang juga basah kuyup. “Aku harap putramu tidak akan trauma.”“Siapa namamu?”“Hmm, aku A Niu. Aku baru beberapa hari saja berada di negeri ini.”“Kau datang dari Tanah Tiongkok?”“Ya, begitulah. Orang bilang negeri di Laut Melayu sangat indah. Itu sebabnya aku datang untuk berpelesir.”“Ahh, begitu rupanya.”Untuk membalas kebaikan orang, Arrumanda membawa Hoaren yang menyamar sebagai A Niu ke rumahnya.Tentu saja, kehadiran Hoaren disambut baik
Di dalam penjara, di Kerajaan Minangatamvan. Di awal malam, tiga hari menjelang bulan mati.Dalam keheningan semadinya di dalam kamar penjara, Saliah dapat mengetahui pergerakan tak biasa dari satu dua orang prajurit.Semenjak ditahan di penjara itu, dia juga sudah dapat mengetahui bahwa sekitar 25 orang tahanan di sana adalah mereka yang berada dalam satu kelompok, Penjahat Bukit Tigapuluh.Malam ini dia diyakinkan bahwa satu dua prajurit yang hilir-mudik dengan gerak-gerik mecurigakan itu bukanlah Prajurit Minanga sebenarnya.Meski hening dan mata yang terus terpejam dalam duduk bersilanya, Saliah dapat menangkap bisik-bisik halus kedua prajurit yang berbicara secara rahasia pada setiap Penjahat Bukit Tigapuluh di kamar penjara mereka masing-masing.Setelah dua orang yang menyamar sebagai prajurit meninggalkan penjara, Saliah baru membuka matanya.Dia meninggalkan dipan, melangkah mendekati jeruji, dan berdiri tenang di sana.Matanya liar memandangi setiap kamar penjara yang dapat d
“Tidak,” ucap Puti Champo. “Tidak sama sekali.”“Jadi,” Dangmudo Basa tersenyum sedikit merasa puas dan lega. “Kau mengakui bahwa kau bukanlah dari kalangan jelata?”Sang gadis menghela napas dalam-dalam, kembali menatap langit malam seolah ingin melepas segala kerinduan dan semua hal yang mengungkung diri.“Kau bisa bilang seperti itu.”“Baiklah,” sang Putra Mahkota mengangguk-angguk. “Lalu?”“Tidak!”Tatapan mereka beradu pandang untuk kesekian kalinya. Di akhiri dengan senyuman sang gadis.“Puti?”“Kupikir,” ujar sang gadis. “Biarlah rahasia tentang siapa diriku sebenarnya tetap menjadi rahasia.”“Hei―”“Aku bersungguh-sungguh, Putra Mahkota.”Puti Champo berdiri dan menghampiri tepi bangunan dengan pagar rendah selutut di sekeliling. Lalu melempar pandangannya ke permukaan air danau yang tenang.Dangmudo Basa menyusul sang gadis, berdiri di sebelah kanannya, dan menatap ke arah yang sama.“Alasan sebenarnya mengapa aku mendatangi negeri ini …”Dangmudo Basa mengernyitkan dahi seme
Dapunta Hyang melangkah dengan santai didampingi oleh Guru Ma di sisi kanan, sedangkan Daiyun berada di belakang keduanya.Obrolan keduanya terlihat sangat ringan dan dalam kehangatan sehingga sesekali sang Datu Maharaja tampak tersenyum bahkan tertawa pelan.Datu Telinga Utara menghela napas lega sembari memberi isyarat pada empat dayang bahwa sang raja sedang menuju ke arah mereka, pintu utama kuil yang terbuka lebar.Sang raja hanya sedikit mengernyitkan kening ketika mendapati bahwa Arrumanda berdiri bersama empat dayang, menunggu dirinya.Dia berputar menghadap Guru Ma.“Baiklah, Guru,” ucapnya dengan tangan menggenggam tangan sang Guru Besar. “Sampai nanti. Masih banyak hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda.”“San chai, san chai,” Guru Ma sedikit membungkuk, begitu juga dengan Daiyun. “Senang berdiskusi dengan Anda, Yang Mulia. Semoga diberkahi.”“Terima kasih.”Dapunta Hyang tersenyum dan memberikan rasa hormatnya pada Biksu Budha tersebut dengan sedikit membungkukkan badan
Sehari sebelum malam Bulan Mati.Galang berdiri di bagian belakang rumah keluarga Asman. Hanya dia seorang di sana, sementara sebagian anak buahnya sedang memeriksa di bagian dalam rumah, dan yang sebagian lainnya mencoba bertanya ini dan itu pada tetangga terdekat.Sayangnya, rumah-rumah terdekat dari tempat kejadian perkara itu sendiri berjarak belasan meter, dan tak jarang terhalang oleh pepohonan.Sang komandan menghela napas dalam-dalam menatap pada kuali di atas tungku dan di dalam kuali masih terdapat minyak. Tentu saja, tungku itu tidak sedang menyala.Tapi, tidak ada lagi dua jantung manusia yang sebelumnya pernah digoreng di dalam kuali yang sama kini.Tidak pula jasad Asman ataupun putrinya, Dainar yang ketika pertama ditemukan tergeletak di tanah, berdampingan dengan dada yang sama berlubang.Tatapan sang komandan beralih pada parang berkarat yang tertancap dalam di dinding sisi kanan dari pintu belakang.Sama, mayat Runiar dengan kepala terpapas juga tidak lagi ada di san
Daiyun menyembunyikan diri dengan merapatkan punggung ke tembok ketika ujung matanya menemukan tiga Prajurit Sriwijaya yang sedang melangkah ke arah kanan.Dia bahkan sampai menahan napas sebab dia tahu di antara para prajurit ada pula mereka yang dari kalangan pesilat.Dengan kata lain, sekali gerakannya terdengar oleh para prajurit, maka dia juga akan membahayakan nyawa dan keberadaan Guru Ma di istana.Mungkin terdengar sepele, tapi Daiyun tak ingin ambil risiko. Terlebih lagi, apa yang sedang dia lakukan bukanlah sebuah permintaan dari sang Guru Besar, tidak pula melalui perudingan dengannya.Setelah tiga prajurit itu berlalu, barulah Daiyun bisa bernapas sedikit dengan lega.Dia telah mempersiapkan dirinya sebelum menjalankan misi kecilnya itu. Yakni dengan memakai pakaian yang sama dengan para prajurit, antisipasi terhadap hal-hal yang tidak ia inginkan nanti. Tertangkap basah, misalnya.Dengan menggunakan kain pengikat kepala untuk menyarukan kepalanya yang plontos, dia akhirny