Kirat, Kanteh, dan Kamba tiba di kamar tidur utama sang raja.Mereka menemukan bahwa Datuak Rajo Tuo berdiri di dekat jendela yang menghadap ke halaman belakang.“Paduko!”Sang raja menghela napas dalam-dalam dengan tangan berada di belakang pinggang.“Firasat itu benar adanya, Kirat,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari bayang seratus orang yang bergerak menuju istana di halaman belakang itu. “Entah dosa apa yang telah kuperbuat sehingga bahkan para prajuritku sekalipun, membangkang terhadap istana.”“Paduko,” Kirat lebih mendekat bersama dua rekannya. “Menjauhlah dari jendela, itu tidak baik bagi keselamatan Anda!”Kamba melirik pada empat dayang muda yang terlihat cemas di sudut lain kamar.“Tetaplah kalian di sini,” ucapnya. “Temani Yang Mulia apa pun yang terjadi!”Dengan ragu-ragu, empat dayang sama menundukkan kepala.“Jangan pernah meninggalkan Yang Mulia,” ucap Kanteh pula yang ia tujukan pada Kirat dan Kamba.Kembali pada seratus orang yang semakin mendekat pada romb
“Takut kau bilang?” Kiuang Ameh mendengus dan menggeram. Lantas di berteriak lantang pada seratus orang bersama mereka. “Serang… Hancurkan Gerbang Selatan!” Gerakan mereka di sisi ini terpecah dalam tiga kelompok.Kelompok pertama adalah mereka yang menggunakan perahu mendekati Gerbang Selatan bersama Kiuang Ameh dan Ruyuang Salatan.Sedangkan dua kelompok lainnya bergerak di antara pepohonan yang ada di sisi kiri kanan kanal.“Hentikan mereka!” teriak seorang prajurit yang berjaga di balik pintu besi berjeruji.Lima prajurit yang berdiri di atas gerbang sama membidik dan melepaskan anak panah mereka untuk menghentikan langkah orang-orang yang berusaha mendobrak pintu gerbang.Begitu juga dengan mereka yang berada di balik pintu gerbang.Dengan menggunakan tombak dan pedang, mereka menusuk orang-orang liar yang mencoba mendobrak pintu besi berdaun ganda, lewat celah-celah di antara jeruji.“Bodoh!” Kiuang Ameh menggeram.Tanpa basa-basi, pria yang satu ini lantas mencebur ke dalam ka
Lima jari tangan kanan Kiuang Ameh saling rapat, meluncur liar dan meliuk, lalu membuka dengan tiba-tiba. Sebuah jurus cakaran yang lebih terlihat seperti rahang seekor ikan gabus yang hendak menyambar mangsa, mengincar leher Puti Champo.Sang gadis tanggapi dengan tenang. Dia menggeser sedikit kakinya hingga tubuhnya miring ke kiri.Jurus cakar unik Kiuang Ameh lewat kurang dari sejengkal saja di depan wajahnya.Tapi Kiuang Ameh tak hendak mendapat malu. Selagi cakarnya menderu, masih dengan tangan yang sama, dia melancarkan serangan siku.Tep!Puti Bungo dengan cepat dapat menahan serangan siku lawan dengan dua telapak tangannya.Dia memanfaatkan daya dorong serangan dengan melentingkan tubuhnya dua langkah ke belakang.Lagi-lagi senyuman manis sang gadis membuat merah wajah Kiuang Ameh. Tapi kali ini, bukan berahi yang berbicara melainkan amarah sebab dia merasa dipecundangi.“Kau cukup beruntung, hah?!”“Mungkin kau yang kurang cepat!” balas sang gadis.“Gadis keparat!” Kiuang Ame
Di Gerbang Utara Kotaraja. Inyiak Marapi yang berpasangan dengan Siwan dengan mudah meluluh-lantakkan kondisi pemukiman di sana. Seratus orang bersama mereka membunuh belasan prajurit penjaga gerbang dengan sadis.Kebakaran tercipta akibat jurus-jurus sakti yang dilepas oleh Inyiak Marapi, membakar beberapa rumah yang berdekatan dengan jalan penghubung dari Gerbang Utara Kotaraja ke Gerbang Utara Istana.Masyarakat yang tinggal di sana berlarian ke arah-arah yang lebih aman demi menyelamatnya nyawa mereka dan keluarga masing-masing. Orang-orang yang tinggal di pemukiman ini sebagian besarnya adalah mereka yang dari kalangan menengah ke atas.Jerit tangis dan langkah-langkah berserak berpadu-padan, bergaung angkuh menghiasi langit Malam Bulan Mati.Meski mereka menyerang dengan brutal dan menyebabkan kebakaran hebat di sisi utara, namun Inyiak Marapi dan Siwan tidak tertarik untuk menyakiti apalagi membunuh penduduk di sana.Tapi, hal ini akan berbeda bila yang mereka temui adalah oran
Kengerian jelas membayang di wajah seorang prajurit, betapa pun dia meronta namun cengkeraman Amugar alias si Mata Malaikat di lehernya tidak berkurang sama sekali.Tubuh sang prajurit seperti tergantung sebab diangkat dengan satu tangan oleh si Mata Malaikat yang berpostur tinggi besar.“Kau menyia-nyiakan hidupmu dengan menjadi anjing istana!” ucapnya dengan seringai di sudut bibir.“Ter-Terkutuk kau―”Krakk!Hekh!Sang prajurit tewas dengan leher remuk, bahkan mengeluarkan air seni yang membasahi celananya.Seperti seonggok benda rongsokan, si Mata Malaikat membuang jasad dalam cengkeramannya begitu saja, hingga membentur dinding sebuah rumah.Di ujung pandangannya ke sisi kiri, dia melihat dua prajurit lainnya berturut-turut ditikam oleh anak buahnya. Amugar terkekeh.Setidaknya, ada selusin prajurit penjaga di Gerbang Barat Kotaraja, namun kini semuanya tergeletak di tanah dalam kondisi tak bernyawa.“Terus maju!” teriak seorang laki-laki yang adalah orang kepercayaan si Mata Mal
Kotaraja bagian selatan.Seorang Datuk Hulubalang dengan pakaian serbabiru memimpin dua ratus Prajurit Istana bersamanya, meninggalkan Gerbang Selatan, dan terus saja menyusuri jalan utama di bagian itu.“Aneh,” ucap sang datuk sembari terus bergerak. “Informasi yang didapat, mereka juga menyerang lewat Gerbang Selatan Kotaraja. Di mana mereka?”“Datuk!” ucap seorang prajurit di sampingnya seraya menunjuk sesuatu di ujung sana, di tepi kanal. “Lihat!”Sang Hulubalang Kerajaan mengernyit. “Puti Champo!”Dia membawa pasukannya bergerak lebih cepat untuk membantu si Gadis Champa yang menghadapi seratus orang dengan bersendirian saja.Tapi sepertinya, percuma saja mencemaskan si gadis manis, pikirnya.Kenyataannya, sang gadis mampu membuat seratus orang tak berani bergerak. Bahkan dua pemimpin para penyerang itu tak mampu menyentuh sang gadis sama sekali.Puti Champo menjentikkan jarinya dua kali ke arah si Ruyuang Salatan yang menyerangnya dengan jurus putaran seperti angin puyuh dengan
Dhumm!Hekh!Dua tenaga dalam yang saling tekan akhirnya pecah, mengentak kuat ke dada keduanya, terutama bagi si Kiuang Ameh yang konsentrasinya terpecah akibat rasa perih di sekujur badan.Tak pelak, selagi tubuhnya melayang tak keruan ke belakang oleh daya ledakan barusan, darah segar menyembur dari mulut dan lubang hidungnya.Sedangkan Puti Champo, dengan menahan denyut nadi di dalam tubuhnya yang bergejolak dan menyesakkan, dia melesat dengan berputar kencang laksana gasing ke arah si Kiuang Ameh yang terpental.Wuush! Wuush!Dan lantas melepaskan satu tendangan keras.Duakh! Krak!Hekh!Tendangan keras telak mengenai ulu hati si Kiuang Ameh dan kembali memaksanya melenguh pendek dengan darah yang semakin menyembur hebat dari mulutnya.Dia melesat lebih cepat dan terhempas kencang ke permukaan tanah.Si Kiuang Ameh melenguh pendek dengan wajah merah menggelembung demi merasakan rasa sakit yang luar biasa di tubuhnya.Di bagian dalam, dia terluka sangat parah, bahkan tulang dada,
“Sepertinya yang satu itu tidak sepenuh hati mau menyerang kerajaan.”Datuk Hulubalang melirik pada Puti Champo dan mendesah panjang.“Itukah yang engkau pikirkan?” tatapannya kembali tertuju pada si Ruyuang Salatan yang terkapar di tanah.Sementara itu, para Prajurit Kerajaan mengumpulkan para penyerang yang masih hidup pada satu titik.Masing-masing penyerang dengan kondisi tangan terikat ke belakang, begitu juga dengan kaki mereka yang diikat tali sedemikian rupa sehingga tidak begitu menghalangi pergerakan mereka, tidak pula mereka bisa melarikan diri.Dua orang parjurit menghampiri si Kiuang Ameh yang juga dalam kondisi tergeletak di tanah.Meski dalam kondisi terluka dalam yang cukup parah, serta tangan dan wajah yang dipenuhi luka-luka sayat halus, dia masih sadar sepenuhnya.Dua prajurit mengangkat si Kiuang Ameh, mengikat kedua tangannya ke belakang punggung, lalu memapah dan membawanya pada sekumpulan penjahat lainnya.Dua prajurit lainnya juga menghampiri sang Datuk Hulubal