Sehari sebelum malam Bulan Mati.Galang berdiri di bagian belakang rumah keluarga Asman. Hanya dia seorang di sana, sementara sebagian anak buahnya sedang memeriksa di bagian dalam rumah, dan yang sebagian lainnya mencoba bertanya ini dan itu pada tetangga terdekat.Sayangnya, rumah-rumah terdekat dari tempat kejadian perkara itu sendiri berjarak belasan meter, dan tak jarang terhalang oleh pepohonan.Sang komandan menghela napas dalam-dalam menatap pada kuali di atas tungku dan di dalam kuali masih terdapat minyak. Tentu saja, tungku itu tidak sedang menyala.Tapi, tidak ada lagi dua jantung manusia yang sebelumnya pernah digoreng di dalam kuali yang sama kini.Tidak pula jasad Asman ataupun putrinya, Dainar yang ketika pertama ditemukan tergeletak di tanah, berdampingan dengan dada yang sama berlubang.Tatapan sang komandan beralih pada parang berkarat yang tertancap dalam di dinding sisi kanan dari pintu belakang.Sama, mayat Runiar dengan kepala terpapas juga tidak lagi ada di san
Daiyun menyembunyikan diri dengan merapatkan punggung ke tembok ketika ujung matanya menemukan tiga Prajurit Sriwijaya yang sedang melangkah ke arah kanan.Dia bahkan sampai menahan napas sebab dia tahu di antara para prajurit ada pula mereka yang dari kalangan pesilat.Dengan kata lain, sekali gerakannya terdengar oleh para prajurit, maka dia juga akan membahayakan nyawa dan keberadaan Guru Ma di istana.Mungkin terdengar sepele, tapi Daiyun tak ingin ambil risiko. Terlebih lagi, apa yang sedang dia lakukan bukanlah sebuah permintaan dari sang Guru Besar, tidak pula melalui perudingan dengannya.Setelah tiga prajurit itu berlalu, barulah Daiyun bisa bernapas sedikit dengan lega.Dia telah mempersiapkan dirinya sebelum menjalankan misi kecilnya itu. Yakni dengan memakai pakaian yang sama dengan para prajurit, antisipasi terhadap hal-hal yang tidak ia inginkan nanti. Tertangkap basah, misalnya.Dengan menggunakan kain pengikat kepala untuk menyarukan kepalanya yang plontos, dia akhirny
“Maafkan saya, Guru,” Daiyun bahkan menyentuhkan keningnya ke lantai. “Seandainya saya berunding terlebih dahulu dengan Guru, saya takut Guru akan melarang saya. Sementara, hati saya berkata bahwa saya harus membantu Tuan Muda Feng dan Nona Huang sesegera mungkin. Setidaknya, mengetahui akar permasalahannya.”Guru Ma menghela napas lebih dalam, tatapannya tetap teduh tertuju pada si Biksu Muda.“Angkatlah wajahmu, Daiyun.”Sang Biksu Muda mengikuti ucapan sang Guru Besar meski masih berlutut di sana.“Semua sudah terjadi dan percuma saja untuk disesali.”“Guru,” ucap Daiyun. “Saya rela menjalani hukuman seperti apa pun yang akan Guru perintahkan.”Guru Ma tersenyum tipis.“San chai, san chai. Tidak ada hukuman yang lebih baik untukmu selain dari mendalami Sutra. Pergilah, dan jangan berani melakukan hal semacam ini lagi.”Biksu Muda mengangguk.Setelah keluar dari kamar Guru Ma, Daiyun langsung menuju ke kamarnya. Di dalam kamar, dia membuka sebuah Sutra dan akan menghabiskan waktunya
“Sebenarnya, Inyiak Marapi,” ungkap si Mata Malaikat. “Anak buahku bisa keluar kapan saja mereka mau.”Lagi, ucapan si Pemimpin Penjahat Bukit Tigapuluh itu membuat Inyiak Marapi, Kiuang Ameh, dan Ruyuang Salatan mengernyitkan dahi.“Itu benar,” timpal Siwan. “Mereka telah memegang kunci di tangan masing-masing, hanya menunggu waktu yang tepat saja bagi mereka keluar, lalu menyerang istano dari dalam bersama prajurit gadungan yang telah kami susupkan.”“Tidak banyak,” tambah si Mata Malaikat. “Tapi kegaduhan dari dalam akan sangat mempengaruhi orang-orang istano. Percaya padaku!”“Baiklah!” Kiuang Ameh mengangguk-angguk kecil. “Kupikir, kalian pasti sudah merencanakan hal ini dengan sangat baik.”“Yaah, aku setuju,” sambut Inyiak Marapi.“Sekarang,” lanjut Kiuang Ameh. “Katakan rencana utamanya pada kami, Amugar!”Si Mata Malaikat terkekeh lalu mereguk tuak di cangkirnya sampai habis.“Kita akan menyerang dari tiga arah!”“Tiga arah?” kening si Kiuang Ameh kembali mengernyit. “Apa yan
“Entahlah!” Dangmudo Basa mendesah panjang dengan tertunduk dan dua tangan berada di pinggang.Tapi empat pengawal pribadinya itu dapat melihat satu senyuman tak biasa di sudut bibirnya.“Mungkin benar kata-kata orang tua.”“Hah?!” Kanteh mengernyit.Begitu pula dengan tiga rekannya demi mendengar ucapan snag Putra Mahkota.Dangmudo Basa tertawa tanpa suara memandang langit nan membiru dan gerombolan burung terbang ke arah yang berbeda nun jauh di atas sana.“Jinak-jinak merpati,” gumamnya setengah tak terdengar. “Di saat kau mengira bahwa seorang gadis akan tertawan oleh hatimu, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Ahh, aku tidak akan pernah memahami hati wanita.”Mengertilah keempat pengawal itu dengan apa yang diucapkan oleh sang Putra Mahkota.Kirat datang menghampiri.“Jangan terlalu engkau pikirkan, Angku Mudo,” ucapnya seraya menyentuh bahu si pemuda rupawan. “Lagi pula, gadis itu seorang pendekar. Dan seorang pendekar, tidak terbiasa terikat dengan banyak hal. Salah satunya, a
“Benar, Paduko,” ujar seorang Datuk Hulubalang. “Orang-orang jadi bertanya-tanya. Jangan sampai hal ini menimbulkan keresahan pada rakyat.”Datuak Rajo Tuo melirik pada putranya.Ini adalah sedikit ujian bagi sang Putra Mahkota dalam hal kepemimpinan, sehingga, dia menunggu dan menyerahkan keputusan tersebut pada Dangmudo Basa.Sang anak memahami itu dan mengangguk kecil sebelum menghadap pada Sembilan Cadiak Pandai dan Tujuh Hulubalang Kerajaan.“Datuk-Datuk sekalian,” ucap sang Putra Mahkota. “Tidak ada hal yang istimewa, hanya sedikit kejutan bagi para prajurit saja. Ya, katakanlah, semacam latihan agar mereka selalu bersiap sedia.”Para Cadiak Pandai dan Hulubalang sama mengernyit, ada pula yang saling pandang satu sama lain.“Angku Mudo?” Datuk Cadiak Pandai yang sama masih menuntut penjelasan yang lebih baik daripada sekadar sebuah latihan kejutan.Dangmudo Basa mengendikkan bahu.Bagaimanapun, dia sangat yakin sang ayah tak hendak membeberkan cerita mengenai mimpinya yang cukup
Saliah keluar dari kamar penjaranya dengan tenang. Terlalu tenang sebab dia menutupi diri dengan pakaian ala Prajurit Minanga.Sementara tubuh kaku si prajurit palsu disembunyikan di bawah dipan dengan kondisi hampir telanjang.Tepat seperti dugaannya.Rekan-rekan si prajurit palsu telah mengambil alih kondisi di dalam penjara. Mereka mengeluarkan para tahanan yang rata-rata mendukung upaya untuk melakukan keributan yang telah direncanakan dan dipersiapkan.Satu hal yang dipikirkan oleh Saliah adalah tentang prajurit yang sebenarnya.Mereka, para prajurit asli itu mungkin sudah mati dan mayat mereka dibuang di tempat-tempat yang jauh dari pandangan.Sembari terus melangkah di antara para tahanan dan prajurit palsu, Saliah tetap berwaspada. Dia tidak takut sama sekali pada orang-orang itu. Lagi pula, tidak akan ada yang mengenalinya.Gerombolan yang lebih dari seratus orang itu akhirnya berhenti di dekat gerbang penjara.Empat orang penjaga pintu gerbang merentangkan tangan tanpa menol
Kirat, Kanteh, dan Kamba tiba di kamar tidur utama sang raja.Mereka menemukan bahwa Datuak Rajo Tuo berdiri di dekat jendela yang menghadap ke halaman belakang.“Paduko!”Sang raja menghela napas dalam-dalam dengan tangan berada di belakang pinggang.“Firasat itu benar adanya, Kirat,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari bayang seratus orang yang bergerak menuju istana di halaman belakang itu. “Entah dosa apa yang telah kuperbuat sehingga bahkan para prajuritku sekalipun, membangkang terhadap istana.”“Paduko,” Kirat lebih mendekat bersama dua rekannya. “Menjauhlah dari jendela, itu tidak baik bagi keselamatan Anda!”Kamba melirik pada empat dayang muda yang terlihat cemas di sudut lain kamar.“Tetaplah kalian di sini,” ucapnya. “Temani Yang Mulia apa pun yang terjadi!”Dengan ragu-ragu, empat dayang sama menundukkan kepala.“Jangan pernah meninggalkan Yang Mulia,” ucap Kanteh pula yang ia tujukan pada Kirat dan Kamba.Kembali pada seratus orang yang semakin mendekat pada romb
“Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan
“Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J
“Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan
Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke
“Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan
Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,
“Tidak ada hal yang bisa kita lakukan lagi jika Datu Telinga Utara berhasil membawa seseorang yang mengetahui segalanya ke sini.”Daiyun terlihat sedikit panik demi mendengar ucapan dari Feng barusan.Sementara, Guru Ma mengangguk-angguk kecil.“Guru Ma?” Huang berharap pria tua bersahaja yang satu itu punya jalan keluar yang baik bagi keduanya.Atas izin dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Guru Ma dan Daiyun diperbolehkan menjenguk Feng dan Huang di dalam penjara.“Amitabha …” ujar Guru Ma. “Jika Tuan Muda sudah berkata demikian, saya khawatir apa yang saya takutkan benar-benar terjadi.”Feng dan Huang saling pandang, sedangkan Daiyu sedikit bingung sebab tidak begitu memahami apa yang sedang dibahas oleh Guru Ma dengan dua sejoli bersama mereka.“Adik,” ujar Feng pada Huang, “kurasa, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.”“Aku tahu,” Huang mengangguk. “Lagi pula, kita membutuhkan Guru Ma untuk saat sekarang ini.”“Shan cai, shan cai …” seakan memahami apa yang perah dialami oleh Fe
Datu Telinga Utara berlalu dengan pandangan dingin dan seringai lebar di wajah terhadap Feng dan Huang.Seolah-olah, tatapan itu menegaskan bahwa pasangan muda itu tidak akan bisa kemana-mana.“Tunggu saja hari kalian!”Hanya kalimat itu yang didengar oleh Feng maupun Huang seiring sosok sang datu berlalu dari ruang besar. Kalimat tidak menyenangkan yang dipenuhi ancaman besar.“Maafkan aku, Tuan Muda Feng, Nona Huang.”Perhatian suami-istri muda beralih pada sosok yang baru saja berujar, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.“Tapi kami telah menebus kesalahan tak berniat di Batu Limau ketika itu!”Sang raja mengernyit menanggapi ucapan Huang yang sedikit dibalut emosi.“Adik!” Feng lekas merangkul bahu sang istri.“Kami memperlihatkan itikad baik selama ini, Tuan Raja,” lanjut Huang dengan mata memerah. “Tanyakan saja pada komandan bernama Galang di sana!”Galang mereguk ludah. Tatapannya berpindah dari Huang ke sang raja, lalu kepada Datu Panglima.“Adik tenanglah!” pinta Feng dengan lembut.
“Jika Yang Mulia mengizinkan,” kata Datu Arrumanda, “maka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.”Dapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.“Yang Mulia?”Sementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n