“Sebenarnya, Inyiak Marapi,” ungkap si Mata Malaikat. “Anak buahku bisa keluar kapan saja mereka mau.”Lagi, ucapan si Pemimpin Penjahat Bukit Tigapuluh itu membuat Inyiak Marapi, Kiuang Ameh, dan Ruyuang Salatan mengernyitkan dahi.“Itu benar,” timpal Siwan. “Mereka telah memegang kunci di tangan masing-masing, hanya menunggu waktu yang tepat saja bagi mereka keluar, lalu menyerang istano dari dalam bersama prajurit gadungan yang telah kami susupkan.”“Tidak banyak,” tambah si Mata Malaikat. “Tapi kegaduhan dari dalam akan sangat mempengaruhi orang-orang istano. Percaya padaku!”“Baiklah!” Kiuang Ameh mengangguk-angguk kecil. “Kupikir, kalian pasti sudah merencanakan hal ini dengan sangat baik.”“Yaah, aku setuju,” sambut Inyiak Marapi.“Sekarang,” lanjut Kiuang Ameh. “Katakan rencana utamanya pada kami, Amugar!”Si Mata Malaikat terkekeh lalu mereguk tuak di cangkirnya sampai habis.“Kita akan menyerang dari tiga arah!”“Tiga arah?” kening si Kiuang Ameh kembali mengernyit. “Apa yan
“Entahlah!” Dangmudo Basa mendesah panjang dengan tertunduk dan dua tangan berada di pinggang.Tapi empat pengawal pribadinya itu dapat melihat satu senyuman tak biasa di sudut bibirnya.“Mungkin benar kata-kata orang tua.”“Hah?!” Kanteh mengernyit.Begitu pula dengan tiga rekannya demi mendengar ucapan snag Putra Mahkota.Dangmudo Basa tertawa tanpa suara memandang langit nan membiru dan gerombolan burung terbang ke arah yang berbeda nun jauh di atas sana.“Jinak-jinak merpati,” gumamnya setengah tak terdengar. “Di saat kau mengira bahwa seorang gadis akan tertawan oleh hatimu, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Ahh, aku tidak akan pernah memahami hati wanita.”Mengertilah keempat pengawal itu dengan apa yang diucapkan oleh sang Putra Mahkota.Kirat datang menghampiri.“Jangan terlalu engkau pikirkan, Angku Mudo,” ucapnya seraya menyentuh bahu si pemuda rupawan. “Lagi pula, gadis itu seorang pendekar. Dan seorang pendekar, tidak terbiasa terikat dengan banyak hal. Salah satunya, a
“Benar, Paduko,” ujar seorang Datuk Hulubalang. “Orang-orang jadi bertanya-tanya. Jangan sampai hal ini menimbulkan keresahan pada rakyat.”Datuak Rajo Tuo melirik pada putranya.Ini adalah sedikit ujian bagi sang Putra Mahkota dalam hal kepemimpinan, sehingga, dia menunggu dan menyerahkan keputusan tersebut pada Dangmudo Basa.Sang anak memahami itu dan mengangguk kecil sebelum menghadap pada Sembilan Cadiak Pandai dan Tujuh Hulubalang Kerajaan.“Datuk-Datuk sekalian,” ucap sang Putra Mahkota. “Tidak ada hal yang istimewa, hanya sedikit kejutan bagi para prajurit saja. Ya, katakanlah, semacam latihan agar mereka selalu bersiap sedia.”Para Cadiak Pandai dan Hulubalang sama mengernyit, ada pula yang saling pandang satu sama lain.“Angku Mudo?” Datuk Cadiak Pandai yang sama masih menuntut penjelasan yang lebih baik daripada sekadar sebuah latihan kejutan.Dangmudo Basa mengendikkan bahu.Bagaimanapun, dia sangat yakin sang ayah tak hendak membeberkan cerita mengenai mimpinya yang cukup
Saliah keluar dari kamar penjaranya dengan tenang. Terlalu tenang sebab dia menutupi diri dengan pakaian ala Prajurit Minanga.Sementara tubuh kaku si prajurit palsu disembunyikan di bawah dipan dengan kondisi hampir telanjang.Tepat seperti dugaannya.Rekan-rekan si prajurit palsu telah mengambil alih kondisi di dalam penjara. Mereka mengeluarkan para tahanan yang rata-rata mendukung upaya untuk melakukan keributan yang telah direncanakan dan dipersiapkan.Satu hal yang dipikirkan oleh Saliah adalah tentang prajurit yang sebenarnya.Mereka, para prajurit asli itu mungkin sudah mati dan mayat mereka dibuang di tempat-tempat yang jauh dari pandangan.Sembari terus melangkah di antara para tahanan dan prajurit palsu, Saliah tetap berwaspada. Dia tidak takut sama sekali pada orang-orang itu. Lagi pula, tidak akan ada yang mengenalinya.Gerombolan yang lebih dari seratus orang itu akhirnya berhenti di dekat gerbang penjara.Empat orang penjaga pintu gerbang merentangkan tangan tanpa menol
Kirat, Kanteh, dan Kamba tiba di kamar tidur utama sang raja.Mereka menemukan bahwa Datuak Rajo Tuo berdiri di dekat jendela yang menghadap ke halaman belakang.“Paduko!”Sang raja menghela napas dalam-dalam dengan tangan berada di belakang pinggang.“Firasat itu benar adanya, Kirat,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari bayang seratus orang yang bergerak menuju istana di halaman belakang itu. “Entah dosa apa yang telah kuperbuat sehingga bahkan para prajuritku sekalipun, membangkang terhadap istana.”“Paduko,” Kirat lebih mendekat bersama dua rekannya. “Menjauhlah dari jendela, itu tidak baik bagi keselamatan Anda!”Kamba melirik pada empat dayang muda yang terlihat cemas di sudut lain kamar.“Tetaplah kalian di sini,” ucapnya. “Temani Yang Mulia apa pun yang terjadi!”Dengan ragu-ragu, empat dayang sama menundukkan kepala.“Jangan pernah meninggalkan Yang Mulia,” ucap Kanteh pula yang ia tujukan pada Kirat dan Kamba.Kembali pada seratus orang yang semakin mendekat pada romb
“Takut kau bilang?” Kiuang Ameh mendengus dan menggeram. Lantas di berteriak lantang pada seratus orang bersama mereka. “Serang… Hancurkan Gerbang Selatan!” Gerakan mereka di sisi ini terpecah dalam tiga kelompok.Kelompok pertama adalah mereka yang menggunakan perahu mendekati Gerbang Selatan bersama Kiuang Ameh dan Ruyuang Salatan.Sedangkan dua kelompok lainnya bergerak di antara pepohonan yang ada di sisi kiri kanan kanal.“Hentikan mereka!” teriak seorang prajurit yang berjaga di balik pintu besi berjeruji.Lima prajurit yang berdiri di atas gerbang sama membidik dan melepaskan anak panah mereka untuk menghentikan langkah orang-orang yang berusaha mendobrak pintu gerbang.Begitu juga dengan mereka yang berada di balik pintu gerbang.Dengan menggunakan tombak dan pedang, mereka menusuk orang-orang liar yang mencoba mendobrak pintu besi berdaun ganda, lewat celah-celah di antara jeruji.“Bodoh!” Kiuang Ameh menggeram.Tanpa basa-basi, pria yang satu ini lantas mencebur ke dalam ka
Lima jari tangan kanan Kiuang Ameh saling rapat, meluncur liar dan meliuk, lalu membuka dengan tiba-tiba. Sebuah jurus cakaran yang lebih terlihat seperti rahang seekor ikan gabus yang hendak menyambar mangsa, mengincar leher Puti Champo.Sang gadis tanggapi dengan tenang. Dia menggeser sedikit kakinya hingga tubuhnya miring ke kiri.Jurus cakar unik Kiuang Ameh lewat kurang dari sejengkal saja di depan wajahnya.Tapi Kiuang Ameh tak hendak mendapat malu. Selagi cakarnya menderu, masih dengan tangan yang sama, dia melancarkan serangan siku.Tep!Puti Bungo dengan cepat dapat menahan serangan siku lawan dengan dua telapak tangannya.Dia memanfaatkan daya dorong serangan dengan melentingkan tubuhnya dua langkah ke belakang.Lagi-lagi senyuman manis sang gadis membuat merah wajah Kiuang Ameh. Tapi kali ini, bukan berahi yang berbicara melainkan amarah sebab dia merasa dipecundangi.“Kau cukup beruntung, hah?!”“Mungkin kau yang kurang cepat!” balas sang gadis.“Gadis keparat!” Kiuang Ame
Di Gerbang Utara Kotaraja. Inyiak Marapi yang berpasangan dengan Siwan dengan mudah meluluh-lantakkan kondisi pemukiman di sana. Seratus orang bersama mereka membunuh belasan prajurit penjaga gerbang dengan sadis.Kebakaran tercipta akibat jurus-jurus sakti yang dilepas oleh Inyiak Marapi, membakar beberapa rumah yang berdekatan dengan jalan penghubung dari Gerbang Utara Kotaraja ke Gerbang Utara Istana.Masyarakat yang tinggal di sana berlarian ke arah-arah yang lebih aman demi menyelamatnya nyawa mereka dan keluarga masing-masing. Orang-orang yang tinggal di pemukiman ini sebagian besarnya adalah mereka yang dari kalangan menengah ke atas.Jerit tangis dan langkah-langkah berserak berpadu-padan, bergaung angkuh menghiasi langit Malam Bulan Mati.Meski mereka menyerang dengan brutal dan menyebabkan kebakaran hebat di sisi utara, namun Inyiak Marapi dan Siwan tidak tertarik untuk menyakiti apalagi membunuh penduduk di sana.Tapi, hal ini akan berbeda bila yang mereka temui adalah oran