Di dalam penjara, di Kerajaan Minangatamvan. Di awal malam, tiga hari menjelang bulan mati.Dalam keheningan semadinya di dalam kamar penjara, Saliah dapat mengetahui pergerakan tak biasa dari satu dua orang prajurit.Semenjak ditahan di penjara itu, dia juga sudah dapat mengetahui bahwa sekitar 25 orang tahanan di sana adalah mereka yang berada dalam satu kelompok, Penjahat Bukit Tigapuluh.Malam ini dia diyakinkan bahwa satu dua prajurit yang hilir-mudik dengan gerak-gerik mecurigakan itu bukanlah Prajurit Minanga sebenarnya.Meski hening dan mata yang terus terpejam dalam duduk bersilanya, Saliah dapat menangkap bisik-bisik halus kedua prajurit yang berbicara secara rahasia pada setiap Penjahat Bukit Tigapuluh di kamar penjara mereka masing-masing.Setelah dua orang yang menyamar sebagai prajurit meninggalkan penjara, Saliah baru membuka matanya.Dia meninggalkan dipan, melangkah mendekati jeruji, dan berdiri tenang di sana.Matanya liar memandangi setiap kamar penjara yang dapat d
“Tidak,” ucap Puti Champo. “Tidak sama sekali.”“Jadi,” Dangmudo Basa tersenyum sedikit merasa puas dan lega. “Kau mengakui bahwa kau bukanlah dari kalangan jelata?”Sang gadis menghela napas dalam-dalam, kembali menatap langit malam seolah ingin melepas segala kerinduan dan semua hal yang mengungkung diri.“Kau bisa bilang seperti itu.”“Baiklah,” sang Putra Mahkota mengangguk-angguk. “Lalu?”“Tidak!”Tatapan mereka beradu pandang untuk kesekian kalinya. Di akhiri dengan senyuman sang gadis.“Puti?”“Kupikir,” ujar sang gadis. “Biarlah rahasia tentang siapa diriku sebenarnya tetap menjadi rahasia.”“Hei―”“Aku bersungguh-sungguh, Putra Mahkota.”Puti Champo berdiri dan menghampiri tepi bangunan dengan pagar rendah selutut di sekeliling. Lalu melempar pandangannya ke permukaan air danau yang tenang.Dangmudo Basa menyusul sang gadis, berdiri di sebelah kanannya, dan menatap ke arah yang sama.“Alasan sebenarnya mengapa aku mendatangi negeri ini …”Dangmudo Basa mengernyitkan dahi seme
Dapunta Hyang melangkah dengan santai didampingi oleh Guru Ma di sisi kanan, sedangkan Daiyun berada di belakang keduanya.Obrolan keduanya terlihat sangat ringan dan dalam kehangatan sehingga sesekali sang Datu Maharaja tampak tersenyum bahkan tertawa pelan.Datu Telinga Utara menghela napas lega sembari memberi isyarat pada empat dayang bahwa sang raja sedang menuju ke arah mereka, pintu utama kuil yang terbuka lebar.Sang raja hanya sedikit mengernyitkan kening ketika mendapati bahwa Arrumanda berdiri bersama empat dayang, menunggu dirinya.Dia berputar menghadap Guru Ma.“Baiklah, Guru,” ucapnya dengan tangan menggenggam tangan sang Guru Besar. “Sampai nanti. Masih banyak hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda.”“San chai, san chai,” Guru Ma sedikit membungkuk, begitu juga dengan Daiyun. “Senang berdiskusi dengan Anda, Yang Mulia. Semoga diberkahi.”“Terima kasih.”Dapunta Hyang tersenyum dan memberikan rasa hormatnya pada Biksu Budha tersebut dengan sedikit membungkukkan badan
Sehari sebelum malam Bulan Mati.Galang berdiri di bagian belakang rumah keluarga Asman. Hanya dia seorang di sana, sementara sebagian anak buahnya sedang memeriksa di bagian dalam rumah, dan yang sebagian lainnya mencoba bertanya ini dan itu pada tetangga terdekat.Sayangnya, rumah-rumah terdekat dari tempat kejadian perkara itu sendiri berjarak belasan meter, dan tak jarang terhalang oleh pepohonan.Sang komandan menghela napas dalam-dalam menatap pada kuali di atas tungku dan di dalam kuali masih terdapat minyak. Tentu saja, tungku itu tidak sedang menyala.Tapi, tidak ada lagi dua jantung manusia yang sebelumnya pernah digoreng di dalam kuali yang sama kini.Tidak pula jasad Asman ataupun putrinya, Dainar yang ketika pertama ditemukan tergeletak di tanah, berdampingan dengan dada yang sama berlubang.Tatapan sang komandan beralih pada parang berkarat yang tertancap dalam di dinding sisi kanan dari pintu belakang.Sama, mayat Runiar dengan kepala terpapas juga tidak lagi ada di san
Daiyun menyembunyikan diri dengan merapatkan punggung ke tembok ketika ujung matanya menemukan tiga Prajurit Sriwijaya yang sedang melangkah ke arah kanan.Dia bahkan sampai menahan napas sebab dia tahu di antara para prajurit ada pula mereka yang dari kalangan pesilat.Dengan kata lain, sekali gerakannya terdengar oleh para prajurit, maka dia juga akan membahayakan nyawa dan keberadaan Guru Ma di istana.Mungkin terdengar sepele, tapi Daiyun tak ingin ambil risiko. Terlebih lagi, apa yang sedang dia lakukan bukanlah sebuah permintaan dari sang Guru Besar, tidak pula melalui perudingan dengannya.Setelah tiga prajurit itu berlalu, barulah Daiyun bisa bernapas sedikit dengan lega.Dia telah mempersiapkan dirinya sebelum menjalankan misi kecilnya itu. Yakni dengan memakai pakaian yang sama dengan para prajurit, antisipasi terhadap hal-hal yang tidak ia inginkan nanti. Tertangkap basah, misalnya.Dengan menggunakan kain pengikat kepala untuk menyarukan kepalanya yang plontos, dia akhirny
“Maafkan saya, Guru,” Daiyun bahkan menyentuhkan keningnya ke lantai. “Seandainya saya berunding terlebih dahulu dengan Guru, saya takut Guru akan melarang saya. Sementara, hati saya berkata bahwa saya harus membantu Tuan Muda Feng dan Nona Huang sesegera mungkin. Setidaknya, mengetahui akar permasalahannya.”Guru Ma menghela napas lebih dalam, tatapannya tetap teduh tertuju pada si Biksu Muda.“Angkatlah wajahmu, Daiyun.”Sang Biksu Muda mengikuti ucapan sang Guru Besar meski masih berlutut di sana.“Semua sudah terjadi dan percuma saja untuk disesali.”“Guru,” ucap Daiyun. “Saya rela menjalani hukuman seperti apa pun yang akan Guru perintahkan.”Guru Ma tersenyum tipis.“San chai, san chai. Tidak ada hukuman yang lebih baik untukmu selain dari mendalami Sutra. Pergilah, dan jangan berani melakukan hal semacam ini lagi.”Biksu Muda mengangguk.Setelah keluar dari kamar Guru Ma, Daiyun langsung menuju ke kamarnya. Di dalam kamar, dia membuka sebuah Sutra dan akan menghabiskan waktunya
“Sebenarnya, Inyiak Marapi,” ungkap si Mata Malaikat. “Anak buahku bisa keluar kapan saja mereka mau.”Lagi, ucapan si Pemimpin Penjahat Bukit Tigapuluh itu membuat Inyiak Marapi, Kiuang Ameh, dan Ruyuang Salatan mengernyitkan dahi.“Itu benar,” timpal Siwan. “Mereka telah memegang kunci di tangan masing-masing, hanya menunggu waktu yang tepat saja bagi mereka keluar, lalu menyerang istano dari dalam bersama prajurit gadungan yang telah kami susupkan.”“Tidak banyak,” tambah si Mata Malaikat. “Tapi kegaduhan dari dalam akan sangat mempengaruhi orang-orang istano. Percaya padaku!”“Baiklah!” Kiuang Ameh mengangguk-angguk kecil. “Kupikir, kalian pasti sudah merencanakan hal ini dengan sangat baik.”“Yaah, aku setuju,” sambut Inyiak Marapi.“Sekarang,” lanjut Kiuang Ameh. “Katakan rencana utamanya pada kami, Amugar!”Si Mata Malaikat terkekeh lalu mereguk tuak di cangkirnya sampai habis.“Kita akan menyerang dari tiga arah!”“Tiga arah?” kening si Kiuang Ameh kembali mengernyit. “Apa yan
“Entahlah!” Dangmudo Basa mendesah panjang dengan tertunduk dan dua tangan berada di pinggang.Tapi empat pengawal pribadinya itu dapat melihat satu senyuman tak biasa di sudut bibirnya.“Mungkin benar kata-kata orang tua.”“Hah?!” Kanteh mengernyit.Begitu pula dengan tiga rekannya demi mendengar ucapan snag Putra Mahkota.Dangmudo Basa tertawa tanpa suara memandang langit nan membiru dan gerombolan burung terbang ke arah yang berbeda nun jauh di atas sana.“Jinak-jinak merpati,” gumamnya setengah tak terdengar. “Di saat kau mengira bahwa seorang gadis akan tertawan oleh hatimu, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Ahh, aku tidak akan pernah memahami hati wanita.”Mengertilah keempat pengawal itu dengan apa yang diucapkan oleh sang Putra Mahkota.Kirat datang menghampiri.“Jangan terlalu engkau pikirkan, Angku Mudo,” ucapnya seraya menyentuh bahu si pemuda rupawan. “Lagi pula, gadis itu seorang pendekar. Dan seorang pendekar, tidak terbiasa terikat dengan banyak hal. Salah satunya, a